“Danish, sini, ikut Mama
yuk.” teriakanku mengagetkan bocah laki-laki berumur 2 tahunan. Bocah kecil itu
tertawa sambil mengulurkan tangannya. Aku menggendongnya dengan hati-hati.
“Be a good Boy, kita
jalan-jalan sore ini.” Kecupanku mendarat di keningnya yang lebar.
“Mama, nanti boleh aku
bawa bola.” Bocah kecil itu merajuk, aku mengangguk.
“Mbak, tolong siapkan
bawaannya, kita ke pantai setengah jam lagi. Udara lagi bagus.”
“Baik Bu.” Diah adalah
pengasuh Danish sejak bayi, tepatnya bersamaku sejak aku pindah ke Bali tiga
tahun yang lalu. Usianya masih muda, tapi begitu cekatan dalam pekerjaannya,
bahkan dia terkadang membantu pekerjan kantorku.
Udara Bali terasa panas
sekali sore ini. Musim liburan telah
tiba dan wisatawan begitu ramai baik local maupun asing. Aku suka Pantai Kuta
di sore hari, menikmati angin pantai dengan ombak yang berirama.
Kubiarkan Danish bersama
Diah, aku membaca novel terbaru di kursi panjang dengan payung lebar. Suara
ombak dan hembusan angin membuatku mengantuk, mataku mencari-cari Danish. Kemana
anak itu, pikirku.
Aku berdiri dengan cepat
dan mengambil tas kecilku. Satu lemparan bola jatuh tepat di kakiku, aku
membungkukkan badan dan mengambilnya. Hmm dasar bocah. Kuperhatikan bola itu,
bukan bola Danish. Aku mengarahkan pandanganku di antara sekeliling mencari
pemilik bola, tak ada seorangpun yang mencari. Aku kembali duduk dan
mempermainkan bola dengan motif warna warni itu.
“Sore Mbak, maaf itu
bola anak saya, tadi terlempar ke sini.” Suara laki-laki menggagetkanku.
“Oya, saya memang sedang
menunggu, siapa tahu ada yang cari.” kataku seraya menyerahkan bola itu tanpa
melihatnya. Tanganku terjulur kearahnya, tapi bola itu tidak diambilnya. Tanganku
menggantung.
“Tiara.” suara laki-laki
itu lagi.
Aku mengangkat wajahku
segera. Kacamata hitamku kubuka perlahan memperjelas siapa yang memanggilku. Pandangan
kami bertemu, tak ada satupun yang berusaha melepaskanya. Terpaut dalam
beberapa detik.
“Angga ?” suaraku
tertahan.
“Ya.” Suaranya seperti
tersedak.
Aku segera berdiri dan mengulurkan
tangan. “Apa kabar?”
Angga menjabat tanganku
dengan erat.
“Baik, gimana kabarnya
Mbak ?.”
“Baik.” Jawabku
“Liburan di sini ?”
Matanya mencari-cari seseorang di sekitarku.
“Aku tinggal di sini.
Mas liburan?”
“Ya, baru kemarin
sampai, Bapak dan Ibu ikut juga.” Darahku mengalir cepat.
“Mama !!” teriakan kecil
memanggilku dari kios es krim di sebelahku.
“Hai, No ice cream
today.” Teriakku sambil melambaikan tangan. Bocah laki-laki itu berlari
kearahku dan memelukku,
“Aku mau ice cream Mom.!! Danish berteriak dan
merajuk. Angga memperhatikan kami dengan seksama.
“Anak Mbak ?” tanya
Angga dengan ragu. Aku tersentak, mukaku terasa pucat tiba-tiba. Danish berlari
kecil mendekatiku.
“Danish this is uncle
Angga. Angga, ini Danish, anakku.” ujung
kata terakhir kuucap dengan pelan.
Danish mengulurkan tangannya dengan cepat dengan senyum lebar.
“Hi Boy.. nice to meet
you.”
“Uncle, where do you
live ?” mata polos itu memandang lekat Angga.
“Jakarta.” Angga menarik
Danish dan menggendongnya. Lidahku
terasa kelu.
“Hmmm, I love
Jakarta, Mama bilang Jakarta panas, dan
macet.”
Angga tertawa. “Nanti
Uncle bawa ke Jakarta ya, bilang sama Mama.”
“Mom, did you hear
that?” Danish memandangku dengan memohon.
“Yups, next time.”
Danish tertawa dengan riangnya.
“Mas, ini bolanya.” Aku
mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya. Umur berapa ?”
tanya Angga sambil menurunkan Danish dari gendongannya.
“Dua tahun.” Jawabku
pelan.
“Berapa ?” tanya Angga
meyakinkan.
“Dua tahun.” tegasku.
Angga terdiam. Raut
wajahnya berubah pucat.
“Bapak dan Ibu nginap
dimana ?”
“Tuh.” Tangannya
mengarahkan ke hotel tepat di belakangku.
“Ow.. salam untuk Bapak
dan Ibu.”
“Kita ke sana saja
sekarang yuks, mumpung lagi ngumpul. Aku jemput Seva dulu.” tak sempat aku
menjawab, Angga sudah meninggalkan kami.
Aku termenung seraya
menatap tubuh tegap yang kemudian hilang di antara kerumunan orang. Kenapa
harus ketemu lagi ? pikirku.
“Bu, saya bawa Danish ke
toilet dulu untuk bersih-bersih.” Suara Diah mengagetkanku.
Aku mengangguk.
Tiga tahun terasa cepat
berlalu. Tiga tahun pula sudah aku tinggal di Bali, meniti kehidupan dan karir
dari nol, tanpa rencana. Apa yang aku sampaikan pada pertemuan terakhir dengan
keluarga Pak Bambang, ternyata menjadi kenyataan. Aku meninggalkan Semarang,
satu bulan sejak pertemuan itu. Itulah kehidupan, semua kehendak yang kuasa,
terjadilah.
Angga berlari-lari kecil
kearahku bersama Seva, putri sulungnya yang sudah tumbuh besar.
“Hai Tante, apa kabar?”
Seva berteriak dan memelukku.
“Duh Seva, udah gede,
dan tambah cantik. Alhamdlillah Tante baik. Gimana sekolahmu ?”
“Dah mau SMP Tan, bentar
lagi ujian ni.”
“Hmmm, mesti tambah
rajin belajar ya.. jaga kesehatan juga.”
“Iya Tan, dulu Mama suka
bilang, biar pinter kayak Tante Tiara.”
Aku tersentak
mendengarnya, “Ah, Mama bisa aja, Mama Papa kan pinter, kok lari ke Tante.”
Suaraku terdengar parau.
“Kata Mama, Tante itu
pinter segalanya.” Aku tertawa. Aku memandang Angga, Angga tersenyum.
“Mama, ayo katanya mau
pergi.” Danish berteriak dan melambaikan tangan. Seva memandangku.
“Bentar ya Seva. Tante
jemput dulu Danish.” Seva mengangguk dan memandang Angga. “Anaknya Tante
Tiara.” Kata Angga seolah mengerti apa arti pandangan Seva. “
“Seva, Ini Danish. Danish,
ini Kakak Seva.”
“Hai Danish.”
Danish mengulurkan tangan
mungilnya dan tersenyum.
“Hai Kak Seva.” Suara
terdengan lucu ketika menyebut nama Seva.
“Mas, aku pulang dulu,
nanti kita ketemu makan malam.”
“Kenapa ?” tanyanya
dengan pandangan sedikit kecewa.
“Biar rapi aja Mas, ga
enak berantakan begini.” Alasanku meluncur begitu saja.
“Tapi, Mbak ga akan
meninggalkan kami lagi ?” kalimat itu membuatku tersentak mundur, seakan
teringat apa yang terjadi di masa lalu.
“Mengapa Mas bicara
begitu ?”
“Kami sudah cukup
kehilangan Mbak.”
Angga atau keluarga
besarnya yang kehilangan aku ? pikirku dalam hati. Aku mengeluarkan kartu nama dari dompetku.
“Aku ada di sini Mas,
info aku Bapak dan Ibu mau makan dimana, aku akan ke sana.”
Angga menerima kartu
nama itu dan membacanya.
“Sebelas nomor ini yang
aku tunggu sejak mbak meninggalkanku….” bisiknya.
“Sampai ketemu Mas.”
“Seva, Tante pulang
dulu, nanti kita ketemu lagi ya …”
“Oke Tante, tapi boleh
Danish duluan ama Seva ke hotel? Aku tersenyum, “Baju Danish penuh pasir
pantai, Tante ga bawa baju lagi. Biar Danish ganti baju dulu ya.” Seva menggangguk dengan enggan.
Aku pamit dan melangkah
ke parkiran mobil di ujung jalan. Aku masih membalikkan badan dan melihat
mereka. Angga dan Seva masih berdiri di sana, dan memperhatikan kami. Aku
melambaikan tangan dan terus berjalan…..
***
Mataku memandang wajah
di cermin dengan seksama. Tiga tahun ini, tidak banyak perubahan di wajahku,
juga kelahiran Danish, tidak banyak berpengaruh pada tubuhku. Hmmm, mengapa tiba-tiba
aku memperhatikan dua hal itu ? Bukankah aku selalu enjoy dengan apa yang ada
didiriku ? Apa karena pertemuanku dengan Angga tadi sore ? Upsss… aku
mengenyahkan pikiranku tentang itu.
Dandanku sederhana,
dengan baju casual yang menjadi ciri khas. Malam ini adalah istimewa, sekian
tahun aku tak bertemu dengan Pak Bambang dan keluarganya, dan malam ini seakan menjadi
awal dari perjalananku kembali, dalam arti komunikasi dan silaturahmi kami akan
dimulai. Aku masih tertegun menatap diri di cermin, apa yang harus aku
sampaikan jika mereka bertanya, mengapa aku meninggalkan mereka ?
Aku menghela nafas
panjang. Masih teringat dengan jelas, kepulanganku dari Jakarta ke Semarang
hari itu, membawa beban yang aku yakin bahwa aku harus menanggung beban dan menyelesaikan
sendiri. Bapak dan Ibu tidak bisa menghalangi kepergianku ke Bali satu bulan
kemudian. Kekecewaan, kemarahan dan kekhawatirannya menjadikan bebanku semakin
berat, dimana jelang keberangkatan itu aku sampaikan bahwa aku mengandung. Masih
aku ingat, ketika bapak memintaku untuk menyebutkan siapa ayah anak itu dengan
kemarahan yang meluap, Ibu menangis tak mampu menghalangi Bapak. Aku mohon maaf
dan ampun, namun aku tetap bertahan, tanpa menyebut satu nama yang Bapak
harapkan, aku tak akan bicara, sampai suatu hari aku yakin aku akan bicara
kepada Bapak dan Ibu. Hanya satu pesanku kepada Bapak dan Ibu, tak ada yang
bisa mencariku selain Bapak dan Ibu.
Kutinggalkan Semarang
dengan bekal yang ada. Kesempatanku untuk memulai usaha hanya memiliki waktu 6
bulan jelang kelahiran Danish, dan aku bekerja keras untuk mewujudkannya. Memasukin
bulan ke 7, Danish lahir dengan didampingi Ibu. Ada perasaan sakit ketika
menghadapinya sendiri, menangis dan menangis, tanpa mampu aku harus utarakan
siapa yang sebenarnya harus mendampingiku. Masih teringat ketika aku merasakan
puncak akhir rasa sakit yang luar biasa, dan ketika itu tersebut nama Angga
tanpa sengaja, dan aku berharap, Ibu tidak mendengarnya.
Danish adalah buah
cintaku dengan Angga, tanpa Angga mengetahui keberadaannya. Danish adalah
pengganti Angga yang mampu memberiku cinta dan semangat setiap waktu.
“Mama, aku sudah siap.”
Suara kecil di balik pintu mengagetkanku. Aku bergegas merapikan dandanku, ada
linangan air mata yang terlihat jelas. Kutarik satu lembar tissue, dan
menekannya perlahan di kedua pelupuk mataku.
“Ya sayang, wait…. “
Suara pintu diketuk
dengan keras. Aku membukanya dengan cepat. Mataku tertumpu pada baju yang di
Danish kenakan malam itu.
“Nice t’shirt. ” Badanku
membungkuk dan mengangkat badannya ..
“Ready to go Mom?”
tanyanya polos
Aku mengangguk, menurunkannya
dan menuntunnya berjalan. Diah mengikuti kami dari belakang. Handphone ditanganku
berbunyi, satu pesan masuk aku baca dengan cepat “Louge Private Hotel.” Nomor
itu masih tetap, dan aku tidak perlu mengingatnya meskipun tidak aku save
dengan namanya. Tanganku menekan tombol reply “Ok”. Cukup.
***
Langkahku tersendat
ketika memasuki lobby hotel megah itu. Angga telah menungguku di sofa dan
beranjak menghampiri kami. Danish digendongnya dengan lembut, dan mereka berdua
tertawa lepas seakan telah lama saling mengenal. Aku bingung bagaimana aku
harus bersikap, salah tingkah, dan grogi, campur menjadi satu.
Aku memasuki private
lounge perlahan, terdengar suara-suara yang tak begitu jelas, jantungku
berdegub kencang.. Aku berhenti, ragu melangkah kaki berikutnya. Angga
menggelengkan kepala, dan tersenyum, “Ayo”.
“Tiara.” Suara berat
laki-laki yang sangat aku kenal memanggilku tegas.
“Bapak!!” Aku tergopoh menghampiri, menyalami dan
memeluknya. Pak Bambang memeluku erat,
aku menangis dan meminta maaf. Bu
Bambang dengan sabar menungguku dengan Danish dalam gendongannya. Semua seperti
terhipnotis, tanpa kata memandangku.
Pak Bambang terlebih
lebih kurus, perasaan berdosa menyelimuti benakku. Berapa lama aku tidak
melihat wajah tua yang masih penuh wibawa itu ? Lidahku kelu, begitu banyak
yang aku sampaikan dalam pelukannya, tak ada satu kata pun yang terucap. Pak Bambang melepaskan
pelukannya, “Ke Ibu dulu.” Bisik Pak Bambang. Kuhampiri Bu Bambang dengan air
mata yang masih terus berlinang. Bu Bambang mendekapku dengan erat, satu
kalimat yang bisa aku ucapkan dalam pelukannya .. “maafkan aku Bu.” Aku
mendengar isak pelan dalam pelukanku, semua seolah terhanyut dalam suasana. Kukecup
pipi Bu Bambang halus… Bu Bambang mengusap menatapku, mengusap sisa air mata di
sudut mataku.
“Danish, peluk Eyang.”
Mataku memandang Danish yang masih dalam gendongan Bu Bambang. Badannya yang
kecil meronta meminta turun dan menghampiri Pak Bambang. Tangannya terulur
memberi salam, dan mengecupnya. Pak
Bambang membungkuk dan menggendongnya. “Anak pintar.” Danish memeluk Pak
Bambang erat, semua memperhatikannya.
“Kamu adalah bagian dari
kami, Danish tahu bahwa kami adalah bagian dari kehidupan dia.” Ujar Pak
Bambang. Aku terpukau mendengarnya.
Aku membalikkan badan
dan memandang sekeliling, wajah-wajah itu tak banyak yang berubah, senyumnya
hangat dan menampakkan kerinduan. Widi mendekatiku, dan memelukku. “Tiara, 3
tahun aku tidak bisa menghubungimu, apalagi melihatmu, kamu lebih dewasa.”
Bisiknya. “Aku tersenyum, waktu yang bisa merubahnya Mas.” Balasku pelan.
Satu per satu aku
hampiri anggota keluarga itu aku, peluk hangat mereka tak ada yang berubah,
tetap nyaman. Tapi … Ada satu yang tak hadir di sini… Desi. Baru aku akan
bertanya, Pak Bambang mendekatiku “banyak yang terjadi setelah kamu pergi, tapi
kami tidak pernah mencoba menghilangkan sosokmu dalam keluarga kami.
“Kita makan dulu, baru
kita ngobrol ya.”
Susunan kursi makan
seperti yang sudah diatur, aku tetap mendapatkan kursi sebelah kanan Pak
Bambang. Tepat di sebelaku sekarang adalah Angga, Danish, Seva dan yang lain.
Aku agak bingung dengan posisi ini, tapi mereka seolah sudah menerima dengan
pengaturan ini.
“Mas, biar Danish di sebelahku,
nanti merepotkan.” Ujarku pada Angga.
“Ga apa-apa Mbak, aku
bisa kok.” Jawabnya. Aku membiarkan dengan keinginannya. Danish tidak terlalu
repot dalam hal makan bersama, dia sudah terbiasa makan dengan rapi di setiap
jamuan.
Suasan makan malam itu
berjalan dengan santai, canda Bayu masih terus menghangatkan suasana. Citra
yang ramah dan semakin dewasa. Aku rindu dengan suasana ini. Sesekali aku
melihat Widi mencuri pandang kearahku, aku tersenyum dan melepaskan
pandanganganya. Ada satu pertanyaanku tentang Desi, sejauh ini tidak ada di
sekitar kami, mungkin Desi tak bisa berangkat karena kesibukan pekerjaannya,
pikirku.
Makan malam berlangsung
tidak lebih dari satu jam. Satu per satu meninggalkan ruangan. Seva pamit
mengajaknya bermain dengan Dian. Pak Bambang mengajakku ke sofa di tengah
lounge, Bu Bambang mengikutinya dari belakang. Aku mencari-cari anggota
keluarga lain yang mengikuti kami, hanya Angga yang masih setia di antara kami.
“Mom, I want a cup hot tea.” Terdengar suara
di belakangku.
Aku menggendongnya, with
sugar ? Danish menggeleng dengan cepat. I’m so cold here, bisknya. Semua
tersenyum. Angga mengajak Danish meninggalkan ruangan itu. Aku terdiam tanpa
menghalanginya. Dan, semua mata memandang ke arah mereka. Rasa dingin tiba-tiba
merasuki seluruh tubuhku. Aku melihat kemiripan di antara mereka berdua.
“Jadi, selama ini kamu
tinggal di sini?” Suara Pak Bambang mengagetkanku.
“Iya, satu bulan sejak
pertemuan terakhir, saya pindah ke sini sesuai dengan rencana.”
“Masih dengan profesi
yang sama?” pertanyaan Pak Bambang mengagetkanku.
“Masih, hanya itu yang
bisa saya tekuni.” Sedikit tergagap aku menjawabnya.
“Tiara sering ke
Semarang? Tanya Bu Bambang.
“Kecuali tahun pertama,
setiap lebaran saya pulang” jawabku
Tatapanku ke arah pintu,
mencari sosok kecil Danish, tak kutemukan.
“Kami yakin kamu bisa
melakukan apa yang kamu mau, kecerdasan dan ketekunanmu selama ini sudah
menunjukkan kemampuan di luar bidangmu.”
Aku tersipu. “Dulu iya,
sekarang sudah beda, usia bertambah agak sedikit lambat jadinya.” Candaku.
“Kamu masih tetap sama
Tiara, selalu semangat dan percaya diri.” Bu Bambang menimpali.
“Suamimu di Bali juga?”
pertanyaan Pak Bambang mengaggetkanku. Itu yang sebenarnya aku hindari, namun
aku yakin bahwa petanyaan itu akan muncul tanpa aku siap menjawabnya.
Aku terdiam.
“Tidak Pak.”
“Di Jakarta?” tanyanya
lagi.
Aku menggeleng.
Tiba-tiba semua terdiam.
“Kamu belum siap
bercerita tentang dia, suatu hari kamu harus membawanya kepada kami.”
Angga memasuki ruangan.
“Danish dengan Seva dan Mbak
Diah di taman.”
Aku mengangguk dan
mengucapkan terima kasih.
“Bapaknya Danish di mana
Mbak ?” Angga bertanya dengan sekonyong-konyong. Pak Bambang seketika memandang
Angga tanpa kata. Angga tergagap.
“Ada mas.” Aku menjawab
cepat.
“Angga, pertemuan demi
pertemuan tanpa kita rencanakan, seolah menjadi satu hubungan yang tidak bisa
dipungkiri, ini adalah takdir. Dari
pertemuan terakhir kita, hingga pertemuan kali ini, sudah di atur oleh Yang
Kuasa, apapun yang terjadi sebelum pertemuan ini, sebenarnya kita telah saling
mengetahui.”
Aku memandang Pak
Bambang tak mengerti.
Angga terdiam.
“Maksud Bapak ?” spontan
aku melontarkan pertanyaan itu.
“Tiara, banyak yang
terjadi setelah kamu pergi, tentang keluarga besar, perusahaan dan lain-lain. Dan kami mencoba
mencarimu hingga kami harus mengirim orang untuk menemui orang tuamu di
Semarang, tak ada informasi sedikitpun tentangmu yang kami dapat dari mereka.
Semua seolah terkunci.”
Aku tahu mereka
mencariku ke Semarang, bisikku dalam hati.
“Desi meninggal dunia tiga
bulan setelah kepergianmu.”
Aku tersentak kaget, dan
hanya mampu berucap “Innalillahi Wainailaihi rojiun.”
“Menjelang kepergiannya,
hanya satu yang dia minta kepada kami, temukan Tiara.” Aku mulai menangis,
perasaan berdosa benar-benar telah menyelimutiku. Aku tidak ingin memotong
pembicaraan Pak Bambang. Angga tertunduk.
“Kami tidak menyangka
akan kepergianmu itu Tiara, tindakanmu diluar perkiraan kami. Rencana saya
waktu itu, setelah kepulanganmu dari Jakarta, kami akan ke Semarang untuk menceritakan
semuanya, dan cerita itu tak pernah kamu tahu.”
Aku semakin tidak
mengerti.
Angga berpindah duduk di
sebelahku, tangannya menyentuh jemariku
dihadapan orang tuanya. Aku menariknya perlahan, tanpa memandang Angga.
Kikuk.
“Tiara, apakah Danish
anak Angga ?.” Suara Pak Bambang terdengar pelan dan hati-hati, tapi seperti
petir di siang bolong di telingaku. Mukaku terangkat, mataku memandang Pak
Bambang. Semua menunggu jawabanku. Tangisku meledak tak tertahan lagi. Angga
memelukku. Tangisanku berlabuh di dada Angga, saat seperti inilah yang aku
rindukan, dimana aku bisa melepaskan tangisan, melepas beban dalam dekapan
orang yang aku cintai.
Pak Bambang menghela
nafas panjang, Ibu Bambang menghampiriku, dan mengusap-usap rambutku. Tahukah
apa yang aku rasakan sekarang ? Aku malu kepada Pak Bambang dan Ibu, aku tidak
bisa menjaga amanah yang mereka berikan kepada ku selama aku bersama mereka. Tangisanku
beralih dalam pelukan Bu Bambang, diantara isakanku, aku mohon maaf … Bu
Bambang mengangkat badanku, memandang mataku.
“Mengapa Tiara pergi ?
Mengapa membiarkan hidupmu sendiri dengan beban yang harusnya ditanggung juga
oleh Angga ?”
Angga memberikan
beberapa helai tissue, Bu Bambang kembali ke samping Pak Bambang. Semua
menunggu jawabanku. Kutarik nafas panjang, mencoba merangkai kata dalam hati.
Aku memandang Angga, matanya mengandung sejuta pertanyaan yang harus aku jawab.
“Bapak dan Ibu pasti
paham dengan kondisi pertemuan kita tiga tahun yang lalu. Kepergian saya pada
dasarnya tidak ingin merusak lebih jauh tatanan pernikahan antara Mas Angga dan
Mbak Desi, meskipun pada akhirnya Mbak Desi mengikhlaskan Mas Angga untuk
menikahi saya.”
“Menurut saya, tidak
adil rasanya membagi perasaan Mas Angga dengan saya, meskpun itu adalah
keterlambatan yang tidak dapat ditolerir. Saya mengharapkan bahwa dengan
kepergian saya, dapat memperbaiki hubungan Mas Angga dan Mbak Desi.” Lanjutku.
Semua diam, belum berkomentar.
“Tiga minggu setelah
pertemuan itu, saya dinyatakan mengandung, saya tahu siapa bapaknya. Janji hati
saya untuk tidak kembali merusak pernikahan Mas Angga, saya tidak
memberitahukan kehamilan saya ke Mas Angga, dan rencana yang saya sampaikan
pada pertemuan akhir itu, menjadi scenario hidup yang harus saya jalani di masa
yang akan datang. Saya berangkat ke Bali ketika kehamilan saya memasuki bulan
ketiga. Orang tua saya, tidak pernah tahu, siapa bapak Danish, dan saya tidak
menikah untuk menutupi status saya.” Air mataku kembali berlinang.
“Danish adalah anugerah
untuk saya, menggantikan sosok Mas Angga, janji saya, suatu hari saya akan
sampaikan kepada Mas Angga, meskipun saya tak tahu kapan.”
Angga tidak bergeming
dengan diamnya. Tangannya menggengaam jemariku erat. Aku tahu sifatnya. Dia
hanya akan bicara tentang perasaannya ketika kami berdua.
“Tiara, saya tahu Angga
tidak jujur tentang kondisi yang terjadi di akhir-akhir masa waktu itu. Angga
tidak cukup berani, karena jika diungkapkan akan menambah rasa bersalahmu. Desi
sudah divonis dokter tidak berumur panjang ketika saya sampaikan tentang
keikhlaskan Desi untuk menerimamu sebagai madu. Tentang bagaimana bentuk
keikhlasannya itu, kami memang tidak pernah tahu, tapi Desi cukup bijak untuk
mengatur anak-anaknya berada di tangan siapa ketika dia sudah tidak ada.” Pak Bambang berkata dengan tenang.
“Tentang kehamilanmu, mungkin
firasat Desi untuk segera mencarimu, dia berkata “Tolong cari Tiara, dia butuh
Angga disampingnya, ada anak yang dikandungnya, anak Angga, Sampaikan aku
ikhlas dia menjaga anak-anakku” itu pesan terakhir sebelum Desi meninggal.”
“Satu minggu sejak
meninggalnya Desi, kami kembali ke Semarang, dan kami tidak pernah mendapatkan
informasi dimana kamu berada, sampai akhirnya kami disini, dan menemukanmu.
Jika kami harus kehilangan Desi, apakah kami harus kehilangan darah daging kami
juga?” Bu Bambang menambahkan disela isaknya.
Angga menarikku dalam
pelukannya, badanku terguncang. Perasaan bersalah satu per satu berganti dari kesalahan yang satu dengan yang lain.
Dulu kuanggap semua keputusanku adalah satu kebijaksanaan yang bisa
menyelesaikan permasalahan di keluarga besar ini, dan aku tak menghiraukan
beban apa yang akan aku jalani nanti.
“Tiara, jangan pernah
pergi lagi. Kembali ke Jakarta, hidupmu disana, bersama kami.”
Pak Bambang
menghampiriku, dan mengusap rambutku.
“Bicarakan segala
sesuatunya dengan Angga.” Kata-kata itu tanpa beban, namun menunggu satu
tindakan. Pak Bambang mengecup keningku dan berjalan menuju pintu bersama Bu
Bambang, meninggalkan kami berdua.
***
Suasana hening, aku
masih diam dengan isak kecil didada Angga. Belaian halus terasa begitu
menyejukkan, membiarkan kata hati saling bicara. Jujur, aku bingung untuk
memulainya. Kehadiran buat hati yang tak diketahui, membuat kami seakan lebih
menyatu. Jalan Allah tidak pernah diketahui, kita hanya berencana tentang segala sesuatu yang
kita harapkan.
Angga merenggangkan
peluakannya dan mengangkat wajahku perlahan. “Kenapa tidak pernah bilang ada
Danish di antara kita ?” Jarinya menyentuh sudut bibirku, dan menggantinya
dengan kecup kecil dan sesaat.
“Surat cinta terakhirmu,
membuat hidupku menjadi gelap, dan begitu meyakinkanku bahwa aku tidak bisa
menemukanmu kembali.”
“Maafkan aku Mas, apa
yang aku sampaikan tadi, itu adalah satu jawaban tentang semua keputusanku, aku
tidak mau menambah beban dalam keluarga Mas lagi.”
“Jujur, pesan terakhir
Desi, memberiku semangat bahwa suatu hari aku pasti menemukanmu lagi. Hidupku
seolah menunggu keajaiban untuk bertemu denganmu dan anakku. Entah kapan, tapi
aku yakin aku pasti bisa menemukanmu.”
“Tak terbayangkan
bagaimana keluarga besar Mas menilaiku seperti apa sekarang. Ketakutan itu
sudah ada sejak pertama kali kita bersama, di satu sisi ketakutan itu ada,
namun di sisi lain perasaanku tidak bisa aku hindari, itulah egoisku.”
“Tiara …”.
“Kenapa tidak panggil
aku Mbak lagi ?” tanyaku terdengar aneh
“Karena sekarang adalah
ibu anakku.” Bisiknya.
“Aku tidak akan berkata
banyak tentang hari-hari yang telah kau lalui sendiri, tanpaku. Tapi aku akan
menebus waktu dan beban yang telah kau lalui dalam kesendirian. Biarkan aku
membahagiakanmu. Janji yang kuucap sejak pertama kali, aku penuhi tanpa ada
yang aku ingkari, perlahan tapi pasti, semua jalan telah kita lalui, dan telah
pada satu titik yang aku tunggu, Menikahlah denganku…, jadilah ibu dari
anak-anakku.”
Untaian kata itu
melantun penuh arti, berapa kali Angga mengajakku menikah, tapi kali ini, yang bisa
membuatku untuk berkilah karena satu alasan….Inikah waktu yang aku tunggu ?
“Mama ..” suara kecil
memecahkan keheningan kami. Angga berdiri dan mendekap erat Danish, menciumnya
berulang kali. Matanya berkaca-kaca. Diah meninggalkan kami bertiga.
“Mama, Eyang bilang kita
mau pindah Jakarta.” Suaranya terdengar riang, Angga mengangguk dan mengiyakan
tanpa persetujuanku.
“Benar Papa?” matanya
memandang ke arah Angga. Aku terkejut dengan sebutan yang diberikan Danish
kepada Angga. Angga memandangku.
“Yups… minggu depan kita
pindah ya. Papa siapkan semuanya di Jakarta.”
“Aku yang memperkenalkan
diri sebagai papanya ketika dia sampai di hotel tadi.” Bisik Angga lembut. Aku
terpana, artinya dia sudah yakin bahwa Danish adalah anaknya sejak sore tadi. Danish
melepaskan diri dari gendongan Angga dan menghampiriku.
“Love you Mom.”
Tangannya terangkat ke atas meminta pelukan, aku memeluknya dengan linangan air
mata, kebahagiaan mengalir dan rasa syukur aku panjatkan kepada Yang Maha
Kuasa. Pandanganku beralih pada Angga, dan tersenyum…
“Ya, aku mau menikah
denganmu…”
Angga memeluk kami
berdua, bukan satu yang mudah untuk mengungkapkannya, rasa sayang, kehangatan,
dan kebersamaan hadir semakin mendalam, satu perjalanan hidup terjalin dengan
segala cerita yang silih berganti, dan sampai pada satu titik yang merupakan
satu komitmen awal.
Dan semunya, dimulai
dengan Bismillah…
0 comments:
Post a Comment