Saturday 7 May 2016

Masih Ada Langit Cerah



            Kakiku melangkah cepat, bahkan nyaris berlari kecil menurutku, memasuki aula dan menuju meja penerima tamu. Lalu lalang gadis-gadis cantik berseragam khusus meyakiniku bahwa aku tidak salah masuk ruangan. Di gedung ini ada tiga acara, sehingga aku harus memperhatikan dengan jelas apakah aku datang ke tempat yang tepat.
            “Vera!” satu teriakan di tengah alunan suara musik membuatku mencari sumber suara.  Pandanganku menemukan satu sosok wajah tidak banyak berubah, tetap cantik di usia matang. 
            “Riska!” aku membalas teriakannya. Sekonyong-konyong aku melangkah meninggalkan buku tamu yang seharusnya aku isi.  Tawa meledak di antara kami dengan pelukan yang saling mendekap. 
            “Kenapa baru datang?” tanyanya.  Aku tersenyum.
            “Seperti dulu, aku tidak rajin untuk datang ke acara terlalu dini.” candaku. “Sebentar aku isi dulu buku tamu, biar aku dapat jatah makan siang ya.” Kutuliskan namaku dengan lengkap, dan mencantumkan nomor telepon serta  membubuhi tanda tangan. Asti nama gadis penerima tamu itu, menyerahkan satu souvenir dan memandangku dengan menyelidik. Aku tersenyum. “Ada yang salah Mbak ?” tanyaku 
            “Ini Mbak Vera, pengarang buku?” tanyanya ragu.
            “Ya.” Jawabku. Semburat keceriaan sontak terlihat di raut wajah mungilnya. Tangannya mengambil sesuatu dari bawah meja, dan menyerahkannya kepadaku. “Boleh saya minta tanda tangan Mbak?”  Aku tersenyum, “Cerita Sahabat”, buku terakhirku, berada di tangannya, kububuhkan tandatangan dengan sebaris kalimat “Asti, thanks for reading my book, Love, Vera Justine.”  
            Ucapan terima kasihnya meluncur dengan cepat, aku tersenyum, meninggalkan Asti yang terus mendekap bukunya. 
            “Banyak yang datang Ris?” tanyaku. Kujejeri langkah Riska dengan cepat. Kedatanganku setelah acara makan siang, memang sangat terlambat. Mungkin ini jelang acara terakhir, tapi daripada aku tidak memenuhi undangan ini, terlambat lebih baik.
            “Lumayan. Dan kamu pasti akan surprise dengan teman-teman kita.”
            “Kenapa ? Banyak berubah ?” jawabku seraya tertawa. 
            “Faktor U ngaruh banget” kilahnya. Aku tertawa.
            Riska membuka pintu aula perlahan, mengintip ke dalam untuk melihat suasana.  
            “Ayo bisiknya.” Aku melongok ke dalam. Ampun, pintu aula ini menjadi pintu masuk utama dengan posisi di sebelah stage. Aku melihat para undangan duduk dengan rapi, dan semua pandangan terfokus pada acara yang sedang berlangsung. Aku yakin, siapapun yang keluar masuk dari pintu ini, pasti akan mengganggu konsentrasi mereka, melihat yang masuk, maupun yang keluar.
            “Ga ada jalan lain Ris? Gw bakalan jadi perhatian kalau lewat pintu ini.” 
            “Ada lewat taman, tapi jauh.  Sudahlah lewat sini aja, sekali-kali jadi perhatian di sini ga apa-apa.” ledeknya. 
            Aku enggan lewat jalan ini. Ada yang aku hindari dari pertemuan ini, aku tidak mampu menerima satu tatapan dari salah satu undangan ini, itu menjadi alasan mengapa aku datang terlambat. 
            “Bentar Ris, aku mau lihat daftar undangan.” Riska memandangku dengan tanda tanya.  “Mencari seseorang ?”  tanyanya dengan penuh selidik. Aku mengangguk. 
            “Dia ?” tanya Riska lagi. 
            “Iya.” Aku mengangguk pelan.
            “Aku tidak melihatnya dari tadi, atau mungkin di tidak datang.”
            Aku menghela nafas lega. 
            “Itu  yang membuatmu tidak mau lewat pintu ini.?” Aku menggeleng dengan cepat, menyembunyikan semburat merah dipipi. 
            Pintu aula terbuka sedikit, Riska masuk perlahan dan menarikku masuk. Benar, semua mata memandang ke arah kami. Terdengar tepuk tangan dan sorakan kecil memanggil namaku. Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan berjalan ke meja kosong terdekat.        
            “Gila Ris, ini yang aku hindari, ga enak mereka semua melihatku datang begini telat.”
            Riska tertawa senang. “Teman-teman menunggu dari tadi, sempat kami telepon ke asistenmu untuk konfirmasi, syukurlah kamu bisa datang. Mau makan dulu ?” 
            “Aku sempat makan tadi. Minum aja.”
            Riska segera beranjak menuju stand juice. Mataku memperhatikan sekeliling, masih aku ingat beberapa wajah yang aku kenal, 50% aku harus berusaha untuk mengingatnya. Lambaian-lambaian tangan kubalas ketika tatap kami bertemu, aku tersenyum, dan memberi kode aku akan menghampiri mereka.  
            “Ver, abis sesi ini, kamu isi acara ya.”
            Aku terbelak kaget. 
            “Acara apa ?” 
            “Mestinya kamu di jam 11, tadi rolling dengan yang lain.”
            Alisku terpaut, heran. “Kayaknya aku ga lihat aku mesti isi acara.” 
            “last revision, kamu isi acara.”
            “Aku harus bicara apa ?”
            “Buku terakhirmu.”
            “Whaat?? Apa hubungannya dengan acara ini?” Aku sedikit gusar.            
            “Mereka suka, itu pun masukan dari teman-teman.” 
            Aku termenung sesaat. Di sini aku sama dengan teman-teman lain, temu kangen dan silaturahmi, bukan acara bedah buku, yang bisa menimbulkan opini dan sanggahan.  
            “Ris, please  ga usah. Aku tak mau merusak suasana jika di antara yang hadir tidak setuju dengan tulisanku, karena itu menyangkut hubungan pribadi, nanti malah jadi ga enak.”
            “Coba profesional, resikomu adalah menerima sanggahan dari siapapun dan dimana pun atas tulisanmu.”  Mataku mendelik kesal, mulutku terkunci. Kuteguk minuman dingin didepanku, hampir tersedak ketika seseorang menepuk bahuku. Satu ciuman kecil menyentuh pipiku  dari arah belakang.  Kuambil tisu dan melap sisa minuman di sudut bibir, dan menoleh kepalaku. Mataku terbuka lebar, dan hampir aku berteriak ketika ku sebut satu nama.
            “Putri ?” Aku berdiri dan merangkulnya. Sahabat kecilku ini menatapku dengan berkaca-kaca,  berapa lama kita tidak bertemu ?  
            “Vera, aku ga nyangka kamu bisa datang, dari tadi aku tunggu seperti menunggu seorang kekasih.” Senyumnya  melebar.
            “Aku sudah agendakan sejak dua bulan yang lalu, dan Alhamdulillah aku bisa. Duduk yuk” Aku menarik tas di atas kursi  dan menuntun Putri duduk di sampingku. 
            “Gimana kabar keluarga ?” 
            “Baik, gimana Bapak dan Ibu?”
            “Sehat Alhamdulillah … Aku udah punya keponakan, namanya Mimi.” Jawabku riang.
            “Kapan Kak Winda nikah ? umur berapa Mimi? “
            “Dua tahun yang lalu, baru dua bulan, lagi lucu-lucunya.” 
            “Hmmm, trus undanganmu kapan?”  mimiknya penuh tanda tannya. 
            “Sabarlah, aku masih enjoy.” 
            “Enjoymu berlebihan kaleeeee, asyik dengan inspirasi-inspirasi yang dituangkan dalam tulisan.”
            “No, aku punya plan kok, tunggu aja.”
            “Boleh aku nanya ?”
            “Yups.” Jawabku singkat.
            “What’s his name ? I knew that he’s different.”
            “Not yet, and will be then.”
            “Really, means that you have no relation with someone now ?”
            “No worry.” Aku tertawa. 
            Riska mendatangiku dengan tergopoh-gopoh ke arahku, bisikannya tepat di telinga kiriku membuatku merinding, dan mengangkat sedikit bahuku. 
            “Apaan sih ?”
            “Bagianmu bentar lagi !” 
            “Jadi ?” tanyaku
            “Jadilah non… siap-siap, waktumu 30 menit.” 
            Aku mengangguk. Mempersiapkan diri di acara publik yang nyaris tidak aku kenal adalah lebih mudah bagiku untuk lebih terbuka mengemukakan pendapat-pendapat, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang isi buku itu, baik yang pro maupun yang kontra. Tapi di forum ini, 95% sedikitnya aku mengetahui mereka, aku merasa agak canggung, aku khawatir salah satu tokoh dari tulisan ini, ada di antara para undangan yang hadir. 
            “Salah satu teman kita, telah menjadi seorang Penulis dan mendapatkan penghargaan sebagai Penulis Muda Berbakat Indonesia 2015 kategori Favorite. Buku terakhirnya mencapai Best Seller pada penjualan bulan ketiga.  Bagaimana kita minta untuk maju ke depan untuk memberikan ulasan tentang buku terakhirnya ?” suara pembawa acara  disambut dengan tepuk tangan dan seluruh mata mengarah kepadaku. Aku tersenyum
             “Vera Kusumawardhani, silahkan maju.” 
            “Aku grogi Put.” Bisikku. Putri menepuk bahuku perlahan. 
            Aku berdiri dan melangkah. Aku tidak begitu suka menjadi perhatian seperti ini, begitu juga dengan acara-acara lain. Jika bukan karena pemberian penghargaan satu tahun yang lalu, aku tidak akan muncul di hadapan umum, cukup mereka mengenal satu nama yang kerap mengisi majalah-majalah dengan cerita fiksi, VERA JUSTINE. 
            Dion, menyerahkan mic kepadaku, aku mengucapkan terima kasih. Hening tiba-tiba seketika. Aneh, tiba-tiba aku kehilangan ice breaker
            “Assalamualaikum Wr.Wb. Terima kasih Dion, sudah memberikan kesempatan saya untuk bisa berdiri di mimbar ini. Terima kasih juga kepada panitia yang telah sukses menyelenggarakan temu kangen ini, dan saya senang bisa hadir dan bertemu dengan teman-teman semua, meskipun saya tidak tahu bahwa salah satu acaranya  saya harus berdiri disini.”
            “Menulis bukanlah hobi utama saya. Tak ada yang istimewa dari isi buku itu,  tulisan itu saya ambil dari beberapa riset baik secara langsung maupun tidak langsung, juga dari beberapa literartur yang telah saya baca dan menjadi referensi. Penghargaan yang saya dapatkan, menurut saya adalah suatu berkah yang mana penyebab penjualan buku itu melejit karena banyaknya kontra dari para pembaca dan mengakibatkan perlunya buku tersebut dibedah. Mungkin di antara teman-teman ada yang pernah membaca buku itu ketika cetakan pertama keluar, cetakan kedua sudah banyak tambahan sebagai resume hasil dari bedah buku dan masukan-masukan lain.”
            “Mbak Vera, topik dalam tulisan itu sempat membuat dunia pers meminta untuk menarik buku itu. Apa sebenarnya yang menjadi ide dalam pembuatan tulisan ini?”
            Aku terdiam sesaat. 
            “Sesuai dengan prolog buku itu, dilatarbelakangi pertemuan seorang sahabat yang bercerita tentang hubungan dengan kekasihnya yang mana hubungan tersebut lahir tanpa komitmen, sedangkan kekasih sahabatnya  mempunyai kekasih lain, dan akan segera menikah. Hubungan tersebut dikenal dengan istilah “Casual Relationship”. Istilah ini sangat menggelitik pikiran saya untuk mengetahui arti sebenarnya.”
            “Apa yang menyebabkan dunia pers meminta untuk  penarikan buku itu dari publik?.” 
            “Ketika seseorang membaca suatu cerita atau suatu berita, dia punya hak untuk menilai makna apa yang terkandung dalam setiap isi cerita dan berita itu. Persepsi yang diterima pasti berbeda-beda, apalagi dengan isitilah “Casual Relationship” yang berlaku di Indonesia, mengacu pada pengertian negara lain. Mereka tidak mencoba menelaah, mengartikan, istilah itu dengan kondisi real yang mungkin terjadi di negara kita.”
            “Dunia pers mengganggap bahwa buku itu menjadi acuan dihalalkannya “free sex” di Indonesia. Bagaimana menurut Mbak?”
            “Betul, itu alasan utama penarikan buku itu. Ada satu kalimat dalam tulisan saya yang menjadikan mereka berkesimpulan demikian, dan mereka tidak mereferensi pada bab-bab berikutnya. Beberapa diskusi dan pembahasan yang saya ikuti, dengan didampingi beberapa orang ahli bahasa  akhirnya saya bisa mempertahankan keberadaan buku itu di publik.”
            “Baik, apakah dari floor ada yang ingin mengajukan pertanyaan tentang makna dari buku tersebut. Kami siapkan untuk 3 orang karena keterbatasan waktu?” Suara bisik-bisik menggemuruh. Dadaku sedikit berdebar, mataku mulai memperhatikan setiap sosok di hadapanku. Satu orang mengacungkan tangan dan berdiri. Aku kenal wajah itu, masih cantik seperti dulu, Atika.  
            “Ver, gue surprise ketika tahu kalau Vera Justine itu adalah kamu. Tulisan-tulisanmu gue baca, sosok yang dibentuk dalam setiap tulisan adalah seorang wanita yang mandiri, ulet, pintar, tegar dan tak gampang menyerah, namun sering mengalah. Cerita Sahabat memberikan inspirasi kepadaku untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan, namun satu yang aku sesalkan, yaitu ending dari cerita itu menggantung. Apakah ada kelanjutannya? Gue jadi penasaran” Atika mengakhiri kalimatnya diiringi tepuk tangan.  Aku tersenyum.
            “Terima kasih Atika, senang bertemu denganmu lagi. Jujur, aku agak kesulitan untuk mengekspresikan sosok pria dalam setiap tulisanku, belum sepintar penulis lain yang mudah menciptakan sosok yang berbeda dalam tulisannya. Mungkin karena aku wanita, yang ingin mempunyai karakter mandiri, ulet, pintar, tegar dan tak gampang menyerah, seperti tokoh yang sering aku munculkan, namun “mengalah” disini aku garis bawahi, mengalah untuk kebaikan.” 
            “Tentang ending cerita, memang dapat dikatakan gantung, tapi pada intinya melepaskan diri dari satu hubungan yang tidak sehat seperti itu adalah jalan yang terbaik, bukan berarti tidak ingin mencoba untuk memperbaiki,  apa yang telah terjadi dalam hubungan itu adalah satu pelajaran dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan setiap waktu. Hubungan yang dilandasi dengan ketidakpercayaan, tidaklah sehat, kerikil-kerikil yang menghambat di perjalanan, akan berubah menjadi gumpalan batu. Tidak semua orang bisa menerima hubungan seperti itu, dan dalam tulisan itu Rara lebih baik mengalah untuk pergi. Untuk pertanyaan apakah ada kelanjutannya ? Aku jawab : itu rahasia.” Aku tersenyum. 
            “Bagaimana Mbak Atika ?” 
            “Lanjutin aja Ver, Gue yakin Rara akan mendapatkan cinta sejatinya.”  Ucapan Atika disambut dengan seruan “Setuju” dari teman-teman yang lain. 
            “Terima kasih, nanti aku pikirkan, sementara ini aku cukup puas dengan keputusan Rara.”  Jawabanku disambut dengan uuuuuuuuu riuh dengan tepuk tangan. Aku tersipu dengan jawabanku sendiri. 
            “Ada yang lain  ? tanya Dion ke floor.
            Kulihat seorang laki-laki maju ke arah Dion, dan mengambil mic yang dipegangnya.
            “Sorry friends, gue maju, karena beberapa alasan. Satu, karena gue mau ukur tinggi Vera sekarang, gue bandingin ketika SMA dulu, dan ternyata ga banyak berubah, nambah 3 centi doang kayaknya, masih imut kayak dulu.”  Sorak sorai terdengar dengan tepuk tangan yang kian ramai. Duh, ini Bagja, anak IPA yang sering menggodaku dan tengil, tapi sering membuatku tertawa. 
            “Kedua, biar Vera bisa lihat gue yang sekarang dengan jelas,  gue yakin dia ga akan lupa ketengilanku dulu.” 
            “Thank you Bagja, gue info, tinggi gue nambah 5 centi, dan gue ga bakalan lupa dengan ketengilanmu dan ternyata loe tetap tengil.” Jawabanku membuat Bagja tertawa, aku yakin mukaku menjadi merah karena ketengilannya.
            “Jadi apa pertanyaan Mas Bagja? Tanya Dion menengahi.
            “Ga ada, gue cuma mau ngomong itu!” jawabnya seraya menyerahkan mic dan meninggalkan panggung. Teriakan dan tawa kembali meramaikan aula. Aku benar-benar tertawa, senang rasanya dengan suasana seperti ini, seolah kembali ke 10 tahun yang lalu. 
            “Baik satu orang lagi, ada yang mau ditanyakan?” Dion meredakan suasana. 
            “Ya, ada yang mau saya tanyakan”  Suara itu membuat hening tiba-tiba. Suara yang berwibawa, berbeda dengan yang lain. Aku nyaris tidak mengenal suara itu. 
            “Silahkan Mas.” Dion mempersilahkan laki-laki itu berbicara. 
            Mataku tertuju pada seorang laki-laki tegap di meja tengah. Jantungku berdetak cepat. Rasanya ingin lari meninggalkan aula itu. Laki-laki itu, Arman, yang aku selama ini aku hindari. 
            “Ver, apakah ada tulisanmu yang didasarkan pada pengalaman pribadi ?” tak ada tepuk tangan atau sorak sorai ketika pertanyaan itu selesai dilontarkan. Semua mata memandang kepadaku. Aku terkesima dengan pertanyaan itu, tak pernah aku bayangkan menerima pertanyaan seperti itu dari Arman.  Kucoba menetralkan diri dengan melambaikan tangan ke arah Arman.
            “Apa kabar Arman… Pertanyaannya bagus dan baru kali ini aku dapat. Satu cerita bisa dibuat dengan bersumber pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, atau sumber lain dan ide dapat muncul tidak bisa diundang, kapan saja, dan dari mana saja. Cerita yang lahir dari pengalaman pribadi akan menjadikan cerita itu menjadi lebih hidup, mengalir dengan alur yang pasti. Dari beberapa tulisan yang sudah aku buat dan sudah terpublikasi, tidak ada yang berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah tantangan bagi seorang penulis, bagaimana dia bisa mengatur alur, karakter, dan bahasa dalam setiap tulisannya dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya
            Tepuk tangan terdengar dengan meriah mendengar jawabanku. Arman tidak memberikan ekspresi apapun atas jawabanku. Matanya tertuju padaku, isyarat ketidakpuasan tertangkap dari tatapannya. Aku melepaskan diri dari tatapnya.
            Dion mengambil kendali acara. Aku pamit meninggalkan panggung dan kembali ke kursiku. Riska menyambutku dengan kicauannya.
            “Aku ga nyangka dia datang.”  
            “Masih ada kontak dengan Dia ? ” Aku menggeleng. Putri memberikan orange juice, tangannya mengelus bahuku dan berbisik : “Semua sudah berubah Ver, dia lebih dewasa, dia akan lebih bijak dalam bersikap.”
            Aku terdiam.
            Jam menunjukkan pukul 14.35, acara bebas dimulai, waktunya untuk bersilaturahmi dengan yang lain. Aku begitu surprise ketika panitia memberikan buku terakhirku sebagai souvenir. Dan pada akhirnya teman-teman meminta aku menuliskan sebaris kalimat yang berbeda di setiap  buku dan menandatanganinya. Bak ketemu fans, aku sibuk dengan itu. Ini kesempatan baik untuk bisa bercakap-cakap dengan teman-teman satu persatu. Komentar, usulan, dan pendapat aku terima dengan terbuka, aku memerlukannya untuk karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Tapi, aku tidak menemukan sosok Arman di antara teman-teman tadi. Ah, kenapa aku peduli ? Bukannya aku hindari?
            Acara diakhiri dengan bersalaman, membentuk lingkaran hingga kami bisa bersalaman satu dengan yang lain. Tidak aku pungkiri, aku masih mencari sosok Arman, dan hingga detik ini, aku tidak menemukannya. 
            “Vera.” Aku mengangkat mukaku untuk melihat siapa yang menyapaku. Tubuh mungilku terlindung dari pandangan orang lain di balik tubuh tegap depanku. Senyum tipis laki-laki itu, menurutku begitu polos. 
            “Arman.” Senyumku terasa hambar. 
            “Apa kabar ?”  
            “Baik.” Jawabanku terdengar datar. Arman menuntunku ke pinggir panggung. 
            “Kita selesaikan dulu acara ini.” Aku menolak halus ajakannya. Arman membiarkanku pergi.  Sepertinya, orang-orang memahami kami, beberapa pandangan memperhatikan dan bisik-bisik mulai terdengar. 
            “Ris, kau pulang ama siapa?” 
            “Sama panitia pastinya, beres-beres dulu. Kenapa?”
            “Aku perlu orang buat pulang bareng.” Riska mengerutkan keningnya. 
            “Ada masalah ?” 
            “Ga, aku perlu untuk nemenin aku ngopi setelah ini.” 
            “Hmm, aku tahu. Coba aku rapikan ini dulu, kamu bisa tunggu aku sebentar.”  Aku mengangguk. 
            Acara selesai dengan sukses, memberi kesan, bahwa kebersamaan dapat terbina dengan silaturahmi dan komunikasi. Entah kapan ini akan terulang, mungkin satu dekade lagi dan teman-teman akan lebih banyak berubah. Aku tersenyum memikirkannya.  Aku melangkah ke sudut ruangan mencari tempat yang lebih sepi. Ah,  masih ramai sorak sorai teman-teman, aku tidak begitu menyukai dengan keramaian. Langkahku menuju kolam renang berukuran sedang di dekat taman. Gerimis turun pelan-pelan, dan aku melangkah cepat menuju ke sana. 
            Langkahku terhenti ketika kulihat sosok Arman duduk di antara kursi-kursi di pinggir kolam. Ingin rasanya aku berbalik, namun Arman sudah melihatku. Lambaian tangannya membuyarkan keinginanku untuk pergi. Aku mengangguk, dan melangkah ragu. 
            Aku mengambil kursi dan duduk disebelahnya,  bukan karena aku ingin dekat, tapi karena kau tidak mau menatap wajahnya. Kubakar sebatang rokok dan menghisapnya pelan. Arman menoleh.
            “Sejak kapan merokok ?” tanyanya
            “Sejak jadi penulis.” Jawabku dingin.
            Arman menarik nafas dalam-dalam, mematikan batang rokok ditangannya, dan menghadap kedepanku. 
            “Sejak kapan kau jadi penulis?” tanyanya. Pertanyaan yang tak perlu aku jawab. 
            “Ver, perlu aku ingatkan kapan kita bertemu terakhir ?” 
            Aku menggeleng dengan tegas. 
            “Perlu aku ingatkan syal biru yang kau berikan ketika kita mendaki?”
            Aku menggeleng lagi. “Aku tidak perlu kau ingatkan apapun tentang kita, aku masih mengingatnya semua.” Suaraku terdengar ketus. 
            “Artinya kamu masih ingat, kalimat apa yang aku ucapkan terakhir kita bertemu?” 
            Aku mengalihkan pandangan ke air kolam dengan rintik-rintik air hujan. 
            Aku ingat terakhir pertemuan terakhir dengannya dan aku ingat kalimat permintaan maaf yang tidak pernah aku jawab. Mengapa ketika aku mempunyai ide dan menuangkannya dalam rangkaian cerita pada buku terakhirku, aku bertemu lagi dengan dia ? pikirku. 
            “Ya aku ingat, dan aku telah memaafkanmu.” Aku berdiri dan meninggalkannya sendiri.
            “Vera!” teriakan Arman tak menyurutkan langkah Vera. Berjalan lurus, dan tak ingin berbalik. Arman menghenyakan badan ke kursi, tangannya kedua tangannya meremas rambutnya dengan keras. Pikirannya menerawang pada kejadian belasan tahun yang lalu. Penyesalan itu ada, dan tak dapat terelakan, bukan dia yang meninggalkan Vera. Tak seharusnya pertemuan ini terjadi, Arman berpikiran, Vera tidak akan datang di acara ini, apalagi sampai waktu makan siang, Vera tidak muncul. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan tadi, aku cukup menatapnya dari jauh, mengobati kerinduan akan seraut wajah yang selalu dirindukan. 



Bersambung 

Thursday 5 May 2016

Bagian Kesebelas "Diantara Kalian"


“Danish, sini, ikut Mama yuk.” teriakanku mengagetkan bocah laki-laki berumur 2 tahunan. Bocah kecil itu tertawa sambil mengulurkan tangannya. Aku menggendongnya dengan hati-hati.
“Be a good Boy, kita jalan-jalan sore ini.” Kecupanku mendarat di keningnya yang lebar.  
“Mama, nanti boleh aku bawa bola.” Bocah kecil itu merajuk, aku mengangguk.
“Mbak, tolong siapkan bawaannya, kita ke pantai setengah jam lagi. Udara lagi bagus.”
“Baik Bu.” Diah adalah pengasuh Danish sejak bayi, tepatnya bersamaku sejak aku pindah ke Bali tiga tahun yang lalu. Usianya masih muda, tapi begitu cekatan dalam pekerjaannya, bahkan dia terkadang membantu pekerjan kantorku.
Udara Bali terasa panas sekali sore ini.  Musim liburan telah tiba dan wisatawan begitu ramai baik local maupun asing. Aku suka Pantai Kuta di sore hari, menikmati angin pantai dengan ombak yang berirama.
Kubiarkan Danish bersama Diah, aku membaca novel terbaru di kursi panjang dengan payung lebar. Suara ombak dan hembusan angin membuatku mengantuk, mataku mencari-cari Danish. Kemana anak itu, pikirku.
Aku berdiri dengan cepat dan mengambil tas kecilku. Satu lemparan bola jatuh tepat di kakiku, aku membungkukkan badan dan mengambilnya. Hmm dasar bocah. Kuperhatikan bola itu, bukan bola Danish. Aku mengarahkan pandanganku di antara sekeliling mencari pemilik bola, tak ada seorangpun yang mencari. Aku kembali duduk dan mempermainkan bola dengan motif warna warni itu.
“Sore Mbak, maaf itu bola anak saya, tadi terlempar ke sini.”  Suara laki-laki menggagetkanku.
“Oya, saya memang sedang menunggu, siapa tahu ada yang cari.” kataku seraya menyerahkan bola itu tanpa melihatnya. Tanganku terjulur kearahnya, tapi bola itu tidak diambilnya. Tanganku menggantung.
“Tiara.” suara laki-laki itu lagi.
Aku mengangkat wajahku segera. Kacamata hitamku kubuka perlahan memperjelas siapa yang memanggilku. Pandangan kami bertemu, tak ada satupun yang berusaha melepaskanya. Terpaut dalam beberapa detik.
“Angga ?” suaraku tertahan.
“Ya.” Suaranya seperti tersedak.
Aku segera berdiri dan mengulurkan tangan. “Apa kabar?”
Angga menjabat tanganku dengan erat.
“Baik, gimana kabarnya Mbak ?.”
“Baik.” Jawabku
“Liburan di sini ?” Matanya mencari-cari seseorang di sekitarku.
“Aku tinggal di sini. Mas liburan?”
“Ya, baru kemarin sampai, Bapak dan Ibu ikut juga.” Darahku mengalir cepat.
“Mama !!” teriakan kecil memanggilku dari kios es krim di sebelahku.
“Hai, No ice cream today.” Teriakku sambil melambaikan tangan. Bocah laki-laki itu berlari kearahku dan memelukku,
 “Aku mau ice cream Mom.!! Danish berteriak dan merajuk. Angga memperhatikan kami dengan seksama.
“Anak Mbak ?” tanya Angga dengan ragu. Aku tersentak, mukaku terasa pucat tiba-tiba. Danish berlari kecil mendekatiku.
“Danish this is uncle Angga.  Angga, ini Danish, anakku.” ujung  kata terakhir kuucap dengan pelan. Danish mengulurkan tangannya dengan cepat dengan senyum lebar.  
“Hi Boy.. nice to meet you.”
“Uncle, where do you live ?” mata polos itu memandang lekat Angga.
“Jakarta.” Angga menarik Danish dan menggendongnya.  Lidahku terasa kelu.
“Hmmm, I love Jakarta,  Mama bilang Jakarta panas, dan macet.”
Angga tertawa. “Nanti Uncle bawa ke Jakarta ya, bilang sama Mama.”
“Mom, did you hear that?” Danish memandangku dengan memohon.
“Yups, next time.” Danish tertawa dengan riangnya.
“Mas, ini bolanya.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya. Umur berapa ?” tanya Angga sambil menurunkan Danish dari gendongannya.
“Dua tahun.” Jawabku pelan.
“Berapa ?” tanya Angga meyakinkan.
“Dua tahun.” tegasku.
Angga terdiam. Raut wajahnya berubah pucat.
“Bapak dan Ibu nginap dimana ?”
“Tuh.” Tangannya mengarahkan ke hotel tepat di belakangku.
“Ow.. salam untuk Bapak dan Ibu.”
“Kita ke sana saja sekarang yuks, mumpung lagi ngumpul. Aku jemput Seva dulu.” tak sempat aku menjawab, Angga sudah meninggalkan kami.
Aku termenung seraya menatap tubuh tegap yang kemudian hilang di antara kerumunan orang. Kenapa harus ketemu lagi ? pikirku.
“Bu, saya bawa Danish ke toilet dulu untuk bersih-bersih.” Suara Diah mengagetkanku.
Aku mengangguk.
Tiga tahun terasa cepat berlalu. Tiga tahun pula sudah aku tinggal di Bali, meniti kehidupan dan karir dari nol, tanpa rencana. Apa yang aku sampaikan pada pertemuan terakhir dengan keluarga Pak Bambang, ternyata menjadi kenyataan. Aku meninggalkan Semarang, satu bulan sejak pertemuan itu. Itulah kehidupan, semua kehendak yang kuasa, terjadilah.
Angga berlari-lari kecil kearahku bersama Seva, putri sulungnya yang sudah tumbuh besar.
“Hai Tante, apa kabar?” Seva berteriak dan memelukku.
“Duh Seva, udah gede, dan tambah cantik. Alhamdlillah Tante baik. Gimana sekolahmu ?”
“Dah mau SMP Tan, bentar lagi ujian ni.”
“Hmmm, mesti tambah rajin belajar ya.. jaga kesehatan juga.”
“Iya Tan, dulu Mama suka bilang, biar pinter kayak Tante Tiara.”  
Aku tersentak mendengarnya, “Ah, Mama bisa aja, Mama Papa kan pinter, kok lari ke Tante.” Suaraku terdengar parau.
“Kata Mama, Tante itu pinter segalanya.” Aku tertawa. Aku memandang Angga, Angga tersenyum.
“Mama, ayo katanya mau pergi.” Danish berteriak dan melambaikan tangan.  Seva memandangku.
“Bentar ya Seva. Tante jemput dulu Danish.” Seva mengangguk dan memandang Angga. “Anaknya Tante Tiara.” Kata Angga seolah mengerti apa arti pandangan Seva. “
“Seva, Ini Danish. Danish, ini Kakak Seva.”
“Hai Danish.”
Danish mengulurkan tangan mungilnya dan tersenyum.
“Hai Kak Seva.” Suara terdengan lucu ketika menyebut nama Seva.
“Mas, aku pulang dulu, nanti kita ketemu makan malam.”
“Kenapa ?” tanyanya dengan pandangan sedikit kecewa.
“Biar rapi aja Mas, ga enak berantakan begini.” Alasanku meluncur begitu saja.
“Tapi, Mbak ga akan meninggalkan kami lagi ?” kalimat itu membuatku tersentak mundur, seakan teringat apa yang terjadi di masa lalu.
“Mengapa Mas bicara begitu ?”
“Kami sudah cukup kehilangan Mbak.”
Angga atau keluarga besarnya yang kehilangan aku ? pikirku dalam hati.  Aku mengeluarkan kartu nama dari dompetku.
“Aku ada di sini Mas, info aku Bapak dan Ibu mau makan dimana, aku akan ke sana.”
Angga menerima kartu nama itu dan membacanya.
“Sebelas nomor ini yang aku tunggu sejak mbak meninggalkanku….” bisiknya.
“Sampai ketemu Mas.”
“Seva, Tante pulang dulu, nanti kita ketemu lagi ya …”
“Oke Tante, tapi boleh Danish duluan ama Seva ke hotel? Aku tersenyum, “Baju Danish penuh pasir pantai, Tante ga bawa baju lagi. Biar Danish ganti baju dulu ya.”  Seva menggangguk dengan enggan.
Aku pamit dan melangkah ke parkiran mobil di ujung jalan. Aku masih membalikkan badan dan melihat mereka. Angga dan Seva masih berdiri di sana, dan memperhatikan kami. Aku melambaikan tangan dan terus berjalan…..

***
Mataku memandang wajah di cermin dengan seksama. Tiga tahun ini, tidak banyak perubahan di wajahku, juga kelahiran Danish, tidak banyak berpengaruh pada tubuhku. Hmmm, mengapa tiba-tiba aku memperhatikan dua hal itu ? Bukankah aku selalu enjoy dengan apa yang ada didiriku ? Apa karena pertemuanku dengan Angga tadi sore ? Upsss… aku mengenyahkan pikiranku tentang itu.
Dandanku sederhana, dengan baju casual yang menjadi ciri khas. Malam ini adalah istimewa, sekian tahun aku tak bertemu dengan Pak Bambang dan keluarganya, dan malam ini seakan menjadi awal dari perjalananku kembali, dalam arti komunikasi dan silaturahmi kami akan dimulai. Aku masih tertegun menatap diri di cermin, apa yang harus aku sampaikan jika mereka bertanya, mengapa aku meninggalkan mereka ?
Aku menghela nafas panjang. Masih teringat dengan jelas, kepulanganku dari Jakarta ke Semarang hari itu, membawa beban yang aku yakin bahwa aku harus menanggung beban dan menyelesaikan sendiri. Bapak dan Ibu tidak bisa menghalangi kepergianku ke Bali satu bulan kemudian. Kekecewaan, kemarahan dan kekhawatirannya menjadikan bebanku semakin berat, dimana jelang keberangkatan itu aku sampaikan bahwa aku mengandung. Masih aku ingat, ketika bapak memintaku untuk menyebutkan siapa ayah anak itu dengan kemarahan yang meluap, Ibu menangis tak mampu menghalangi Bapak. Aku mohon maaf dan ampun, namun aku tetap bertahan, tanpa menyebut satu nama yang Bapak harapkan, aku tak akan bicara, sampai suatu hari aku yakin aku akan bicara kepada Bapak dan Ibu. Hanya satu pesanku kepada Bapak dan Ibu, tak ada yang bisa mencariku selain Bapak dan Ibu.
Kutinggalkan Semarang dengan bekal yang ada. Kesempatanku untuk memulai usaha hanya memiliki waktu 6 bulan jelang kelahiran Danish, dan aku bekerja keras untuk mewujudkannya. Memasukin bulan ke 7, Danish lahir dengan didampingi Ibu. Ada perasaan sakit ketika menghadapinya sendiri, menangis dan menangis, tanpa mampu aku harus utarakan siapa yang sebenarnya harus mendampingiku. Masih teringat ketika aku merasakan puncak akhir rasa sakit yang luar biasa, dan ketika itu tersebut nama Angga tanpa sengaja, dan aku berharap, Ibu tidak mendengarnya.
Danish adalah buah cintaku dengan Angga, tanpa Angga mengetahui keberadaannya. Danish adalah pengganti Angga yang mampu memberiku cinta dan semangat setiap waktu.
“Mama, aku sudah siap.” Suara kecil di balik pintu mengagetkanku. Aku bergegas merapikan dandanku, ada linangan air mata yang terlihat jelas. Kutarik satu lembar tissue, dan menekannya perlahan di kedua pelupuk mataku.
“Ya sayang, wait…. “
Suara pintu diketuk dengan keras. Aku membukanya dengan cepat. Mataku tertumpu pada baju yang di Danish kenakan malam itu.
“Nice t’shirt. ” Badanku membungkuk dan mengangkat badannya ..
“Ready to go Mom?” tanyanya polos
Aku mengangguk, menurunkannya dan menuntunnya berjalan. Diah mengikuti kami dari belakang. Handphone ditanganku berbunyi, satu pesan masuk aku baca dengan cepat “Louge Private Hotel.” Nomor itu masih tetap, dan aku tidak perlu mengingatnya meskipun tidak aku save dengan namanya. Tanganku menekan tombol reply “Ok”. Cukup.
  
***
Langkahku tersendat ketika memasuki lobby hotel megah itu. Angga telah menungguku di sofa dan beranjak menghampiri kami. Danish digendongnya dengan lembut, dan mereka berdua tertawa lepas seakan telah lama saling mengenal. Aku bingung bagaimana aku harus bersikap, salah tingkah, dan grogi, campur menjadi satu.
Aku memasuki private lounge perlahan, terdengar suara-suara yang tak begitu jelas, jantungku berdegub kencang.. Aku berhenti, ragu melangkah kaki berikutnya. Angga menggelengkan kepala, dan tersenyum, “Ayo”. 
“Tiara.” Suara berat laki-laki yang sangat aku kenal memanggilku tegas.
“Bapak!!”  Aku tergopoh menghampiri, menyalami dan memeluknya.   Pak Bambang memeluku erat, aku menangis dan meminta maaf.  Bu Bambang dengan sabar menungguku dengan Danish dalam gendongannya. Semua seperti terhipnotis, tanpa kata memandangku.
Pak Bambang terlebih lebih kurus, perasaan berdosa menyelimuti benakku. Berapa lama aku tidak melihat wajah tua yang masih penuh wibawa itu ? Lidahku kelu, begitu banyak yang aku sampaikan dalam pelukannya, tak ada satu kata pun  yang terucap. Pak Bambang melepaskan pelukannya, “Ke Ibu dulu.” Bisik Pak Bambang. Kuhampiri Bu Bambang dengan air mata yang masih terus berlinang. Bu Bambang mendekapku dengan erat, satu kalimat yang bisa aku ucapkan dalam pelukannya .. “maafkan aku Bu.” Aku mendengar isak pelan dalam pelukanku, semua seolah terhanyut dalam suasana. Kukecup pipi Bu Bambang halus… Bu Bambang mengusap menatapku, mengusap sisa air mata di sudut mataku.
“Danish, peluk Eyang.” Mataku memandang Danish yang masih dalam gendongan Bu Bambang. Badannya yang kecil meronta meminta turun dan menghampiri Pak Bambang. Tangannya terulur memberi salam,  dan mengecupnya. Pak Bambang membungkuk dan menggendongnya. “Anak pintar.” Danish memeluk Pak Bambang erat, semua memperhatikannya.
“Kamu adalah bagian dari kami, Danish tahu bahwa kami adalah bagian dari kehidupan dia.” Ujar Pak Bambang. Aku terpukau mendengarnya.
Aku membalikkan badan dan memandang sekeliling, wajah-wajah itu tak banyak yang berubah, senyumnya hangat dan menampakkan kerinduan. Widi mendekatiku, dan memelukku. “Tiara, 3 tahun aku tidak bisa menghubungimu, apalagi melihatmu, kamu lebih dewasa.” Bisiknya. “Aku tersenyum, waktu yang bisa merubahnya Mas.” Balasku pelan.
Satu per satu aku hampiri anggota keluarga itu aku, peluk hangat mereka tak ada yang berubah, tetap nyaman. Tapi … Ada satu yang tak hadir di sini… Desi. Baru aku akan bertanya, Pak Bambang mendekatiku “banyak yang terjadi setelah kamu pergi, tapi kami tidak pernah mencoba menghilangkan sosokmu dalam keluarga kami.
“Kita makan dulu, baru kita ngobrol ya.”
Susunan kursi makan seperti yang sudah diatur, aku tetap mendapatkan kursi sebelah kanan Pak Bambang. Tepat di sebelaku sekarang adalah Angga, Danish, Seva dan yang lain. Aku agak bingung dengan posisi ini, tapi mereka seolah sudah menerima dengan pengaturan ini.
“Mas, biar Danish di sebelahku, nanti merepotkan.” Ujarku pada Angga.
“Ga apa-apa Mbak, aku bisa kok.” Jawabnya. Aku membiarkan dengan keinginannya. Danish tidak terlalu repot dalam hal makan bersama, dia sudah terbiasa makan dengan rapi di setiap jamuan.
Suasan makan malam itu berjalan dengan santai, canda Bayu masih terus menghangatkan suasana. Citra yang ramah dan semakin dewasa. Aku rindu dengan suasana ini. Sesekali aku melihat Widi mencuri pandang kearahku, aku tersenyum dan melepaskan pandanganganya. Ada satu pertanyaanku tentang Desi, sejauh ini tidak ada di sekitar kami, mungkin Desi tak bisa berangkat karena kesibukan pekerjaannya, pikirku.
Makan malam berlangsung tidak lebih dari satu jam. Satu per satu meninggalkan ruangan. Seva pamit mengajaknya bermain dengan Dian. Pak Bambang mengajakku ke sofa di tengah lounge, Bu Bambang mengikutinya dari belakang. Aku mencari-cari anggota keluarga lain yang mengikuti kami, hanya Angga yang masih setia di antara kami.
 “Mom, I want a cup hot tea.” Terdengar suara di belakangku.
Aku menggendongnya, with sugar ? Danish menggeleng dengan cepat. I’m so cold here, bisknya. Semua tersenyum. Angga mengajak Danish meninggalkan ruangan itu. Aku terdiam tanpa menghalanginya. Dan, semua mata memandang ke arah mereka. Rasa dingin tiba-tiba merasuki seluruh tubuhku. Aku melihat kemiripan di antara mereka berdua.
“Jadi, selama ini kamu tinggal di sini?” Suara Pak Bambang mengagetkanku.
“Iya, satu bulan sejak pertemuan terakhir, saya pindah ke sini sesuai dengan rencana.”
“Masih dengan profesi yang sama?” pertanyaan Pak Bambang mengagetkanku.
“Masih, hanya itu yang bisa saya tekuni.” Sedikit tergagap aku menjawabnya.
“Tiara sering ke Semarang? Tanya Bu Bambang.
“Kecuali tahun pertama, setiap lebaran saya pulang”  jawabku
Tatapanku ke arah pintu, mencari sosok kecil Danish, tak kutemukan.
“Kami yakin kamu bisa melakukan apa yang kamu mau, kecerdasan dan ketekunanmu selama ini sudah menunjukkan kemampuan di luar bidangmu.”
Aku tersipu. “Dulu iya, sekarang sudah beda, usia bertambah agak sedikit lambat jadinya.” Candaku.
“Kamu masih tetap sama Tiara, selalu semangat dan percaya diri.” Bu Bambang menimpali.
“Suamimu di Bali juga?” pertanyaan Pak Bambang mengaggetkanku. Itu yang sebenarnya aku hindari, namun aku yakin bahwa petanyaan itu akan muncul tanpa aku siap menjawabnya.
Aku terdiam.
“Tidak Pak.”
“Di Jakarta?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Tiba-tiba semua terdiam.
“Kamu belum siap bercerita tentang dia, suatu hari kamu harus membawanya kepada kami.”
Angga memasuki ruangan.
“Danish dengan Seva dan Mbak Diah di taman.”
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
“Bapaknya Danish di mana Mbak ?” Angga bertanya dengan sekonyong-konyong. Pak Bambang seketika memandang Angga tanpa kata. Angga tergagap.
“Ada mas.” Aku menjawab cepat.
“Angga, pertemuan demi pertemuan tanpa kita rencanakan, seolah menjadi satu hubungan yang tidak bisa dipungkiri, ini adalah takdir.  Dari pertemuan terakhir kita, hingga pertemuan kali ini, sudah di atur oleh Yang Kuasa, apapun yang terjadi sebelum pertemuan ini, sebenarnya kita telah saling mengetahui.”
Aku memandang Pak Bambang tak mengerti.
Angga terdiam.
“Maksud Bapak ?” spontan aku melontarkan pertanyaan itu.
“Tiara, banyak yang terjadi setelah kamu pergi, tentang keluarga besar,  perusahaan dan lain-lain. Dan kami mencoba mencarimu hingga kami harus mengirim orang untuk menemui orang tuamu di Semarang, tak ada informasi sedikitpun tentangmu yang kami dapat dari mereka. Semua seolah terkunci.”
Aku tahu mereka mencariku ke Semarang, bisikku dalam hati.
“Desi meninggal dunia tiga bulan setelah kepergianmu.”
Aku tersentak kaget, dan hanya mampu berucap “Innalillahi Wainailaihi rojiun.”
“Menjelang kepergiannya, hanya satu yang dia minta kepada kami, temukan Tiara.” Aku mulai menangis, perasaan berdosa benar-benar telah menyelimutiku. Aku tidak ingin memotong pembicaraan Pak Bambang. Angga tertunduk.
“Kami tidak menyangka akan kepergianmu itu Tiara, tindakanmu diluar perkiraan kami. Rencana saya waktu itu, setelah kepulanganmu dari Jakarta, kami akan ke Semarang untuk menceritakan semuanya, dan cerita itu tak pernah kamu tahu.”
Aku semakin tidak mengerti.
Angga berpindah duduk di sebelahku, tangannya menyentuh jemariku  dihadapan orang tuanya. Aku menariknya perlahan, tanpa memandang Angga. Kikuk.
“Tiara, apakah Danish anak Angga ?.” Suara Pak Bambang terdengar pelan dan hati-hati, tapi seperti petir di siang bolong di telingaku. Mukaku terangkat, mataku memandang Pak Bambang. Semua menunggu jawabanku. Tangisku meledak tak tertahan lagi. Angga memelukku. Tangisanku berlabuh di dada Angga, saat seperti inilah yang aku rindukan, dimana aku bisa melepaskan tangisan, melepas beban dalam dekapan orang yang aku cintai.
Pak Bambang menghela nafas panjang, Ibu Bambang menghampiriku, dan mengusap-usap rambutku. Tahukah apa yang aku rasakan sekarang ? Aku malu kepada Pak Bambang dan Ibu, aku tidak bisa menjaga amanah yang mereka berikan kepada ku selama aku bersama mereka. Tangisanku beralih dalam pelukan Bu Bambang, diantara isakanku, aku mohon maaf … Bu Bambang mengangkat badanku, memandang mataku.
“Mengapa Tiara pergi ? Mengapa membiarkan hidupmu sendiri dengan beban yang harusnya ditanggung juga oleh Angga ?”
Angga memberikan beberapa helai tissue, Bu Bambang kembali ke samping Pak Bambang. Semua menunggu jawabanku. Kutarik nafas panjang, mencoba merangkai kata dalam hati. Aku memandang Angga, matanya mengandung sejuta pertanyaan yang harus aku jawab.
“Bapak dan Ibu pasti paham dengan kondisi pertemuan kita tiga tahun yang lalu. Kepergian saya pada dasarnya tidak ingin merusak lebih jauh tatanan pernikahan antara Mas Angga dan Mbak Desi, meskipun pada akhirnya Mbak Desi mengikhlaskan Mas Angga untuk menikahi saya.”
“Menurut saya, tidak adil rasanya membagi perasaan Mas Angga dengan saya, meskpun itu adalah keterlambatan yang tidak dapat ditolerir. Saya mengharapkan bahwa dengan kepergian saya, dapat memperbaiki hubungan Mas Angga dan Mbak Desi.” Lanjutku. Semua diam, belum berkomentar.
“Tiga minggu setelah pertemuan itu, saya dinyatakan mengandung, saya tahu siapa bapaknya. Janji hati saya untuk tidak kembali merusak pernikahan Mas Angga, saya tidak memberitahukan kehamilan saya ke Mas Angga, dan rencana yang saya sampaikan pada pertemuan akhir itu, menjadi scenario hidup yang harus saya jalani di masa yang akan datang. Saya berangkat ke Bali ketika kehamilan saya memasuki bulan ketiga. Orang tua saya, tidak pernah tahu, siapa bapak Danish, dan saya tidak menikah untuk menutupi status saya.” Air mataku kembali berlinang.
“Danish adalah anugerah untuk saya, menggantikan sosok Mas Angga, janji saya, suatu hari saya akan sampaikan kepada Mas Angga, meskipun saya tak tahu kapan.”
Angga tidak bergeming dengan diamnya. Tangannya menggengaam jemariku erat. Aku tahu sifatnya. Dia hanya akan bicara tentang perasaannya ketika kami berdua.
“Tiara, saya tahu Angga tidak jujur tentang kondisi yang terjadi di akhir-akhir masa waktu itu. Angga tidak cukup berani, karena jika diungkapkan akan menambah rasa bersalahmu. Desi sudah divonis dokter tidak berumur panjang ketika saya sampaikan tentang keikhlaskan Desi untuk menerimamu sebagai madu. Tentang bagaimana bentuk keikhlasannya itu, kami memang tidak pernah tahu, tapi Desi cukup bijak untuk mengatur anak-anaknya berada di tangan siapa ketika dia sudah tidak ada.”  Pak Bambang berkata dengan tenang.
“Tentang kehamilanmu, mungkin firasat Desi untuk segera mencarimu, dia berkata “Tolong cari Tiara, dia butuh Angga disampingnya, ada anak yang dikandungnya, anak Angga, Sampaikan aku ikhlas dia menjaga anak-anakku” itu pesan terakhir sebelum Desi meninggal.”
“Satu minggu sejak meninggalnya Desi, kami kembali ke Semarang, dan kami tidak pernah mendapatkan informasi dimana kamu berada, sampai akhirnya kami disini, dan menemukanmu. Jika kami harus kehilangan Desi, apakah kami harus kehilangan darah daging kami juga?” Bu Bambang menambahkan disela isaknya.
Angga menarikku dalam pelukannya, badanku terguncang. Perasaan bersalah satu per satu berganti  dari kesalahan yang satu dengan yang lain. Dulu kuanggap semua keputusanku adalah satu kebijaksanaan yang bisa menyelesaikan permasalahan di keluarga besar ini, dan aku tak menghiraukan beban apa yang akan aku jalani nanti.
“Tiara, jangan pernah pergi lagi. Kembali ke Jakarta, hidupmu disana, bersama kami.” 
Pak Bambang menghampiriku, dan mengusap rambutku.
“Bicarakan segala sesuatunya dengan Angga.” Kata-kata itu tanpa beban, namun menunggu satu tindakan. Pak Bambang mengecup keningku dan berjalan menuju pintu bersama Bu Bambang, meninggalkan kami berdua.

***

Suasana hening, aku masih diam dengan isak kecil didada Angga. Belaian halus terasa begitu menyejukkan, membiarkan kata hati saling bicara. Jujur, aku bingung untuk memulainya. Kehadiran buat hati yang tak diketahui, membuat kami seakan lebih menyatu. Jalan Allah tidak pernah diketahui, kita  hanya berencana tentang segala sesuatu yang kita harapkan.
Angga merenggangkan peluakannya dan mengangkat wajahku perlahan. “Kenapa tidak pernah bilang ada Danish di antara kita ?” Jarinya menyentuh sudut bibirku, dan menggantinya dengan kecup kecil dan sesaat.
“Surat cinta terakhirmu, membuat hidupku menjadi gelap, dan begitu meyakinkanku bahwa aku tidak bisa menemukanmu kembali.”
“Maafkan aku Mas, apa yang aku sampaikan tadi, itu adalah satu jawaban tentang semua keputusanku, aku tidak mau menambah beban dalam keluarga Mas lagi.”
“Jujur, pesan terakhir Desi, memberiku semangat bahwa suatu hari aku pasti menemukanmu lagi. Hidupku seolah menunggu keajaiban untuk bertemu denganmu dan anakku. Entah kapan, tapi aku yakin aku pasti bisa menemukanmu.”
“Tak terbayangkan bagaimana keluarga besar Mas menilaiku seperti apa sekarang. Ketakutan itu sudah ada sejak pertama kali kita bersama, di satu sisi ketakutan itu ada, namun di sisi lain perasaanku tidak bisa aku hindari, itulah egoisku.”
“Tiara …”.
“Kenapa tidak panggil aku Mbak lagi ?” tanyaku terdengar aneh
“Karena sekarang adalah ibu anakku.”  Bisiknya.
“Aku tidak akan berkata banyak tentang hari-hari yang telah kau lalui sendiri, tanpaku. Tapi aku akan menebus waktu dan beban yang telah kau lalui dalam kesendirian. Biarkan aku membahagiakanmu. Janji yang kuucap sejak pertama kali, aku penuhi tanpa ada yang aku ingkari, perlahan tapi pasti, semua jalan telah kita lalui, dan telah pada satu titik yang aku tunggu, Menikahlah denganku…, jadilah ibu dari anak-anakku.”  
Untaian kata itu melantun penuh arti, berapa kali Angga mengajakku menikah, tapi kali ini, yang bisa membuatku untuk berkilah karena satu alasan….Inikah waktu yang aku tunggu ?
“Mama ..” suara kecil memecahkan keheningan kami. Angga berdiri dan mendekap erat Danish, menciumnya berulang kali. Matanya berkaca-kaca. Diah meninggalkan kami bertiga.
“Mama, Eyang bilang kita mau pindah Jakarta.” Suaranya terdengar riang, Angga mengangguk dan mengiyakan tanpa persetujuanku.
“Benar Papa?” matanya memandang ke arah Angga. Aku terkejut dengan sebutan yang diberikan Danish kepada Angga. Angga memandangku.
“Yups… minggu depan kita pindah ya. Papa siapkan semuanya di Jakarta.” 
“Aku yang memperkenalkan diri sebagai papanya ketika dia sampai di hotel tadi.” Bisik Angga lembut. Aku terpana, artinya dia sudah yakin bahwa Danish adalah anaknya sejak sore tadi. Danish melepaskan diri dari gendongan Angga dan menghampiriku.
“Love you Mom.” Tangannya terangkat ke atas meminta pelukan, aku memeluknya dengan linangan air mata, kebahagiaan mengalir dan rasa syukur aku panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Pandanganku beralih pada Angga, dan tersenyum…
“Ya, aku mau menikah denganmu…”
Angga memeluk kami berdua, bukan satu yang mudah untuk mengungkapkannya, rasa sayang, kehangatan, dan kebersamaan hadir semakin mendalam, satu perjalanan hidup terjalin dengan segala cerita yang silih berganti, dan sampai pada satu titik yang merupakan satu komitmen awal.
Dan semunya, dimulai dengan Bismillah…