Saturday 7 May 2016

Masih Ada Langit Cerah



            Kakiku melangkah cepat, bahkan nyaris berlari kecil menurutku, memasuki aula dan menuju meja penerima tamu. Lalu lalang gadis-gadis cantik berseragam khusus meyakiniku bahwa aku tidak salah masuk ruangan. Di gedung ini ada tiga acara, sehingga aku harus memperhatikan dengan jelas apakah aku datang ke tempat yang tepat.
            “Vera!” satu teriakan di tengah alunan suara musik membuatku mencari sumber suara.  Pandanganku menemukan satu sosok wajah tidak banyak berubah, tetap cantik di usia matang. 
            “Riska!” aku membalas teriakannya. Sekonyong-konyong aku melangkah meninggalkan buku tamu yang seharusnya aku isi.  Tawa meledak di antara kami dengan pelukan yang saling mendekap. 
            “Kenapa baru datang?” tanyanya.  Aku tersenyum.
            “Seperti dulu, aku tidak rajin untuk datang ke acara terlalu dini.” candaku. “Sebentar aku isi dulu buku tamu, biar aku dapat jatah makan siang ya.” Kutuliskan namaku dengan lengkap, dan mencantumkan nomor telepon serta  membubuhi tanda tangan. Asti nama gadis penerima tamu itu, menyerahkan satu souvenir dan memandangku dengan menyelidik. Aku tersenyum. “Ada yang salah Mbak ?” tanyaku 
            “Ini Mbak Vera, pengarang buku?” tanyanya ragu.
            “Ya.” Jawabku. Semburat keceriaan sontak terlihat di raut wajah mungilnya. Tangannya mengambil sesuatu dari bawah meja, dan menyerahkannya kepadaku. “Boleh saya minta tanda tangan Mbak?”  Aku tersenyum, “Cerita Sahabat”, buku terakhirku, berada di tangannya, kububuhkan tandatangan dengan sebaris kalimat “Asti, thanks for reading my book, Love, Vera Justine.”  
            Ucapan terima kasihnya meluncur dengan cepat, aku tersenyum, meninggalkan Asti yang terus mendekap bukunya. 
            “Banyak yang datang Ris?” tanyaku. Kujejeri langkah Riska dengan cepat. Kedatanganku setelah acara makan siang, memang sangat terlambat. Mungkin ini jelang acara terakhir, tapi daripada aku tidak memenuhi undangan ini, terlambat lebih baik.
            “Lumayan. Dan kamu pasti akan surprise dengan teman-teman kita.”
            “Kenapa ? Banyak berubah ?” jawabku seraya tertawa. 
            “Faktor U ngaruh banget” kilahnya. Aku tertawa.
            Riska membuka pintu aula perlahan, mengintip ke dalam untuk melihat suasana.  
            “Ayo bisiknya.” Aku melongok ke dalam. Ampun, pintu aula ini menjadi pintu masuk utama dengan posisi di sebelah stage. Aku melihat para undangan duduk dengan rapi, dan semua pandangan terfokus pada acara yang sedang berlangsung. Aku yakin, siapapun yang keluar masuk dari pintu ini, pasti akan mengganggu konsentrasi mereka, melihat yang masuk, maupun yang keluar.
            “Ga ada jalan lain Ris? Gw bakalan jadi perhatian kalau lewat pintu ini.” 
            “Ada lewat taman, tapi jauh.  Sudahlah lewat sini aja, sekali-kali jadi perhatian di sini ga apa-apa.” ledeknya. 
            Aku enggan lewat jalan ini. Ada yang aku hindari dari pertemuan ini, aku tidak mampu menerima satu tatapan dari salah satu undangan ini, itu menjadi alasan mengapa aku datang terlambat. 
            “Bentar Ris, aku mau lihat daftar undangan.” Riska memandangku dengan tanda tanya.  “Mencari seseorang ?”  tanyanya dengan penuh selidik. Aku mengangguk. 
            “Dia ?” tanya Riska lagi. 
            “Iya.” Aku mengangguk pelan.
            “Aku tidak melihatnya dari tadi, atau mungkin di tidak datang.”
            Aku menghela nafas lega. 
            “Itu  yang membuatmu tidak mau lewat pintu ini.?” Aku menggeleng dengan cepat, menyembunyikan semburat merah dipipi. 
            Pintu aula terbuka sedikit, Riska masuk perlahan dan menarikku masuk. Benar, semua mata memandang ke arah kami. Terdengar tepuk tangan dan sorakan kecil memanggil namaku. Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan berjalan ke meja kosong terdekat.        
            “Gila Ris, ini yang aku hindari, ga enak mereka semua melihatku datang begini telat.”
            Riska tertawa senang. “Teman-teman menunggu dari tadi, sempat kami telepon ke asistenmu untuk konfirmasi, syukurlah kamu bisa datang. Mau makan dulu ?” 
            “Aku sempat makan tadi. Minum aja.”
            Riska segera beranjak menuju stand juice. Mataku memperhatikan sekeliling, masih aku ingat beberapa wajah yang aku kenal, 50% aku harus berusaha untuk mengingatnya. Lambaian-lambaian tangan kubalas ketika tatap kami bertemu, aku tersenyum, dan memberi kode aku akan menghampiri mereka.  
            “Ver, abis sesi ini, kamu isi acara ya.”
            Aku terbelak kaget. 
            “Acara apa ?” 
            “Mestinya kamu di jam 11, tadi rolling dengan yang lain.”
            Alisku terpaut, heran. “Kayaknya aku ga lihat aku mesti isi acara.” 
            “last revision, kamu isi acara.”
            “Aku harus bicara apa ?”
            “Buku terakhirmu.”
            “Whaat?? Apa hubungannya dengan acara ini?” Aku sedikit gusar.            
            “Mereka suka, itu pun masukan dari teman-teman.” 
            Aku termenung sesaat. Di sini aku sama dengan teman-teman lain, temu kangen dan silaturahmi, bukan acara bedah buku, yang bisa menimbulkan opini dan sanggahan.  
            “Ris, please  ga usah. Aku tak mau merusak suasana jika di antara yang hadir tidak setuju dengan tulisanku, karena itu menyangkut hubungan pribadi, nanti malah jadi ga enak.”
            “Coba profesional, resikomu adalah menerima sanggahan dari siapapun dan dimana pun atas tulisanmu.”  Mataku mendelik kesal, mulutku terkunci. Kuteguk minuman dingin didepanku, hampir tersedak ketika seseorang menepuk bahuku. Satu ciuman kecil menyentuh pipiku  dari arah belakang.  Kuambil tisu dan melap sisa minuman di sudut bibir, dan menoleh kepalaku. Mataku terbuka lebar, dan hampir aku berteriak ketika ku sebut satu nama.
            “Putri ?” Aku berdiri dan merangkulnya. Sahabat kecilku ini menatapku dengan berkaca-kaca,  berapa lama kita tidak bertemu ?  
            “Vera, aku ga nyangka kamu bisa datang, dari tadi aku tunggu seperti menunggu seorang kekasih.” Senyumnya  melebar.
            “Aku sudah agendakan sejak dua bulan yang lalu, dan Alhamdulillah aku bisa. Duduk yuk” Aku menarik tas di atas kursi  dan menuntun Putri duduk di sampingku. 
            “Gimana kabar keluarga ?” 
            “Baik, gimana Bapak dan Ibu?”
            “Sehat Alhamdulillah … Aku udah punya keponakan, namanya Mimi.” Jawabku riang.
            “Kapan Kak Winda nikah ? umur berapa Mimi? “
            “Dua tahun yang lalu, baru dua bulan, lagi lucu-lucunya.” 
            “Hmmm, trus undanganmu kapan?”  mimiknya penuh tanda tannya. 
            “Sabarlah, aku masih enjoy.” 
            “Enjoymu berlebihan kaleeeee, asyik dengan inspirasi-inspirasi yang dituangkan dalam tulisan.”
            “No, aku punya plan kok, tunggu aja.”
            “Boleh aku nanya ?”
            “Yups.” Jawabku singkat.
            “What’s his name ? I knew that he’s different.”
            “Not yet, and will be then.”
            “Really, means that you have no relation with someone now ?”
            “No worry.” Aku tertawa. 
            Riska mendatangiku dengan tergopoh-gopoh ke arahku, bisikannya tepat di telinga kiriku membuatku merinding, dan mengangkat sedikit bahuku. 
            “Apaan sih ?”
            “Bagianmu bentar lagi !” 
            “Jadi ?” tanyaku
            “Jadilah non… siap-siap, waktumu 30 menit.” 
            Aku mengangguk. Mempersiapkan diri di acara publik yang nyaris tidak aku kenal adalah lebih mudah bagiku untuk lebih terbuka mengemukakan pendapat-pendapat, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang isi buku itu, baik yang pro maupun yang kontra. Tapi di forum ini, 95% sedikitnya aku mengetahui mereka, aku merasa agak canggung, aku khawatir salah satu tokoh dari tulisan ini, ada di antara para undangan yang hadir. 
            “Salah satu teman kita, telah menjadi seorang Penulis dan mendapatkan penghargaan sebagai Penulis Muda Berbakat Indonesia 2015 kategori Favorite. Buku terakhirnya mencapai Best Seller pada penjualan bulan ketiga.  Bagaimana kita minta untuk maju ke depan untuk memberikan ulasan tentang buku terakhirnya ?” suara pembawa acara  disambut dengan tepuk tangan dan seluruh mata mengarah kepadaku. Aku tersenyum
             “Vera Kusumawardhani, silahkan maju.” 
            “Aku grogi Put.” Bisikku. Putri menepuk bahuku perlahan. 
            Aku berdiri dan melangkah. Aku tidak begitu suka menjadi perhatian seperti ini, begitu juga dengan acara-acara lain. Jika bukan karena pemberian penghargaan satu tahun yang lalu, aku tidak akan muncul di hadapan umum, cukup mereka mengenal satu nama yang kerap mengisi majalah-majalah dengan cerita fiksi, VERA JUSTINE. 
            Dion, menyerahkan mic kepadaku, aku mengucapkan terima kasih. Hening tiba-tiba seketika. Aneh, tiba-tiba aku kehilangan ice breaker
            “Assalamualaikum Wr.Wb. Terima kasih Dion, sudah memberikan kesempatan saya untuk bisa berdiri di mimbar ini. Terima kasih juga kepada panitia yang telah sukses menyelenggarakan temu kangen ini, dan saya senang bisa hadir dan bertemu dengan teman-teman semua, meskipun saya tidak tahu bahwa salah satu acaranya  saya harus berdiri disini.”
            “Menulis bukanlah hobi utama saya. Tak ada yang istimewa dari isi buku itu,  tulisan itu saya ambil dari beberapa riset baik secara langsung maupun tidak langsung, juga dari beberapa literartur yang telah saya baca dan menjadi referensi. Penghargaan yang saya dapatkan, menurut saya adalah suatu berkah yang mana penyebab penjualan buku itu melejit karena banyaknya kontra dari para pembaca dan mengakibatkan perlunya buku tersebut dibedah. Mungkin di antara teman-teman ada yang pernah membaca buku itu ketika cetakan pertama keluar, cetakan kedua sudah banyak tambahan sebagai resume hasil dari bedah buku dan masukan-masukan lain.”
            “Mbak Vera, topik dalam tulisan itu sempat membuat dunia pers meminta untuk menarik buku itu. Apa sebenarnya yang menjadi ide dalam pembuatan tulisan ini?”
            Aku terdiam sesaat. 
            “Sesuai dengan prolog buku itu, dilatarbelakangi pertemuan seorang sahabat yang bercerita tentang hubungan dengan kekasihnya yang mana hubungan tersebut lahir tanpa komitmen, sedangkan kekasih sahabatnya  mempunyai kekasih lain, dan akan segera menikah. Hubungan tersebut dikenal dengan istilah “Casual Relationship”. Istilah ini sangat menggelitik pikiran saya untuk mengetahui arti sebenarnya.”
            “Apa yang menyebabkan dunia pers meminta untuk  penarikan buku itu dari publik?.” 
            “Ketika seseorang membaca suatu cerita atau suatu berita, dia punya hak untuk menilai makna apa yang terkandung dalam setiap isi cerita dan berita itu. Persepsi yang diterima pasti berbeda-beda, apalagi dengan isitilah “Casual Relationship” yang berlaku di Indonesia, mengacu pada pengertian negara lain. Mereka tidak mencoba menelaah, mengartikan, istilah itu dengan kondisi real yang mungkin terjadi di negara kita.”
            “Dunia pers mengganggap bahwa buku itu menjadi acuan dihalalkannya “free sex” di Indonesia. Bagaimana menurut Mbak?”
            “Betul, itu alasan utama penarikan buku itu. Ada satu kalimat dalam tulisan saya yang menjadikan mereka berkesimpulan demikian, dan mereka tidak mereferensi pada bab-bab berikutnya. Beberapa diskusi dan pembahasan yang saya ikuti, dengan didampingi beberapa orang ahli bahasa  akhirnya saya bisa mempertahankan keberadaan buku itu di publik.”
            “Baik, apakah dari floor ada yang ingin mengajukan pertanyaan tentang makna dari buku tersebut. Kami siapkan untuk 3 orang karena keterbatasan waktu?” Suara bisik-bisik menggemuruh. Dadaku sedikit berdebar, mataku mulai memperhatikan setiap sosok di hadapanku. Satu orang mengacungkan tangan dan berdiri. Aku kenal wajah itu, masih cantik seperti dulu, Atika.  
            “Ver, gue surprise ketika tahu kalau Vera Justine itu adalah kamu. Tulisan-tulisanmu gue baca, sosok yang dibentuk dalam setiap tulisan adalah seorang wanita yang mandiri, ulet, pintar, tegar dan tak gampang menyerah, namun sering mengalah. Cerita Sahabat memberikan inspirasi kepadaku untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan, namun satu yang aku sesalkan, yaitu ending dari cerita itu menggantung. Apakah ada kelanjutannya? Gue jadi penasaran” Atika mengakhiri kalimatnya diiringi tepuk tangan.  Aku tersenyum.
            “Terima kasih Atika, senang bertemu denganmu lagi. Jujur, aku agak kesulitan untuk mengekspresikan sosok pria dalam setiap tulisanku, belum sepintar penulis lain yang mudah menciptakan sosok yang berbeda dalam tulisannya. Mungkin karena aku wanita, yang ingin mempunyai karakter mandiri, ulet, pintar, tegar dan tak gampang menyerah, seperti tokoh yang sering aku munculkan, namun “mengalah” disini aku garis bawahi, mengalah untuk kebaikan.” 
            “Tentang ending cerita, memang dapat dikatakan gantung, tapi pada intinya melepaskan diri dari satu hubungan yang tidak sehat seperti itu adalah jalan yang terbaik, bukan berarti tidak ingin mencoba untuk memperbaiki,  apa yang telah terjadi dalam hubungan itu adalah satu pelajaran dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan setiap waktu. Hubungan yang dilandasi dengan ketidakpercayaan, tidaklah sehat, kerikil-kerikil yang menghambat di perjalanan, akan berubah menjadi gumpalan batu. Tidak semua orang bisa menerima hubungan seperti itu, dan dalam tulisan itu Rara lebih baik mengalah untuk pergi. Untuk pertanyaan apakah ada kelanjutannya ? Aku jawab : itu rahasia.” Aku tersenyum. 
            “Bagaimana Mbak Atika ?” 
            “Lanjutin aja Ver, Gue yakin Rara akan mendapatkan cinta sejatinya.”  Ucapan Atika disambut dengan seruan “Setuju” dari teman-teman yang lain. 
            “Terima kasih, nanti aku pikirkan, sementara ini aku cukup puas dengan keputusan Rara.”  Jawabanku disambut dengan uuuuuuuuu riuh dengan tepuk tangan. Aku tersipu dengan jawabanku sendiri. 
            “Ada yang lain  ? tanya Dion ke floor.
            Kulihat seorang laki-laki maju ke arah Dion, dan mengambil mic yang dipegangnya.
            “Sorry friends, gue maju, karena beberapa alasan. Satu, karena gue mau ukur tinggi Vera sekarang, gue bandingin ketika SMA dulu, dan ternyata ga banyak berubah, nambah 3 centi doang kayaknya, masih imut kayak dulu.”  Sorak sorai terdengar dengan tepuk tangan yang kian ramai. Duh, ini Bagja, anak IPA yang sering menggodaku dan tengil, tapi sering membuatku tertawa. 
            “Kedua, biar Vera bisa lihat gue yang sekarang dengan jelas,  gue yakin dia ga akan lupa ketengilanku dulu.” 
            “Thank you Bagja, gue info, tinggi gue nambah 5 centi, dan gue ga bakalan lupa dengan ketengilanmu dan ternyata loe tetap tengil.” Jawabanku membuat Bagja tertawa, aku yakin mukaku menjadi merah karena ketengilannya.
            “Jadi apa pertanyaan Mas Bagja? Tanya Dion menengahi.
            “Ga ada, gue cuma mau ngomong itu!” jawabnya seraya menyerahkan mic dan meninggalkan panggung. Teriakan dan tawa kembali meramaikan aula. Aku benar-benar tertawa, senang rasanya dengan suasana seperti ini, seolah kembali ke 10 tahun yang lalu. 
            “Baik satu orang lagi, ada yang mau ditanyakan?” Dion meredakan suasana. 
            “Ya, ada yang mau saya tanyakan”  Suara itu membuat hening tiba-tiba. Suara yang berwibawa, berbeda dengan yang lain. Aku nyaris tidak mengenal suara itu. 
            “Silahkan Mas.” Dion mempersilahkan laki-laki itu berbicara. 
            Mataku tertuju pada seorang laki-laki tegap di meja tengah. Jantungku berdetak cepat. Rasanya ingin lari meninggalkan aula itu. Laki-laki itu, Arman, yang aku selama ini aku hindari. 
            “Ver, apakah ada tulisanmu yang didasarkan pada pengalaman pribadi ?” tak ada tepuk tangan atau sorak sorai ketika pertanyaan itu selesai dilontarkan. Semua mata memandang kepadaku. Aku terkesima dengan pertanyaan itu, tak pernah aku bayangkan menerima pertanyaan seperti itu dari Arman.  Kucoba menetralkan diri dengan melambaikan tangan ke arah Arman.
            “Apa kabar Arman… Pertanyaannya bagus dan baru kali ini aku dapat. Satu cerita bisa dibuat dengan bersumber pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, atau sumber lain dan ide dapat muncul tidak bisa diundang, kapan saja, dan dari mana saja. Cerita yang lahir dari pengalaman pribadi akan menjadikan cerita itu menjadi lebih hidup, mengalir dengan alur yang pasti. Dari beberapa tulisan yang sudah aku buat dan sudah terpublikasi, tidak ada yang berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah tantangan bagi seorang penulis, bagaimana dia bisa mengatur alur, karakter, dan bahasa dalam setiap tulisannya dengan tokoh-tokoh yang diciptakannya
            Tepuk tangan terdengar dengan meriah mendengar jawabanku. Arman tidak memberikan ekspresi apapun atas jawabanku. Matanya tertuju padaku, isyarat ketidakpuasan tertangkap dari tatapannya. Aku melepaskan diri dari tatapnya.
            Dion mengambil kendali acara. Aku pamit meninggalkan panggung dan kembali ke kursiku. Riska menyambutku dengan kicauannya.
            “Aku ga nyangka dia datang.”  
            “Masih ada kontak dengan Dia ? ” Aku menggeleng. Putri memberikan orange juice, tangannya mengelus bahuku dan berbisik : “Semua sudah berubah Ver, dia lebih dewasa, dia akan lebih bijak dalam bersikap.”
            Aku terdiam.
            Jam menunjukkan pukul 14.35, acara bebas dimulai, waktunya untuk bersilaturahmi dengan yang lain. Aku begitu surprise ketika panitia memberikan buku terakhirku sebagai souvenir. Dan pada akhirnya teman-teman meminta aku menuliskan sebaris kalimat yang berbeda di setiap  buku dan menandatanganinya. Bak ketemu fans, aku sibuk dengan itu. Ini kesempatan baik untuk bisa bercakap-cakap dengan teman-teman satu persatu. Komentar, usulan, dan pendapat aku terima dengan terbuka, aku memerlukannya untuk karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Tapi, aku tidak menemukan sosok Arman di antara teman-teman tadi. Ah, kenapa aku peduli ? Bukannya aku hindari?
            Acara diakhiri dengan bersalaman, membentuk lingkaran hingga kami bisa bersalaman satu dengan yang lain. Tidak aku pungkiri, aku masih mencari sosok Arman, dan hingga detik ini, aku tidak menemukannya. 
            “Vera.” Aku mengangkat mukaku untuk melihat siapa yang menyapaku. Tubuh mungilku terlindung dari pandangan orang lain di balik tubuh tegap depanku. Senyum tipis laki-laki itu, menurutku begitu polos. 
            “Arman.” Senyumku terasa hambar. 
            “Apa kabar ?”  
            “Baik.” Jawabanku terdengar datar. Arman menuntunku ke pinggir panggung. 
            “Kita selesaikan dulu acara ini.” Aku menolak halus ajakannya. Arman membiarkanku pergi.  Sepertinya, orang-orang memahami kami, beberapa pandangan memperhatikan dan bisik-bisik mulai terdengar. 
            “Ris, kau pulang ama siapa?” 
            “Sama panitia pastinya, beres-beres dulu. Kenapa?”
            “Aku perlu orang buat pulang bareng.” Riska mengerutkan keningnya. 
            “Ada masalah ?” 
            “Ga, aku perlu untuk nemenin aku ngopi setelah ini.” 
            “Hmm, aku tahu. Coba aku rapikan ini dulu, kamu bisa tunggu aku sebentar.”  Aku mengangguk. 
            Acara selesai dengan sukses, memberi kesan, bahwa kebersamaan dapat terbina dengan silaturahmi dan komunikasi. Entah kapan ini akan terulang, mungkin satu dekade lagi dan teman-teman akan lebih banyak berubah. Aku tersenyum memikirkannya.  Aku melangkah ke sudut ruangan mencari tempat yang lebih sepi. Ah,  masih ramai sorak sorai teman-teman, aku tidak begitu menyukai dengan keramaian. Langkahku menuju kolam renang berukuran sedang di dekat taman. Gerimis turun pelan-pelan, dan aku melangkah cepat menuju ke sana. 
            Langkahku terhenti ketika kulihat sosok Arman duduk di antara kursi-kursi di pinggir kolam. Ingin rasanya aku berbalik, namun Arman sudah melihatku. Lambaian tangannya membuyarkan keinginanku untuk pergi. Aku mengangguk, dan melangkah ragu. 
            Aku mengambil kursi dan duduk disebelahnya,  bukan karena aku ingin dekat, tapi karena kau tidak mau menatap wajahnya. Kubakar sebatang rokok dan menghisapnya pelan. Arman menoleh.
            “Sejak kapan merokok ?” tanyanya
            “Sejak jadi penulis.” Jawabku dingin.
            Arman menarik nafas dalam-dalam, mematikan batang rokok ditangannya, dan menghadap kedepanku. 
            “Sejak kapan kau jadi penulis?” tanyanya. Pertanyaan yang tak perlu aku jawab. 
            “Ver, perlu aku ingatkan kapan kita bertemu terakhir ?” 
            Aku menggeleng dengan tegas. 
            “Perlu aku ingatkan syal biru yang kau berikan ketika kita mendaki?”
            Aku menggeleng lagi. “Aku tidak perlu kau ingatkan apapun tentang kita, aku masih mengingatnya semua.” Suaraku terdengar ketus. 
            “Artinya kamu masih ingat, kalimat apa yang aku ucapkan terakhir kita bertemu?” 
            Aku mengalihkan pandangan ke air kolam dengan rintik-rintik air hujan. 
            Aku ingat terakhir pertemuan terakhir dengannya dan aku ingat kalimat permintaan maaf yang tidak pernah aku jawab. Mengapa ketika aku mempunyai ide dan menuangkannya dalam rangkaian cerita pada buku terakhirku, aku bertemu lagi dengan dia ? pikirku. 
            “Ya aku ingat, dan aku telah memaafkanmu.” Aku berdiri dan meninggalkannya sendiri.
            “Vera!” teriakan Arman tak menyurutkan langkah Vera. Berjalan lurus, dan tak ingin berbalik. Arman menghenyakan badan ke kursi, tangannya kedua tangannya meremas rambutnya dengan keras. Pikirannya menerawang pada kejadian belasan tahun yang lalu. Penyesalan itu ada, dan tak dapat terelakan, bukan dia yang meninggalkan Vera. Tak seharusnya pertemuan ini terjadi, Arman berpikiran, Vera tidak akan datang di acara ini, apalagi sampai waktu makan siang, Vera tidak muncul. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan tadi, aku cukup menatapnya dari jauh, mengobati kerinduan akan seraut wajah yang selalu dirindukan. 



Bersambung 

0 comments:

Post a Comment