Langkahku gontai menuruni
tangga pesawat, rintik hujan mulai turun membasahi ujung tangga. Selama dua
hari di Bali, pikiranku sedikit terganggu mengingat pembicaraanku dengan Lisa.
Sampai hari ini, Lisa masih menghubungiku dengan permasalahan yang sama, tapi
untunglah kelihatannya sudah mulai bisa berpikiran jernih. Justru aku yang belum
bisa berpikiran jernih untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Rara …!” satu
suara membuyarkan pikiranku. Aku mencari sumber suara yang sangat aku kenal,
halus dan sedikit sexy, upss….
“Hai, lama
nunggunya ya, maaf ga sempat bilang kalau delay hampir setengah jam.” jawabku.
Sosok tegap itu sudah di depanku, dan tangannya menarikku dalam pelukan
hangatnya. Sampai detik ini, aku masih merasakan kenyamanan pelukannya.
“Basah begini, ga
minta petugas untuk siapin payung.” gerutunya. Aku tertawa, “yang lain juga
kehujanan, masa aku aja yang minta.”
Kami melangkah di
antara hujan yang mulai reda, tangannya terulur menarikku untuk lebih cepat
berjalan. “Hujan begini bisa lebih cepat buat sakit… “ katanya. Dengan sedikit
meringis, kuikuti langkahnya menuju mobil yang tak jauh dari terminal. Badanku
memang terasa dingin, tanganku mencari tissue di kursi belakang, AC mobil mulai
dihangatkan, kami melaju ke luar bandara Soekarno Hatta.
“Kita makan dulu
ya.” ajaknya. Aku mengangguk.
Anganku mulai
kemana-mana. Berpikir apakah harus kuceritakan tentang Lisa kepada Dave ? Apakah
ini waktu yang tepat untuk bicara ? Jujur, sebenarnya aku masih sangat penat,
tapi aku tidak bisa menunda untuk
berbicara dengan Dave. Tapi apakah aku bisa menerima semua penjelasan dan
akibatnya ? Bingung, bener-bener bingung.
“Sayang, kok diam
begitu ? Gimana acara kemarin ? Sempet
jalan-jalan di sana ?
“Enggak apa-apa…
dingin. Acara oke, meskipun sedikit boring,
dan seperti biasa, materinya membosankan karena itu itu saja. Kemarin
sempat dinner, after that aku jalan ama Mona dan Frans, cari angin berbau pantai.”
kataku. Kupalingkan mukaku ke arah kaca kiri yang tertutup embun, suaraku
sedikit datar.
“Anything oke ? tanyanya lagi.
Aku tersenyum kecil. “Kok nanyanya gitu sih…”
balasku.
“Agak aneh hari
ini. Oya kemarin aku sudah bicara dengan Mama untuk rencana kita, Mama mau
mengajakmu makan siang Sabtu depan.” Nafasku tertahan.
“Sedikit cape …
iya, Mama sempat BBM kemarin, aku atur untuk acara itu, siapa saja yang ikut ?”
“Belum tahu, ga
usah rame-rame, kita ambil yang inti saja.”
Sepertinya, memang
saat ini adalah waktu yang terbaik untuk bicara dengan Dave, sebelum hari
Sabtu. Masih ada sisa waktu tiga hari agar Dave bisa berpikir.
“Yuks … jangan
melamun saja.”
Kugandeng lengan
Dave untuk menetralkan suasana, tapi masih tetap saja aku merasa “dingin”. Meja di sudut taman sepertinya
cocok untuk bicara, tamu restoran belum begitu banyak, suara musik lembut bisa
sedikit menahan emosiku yang mungkin sedikit naik nanti. Pusing sendiri
memikirkan itu.
“Pesan apa Dave,
sepertinya yang berkuah oke ya ..” tanyaku.
“Aku sop iga dan
wedang jahe.”
“Kalau gitu aku
pesan soto betawi dan teh hangat.” sambil menuliskan pesanan di secarik kertas
warna kuning. Kupanggil pelayan dan kuserahan pesanannya.
“Ra ..”
“Yups …”
“Ada yang ingin
aku ceritakan padamu.”
Mata kami bertemu.
Ada sedikit keresahan yang terpancar dari matanya. Batinku bertanya-tanya,
apakah sama dengan apa yang ingin aku bicarakan ?
“Ada apa ?”
tanyaku. Pelan, menenangkan batinku.
“Mungkin akan membuatmu
kaget dan marah.”
Keningku berkerut.
“kok bisa ?”
“Semua salahku,
aku tidak jujur.”
“Coba ceritakan.”
Berdebar hebat jantungku, dudukku tak tenang, jemariku saling bermain.
“Lisa sudah bicara
semuanya kemarin. Dia menghubungimu beberapa hari yang lalu, dan bercerita
tentang kami.”
Ternyata cukup gentle juga ….
“Seharusnya aku
bicara padamu jauh-jauh hari.”
“Itu tak mungkin
kamu lakukan, Dave. Dan kalau Lisa tak bicara tentang pertemuanku dengannya,
aku ragu kamu pun akan bicara padaku.” Jawabku tajam.
“Tidak begitu Ra,
aku memang harus bicara kepadamu.”
“Kapan ? Setelah
semuanya terbuka ? Tak ada sedikit pun dalam pikiranku kalau kamu ada hubungan
dengan Lisa, dan posisinya, aku hadir setelah Lisa. Kamu tahu sedekat apa aku
dengan dia, teganya.”
“Rara, tidak
begitu kejadiannya.”
“Apakah yang
disampaikan Lisa kepadaku bohong ? Dua tahun bukan waktu yang pendek untuk
menjalani hubungan tanpa status seperti itu, kamu benar-benar telah
mempermainkan dia.”
“Rara, dalam satu hubungan,
masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk mentreat, begitu juga aku dengan Lisa. Lisa terlalu berpikiran
jauh, banyak waktu bersama dengannya, tak pernah kami bicara tentang komitmen apapun. Dia wanita
modern, berkarir, sukses, dan supel, paham sekali dengan ciri-ciri hubungan
kami.”
“Tidak semua
wanita modern paham dan mau melakukan hubungan macam itu. Lihat-lihat dulu lah,
jangan mengeneralisasi. Kamu cukup pintar
juga untuk memilih siapa yang ingin kamu kencani.” suaraku mulai meninggi.
Hatiku mulai terasa sakit.
Pelayan datang
dengan pesanan kami. Pembicaraan kami terhenti, mulutku terkunci, tak ada
selera makan lagi. Dave merapikan piring-piring di meja, menatapkau … “makan
dulu.” Kuraih sendok garpu tanpa kata, soto betawi yang biasanya bisa menambah
nafsu makan, sekarang seperti satu mangkuk air putih dengan daging di dalamnya,
tanpa rasa. Hening. Dave pun sepertinya merasakan hal yang sama, suapannya lambat,
sesekali matanya menatapku, sesekali tangannya menyentuh jariku. Aku tak
bergeming.
Inilah jawaban
yang aku tunggu sejak dua hari yang lalu. Kami memang tidak pernah membicarakan
hal-hal yang penting melalui telepon, semua diselesaikan dengan bertemu dan
berdiskusi. Sengaja tak kuusik tentang pertemuanku dengan Lisa, aku butuh
konsentrasi di Bali. Selama dua hari itu pun, aku tidak mempersiapkan
pertanyaan dan jawaban, ataupun kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi
jika kami berbicara tentang Lisa.
Makanan pun
tersisa, kuteguk teh yang mulai hangat. Kami masih terdiam, sampai kapan ?
“Apa yang harus
kuceritakan tentang kita kepada Lisa ? Kenapa harus Lisa ? Kenapa bukan
teman-teman wanitamu yang lain ? Aku tak bisa membayangkan bagaimana hubunganku
dengan Lisa selanjutnya.”
“Lisa sudah
mengetahui hubunganku denganmu sejak kita berhubungan dan Lisa sudah mengetahui
bahwa kita akan menikah.”
“WHAAAT!!” kataku
setengah berteriak. Nafasku rasanya terhenti. Aku benar-benar tidak mengerti. Aku
mengenal Dave pada saat dia masih menikah dengan Mbak Anggi, dan kami mulai
berhubungan dengan Dave tiga tahun sejak perceraiannya. Hubunganku dengan Mbak
Anggie baik, dan Mbak Anggie tahu tentang hubungan kami. Lisa dan Dave pernah bekerja di satu kantor yang sama,
sampai akhirnya Dave pindah ke perusahaan lain dan aku pun tahu mereka masih
berhubungan. Tak pernah sedikitpun aku berpkir di antara mereka ada hubungan
khusus.
Selintas dalam
benakku, apakah aku atau lisa yang dikhianati.
Memang benar, di antara
aku, Lisa, dan Dave tidak pernah bertemu dalam waktu yang sama, dan sampai
kejadian kemarin, aku tidak pernah bercerita tentang Dave kepada Lisa. Tapi
Lisa mengetahui hubungan kami ? Apakah aku harus marah, malu atau senang ?
Benar-benar tidak masuk akal. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan dan
jawabanku sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
“Iya Ra, Lisa tahu
semuanya.”
“Bagaimana kamu
bisa melakukan ini, Dave ?”
“Lisa mulai
berubah sejak mengetahui hubungan kita. Dia lebih posesif dan meminta lebih. Awalnya aku ikuti, dengan
pegangan tidak melebihi batas.”
“Batas apa?”
tanyaku sinis.
“Kita sama-sama
dewasa Ra, tidak perlu aku jelaskan dengan detail. Semua terjadi antara aku dan Lisa sebelum
kamu ada, dan aku sudah menghentikan semuanya sejak aku melamarmu.”
“Bisa ?” Rasanya
krisis kepercayaan mulai melandaku, ini sangat mengganguku.
“Apa perlu kita
bertemu bertiga ?’ tanya Dave, suaranya mulai meninggi. Tak kujawab
pertanyaannya.
“Dengar Rara, Lisa
bicara tentang Causal. Dia paham
sekali tentang hubungan seperti itu. Justru aku agak aneh ketika dia
menanyakannya padamu. Aku punya masa lalu, biarkan berlalu.”
Dave termasuk populer
di kalangan owner bidang property di
Jakarta. Dia terkenal dengan kepiawainnya bernegoisasi, bersosialisasi untuk
mencapai target market perusahaan. Perusahaan-perusahaan berani membayar mahal
menculik Dave dari kantor-kantornya yang lama, sehingga pihak perusahaan harus
mempunyai komitmen yang kuat untuk menahan Dave agar tidak lari ke perusahaan
lain.
Beberapa catatan
yang kuketahui tentang masa lalu Dave. Di usia 6 tahun pernikahannya, Mbak
Anggie meminta cerai karena tidak bisa memberikan keturunan, permintaan itu
ditolak Dave, sampai akhirnya di usia 8 tahun pernikahannya, Dave menuruti
keinginan Mbak Anggie, dan mereka bercerai baik-baik. Sejak itu terdengar
cerita-cerita kehidupan pribadi Dave dengan beberapa wanita. Tahun ini, genap 4
tahun Dave bercerai.
Terbayang dalam
pikiranku, bagaimana hubungan Dave dengan wanita-wanita itu terjalin. Boleh dibilang, Dave punya
segalanya, dia bisa memilih wanita mana yang ingin dia ajak hang out, traveling, apalagi hanya untuk
lunch dan dinner, and next ? Entahlah … Tak kudengar ada
gossip tentang hubungan Dave dengan wanita secara serius, sampai akhirnya kami
menjalin hubungan dan Dave mulai memperkenalkanku kepada rekan-rekan kerja,
teman-teman, dan keluarganya sebagai calon istri.
“Rara ..”
tangannya menarik jemariku. “Bicaralah ..”
“Kesalahanku
adalah meneruskan hubungan dengan Lisa, meskipun telah ada kamu, tapi aku tidak
pernah mengkhianatimu. “Aku mengakui hubunganku dengan Lisa, tidak ada komitmen
apa-apa, sampai akhirnya Lisa menanyakan kelanjutan hubungan kami, aku jawab
apa adanya, aku tidak bisa, karena aku telah memilihmu, aku akan menikahimu” lanjutnya.
Aku masih terdiam.
Ingin rasanya aku tanyakan sejauh mana hubungan
Dave dengan Lisa ketika aku ingat bagaimana Lisa menyebut “hubungan kami
sudah terlalu jauh”, etiskah aku tanyakan ?
“Pada awal
hubungan kami, kamu juga tahu Ra, sebagai partner di perusahaan yang sama, kami
mempunyai ritme kerja yang sama, dia tipe pejuang, aku mengerti. Ada beberapa
persamaan antara aku dan dia waktu itu, kami sama-sama single, mempunyai tujuan
yang sama untuk perusahaan, dan kami punya banyak waktu untuk bersama. Hal-hal
itu yang membuat kami tambah dekat, tapi sebagai laki-laki aku punya tipe
wanita yang aku harapkan untuk menjadi istriku, dan itu bukan dia.”
“Mungkin kamu
berpikiran aku mempermainkan Lisa, untukku maybe
yes maybe not. Kenapa aku bilang tidak, dari awal kami tidak bicara tentang
seperti apa hubungan kami, tidak ada tuntutan antara satu dengan yang lain, masing-masing
punyak hak untuk jalan dengan yang lain tanpa persetujuan satu dengan yang
lain, masing-masing tidak punya kewajiban untuk melaporkan atau
menginformasikan apa yang dilakukan masing-masing, kami jalan pada saat ada kesempatan,
tidak ada yang direncanakan, selama itu nyaman kami tidak pernah menutut lebih
dan kami tidak masuk terlalu dalam ke urusan pribadi, misalnya anak atau
keluarga. That’s all.
Ow seperti itu ya
hubungannya, benar secara teori yang aku berikan kepada Lisa … seperti angina lalu.
“Kusebut Maybe yes, karena di antara kami ada
yang bermain perasaan. Itu yang membuat Lisa bertanya kelanjutan hubungan kami.
Aku tidak membela diri, tapi di satu sisi, aku kembali kepada pembicaraan awal,
aku tidak berjanji apapun, dan tidak bicara tentang sayang atau cinta padanya,
selayaknya seperti sepasang kekasih. Apa yang aku sampaikan kepada Lisa bahwa
aku telah mempunyai seorang kekasih, yaitu kamu, ditanggapi Lisa biasa saja,
tidak terlihat kaget atau ada penyesalan, namun sejak itu sifatnya menjadi
posesif, seringkali dia menanyakan keberadaanku dimana. Jujur itu mulai
mengangguku. Batas yang aku berikan kepadanya sudah cukup jelas sejak aku
berhubungan denganmu.”
Jam menunjukkan
21.30, cukup lama kami disini, dan aku dengan pasrah mendengar semua
pembicaraan Dave. Sampai kalimat terakhir Dave, aku masih bingung apa yang
harus aku sampaikan. Pikiranku masih bergulat, bercabang, belum pada satu titik
kesimpulan. Dengan kejadian ini, ada yang harus aku benahi dalam diri, tentang
persahanbatanku dengan Lisa, mungkin akan terjadi perubahan … Tak mungkin aku
konfirmasi tentang pembicaraan Dave kepada Lisa, sangat kekanak-kanakan
kupikir. Tapi disisi lain, aku harus bisa menghalau pikiran-pikiran jelekku
sendiri.
“Rara, aku perlu
komentarmu.”
“Tak ada yang
perlu dikomentari, yang ada adalah bagaimana aku bisa menerima ini dengan
bijak. Membayangkan hubunganmu dengan Lisa sebelum dan sesudah aku ada. Dan
memikirkan bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Lisa setelah ini.”
“Tak perlu kamu
bayangakan hubungan kami, aku lebih focus memikirkan hubunganku denganmu,
melanjutkan rencana kita, tak lebih. Aku perlu kepercayaanmu sekarang, tak ada
Lisa dalam hatiku, pikiranku, jadikan semua sebagai bagian masa lalu. Kita
hadapi bersama persoalan tentang Lisa, jangan bergerak sendiri-sendiri. Tolong
Ra, percaya aku.”
Sebenarnya aku
punya pegangan dalam hubunganku dengan Dave, yaitu keluarganya. Dua keluarga
sudah merestui hubungan kami dan sedang merencanakan pernikahan, tapi aku perlu
pegangan lain dari Dave, untuk membantuk dalam menghadapi hal ini. Sabtu depan
adalah penentuan tanggal pernikahan kami, mungkin itu.
“Dave, jujur aku
sampaikan, sebenarnya berat sekali aku mendengar cerita ini, tak pernah
terlintas dalam pikiranku tentang hubungan kalian. Tapi aku sedang mencoba memahami
apa yang telah terjadi. Bantu aku untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang
tak baik tentang hubungan kalian dan kelanjutannya. Itu yang bisa membuat aku
lebih percaya kepadamu.” Bicaraku lebih tenang, dan aku tak menyangka aku bisa
tenang.
“Ra, biarkan aku
disampingmu, agar semua prasangka itu hilang dari pikiranmu. Aku minta maaf,
aku baru bisa bicara sekarang, pada saat yang tidak tepat.” Tangannya menyentuh
pipiku, mengusapnya. Aku mengangguk pasti, dadaku sedikit lapang. Semoga
semuanya berjalan dengan lancar.
“Sudah malam,
pulang yuks…” ajakku.
Dave berjalan ke
kasir, dan membayar tagihan. Aku melangkah mendahuluinya ke pintu keluar, udara
sangat dingin.
Aku ingin cepat
pulang, ada yng ingin aku tulis …
***
Dear
Lisa,
Aku
baru pulang dari Bali tadi sore, acara disana bikin bête, materinya masih
itu-itu juga. Tapi aku sempat jalan juga sh ama Mona dan Frans nyuri-nyuri
waktu hehe … dan sekarang, aku baru sampai rumah, aku langsung tulis email ini.
Lisa
sayang, aku sudah bicara dengan Dave beberapa jam yang lalu, sesampainya aku di
Jakarta. Ada yang ingin aku sampaikan mohon maaf aku tidak memberitahumu
tentang hubunganku dengan Dave selama ini. Tadinya aku pikir akan jadi surprise
buatmu jelang pernikahanku nanti, tapi justru aku yang dapat surprise :-D Aku
baru bisa mengirim email ini, agar kita tidak miskomunikasi.
Aku
menghargai hubungan kalian sebagai bagian masa lalu dari masing-masing, aku
mengerti atas apa yang terjadi. Tidak ada yang bisa merubah persahabatan dan
persaudaraan antara kita.
Sun
sayang.
Rara
Jariku hampir
menyentuh tombol sent di laptopku ketika suara dering pesan terdengar. Dering
itu tidak aku kenal. Aku penasaran. Dua menit kemudian terdengar lagi, dua
kali. Sumber bunyi datang dari dekat tas kerjaku. Kulihat iphone 5 tergeletak
di dalamnya, lho ini kan handphone Dave, kok bisa ada di sini ? Keningku berkerut, kok
bisa ? Duh, pasti terbawa sewaktu aku turun dari mobil, kupikir handphoneku. Suara pesan terdengar tiga
kali berturut-turut. Jam 11.45, pesan dari siapa ? Penting mungkin.
Kulihat layar handphone, kutekan passwordnya, kusentuh
menu BBM, message terbuka, ada beberapa pesan di sana, kubuka pesan yang paling
akhir, LISA :
“Darling, sudah bobo?”
“Aq ga bisa tidur”
“Think of You a
lot.”
“I love Casual,
never ending between us, I love how you treat our relation”
“Miss you, nite-nite
..:-*
Badanku tersentak, tanganku bergetar.
Kutarik nafas dalam-dalam, kuucap satu kata “CASUAL” … Kubuka laptop, kubaca ulang
email untuk Lisa, kusorot mouse ke arah TRASH. Done …. Mampukah menghadapinya ????
Bersambung
#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk
aku urai menjadi sebuah cerita.
0 comments:
Post a Comment