Saturday 22 November 2014

Friday 21 November 2014

Cerita Sahabat "CR?" -- Part Two --

Langkahku gontai menuruni tangga pesawat, rintik hujan mulai turun membasahi ujung tangga. Selama dua hari di Bali, pikiranku sedikit terganggu mengingat pembicaraanku dengan Lisa. Sampai hari ini, Lisa masih menghubungiku dengan permasalahan yang sama, tapi untunglah kelihatannya sudah mulai bisa berpikiran jernih. Justru aku yang belum bisa berpikiran jernih untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Rara …!” satu suara membuyarkan pikiranku. Aku mencari sumber suara yang sangat aku kenal, halus dan sedikit sexy, upss….

“Hai, lama nunggunya ya, maaf ga sempat bilang kalau delay hampir setengah jam.” jawabku. Sosok tegap itu sudah di depanku, dan tangannya menarikku dalam pelukan hangatnya. Sampai detik ini, aku masih merasakan kenyamanan pelukannya.
“Basah begini, ga minta petugas untuk siapin payung.” gerutunya. Aku tertawa, “yang lain juga kehujanan, masa aku aja yang minta.”
Kami melangkah di antara hujan yang mulai reda, tangannya terulur menarikku untuk lebih cepat berjalan. “Hujan begini bisa lebih cepat buat sakit… “ katanya. Dengan sedikit meringis, kuikuti langkahnya menuju mobil yang tak jauh dari terminal. Badanku memang terasa dingin, tanganku mencari tissue di kursi belakang, AC mobil mulai dihangatkan, kami melaju ke luar bandara Soekarno Hatta.
“Kita makan dulu ya.” ajaknya. Aku mengangguk.
Anganku mulai kemana-mana. Berpikir apakah harus kuceritakan tentang Lisa kepada Dave ? Apakah ini waktu yang tepat untuk bicara ? Jujur, sebenarnya aku masih sangat penat, tapi aku tidak bisa menunda  untuk berbicara dengan Dave. Tapi apakah aku bisa menerima semua penjelasan dan akibatnya ? Bingung, bener-bener bingung.
“Sayang, kok diam begitu ?  Gimana acara kemarin ? Sempet jalan-jalan di sana ?
“Enggak apa-apa… dingin. Acara oke, meskipun sedikit boring, dan seperti biasa, materinya membosankan karena itu itu saja. Kemarin sempat dinner, after that aku jalan ama Mona dan Frans, cari angin berbau pantai.” kataku. Kupalingkan mukaku ke arah kaca kiri yang tertutup embun, suaraku sedikit datar.
Anything oke ? tanyanya lagi.
 Aku tersenyum kecil. “Kok nanyanya gitu sih…” balasku.
“Agak aneh hari ini. Oya kemarin aku sudah bicara dengan Mama untuk rencana kita, Mama mau mengajakmu makan siang Sabtu depan.” Nafasku tertahan.
“Sedikit cape … iya, Mama sempat BBM kemarin, aku atur untuk acara itu, siapa saja yang ikut ?”
“Belum tahu, ga usah rame-rame, kita ambil yang inti saja.”
Sepertinya, memang saat ini adalah waktu yang terbaik untuk bicara dengan Dave, sebelum hari Sabtu. Masih ada sisa waktu tiga hari agar Dave bisa berpikir.
“Yuks … jangan melamun saja.”
Kugandeng lengan Dave untuk menetralkan suasana, tapi masih tetap saja aku merasa “dingin”. Meja di sudut taman sepertinya cocok untuk bicara, tamu restoran belum begitu banyak, suara musik lembut  bisa sedikit menahan emosiku yang mungkin sedikit naik nanti. Pusing sendiri memikirkan itu.
“Pesan apa Dave, sepertinya yang berkuah oke ya ..” tanyaku.
“Aku sop iga dan wedang jahe.”
“Kalau gitu aku pesan soto betawi dan teh hangat.” sambil menuliskan pesanan di secarik kertas warna kuning. Kupanggil pelayan dan kuserahan pesanannya.
“Ra ..”
“Yups …”
“Ada yang ingin aku ceritakan padamu.”
Mata kami bertemu. Ada sedikit keresahan yang terpancar dari matanya. Batinku bertanya-tanya, apakah sama dengan apa yang ingin aku bicarakan ?
“Ada apa ?” tanyaku. Pelan, menenangkan batinku.
“Mungkin akan membuatmu kaget dan marah.”
Keningku berkerut. “kok bisa ?”
“Semua salahku, aku tidak jujur.”
“Coba ceritakan.” Berdebar hebat jantungku, dudukku tak tenang, jemariku saling bermain.
“Lisa sudah bicara semuanya kemarin. Dia menghubungimu beberapa hari yang lalu, dan bercerita tentang kami.”
Ternyata cukup gentle  juga ….
“Seharusnya aku bicara padamu jauh-jauh hari.”
“Itu tak mungkin kamu lakukan, Dave. Dan kalau Lisa tak bicara tentang pertemuanku dengannya, aku ragu kamu pun akan bicara padaku.” Jawabku tajam.
“Tidak begitu Ra, aku memang harus bicara kepadamu.”
“Kapan ? Setelah semuanya terbuka ? Tak ada sedikit pun dalam pikiranku kalau kamu ada hubungan dengan Lisa, dan posisinya, aku hadir setelah Lisa. Kamu tahu sedekat apa aku dengan dia, teganya.”
“Rara, tidak begitu kejadiannya.”
“Apakah yang disampaikan Lisa kepadaku bohong ? Dua tahun bukan waktu yang pendek untuk menjalani hubungan tanpa status seperti itu, kamu benar-benar telah mempermainkan dia.”
“Rara, dalam satu hubungan, masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk mentreat, begitu juga aku dengan Lisa. Lisa terlalu berpikiran jauh, banyak waktu bersama dengannya, tak pernah kami  bicara tentang komitmen apapun. Dia wanita modern, berkarir, sukses, dan supel, paham sekali dengan ciri-ciri hubungan kami.”
“Tidak semua wanita modern paham dan mau melakukan hubungan macam itu. Lihat-lihat dulu lah, jangan mengeneralisasi. Kamu cukup pintar juga untuk memilih siapa yang ingin kamu kencani.” suaraku mulai meninggi. Hatiku mulai terasa sakit.
Pelayan datang dengan pesanan kami. Pembicaraan kami terhenti, mulutku terkunci, tak ada selera makan lagi. Dave merapikan piring-piring di meja, menatapkau … “makan dulu.” Kuraih sendok garpu tanpa kata, soto betawi yang biasanya bisa menambah nafsu makan, sekarang seperti satu mangkuk air putih dengan daging di dalamnya, tanpa rasa. Hening. Dave pun sepertinya merasakan hal yang sama, suapannya lambat, sesekali matanya menatapku, sesekali tangannya menyentuh jariku. Aku tak bergeming.
Inilah jawaban yang aku tunggu sejak dua hari yang lalu. Kami memang tidak pernah membicarakan hal-hal yang penting melalui telepon, semua diselesaikan dengan bertemu dan berdiskusi. Sengaja tak kuusik tentang pertemuanku dengan Lisa, aku butuh konsentrasi di Bali. Selama dua hari itu pun, aku tidak mempersiapkan pertanyaan dan jawaban, ataupun kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi jika kami berbicara tentang Lisa.
Makanan pun tersisa, kuteguk teh yang mulai hangat. Kami masih terdiam, sampai kapan ?
“Apa yang harus kuceritakan tentang kita kepada Lisa ? Kenapa harus Lisa ? Kenapa bukan teman-teman wanitamu yang lain ? Aku tak bisa membayangkan bagaimana hubunganku dengan Lisa selanjutnya.”
“Lisa sudah mengetahui hubunganku denganmu sejak kita berhubungan dan Lisa sudah mengetahui bahwa kita akan menikah.”   
“WHAAAT!!” kataku setengah berteriak. Nafasku rasanya terhenti. Aku benar-benar tidak mengerti. Aku mengenal Dave pada saat dia masih menikah dengan Mbak Anggi, dan kami mulai berhubungan dengan Dave tiga tahun sejak perceraiannya. Hubunganku dengan Mbak Anggie baik, dan Mbak Anggie tahu tentang hubungan kami. Lisa dan Dave  pernah bekerja di satu kantor yang sama, sampai akhirnya Dave pindah ke perusahaan lain dan aku pun tahu mereka masih berhubungan. Tak pernah sedikitpun aku berpkir di antara mereka ada hubungan khusus.
Selintas dalam benakku, apakah aku atau lisa yang dikhianati.
Memang benar, di antara aku, Lisa, dan Dave tidak pernah bertemu dalam waktu yang sama, dan sampai kejadian kemarin, aku tidak pernah bercerita tentang Dave kepada Lisa. Tapi Lisa mengetahui hubungan kami ? Apakah aku harus marah, malu atau senang ? Benar-benar tidak masuk akal. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan dan jawabanku sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
“Iya Ra, Lisa tahu semuanya.”
“Bagaimana kamu bisa melakukan ini, Dave ?”
“Lisa mulai berubah sejak mengetahui hubungan kita. Dia lebih posesif  dan meminta lebih. Awalnya aku ikuti, dengan pegangan tidak melebihi batas.”
“Batas apa?” tanyaku sinis.
“Kita sama-sama dewasa Ra, tidak perlu aku jelaskan dengan detail.  Semua terjadi antara aku dan Lisa sebelum kamu ada, dan aku sudah menghentikan semuanya sejak aku melamarmu.”
“Bisa ?” Rasanya krisis kepercayaan mulai melandaku, ini sangat mengganguku.
“Apa perlu kita bertemu bertiga ?’ tanya Dave, suaranya mulai meninggi. Tak kujawab pertanyaannya.
“Dengar Rara, Lisa bicara tentang Causal. Dia paham sekali tentang hubungan seperti itu. Justru aku agak aneh ketika dia menanyakannya padamu. Aku punya masa lalu, biarkan berlalu.”
Dave termasuk populer di kalangan owner bidang property di Jakarta. Dia terkenal dengan kepiawainnya bernegoisasi, bersosialisasi untuk mencapai target market perusahaan. Perusahaan-perusahaan berani membayar mahal menculik Dave dari kantor-kantornya yang lama, sehingga pihak perusahaan harus mempunyai komitmen yang kuat untuk menahan Dave agar tidak lari ke perusahaan lain.
Beberapa catatan yang kuketahui tentang masa lalu Dave. Di usia 6 tahun pernikahannya, Mbak Anggie meminta cerai karena tidak bisa memberikan keturunan, permintaan itu ditolak Dave, sampai akhirnya di usia 8 tahun pernikahannya, Dave menuruti keinginan Mbak Anggie, dan mereka bercerai baik-baik. Sejak itu terdengar cerita-cerita kehidupan pribadi Dave dengan beberapa wanita. Tahun ini, genap 4 tahun Dave bercerai.  
Terbayang dalam pikiranku, bagaimana hubungan Dave dengan wanita-wanita  itu terjalin. Boleh dibilang, Dave punya segalanya, dia bisa memilih wanita mana yang ingin dia ajak hang out, traveling, apalagi hanya untuk lunch dan dinner,  and next ? Entahlah … Tak kudengar ada gossip tentang hubungan Dave dengan wanita secara serius, sampai akhirnya kami menjalin hubungan dan Dave mulai memperkenalkanku kepada rekan-rekan kerja, teman-teman, dan keluarganya sebagai calon istri.
“Rara ..” tangannya menarik jemariku. “Bicaralah ..”
“Kesalahanku adalah meneruskan hubungan dengan Lisa, meskipun telah ada kamu, tapi aku tidak pernah mengkhianatimu. “Aku mengakui hubunganku dengan Lisa, tidak ada komitmen apa-apa, sampai akhirnya Lisa menanyakan kelanjutan hubungan kami, aku jawab apa adanya, aku tidak bisa, karena aku telah memilihmu, aku akan menikahimu” lanjutnya.
Aku masih terdiam. Ingin rasanya aku tanyakan sejauh mana hubungan  Dave dengan Lisa ketika aku ingat bagaimana Lisa menyebut “hubungan kami sudah terlalu jauh”, etiskah aku tanyakan ?
“Pada awal hubungan kami, kamu juga tahu Ra, sebagai partner di perusahaan yang sama, kami mempunyai ritme kerja yang sama, dia tipe pejuang, aku mengerti. Ada beberapa persamaan antara aku dan dia waktu itu, kami sama-sama single, mempunyai tujuan yang sama untuk perusahaan, dan kami punya banyak waktu untuk bersama. Hal-hal itu yang membuat kami tambah dekat, tapi sebagai laki-laki aku punya tipe wanita yang aku harapkan untuk menjadi istriku, dan itu bukan dia.”
“Mungkin kamu berpikiran aku mempermainkan Lisa, untukku maybe yes maybe not. Kenapa aku bilang tidak, dari awal kami tidak bicara tentang seperti apa hubungan kami, tidak ada tuntutan antara satu dengan yang lain, masing-masing punyak hak untuk jalan dengan yang lain tanpa persetujuan satu dengan yang lain, masing-masing tidak punya kewajiban untuk melaporkan atau menginformasikan apa yang dilakukan masing-masing, kami jalan pada saat ada kesempatan, tidak ada yang direncanakan, selama itu nyaman kami tidak pernah menutut lebih dan kami tidak masuk terlalu dalam ke urusan pribadi, misalnya anak atau keluarga. That’s all.
Ow seperti itu ya hubungannya, benar secara teori yang aku berikan kepada Lisa … seperti angina lalu.
“Kusebut Maybe yes, karena di antara kami ada yang bermain perasaan. Itu yang membuat Lisa bertanya kelanjutan hubungan kami. Aku tidak membela diri, tapi di satu sisi, aku kembali kepada pembicaraan awal, aku tidak berjanji apapun, dan tidak bicara tentang sayang atau cinta padanya, selayaknya seperti sepasang kekasih. Apa yang aku sampaikan kepada Lisa bahwa aku telah mempunyai seorang kekasih, yaitu kamu, ditanggapi Lisa biasa saja, tidak terlihat kaget atau ada penyesalan, namun sejak itu sifatnya menjadi posesif, seringkali dia menanyakan keberadaanku dimana. Jujur itu mulai mengangguku. Batas yang aku berikan kepadanya sudah cukup jelas sejak aku berhubungan denganmu.”
Jam menunjukkan 21.30, cukup lama kami disini, dan aku dengan pasrah mendengar semua pembicaraan Dave. Sampai kalimat terakhir Dave, aku masih bingung apa yang harus aku sampaikan. Pikiranku masih bergulat, bercabang, belum pada satu titik kesimpulan. Dengan kejadian ini, ada yang harus aku benahi dalam diri, tentang persahanbatanku dengan Lisa, mungkin akan terjadi perubahan … Tak mungkin aku konfirmasi tentang pembicaraan Dave kepada Lisa, sangat kekanak-kanakan kupikir. Tapi disisi lain, aku harus bisa menghalau pikiran-pikiran jelekku sendiri.
“Rara, aku perlu komentarmu.”
“Tak ada yang perlu dikomentari, yang ada adalah bagaimana aku bisa menerima ini dengan bijak. Membayangkan hubunganmu dengan Lisa sebelum dan sesudah aku ada. Dan memikirkan bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Lisa setelah ini.”
“Tak perlu kamu bayangakan hubungan kami, aku lebih focus memikirkan hubunganku denganmu, melanjutkan rencana kita, tak lebih. Aku perlu kepercayaanmu sekarang, tak ada Lisa dalam hatiku, pikiranku, jadikan semua sebagai bagian masa lalu. Kita hadapi bersama persoalan tentang Lisa, jangan bergerak sendiri-sendiri. Tolong Ra, percaya aku.”
Sebenarnya aku punya pegangan dalam hubunganku dengan Dave, yaitu keluarganya. Dua keluarga sudah merestui hubungan kami dan sedang merencanakan pernikahan, tapi aku perlu pegangan lain dari Dave, untuk membantuk dalam menghadapi hal ini. Sabtu depan adalah penentuan tanggal pernikahan kami, mungkin itu.
“Dave, jujur aku sampaikan, sebenarnya berat sekali aku mendengar cerita ini, tak pernah terlintas dalam pikiranku tentang hubungan kalian. Tapi aku sedang mencoba memahami apa yang telah terjadi. Bantu aku untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang tak baik tentang hubungan kalian dan kelanjutannya. Itu yang bisa membuat aku lebih percaya kepadamu.” Bicaraku lebih tenang, dan aku tak menyangka aku bisa tenang.
“Ra, biarkan aku disampingmu, agar semua prasangka itu hilang dari pikiranmu. Aku minta maaf, aku baru bisa bicara sekarang, pada saat yang tidak tepat.” Tangannya menyentuh pipiku, mengusapnya. Aku mengangguk pasti, dadaku sedikit lapang. Semoga semuanya berjalan dengan lancar.  
“Sudah malam, pulang yuks…” ajakku.
Dave berjalan ke kasir, dan membayar tagihan. Aku melangkah mendahuluinya ke pintu keluar, udara sangat dingin.
Aku ingin cepat pulang, ada yng ingin aku tulis …
***
Dear Lisa,
Aku baru pulang dari Bali tadi sore, acara disana bikin bête, materinya masih itu-itu juga. Tapi aku sempat jalan juga sh ama Mona dan Frans nyuri-nyuri waktu hehe … dan sekarang, aku baru sampai rumah, aku langsung tulis email ini.
Lisa sayang, aku sudah bicara dengan Dave beberapa jam yang lalu, sesampainya aku di Jakarta. Ada yang ingin aku sampaikan mohon maaf aku tidak memberitahumu tentang hubunganku dengan Dave selama ini. Tadinya aku pikir akan jadi surprise buatmu jelang pernikahanku nanti, tapi justru aku yang dapat surprise :-D Aku baru bisa mengirim email ini, agar kita tidak miskomunikasi.
Aku menghargai hubungan kalian sebagai bagian masa lalu dari masing-masing, aku mengerti atas apa yang terjadi. Tidak ada yang bisa merubah persahabatan dan persaudaraan antara kita.
Sun sayang.
Rara
Jariku hampir menyentuh tombol sent di laptopku ketika suara dering pesan terdengar. Dering itu tidak aku kenal. Aku penasaran. Dua menit kemudian terdengar lagi, dua kali. Sumber bunyi datang dari dekat tas kerjaku. Kulihat iphone 5 tergeletak di dalamnya, lho ini kan  handphone Dave, kok  bisa ada di sini ? Keningku berkerut, kok bisa ? Duh, pasti terbawa sewaktu aku turun dari mobil, kupikir handphoneku. Suara pesan terdengar tiga kali berturut-turut. Jam 11.45, pesan dari siapa ?  Penting mungkin.
Kulihat layar handphone, kutekan passwordnya, kusentuh menu BBM, message terbuka, ada beberapa pesan di sana, kubuka pesan yang paling akhir, LISA :
“Darling,  sudah bobo?”
“Aq ga bisa tidur”
“Think of You a lot.”
“I love Casual, never ending between us, I love how you treat our relation”
“Miss you, nite-nite ..:-*
Badanku tersentak, tanganku bergetar. Kutarik nafas dalam-dalam, kuucap satu kata “CASUAL” … Kubuka laptop, kubaca ulang email untuk Lisa, kusorot mouse ke arah TRASH. Done …. Mampukah menghadapinya ????

Bersambung

#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk aku urai menjadi sebuah cerita.


Wednesday 19 November 2014

Ketika Kucoba Menghapus Satu Nama


Tubuh mungil itu seolah membeku di antara rintik hujan yang semakin deras, mukanya pucat, badannya basah kuyup dengan payung kecil ditangannya.  Tanganku terulur spontan menopang badannya yang mulai oleng, mukanya tersentak kaget.
"Terima kasih" ucapnya lirih.  Perlahan kulepaskan peganganku dan membimbingnya ke tempat yang teduh. 
"Istirahat dulu, tunggu sampai hujannya sedikit reda." kataku. Gadis itu mengangguk, dan mengikutiku.
"Maaf sudah buat Mas basah juga." 
"Ga apa-apa. Bagaimana kalau kita berteduh di sana, dengan segelas teh panas, biar ga masuk angin ?"  Telunjukku mengarah ke cafe kecil di sudut jalan.
"Tidak usah, Mas, jadi merepotkan." tolaknya. 
"Ga apa-apa, yuks.! 
Kuangkat payung warna pink miliknya dan kami berjalan perlahan, hujan mulai reda.   Hingga kami di Puzel Cafe yang mulai ramai, cafe yang tidak begitu besar namun  tertata rapi dan artistik, aku suka tempat ini. 
"Mau teh atau kopi ?" tanyaku.
"Teh hangat tanpa gula ."
Secangkir cappucino aku pesan dan dua goreng  pisang keju panas. 
"Sekali lagi Mas, mohon maaf sudah merepotkan. Nama saya Anti." ucapnya seraya mengulurkan tangan.
"Aku Fadli. He he.. sudah ga usah minta maaf terus. Kebetulan saja aku ada di sana, daripada pingsan di tengah jalan kan." candaku. Senyum kecil tersungging dibibirnya, pipinya merona .. Hmmm, mulai baik kondisinya. Badannya ga begitu tinggi, kira-kira 155 cm, langsing, kulit putih, muka oval, benar-benar tipe asia. Sedikit kuperhatikan mukanya, sepertinya aku familiar ... mirip siapa ya ?
"Mas Fadli kerja di daerah sini ?" tanyanya.
"Tidak, kebetulan ada pertemuan di gedung sebelah, pas keluar hujan, padahal aku parkir di gedung lain." 
" Ooo..... Sepertinya saya pernah lihat Mas Fadli ... tapi dimana ?"
"Mukaku pasaran ya ?" tawaku lepas seketika. Anti tersedak.  "Maaf ..."
"Ga apa-apa Mas, kaget aja Mas bisa becanda kayak gitu. Tapi bener kok, ketemu atau lihat dimana ya ?" 
"Jujur saja, aku juga barusan mikir gitu, mukamu familiar." jawabku sembari mikir-mikir. 
"Anti kerja?"
"Iya, aku kerja di tempat kakakku, di Senopati." 
"Bidang apa ?"
"Kakakku seorang arsitek, dia buka kantor konsultan bersama teman-temannya. Alhamdulillah aku diberi kesempatan untuk kerja sambil kuliah."
Senopati, arsitek ...? Dua kata itu seakan membantuku mengingatkan wajah Anti mirip siapa.
"Kakaknya dulu sekolah di ITB ?"
"Ya, dia lulusan terbaik waktu itu, walaupun agak telat karena cuti. Bangga punya kakak seperti Mbak Lestari, cantik, pintar dan mandiri."
"Lestari?" tanyaku. Apa yang aku pikirkan sedikit terkuak. Ada satu "Lestari", yang  tidak mungkin hilang dalam pikiranku. 
"Iya, Mas kenal ?"
"I'm not sure .. banyak Lestari di dunia ini he .. he..., tapi dari ciri-ciri yang Anti berikan mungkin aku mengenalnya, dan wajahnya mirip Anti, kan?" Anti mengangguk sambil tersenyum.
"Tapi cantikan Mbak Lestari Mas, hehehe."
"Lestari Andayanti. Itu namanya ?" tanyaku berharap cemas.
"Iya ... kok tahu?"  keningnya berkerut.
Aku tak menjawabnya. Terdiam. Lestari Andayanti, adik angkatanku ketika kuliah di ITB. Gadis kampus idola para senior. Semuanya dia punya, cantik, anggun, dewasa, supel,  cerdas, pintar, dari keluarga berada  dan telah memporak-poranda hatiku.
"Mas ..." Anti menepuk tanganku.
"Ups .. sorry. Iya, aku kenal dengan Lestari itu, tapi apa mungkin orang yang sama?" jawabku dengan hambar.
"Kapan-kapan aku kenalin ya, Mas." Aku mengangguk seraya tersenyum.
"Ngomong-ngomong, udah mulai reda, aku harus segera pulang, sekali lagi terima kasih Mas." Tangannya menggapai jaket, dan berdiri, siap-siap pergi.
"Sama-sama. Pulangnya ke arah mana?" tanyaku. Kupanggil waitter, memberikan isyarat untuk bill.
"Fatmawati."  
"Padat jam segini. Mau aku antar?" 
"Tidak usah mas, aku naik taxi aja."
Kubayar bill dan kami berjalan ke arah pintu keluar.
"Ok Anti, hati-hati ya .. boleh aku minta nomor telepon ?"
"Oh I         ya ... " Anti tersenyun dan menyebutkan nomor teleponnya. Kuambil selembar kartu namaku, dan memberikan padanya. 
"Keep contact ya , jangan hujan-hujanan lagi." candaku.
Anti tertawa dan berjalan seraya melambaikan tangannya.
Aku termenung, memikirkan satu nama yang disebut Anti. Apakah itu Tari - ku ? Gadis yang pernah aku cintai, bahkan sampai kini.  Lima tahun  menghilang tanpa kabar berita, yang telah mampu membuatku pergi meninggalkan negeri tercinta ini, hanya untuk sekedar melupakan dia ??? Mungkinkah dia ?
Kususuri jalan menuju parkir, jalanan mulai sepi, dan langit mulai cerah dengan bintang-bintang kecil. Pikiranku masih kalut, seakan membuka luka lama yang masih basah sampai kini. Tari.

****
"Mas, aku mau pinjam catatan lama nih, Studio Perencanan Arsitek, masih ada ga ?" suara merdu terdengar di telepon genggamku. Suara yang selalu membuatku rindu."
"Ada kayaknya, nanti Mas cari. Buku pegangannya sudah ada ?" tanyaku.
"Ada Mas."
"Ok, hari ini ada acara di kampus ?"
"Ada jam 10 sampai 11.30"
"Mas antar ke sana catatannya atau gimana ?"
"Iya ke kampus aja, sekalian Tari pengen makan basonya Pak Kumis nih."
"Oke, jam 11.30 aku jemput, tunggu di gerbang samping."
"Wokeeee."
Klik, suara telepon ditutup. Aku bergegas ke ruang perpustakaan kecilku untuk mengambil catatan-catatan lama di masa  awal kuliah dulu. Rasanya masih ada catatan Studio Perencanaan itu, mata kuliah itu termasuk yang paling ditakuti, dan aku berhasil lulus dengan nilai terbaik waktu itu. Aku tersenyum, membayangkan masa-masa itu. 
Akhirnya, kutemukan juga. Catatan itu masih rapi, tanpa sampul. Kupisahkan dari catatan lainnya. Kucari buku-buku pegangan sebagai penunjang, lumayan buat bahan pustaka. Ada tiga buku, cukup sepertinya.
Aku melangkah ke garasi samping sedikit tergesa. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 10.15. Aku pikir, berangkat lebih awal lebih baik, aku bisa mampir ke bagian akademik untuk mengambil transkrip nilai terakhirku. Masa-masa terakhirku di kampus selama 3 bulan ini benar-benar menyita kehidupan pribadiku, dengan persiapan ujian skripsi yang begitu ketat. Dan sekarang masa itu sudah berlalu dan aku harus menikmati hari-hariku dengan lebih rileks. 
Jalanan cukup padat, kuambil arah Jalan Tamansari yang kelihatannya sedikit lenggang. Dari arah sini, biasanya lebih gampang untuk masuk dari gerbang samping. Pelataran parkir pun lebih luas dan tak jauh dari fakultas. Aku paling tidak suka merubah rute perjalanan atau merubah tempat parkir, kecuali ada hal-hal yang khusus. Semuanya seperti rutinitas yang paling sering aku jalani di masa-masa kuliah. Datang ke kampus, parkir, ngumpul dengan teman-teman sambil ngopi di kantin sebrang, kuliah, perpustakaan, dan pulang. Aku akan merindukan suasana seperti ini lagi.
Anganku terhenti ketika aku memasuki gerbang, mataku mencari tempat aman untuk parkir. Suasana lumayan ramai. Kubuka kaca jendela mobilku, mataku masih mencari-cari.
"Bang, parkir sini!!" suara teriakan terdengar dari arah kanan.
"Siaaaap ..." teriakku pula. Badu, tukang parkir yang sudah menjadi sahabatku tersenyum sumringah berlari ke arahku. Aku membawa mobilku ke arah yang ditunjuknya. 
"Baru nongol lagi ni ... kemana aja." tanyanya dengan nafas terengah.
"Biasa Du, abis nyepi dulu .. cari yang seger-seger." ledekku.
"Ah, yang mah seger selalu nunggu di sini Bang, terutama si dance yang suka longok-longok nyari ane, eh yang ditanya siapeeeee." kami tertawa. Si Dance  itu panggilan untuk Tari, sewaktu aku masih mencuri-curi info tentang dia melalui Badu, tapi sampai sekarang Badu masih memanggilnya seperti itu.
"Gimana kabarnya Du ? Tambah item aja, kebanyakan jemur ya ?" ledekku seraya merangkul bahunya.
"Baik Bang, biasalah kejar setoran, Bandung sekarang panas, mau ga mau kejar-kejaran ama mobil di tengah panas." balasnya.  
"Nanti ketemu ya di Baso Pak Kumis, aku mau ke akademik dulu, terus jemput Tari. Kau ada yang gantiin ga?" ajakku. Badu nyengir.
"Ga enak ama Si Dance, entar ganggu dah."
"Engaaaaaa, aku tunggu ya jam 12 an disana, kalau perlu kau duluan ke sana daripada ga ada tempat."
"Oke lah kalau begitu .. Aku duluan nanti kesana. Ada Supri yang ganti nanti."
" Sip !' Jawabku. 
Sub bagian akademik itu terletak di lantai 2, satu ruangan yang cukup besar, dengan lemari-lemari arsip di dinding-dinding yang memenuhi ruangan. Teman-temanku paling tidak suka kalau di panggil ke bagian ini, notabene pasti ada masalah dengan akademiknya, apalagi di akhir-akhir semester .... Bertemu dengan stafnya saja sudah tidak bisa berbasa-basi, kecuali bertanya : Ada kabar baik untuk saya, pak ? Hahaha ... Masa-masa itu memang membuat jantung kembang kempis, dengan target "cukup saja", daripada di "drop out". 
"Assalamu’alaikum Pak, info dong, sudah ada transkrip terakhir dari hasil sidang kemarin ?" tanyaku pada Pak Abdul, kepala bagian akademik.
"Hai Fad, cuma kamu yang berani tanya transkrip,  yang lain pada nunggu dipanggil" katanya sambil tertawa.
"Maklum Pak, saya dikejar Bapak Ibu ...." jawabku.
"Dasar anak mama." ejeknya. Mukaku memerah rasanya. Di kampus memang aku terkenal dengan sebutan "Anak Mama", karena sampai semester 4, Ibu selalu rajin mengontrolku di kampus.
"Sekarang ga dong Pak .. " elakku.
"Transkripnya udah ada, sebentar saya minta Mamat untuk ambil ya. Rencana ke depan gimana Fad?"
"Masih bingung Pak, Bapak minta saya untuk bantu di perusahaannya, Ibu minta saya melanjutkan sekolah dulu di Australia."
"Ow, dua-duanya bagus, tinggal dipikirkan. Prestasimu bagus, saya yakin tidak cuma perusahaan Bapakmu yang minta kamu untuk bekerja. Kalau ga salah, PT MULTI PROPERTY malah sudah ajukan kontrak ya ."  tanyanya. Upss... isu itu sudah menyebar dengan cepat.  Aku mengangguk.
"Ya Pak, tapi saya masih pikir-pikir. Ingin rileks dulu sebentar." jawabku. Pak Abdul menyerahkan selembar kertas untuk ditandatangani.
"Tanda tangan disini, dan tulis nama jelas, serta tanggal. Semoga apa yang kamu dapat disini bisa kamu manfaatkan semaksimal mungkin ,Fadli. Kami bangga atas prestasimu" katanya. Aku terharu  dan mengangguk dengan pasti.
"Insya Allah, Pak. Saya pun mengucapkan terima kasih atas semuanya" Kujabat tangan Pak Abdul dan pamit.
Kuturuni tangga dengan sedikit tergesa, Tari pasti sudah menungguku. Agak lama tadi aku bicara dengan Pak Abdul sambil menunggu transkripku. Lorong kampus masih terlihat sepi, hanya beberapa mahasiswa yang asyik duduk di sisi lantai dengan buku-bukunya. Tari belum kelar kelihatannya, pintu ruangannya masih tertutup dan aku putuskan untuk  menunggu di sebrang ruangan. Udara sedikit panas. Badu benar, Bandung sudah tidak seadem dulu, angin pun sudah terasa panas. Lima tahun yang lalu, memang tidak begini, angin masih terasa segar meskipun di tengah hari. 
Pintu ruangan kuliah terbuka, para mahasiswa berhamburan dengan suara yang cukup ribut. Kulihat seorang gadis mungil dengan kacamata bening berjalan menuju ke arahku. Senyumnya merekah ketika tatapan mata kami bertemu. 
"Lama ya nunggunya." tanyanya. Aku menggeleng.
"Malah Mas  pikir Tari yang nunggu. Tadi agak lama di akademik, alhamdulillah Mas sudah dapat transkripnya." Jawabku sambil mengeluarkan kertas transkrip dan menyerahkan kepada Tari.
"Alhamdulillah. Hadeh hebat .... Tari  bangga dan turut senang, Mas. Mudah-mudahan Tari bisa mencapai apa yang telah Mas capai" Matanya terbelak kagum melihat transkripku. 
"Insya Allah, Tari bisa. Kita saling dukung, sayang. Yuks kita ke Pak Kumis, Mas tadi ajak Badu juga biar gabung, mungkin dia sudah di sana."  Kami berjalan ke luar kampus, tanganku meraih jemari Tari dan menggengamnya hangat. Tari tersenyum dan mengangguk. 
"Ketemu ga catatannya ?" 
"Ada, sekalian Mas bawain beberapa buku penunjang, siapa tahu Tari belum ada." 
"Asyiiiik ... makasih, Mas"
Aku suka saat-saat seperti ini, berdua, saling berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Aku mengenal Tari pada saat masa perkenalan kampus. Wajahnya yang cantik dan anggun, sudah menyita  perhatian para senior di hari ke dua masa perkenalan.   Wawasannya yang luas mampu membuat hangat dalam setiap diskusi. Aku tidak pernah berpikir Tari bisa menjadi kekasihku. Sifatku lebih pendiam, dan tidak terlalu gaul, awalnya kesempatanku berbicara dengan Tari adalah pada setiap forum diskusi kampus yang sering aku ikuti, dan ternyata Tari pun menyukainya. Dari sana kami bisa dekat, dan dalam waktu delapan bulan aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya. Tari memang bukan cinta pertamaku, tapi Tari adalah awal dari semua kehidupan di masa depanku. 
Bakso Pak Kumis terlihat ramai, pandanganku mencari sosok Badu di antara mereka. Ah, akhirnya ketemukan muka polosnya di antara meja pojok, masih setia tanpa pesanan karena menunggu kami.
         "Itu  Badu!" kataku seraya menunjuknya. Tari berjalan mendahuluiku, tawanya terdengar ketika kulihat Badu mengucapkan sesuatu kepadanya. Badu menunjukku sambil mempermainkan sumplit di tangannya.
"Apa ????" tanyaku.
"Dance kangen ama saya, Bang. Saya bilang, bisa ditimpuk Bang Fadli." Kami tertawa bersama. Hubunganku dengan Badu memang akrab sekali, di kalangan mahasiswa arsitek terkenal dengan sahabat karib, sampai-sampai Tari pun menyebutnya "kembar dempet". 
"Ya siap-siap aja SP3 Du, besok lusa aku kirimkan suratnya." timpalku. "Aku pesan yang biasa ya, sekalian ama juice alpukat." kataku pada Tari yang tengah memilih menu. 
" Mas Badu pesan apa ?" tanya Tari.
"Aku yamin aja, plus teh botol."
"Oke."  Tari menuliskan pesanannya dan menyerahkannya kepada Pak Kumis. "Gak pake lama ya Pak, laper ni." candanya. Pak Kumis mengangguk sambil tersenyum. Badu tertawa, kutepuk tangannya dan berbisik, "jangan keras-keras." Badu membungkam mulutnya. Tari terkikik.
Pembicaraan ringan pun dimulai, pertanyaan-pertanyaan tentang kelanjutan kuliahku pun bergulir dari mulut Badu, harapannya aku bisa melanjutkan S2 ku di sini juga, agar bisa sering bertemu. Sebenarnya aku pun ingin begitu, agar aku bisa dekat juga dengan Tari. Ada beberapa alternatif yang harus aku pilih dan akhirnya aku putuskan. Jujur, sampai saat ini aku masih bingung.
“Mas, sebenarnya Mas lebih condong kemana ?” Tanya Tari.  Aku menggeleng dengan sedikit bingung.
“Belum tahu Sayang, dua-duanya bagus, Mas kerja atau kuliah, kalau bisa Mas  kuliah sambil kerja, tapi dengan kondisi Mas  baru lulus, sepertinya pihak perusahaan agak keberatan.” jawabku.
“Tante sepertinya lebih cenderung Mas untuk kuliah di luar, menurut Mas gimana?” nada ucapan Tari agak melemah, aku yakin, Tari sudah diberi tahu oleh Ibu sewaktu acara keluarga beberapa hari yang lalu.
“Iya, Ibu memang maunya begitu, tapi Mas belum putuskan. Jujur, Mas lebih condong memilih kuliah di Indonesia dulu.”
Pesanan kami datang, aromanya membuat kami tambah lapar. Tari kelihatan sedikit kaku sejak pembicaraan itu, dan aku alihkan pembicaraan ke yang lebih ringan.
“Du, aku dengar kau akan kerja di Muhammad Toha.” tanyaku kepada Badu.
“Iya Bang, tapi baru lamaran gitu, terus aku dipanggil seminggu yang lalu, 2 kali, sekarang belum ada info apa-apa lagi.”
“Perusahaan apa?”
“Garment, Bang?”
“Kau melamar sebagai apa ?”
“Keamanan Bang, di sana ada Om saya, dia mau usahakan saya masuk.”
“Dulu lulusan apa Mas Badu?” tanya Tari.
“SMA Mbak, seangkatan Mbak kayaknya, karena kalau kuliah, saya sekarang semester 4 juga.”
“Oooo… Mas Badu bisa administrasi ga?’ Tanya Tari lagi.
“Dikit-dikit bisa Mbak, dulu saya ambil IPS, belajar akuntansi gitu …”
“Gini deh, aku cobain ke Papa ku ya, siapa tahu ada lowongan di kantornya, mudah-mudahan rejeki Mas Badu.” Ucap Tari seraya tersenyum. Mata Badu terbelak…
“Bener Mbak ?”
“Iya, saya akan bicara nanti malam. Insya Allah besok saya kasih kabar ya.”
“Iya iya Mbak … makasih sebelumnya.”
Tari tersenyum, Badu gembira dengan pembicaraan itu. Aku turut berdoa semoga benar-benar menjadi rejeki Badu.
“Mas Fadli, abis ini ada acara lagi ga?”
“Gak ada, kenapa sayang?”
“Ada yang ingin Tari  bicarakan nanti.”
“Ok, nanti sekalian Mas antarkan Tari pulang ya, ga bawa kendaraan kan?” tanyaku. Tari menggeleng. Sebentar … ada yang aneh dari kilatan mata Tari, dan Tari tidak pernah berbicara khusus dengan meminta waktu seperti ini. Hatiku bertanya-tanya, ada apa gerangan ?
Acara makan siang pun selesai, kami berpisah dengan Badu di pelataran parkir. Cuaca masih panas, kupasang AC mobil di angka 2 masih belum mempan menahan panas di luar sana. Tari menekan tombol play CD di depannya.
“CD nya masih yang kemarin kan ?” tanyanya lembut.
“Masih, itu kan lagu Tari, Mas suka, kalau Tari ga di samping Mas, terus denger lagu itu, seolah Tari ada di samping Mas.” ledekku
“Gombal banget ya hari ini.” Jawab Tari seraya mencubit tangan.  Aku meringis .. “kurang kenceeeeeeng.”
“Kita ke daerah Dago aja ya, ngadem dikit.” kataku. Tari mengangguk.
Kuparkir mobil ku di halaman sebuah café kecil di daerah Dago atas. Udara memang lebih sejuk di sini, anginnya masih terasa dingin. Suasana café tidak begitu ramai, mungkin karena waktu makan siang sudah lewat, pas rasanya memilih tempat ini untuk mendengar cerita Tari.
Kami duduk di kursi teras belakang, tanaman-tanaman hijau yang tertanam di dinding-dinding menambah asri suasana, gemericik kolam ikan kecil seolah nada lagu yang terdengar secara teratur. Sebagai seorang arsitek pikiranku seolah merancang rumah yang aku idamkan, dengan design khusus untuk kami nanti. Aku tersenyum.
“Kenapa, Mas?”
“Mas sedang membayangkan rumah kita nanti, Tari. Mas ingin ada teras belakang seperti ini.” Jawabku. Tari terdiam.
“Coba dengarkan suara air itu .. ada air terjun kecil yang memberikan suara khusus pada saat airnya jatuh ke kolam.” Tak kudengar komentar Tari,  Aku palingkan kepalaku ke arah Tari, Tari tidak mengikuti apa yang aku sampaikan, sepertinya. Jari jemarinya saling mempermainkan satu dengan yang lainnya, mukanya tertunduk, seolah mengikuti jari jemari.
“Tari, ada apa, Sayang ?.” tanyaku.
“Mas pesankan minuman ya…” Tari mengangguk.
Kupanggil waitress dan kupesan es kelapa muda kesukaan Tari. Aku duduk di samping Tari, kuusap bahunya pelan, rambut sebahunya menutupi pipi kanannya. Kusibak rambutnya, kepalanya bergerak pelan, menatap ke arahku, lekat. Ada sedikit aneh pada tatapannya, tidak ada keceriaan, hampa, dan jujur, tidak bisa aku baca.
“Bicaralah Tari, jangan membuat Mas bingung.” kataku pelan. Tangan kecilnya meraih jemariku, dikecupnya lembut, terasa ada yang basah ditanganku. Aku tersentak, Tari menangis.
“Mas, Tari tidak mau menyakiti Mas, membuat kecewa Mas, menghapuskan harapan Mas tentang sebuah keluarga dan anak-anak. Harapan itu begitu indah buat Tari.” Tari terisak, bahunya bergerak pelan.
“Sejauh ini Tari tidak pernah mengecewakan Mas, Mas justru merasa bahagia bisa melewati hari-hari bersama Tari, dimana pada saat Mas memerlukan dukungan penuh dari orang-orang yang Mas sayangi selama ini, Tari selalu hadir memberikan support. Perjalanan kita masih panjang Tari, harapan-harapan itu kita bangun dengan harapan bisa segera terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Semua keluarga sudah mengetahui dan menyetujui hubungan kita, tinggal kita bersama-sama menjaga dan mewujudkannya.” Kurengkuh Tari dengan lembut, tanganku membelai rambutnya, masih terasa tetesan air mata di bahuku. Aku bahagia memiliki Tari.
“Mas ingat ketika kita bicara tentang anak-anak ? Kita tidak usah menunda kehamilan, dan kita ingin memiliki dua anak saja, agar kita bisa  mendidik lahir dan batin mereka dengan lebih fokus .” Aku mengangguk, pikiranku terbang mengingat pembicaraan itu, kami dengan bahagia membayangkan anak-anak kami kelak. Di satu sisi, sekarang aku tidak mengerti arah pembicaraan Tari.
“Mas, seharusnya aku bicara sebelumnya tentang ini.”
“Bicara tentang apa ?”
Tangis Tari meledak. Aku semakin bingung.
“Tentang  anak-anak.” Jawabnya lirih.
“Maksudnya ?” Aku penasaran. Tari terdiam, pandangannya kosong, hanya isak tangisnya yang terdengar.
“Mas, aku tidak mungkin memiliki anak.” Pelan sekali jawaban Tari, nyaris tak terdengar, aku minta dia mengulangnya.
“Tari tidak mungkin memiliki anak.”
Aku tersentak kaget. Kuangkat mukanya, air matanya masih mengalir deras, aku mengambil tissue dan menyekanya lembut.
“Ada apa, Tari ? Kenapa bicara seperti itu?”
“Sebenarnya Tari ingin bicara pada Mas tiga Bulan yang lalu, di saat Mas tengah mempersiapkan ujian akhir. Tapi Tari tidak mau mengganggu Mas dengan cerita ini.”
“Atas dasar apa Tari punya kesimpulan bahwa Tari tidak bisa punya anak?” Tangisnya sedikit mereda, kukecup jemarinya. “Bicaralah.”
“Bulan Januari kemarin, Tari sempat di rumah sakit, Mas ingat ?” tanyanya. Aku mengangguk, ya aku ingat, sekitar seminggu Tari di rumah sakit, menurut informasi dari Tari dan mamanya, Tari tekena sinus, dan setiap bulan berikutnya ada kunjungan rutin ke sana.
“Awal tahun itu, dokter mendiagnosa, bahwa Tari terkena kanker ovarium.”  Aku tersentak kaget, astagfirullahaladzim… Telunjuk tari menahan mulutku ketika aku mencoba untuk memotong.
“Dengar dulu. Itu masih diagnosa. Mama harus mencari second opinion dari dokter-dokter lain, termasuk ke Elizabeth bulan April lalu.” Ya, Tari sempat izin ke Singapura bersama keluarganya untuk berlibur.
“Disanalah diagnosa itu diputuskan, bahwa Tari positif Kanker Ovarium stadium 3.” Suara tangisnya kembali terdengar. Aku tidak bisa berkata apa-apa, tanganku memeluknya erat, dan membiarkan Tari menangis dibahuku. Mataku berkaca-kaca, pikiranku kalut. Aku paham sekali resiko apa yang harus ditanggung Tari untuk tahap selanjutnya. Kutahan emosiku agar tidak meledak disana. Aku tidak mau membuat Tari semakin sedih, ego menguasaiku untuk bisa mengambil tindakan dalam kondisi ini. Aku memang mengharapkan ada anak-anak yang akan melanjutkan  penerus keluarga, aku memang mengharapkan Tari bisa memberikan semuanya. Dengan kondisi ini, aku paham, paham sekali. Aku sangat mencintai dan menyayangi Tari. Aku tidak mau kehilangan Tari hanya karena ini, dan aku tidak akan melepaskan Tari. Biar aku jalani kehidupan kami apa adanya dengan optimis dan mukjizat dari Allah Swt.
Ternyata aku tidak bisa menahan tangis lebih lanjut. Pelukan bertambah erat. Aku tak kuasa menahannya. Tari mengelus rambutku, halus, halus sekali.
“Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa mewujudkan salah satu harapan indah kita.” Aku masih terdiam. Kulepas pelukan, kutatap matanya lekat-lekat, bibirnya bergetar.
“Tari, kita masih punya banyak kesempatan, dan kesempatan itu bisa kita raih dan menjalaninya bersama. Kita sama-sama berdoa dan ikhtiar, jangan putus asa. Mari kita lalui bersama, tenangkan pikiran.”
“Mas, Tari tahu banget apa yang keluarga Mas harapkan. Mas sebagai anak satu-satunya adalah tumpuan keluarga terutama untuk meneruskan keturunan kelak,  dan itu tidak bisa Tari berikan kepada jika Mas menikah dengan Tari. Tante dan Om pasti sangat kecewa, Tari sayang pada Tante dan Om, Tari tidak mau mengecewakan mereka.”
“Jangan bicara seperti itu Tari, kita akan mencari jalan keluarnya, kita akan bicara kepada Bapak dan Ibu, apapun hasilnya pasti ada jalan keluarnya.”
“Mas, tugas Mas adalah membahagiakan keluarga, terutama Om dan Tante, apa yang telah mereka berikan kepada Mas, saat itulah waktunya Mas untuk beribadah memberikan yang terbaik kepada Mereka.”
“Beberapa bulan ini Tari dan keluarga sudah bicarakan tentang hubungan kita. Papa dan Mama menyerahkan semuanya kepada Tari. Tari tidak sanggup meneruskan hubungan kita.”
“Tari !!!” bentakku, tanganku mengguncang bahunya keras, kaku.
“Apa yang Tari bicarakan ? Tidak semudah itu memutuskan hubungan tanpa ada upaya terlebih dahulu. Mari kita bicarakan dengan keluarga. Jangan punya pikiran seperti itu.”
“Tari sudah memikirkannya sejak lama, Mas. Hari-hari Tari terasa hampa jika Tari ingat ini. Dan masa keputusan sudah tiba, Tari harus dioperasi untuk pengangkatan Rahim bulan depan. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Tari lagi Mas. Tolong mengerti Tari. Tari sangat mencintai dan menyayangi Mas, Tari tidak mau mengganggu masa depan Mas.” Isakannya kembali terdengar.  Suaranya melemah seolah tanpa harapan.
Aku pilu. Beban seolah menghimpitku. Berat. Sebagai anak-satu-satunya memang ada doktrin tak tertulis untuk meneruskan generasi berikutnya. Kenapa harus terjadi kepada Tari ? Gadis yang selama ini aku harapkan, cintai dan telah sama-sama membangun rencana-rencana indah dan sekarang seakan terhempas karena diagnosa yang harus dieksekusi yang menyebabkan hilangnya harapan seorang wanita untuk menjadi seorang ibu.
“Kita coba cari pengobatan alternatif sebelum operasi itu dilakukan. Masih ada jalan lain. Kita berdoa dan ikhtiar Tari, tolong jangan putus asa.”
“Sejak di diagnosa penyakit ini, Tari sudah mencoba berobat dengan berbagai alterntif Mas, dan mereka sudah menyerah, tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menghidari semakin menjalar, karena semakin hari semakin melebar, mereka pun menganjrkan untuk menjalani operasi. “
“Ini jalan hidup Tari, Mas. Harus Tari hadapi dan jalani. Tari tidak mau menjadi  beban Mas, di saat Mas sedang merancang masa depan yang akan Mas jalani. Tari sudah putuskan untuk pergi dari Mas, dari kehidupan Mas, dan Tari tidak akan mengganggu Mas. “
“Tari, please jangan bicara seperti itu.”
“Tari harus pergi Mas.. Maafkan Tari.” tangannya meraih bahuku, memelukku, terasa hangat, bibirnya mengecup kening, mata, dan bibirku, dingin. Aku menangis. Pelukannya merenggang, badannya berdiri tegak, tangannya meraih tas kuliah yang tergeletak di hadapannya.
“Tari tidak akan pernah bisa melupakan Mas dan menggantikan Mas dengan yang lain.”
Jemari mungil itu, kukecup, kuucap lirih penuh harap… “Tari tidak akan meninggalkan, Mas.”
“Maafkan Tari, Mas, Tari harus pergi.” Badannya berbalik, berlari ke arah pintu keluar.
“T A R I !!!!” teriakku. Kukeluarkan dompet dan mengeluarkan selembar seratus ribuan, aku tak tahu berapa yang harus kubayar. Dengan berlari aku kejar Tari, di luar sana, kulihat Tari melambaikan tangan di dalam Taxi.
Aku terpaku. Tak ada kata-kata lagi yang bisa aku ucap.

*****
         Semua kejadian dan pembicaraan lima  tahun lalu itu, masih teringat hingga hari ini. Sejak itu, tak ada pertemuan lagi dengan Tari, di rumah, di kampus dan tempat lain. Tari seolah menghilang begitu saja. Email-email yang aku kirimkan, tidak pernah ada balasan, telepon tidak terdaftar, dan kontak blackberry lenyap. Dalam kurun enam bulan, tiga  kali aku bertemu dan berbicara dengan ke dua orang tua Tari, berharap mereka bisa membantuku untuk mempertemukan aku dengan Tari. Tante Fatma, Mama Tari, pada pertemuan pertama setelah kejadian itu, menangis menceritakan apa yang terjadi pada Tari, dan mohon maaf.
         Bapak dan Ibu menangis ketika aku ceritakan apa yang menimpa Tari dan apa yang Tari lakukan padaku. Mereka paham atas tindakan Tari, di satu sisi, ada satu penyesalan yang diungkapkan kepadaku, kenapa Tari tidak berusaha bersama-sama untuk menyelesaikan ini. Itu sebenarnya yang ingin aku lakukan juga …
Tak ada yang bisa aku korek untuk mengetahui keberadaan Tari, benar-benar hilang. Hingga aku ingat, sebulan dari kejadian itu yang rencananya operasi pengangkatan rahim Tari akan dilaksanakan, aku cek rumah sakit besar di Bandung, Jakarta, dan termasuk Elizabeth Hospital di Singapura. Namanya tidak pernah tercantum untuk agenda operasi, hanya Record Medis yang bisa menunjukan bahwa Tari pernah berobat di sana.
Aku benar-benar patah. Enam bulan kulakukan hanya mencari Tari dan Tari. Kondisi ini membuat Bapak dan Ibu khawatir dan mencoba mencari jalan keluar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim  aku ke salah satu Universitas di Amerika untuk melanjutkan kuliah di sana. Satu tahun pertama, aku masih mencoba menghubungi beberapa teman, termasuk Badu untuk mencari Tari. Badu sudah kerja di perusahaan Papa Tari, sesuai janji Tari, aku turut senang, tapi itu pun tidak membantu keberadaan Tari.
Waktu berjalan hingga tahun ketiga aku kuliah di Amerika. Tentang Tari, tidak pernah hilang dalam ingatanku, namun untuk mencarinya, jujur, aku sudah menyerah. Kadang masih ada harapan untuk bisa mengetahui keberadaannya, tapi tidak seperti dulu. Mungkin Tari sudah mendapatkan apa yang diharapkannya sekarang, bisa hidup lebih tenang dengan kondisinya. Doaku untuk Tari, selalu ada di antara doa-doaku. Kadang aku berpikir, apakah Tari pun memikirkan aku seperti aku memikirkannya ?
Entahlah ….!
Dan tadi malam, pertemuanku dengan Anti, telah membuka semua cerita, luka dan kenanganku tentang Tari. Apakah Lestari Andayani yang disebut Anti adalah Tari yang aku kenal ????

Bersambung …..