Langkahku benar-benar gontai memasuki lobby RS Bintaro, gamang. Udara
dinginnya AC mulai menyelimuti ketika
aku melewati lobby, sedikit segar. Jujur, pikiranku kalut, hampir tak focus. Beberapa
suara terdengar memanggilku, kepalaku menoleh kiri kanan mencari sumber suara.
Kucari ruang ICU yang pasti berkumpul di sana. Benar, suara-suara itu datang
dari arah ruang ICU. Jantungku berdegup kencang, hampir semua keluarga inti dan
beberapa rekan senior berkumpul disana. Aku mencoba tersenyum dengan sambutan
dan menjawab singkat beberapa pertanyaan-pertanyaan.
“Bayu, Ibu mana ?” Bayu melepaskan pelukannya. Matanya sembab, tanpa
cahaya.
“Ibu di dalam Mbak, Bapak baru sadar.”
“Alhamdulillah.”
Mataku mencari-cari sosok Mbak Desi. Perasaan berdosaku seakan
menggunung. Tak kulihat di sana… Ingin
aku bertanya, tapi rasanya aneh, karena selama ini hubunganku dengan Mbak Desi
tidak begitu dekat seperti dengan yang lain. Satu tangan terulur dibahuku, ini
gaya yang khas dan sangat aku kenali.
“Hai Mas, apa kabar, makasih udah kirim Ipung jemput.” Angga tersenyum
dan mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya pelan.
“Sama-sama Mbak.” Angga menatapku lekat. Aku menunduk dan berjalan ke
arah ruangan, Angga menjajariku dengan cepat.
“Mbak sakit?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Agak sedikit cape aja Mas. Baru datang?” balikku bertanya.
“Iya baru kelar, langsung ke sini.” Angga membuka pintu ruangan pelan,
dan mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu.
Aku melihat Bu Bambang berdiri di tepi tempat tidur, aku menghampir
dan memeluknya dengan hangat. Bu Bambang mencium pipiku, dan menatapku.
“Kamu pucat Tiara, sakit?”
“Tidak Bu, Tiara baik-baik saja.”
Pak Bambang memanggilku pelan, aku segera menghampirnya. Kucium tangan
dan keningnya. Mataku berkaca-kaca dan tersenyum.
“Terima kasih sudah datang Tiara ...” suara itu benar-benar membuatku
menangis.
“Iya Bapak, Tiara datang buat Bapak dan keluarga. Bapak akan
baik-baik.” tangan tua itu mengelus jemariku.
“Saya minta waktumu seminggu disini, ada beberapa yang harus
diselesaikan.” Aku mengangguk dan tersenyum.
“Bapak istirahat dulu ya … biar cepat pindah ke ruangan.” Pak Bambang
tersenyum. Aku dan Bu Bambang meninggalkan ruangan, Angga masih berdiri di
samping tempat tidur.
“Analisa dokter apa, Bu?”
“Belum terdeteksi, namun diperkirakan dari ginjalnya. Tiara nginap
dimana ?”
“Belum tahu, mungkin dekat-dekat sini.”
“Iya, nanti biar Widi atau Bayu yang atur, besok tolong ke kantor,
ketemu Pak Suheli di sana.”
“Baik Bu.”
Aku segera bergabung dengan keluarga yang berkumpul di ruang tunggu.
Sebenarnya aku senang berkumpul seperti ini, tapi tidak di sini dan tidak dalam
kondisi ini. Suasana hangat masih
terasa, namun mata-mata duka masih terlihat dengan jelas. Widi memberi kode
untuk segera menghampirnya. Aku berjalan cepat dengan senyum yang aku harapkan
bisa benar-benar tersenyum.
“Tadi aku ke administrasi, bingung aku ditanya mau pake asuransi apa,
tolong dibantu nanti, sekalian Pak Suheli minta Tiara ke kantor besok.”
“Siap Mas, nanti aku kordinasi dengan admin. Pak Suheli tentang apa ya
Mas kira-kira.”
“Bapak minta urus peralihan perusahaan. Sebenarnya dari dua minggu
yang lalu harus sudah diurus, tapi kelihatannya ada beberapa yang perlu
dipertimbangkan.”
Kepalaku mengangguk-angguk kecil. Iya, Pak Bambang sempat bicara
tentang ini, ada beberapa hal prinsip yang memang harus dibicarakan dengan
pemilik saham lainnya, dan memang hanya aku yang tahu untuk mengatasinya.
“Aku siapin hotelnya Tiara dekat-dekat sini, mau berapa lama atur
aja.”
Aku menangguk. Bunyi message di handphone berdering kecil. Aku segera
membuka pesan, “Aku sudah book Novotel. Ketemu aku di kantin, sekarang.”
Kusimpan handphone di saku mantelku.
“Aku udah pesan di Novotel.”
“Ok, billnya kirim ke kantor nanti.”
“Aku izin ke kantin dulu Mas, belum makan siang ni.”
“O iyaaaa, sorry sorry perlu aku temenin?” tanyanya. Aku menggeleng
cepat, “ga enak Mas, Mas diperlukan disini. Aku bentar kok.’’ Widi
membiarkanku pergi.