Saturday 29 November 2014

Wednesday 26 November 2014

Cerita Sahabat "CR?" --Part Three--


         “Rara, berangkat ke kantor jam berapa ?” terdengar pintu kamarku diketuk pelan, suara halus membangunkanku. Sinar matahari masuk diantara gorden jendela menyilaukan mataku. Upsss jam berapa ini ?
         “Iya Mom.” teriakku serak.
         “Dave tadi telepon, titip pesan apakah handphonenya kebawa kamu tidak?” Mamaku mulai berteriak.
         “Iyaaaaa, nanti aku telepon Mom, handphonenya memang kebawa aku semalam.” Jam 08.15 … Wah kok bisa kesiangan begini. Sedikit pusing, aku bangun dan berjalan ke arah kamar mandi. Kubasuh mukaku dengan air dingin, segar … Agenda hari ini apa ya? Pikirku.

         Kupilih baju berwarna lembut pagi ini, rok selutut warna hitam, dengan atasan bahan katun berwarna  hijau pupus dengan balutan  syal kecil warna orange. Manis, pikirku. Handphone Dave tergeletak di sisi  bantal, off. Kuperhatikan dalam-dalam, ada segurat kepedihan yang masih membekas. What should I do ?
         “Masih cape, Ra? Lelap sekali tidurmu. Dari jam 6 Mama bangunkan, ga ada jawaban sama sekali.” tanya Mama sambil memberikan roti bakar kesukaanku.
“Iya Mom, aku penat sekali, semalam ga langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus aku siapkan.” seteguk orange juice mampir di tenggorokanku, terasa hangat.
“Agenda apa hari ini ? Ga ada meeting pagi ?” Aku menggeleng.
Report aja Mom, sehabis makan siang.”
“Mom, sepertinya pertemuan Sabtu ini kita tunda dulu.”
Wajah Mama tersentak kaget. “Kenapa ? Mama udah reserve tempat sesuai pembicaraan dengan Jeng Santi, terus Mama sudah undang keluarga terdekat kita.” Aku terdiam. Memang, waktu tinggal dua hari, begitu pendek dengan kejadian yang beruntun beberapa hari ini. Aku berpikir keras untuk mengutarakan alasan yang tepat, tapi apa ? Menceritakan yang sebenarnya terjadi ? No way.
“Coba aku bicarakan dulu dengan Dave, Mom.” nafasku berat. Gigitan roti dimulutku terasa keras, kunyahanku tertahan. Tubuhku beranjak dari kursi, satu ciuman kecil mendarat di pipi Mama. “Rara pergi dulu, agak telat pulang nanti malam, Rara janji ketemu Dave.” Izinku. Mama mengangguk, matanya menunjukkan sejuta pertanyaan besar padaku. Aku menghindari tatapan Mama, menghindarkan linangan air mata di pelupuk mataku.
“Hati-hari, Ra.” Aku mengangguk.
****
Jam 9.45 ketika aku tiba di lobby gedung kantor. Tepukan dibahuku membuatku menoleh ke belakang dengan sedikit kaget.
“Morning sayang.” satu senyuman merekah di belakangku.
“Hadeh, kupikir siapa ..!”
“Memangnya ada yang berani tepuk-tepuk begini selain aku ?” balasnya sambil cemberut. Aku tersenyum sambil memijit tombol lift dihadapkanku.
“Handphonemu kebawa semalam, sorry.”
“Ga apa-apa, aku juga ga ngeh semalam, sampai tadi pagi baru ingat.” Langkahnya mengikutiku masuk ke dalam lift. Kuserahkan handphonenya, sambil berkata : “aku ga sempat charge, bangun kesiangan.”
“Nanti aku ikut ngecharge bentar deh di ruangan ya ..! Aku mengangguk. Lantai 17, lift terbuka, aku bergegas ke luar lift. Ada perasaan ga nyaman, Dave pasti tahu pesannya sudah dibuka, karena  pesan itu tidak aku hapus.
“Rara, ada surat di meja, tolong dipelajari dan langsung buat memo ke Pak Idris.”  Satu suara dari intercom terdengar.
“Oke, jadi jam berapa aku ketemu Pak Idris, sekalian aku antar report Bali kemarin.”
“Jam 13.30, di ruang meeting kecil.
“Ok”.
Kulihat Dave memperhatikan handphonenya, jarinya bermain di atas keypad. Aku menunggu. Dan mata Dave mengarah ke mataku tajam. Aku diam.
“Kamu membacanya, Ra?” suaranya sedikit keras.
“Ya, kamu keberatan ?” jawabku balik tanya.
“Ya.” jawabnya pendek.
‘Kenapa ? Diantara kita tidak pernah ada yang dirahasiakan tentang isi pesan. Apalagi pesan itu dikirim tengah malam, seperti keadaan darurat, berulang kali pesan itu berbunyi,  wajar aku baca, kupikir ada musibah”
Dave tidak menjawab. Mukanya sedikit memerah.
“Dave, maaf, aku masih banyak pekerjaan, kita bicara setelah jam kantor di tempat biasa.” Lanjutku.
Tubuhnya beringsut dari sofa di depanku, dan melangkah ke pintu tanpa berkata-kata. Aku tertegun dan bertanya dalam diri, seperti itu ? Kuhempaskan badanku di kursi kerjaku, tanganku menutup wajah … Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi ? Kemana lagi aku harus bertanya dan mencari kebenaran selain kepada Mu ?  Tunjukan padaku apa yang benar dan apa yang salah. Jika Dia memang baik untukku, mudahkan dan lancarkan rencana kami, jika dia memang tidak baik untukku, berikanlah jalan untuk menjalani silaturahmi dengan cara lain.  Aku mulai terisak. Tak pernah sejauh ini aku membawa persoalan pribadi di antara setumpuk pekerjaan di meja kerja kantorku. Ingin rasanya aku berlari pulang, berteriak dan membenamkan wajahku di atas bantal basah karena air mata.
Kutarik nafas dalam-dalam, tiga lembar tissue menyeka air mataku. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin, aku tidak ingin sekelilingku melihat keadaanku seperti ini. Berat memang, tapi apapun harus aku hadapi.
Kertas di hadapanku masih terlihat kabur, kubaca, kuperhatikan dan kucoba untuk memahaminya dengan baik. Tak terlalu sulit sebenarnya, tapi aku perlu konsentrasi untuk mengurai kata membuat memo pendek untuk Pak Idris.  Konsentrasiku kembali buyar, ketika dering handphone berbunyi nyaring. Kuraih handphone di depanku, Mama Santi.
“Assalamu’alaikum Ma, apa kabar ?”
“Waalaikumsalam Rara, baik. Rara sudah di kantor ?”
“Sudah Ma, semalam baru tiba di Jakarta.”
“Syukurlah. Mama baru saja terima telepon dari Dave.” Jantungku berdegup.
“Iya Ma, gimana ?” tanyaku.
“Dave bilang katanya pertemuan Sabtu diundur.” Nafasku seolah terhenti, nyaris tak kujawab perkataan Mama Santi.
“Ada apa Ra?” tanya di sebrang sana.
“Iya Ma, ada beberapa hal yang harus kami bicarakan lebih matang. Rara baru mau telepon Mama setelah makan siang rencananya.”
“Kalian baik-baik saja kan, Ra?” suaranya sedikit khawatir. 
“Ga ada apa-apa kok Ma, kami baik-baik saja” Suaraku melemah, air mata kembali kembali berkumpul di pelupuk mataku. Ya Allah, teriakku dalam hati.
“Tolong kabari Mama kalau ada apa-apa.”
“Baik Ma, terima kasih, assalamu’alaikum.” tak terdengar jawaban, kututup telepon perlahan. Untuk sementara aku perlu off kan telepon, sampai pekerjaanku selesai. Tinggal satu jam aku mempunyai waktu untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dihadapanku, dan aku rasa, aku lebih baik keluar kantor lebih cepat setelah urusan dengan Pak Idris selesai.
Makan siang tak sempat kusentuh, memo sudah kutandatangani. Aku periksa laporan perjalanan terakhirku, masih tersisa 20 menit sebelum meeting dengan Pak Idris, cukup untuk Sholat Dzhuhur dan merapikan diri.
“Des, tolong print dua kali  laporan perjalanan yang tadi untuk tambahan, sekalian dokumentasinya siapkan juga. Saya sholat dulu.” Kataku pada Desi, ketika langkahku melintas di mejanya.
“Baik Bu. Ibu belum makan siang, saya sudah siapkan snack untuk rapat nanti.” 
Aku mengangguk, “Terima kasih, nanti tolong dampingi saya juga.”
Desi tersenyum seraya mengangguk. Kulanjutkan langkuku ke Mushola tak jauh dari tempat Wudhu. Semoga aku diberikan kemudahan dalam segala urusanku. Bismillah …
Tak perlu lama-lama meeting dengan Pak Idris. Sejak dua tahun yang lalu, urusan Public Relation memang sangat dipercayakan padaku. Jarang sekali aku dengar Pak Idris mengeluh atas apa yang aku kerjakan, Beliau sangat percaya padaku. Memoku cukup ditambah tanda tangan Pak Idris di sebelah kanan tanda tanganku, dan laporan perjalanan cukup di paraf dan siap ditindaklanjuti. Untung aku sempat mengirimkan loporan global sehingga aku tidak perlu terlalu rinci menerangkannya.
Lega rasanya.
Kuhidupkan handphoneku yang sempat beberapa jam off. Mejaku mulai bersih, laptopku masih terbuka dengan beberapa tab. Handphoneku mulai ramai dengan bunyi-bunyi pesan yang berbenturan. Kebayang, ada BBM, Whatsapp, LINE, email, dan lain-lain, hmmm nambah kerjaan saja.
Kubuka LINE, ada beberapa pesan di sana.
“HP mu off, kenapa ? Aku ingin bicara sebentar.”
“Tolong sebelum rapat dengan Pak Idris telepon aku.”
“Ok, aku coba hubungi kamu ke kantor, masih meeting. Aku tidak bisa ketemu nanti sore, kita atur besok siang sesudah jum’atan.”
Aku menghela nafas panjang. Baguslah, agar aku bisa mempersiapkan pembicaraan dan langkah-langkah selanjutnya. Aku perlu waktu sendiri.  Pertemuan hari Sabtu yang sekiranya akan membicarakan tanggal pernikahan menurutku memang menentukan 99% pernikahan itu terjadi. Aku tidak ingin membuat satu keputusan yang akan meninggalkan persoalan di masa-masa yang akan datang.
“Bu, telepon di line 3, dari Pak Dave” suara Desi lewat intercom  mengagetkanku.
“Oke.. thanks.” jawabku. Kutarik gagang telepon di samping mejaku.
“Halo.” Suaraku kubuat se’biasa” mungkin.
“Sudah kelar rapatnya ?” datar.
“Baru kelar. Sorry hp sengaja aku off kan, kerjaanku ga kepegang.”
“Aku sudah bicara dengan Mama, kita tunda pertemuan hari Sabtu. Aku tidak sempat membicarakannya denganmu dulu, tapi aku rasa kamu pun memikirkan hal yang sama.”
“Ya, Mama sempat telepon sebelum rapat tadi dan memang aku berpikiran seperti itu juga. Ada hal-hal yang harus kita bicarakan, Dave. Terserah waktunya kapan, aku ngikut saja.”
“Aku atur besok, kalau kamu tidak keberatan, hari ini aku harus meeting dengan client dari Surabaya.”   
“Oke, kita atur besok.”
Tiba-tiba perasaanku sedikit ringan.
***
            Mendung sore ini ketika kususuri jalan sepanjang Sudirman menuju Senayan City, lalu lalang orang di sekitar tidak membuatku mengalihkan perhatian dari tatapanku ke trotoar jalan, seolah aku takut memandang orang-orang.  Aku perlu menikmati waktku.
         Portico, café ini menjadi tempat favoritku untuk menikmati segelas kopi panas dan menemaniku menyelesaikan tugas-tugasku atau sekedar kongkow dengan teman-teman. Belum terlalu ramai sore ini, masih jam 16.30. Kubuka laptop, kuketik password, satu kata berisi satu nama dan empat angka sebagai symbol, done … Tanganku menopang dagu, mataku memandang ke arah jalan yang mulai dibasahi oleh rintik hujan. Adem …  Mataku terpaku pada dua bayangan yang semakin jelas terlihat, seorang laki-laki dengan dengan payung di tangan kanannya dan di sebelahnya seorang perempuan menggelayut di lengan laki-laki itu. Terbelak aku memandangnya, kugigit bibir menahan sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Kubalikkan badan dan berdoa semoga kedua orang itu tidak masuk ke tempat ini.
         “Cari meja duluan di luar, aku titip payung dulu.” satu suara terdengar begitu jelas di belakangku.
         “Smoking ya …!’ balasannya terdengar.
         Aku mengenal dengan baik suara itu. Ada dua pilihan yang datang, pergi dari tempat itu atau tetap bertahan dan akan mendengar apa yang mereka bicarakan.  
         Ruangan di bagian luar Portico memang disediakan untuk “smoking area”, terasa dingin dengan hujan yang mulai deras. Mejaku tepat di sudut kanan ruangan, lebih dekat ke jendela, lebih dingin, kuambil jaket di sebrang meja, kaku. Sudah tak ada pilihan lain, selain bertahan di sini, aku rasa mereka telah memilih tiga meja di belakangku.
         “Aku belum sempat bicara banyak dengan Rara, hanya garis besarnya sudah aku sampaikan tadi.”
         Suara di belakangku itu sangat jelas terdengar.
         “Ada comment?” pertanyaan dari wanita itu.
         “Tidak, aku atur pertemuan dengannya besok siang.”
         “Apa tidak terlalu cepat kita mengambil langkah, aku merasa tidak enak, sejak aku bicarakan tentang kita beberapa yang lalu, almost two  days kami tidak ada komunikasi lagi.”
         “Menurutku tidak, lebih cepat lebih baik, aku tidak ingin memperlebar urusan.”
         “Mau minum apa, Lis ?”
         “Yang hangat-hangat deh, tadi siang aku ga sempat makan, kita pesan yang agak berat aja, biar aku pulang ga makan lagi.”
         Aku tersenyum getir, ini client dari Surabaya ?
         “Dave, apa Rara akan mengerti dengan kondisi kita ?”
         “Maksudnya ?”
         “Dengan kondisi kamu menikah dan kita tetap menjalani hubungan kita ?”
         “Apa mungkin aku harus jujur padanya, kalau kita tetap lanjut walaupun kami menikah ? Ga mungkin !!  Aku hanya tak habis pikir dengan  tindakanmu membicarakan hubungan kita padanya.” sedikit ketus suara itu kudengar.
         “Sorry, seharusnya aku tidak menyebut nama waktu itu, sempat aku melihat raut kaget di wajahnya, tapi hanya sesaat, dan kupikir sebenarnya dia sudah tahu.”
         “Dari awal aku sudah bilang, dia tidak tahu, sampai kamu mengatakan semuanya, sekarang mau gimana lagi ?”
         “Seharusnya aku menerima lamaranmu dulu …” suara Lisa terdengar seperti bisikan, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Jantungku berdegup kencang, hampir saja aku membalikkan tubuhku ke arah mereka.
         “Seharusnya aku tidak membiarkanmu untuk mendekati Rara … yang aku rasakan, setelah kamu bersamanya, perasaanku untuk bisa terus bersamamu semakin besar.”
         “Lis, aku tidak mau berkilas balik tentang itu, semua yang terjadi adalah kesepakatan kita. Aku sudah cukup jujur selama ini, kecuali kamu yang tidak jujur. Sampai pada satu titik, aku harus memilih antara kamu dan Rara, kamulah yang pertama aku  minta sebagai istriku, kita telah saling mengenal, ternyata kamu telah menganggap hubungan kita sebagai teman biasa dan kamu lebih merelakan aku pergi untuk bersama Rara, itu aku terima.”
         “Coba kita renungkan, apakah hubungan kita selama ini membodohi Rara atau tidak. Kita yang tahu, Lis. Mungkin akan lain jadinya jika kamu tidak bicara kepadanya.”
         Tak ada jawaban terdengar dari Lisa, tak ada suara apapun darinya. Aku tak tahu apa yang dia lakukan. Kalau Dave tidak bicara, artinya mereka akan tetap melanjutkan hubungan ? Perih rasanya, sangat beruntung aku mengetahui semua sebelum pernikahan terjadi.
         “Dan dua minggu yang lalu, kamu minta aku menikahimu, itu semua tidak ada dalam rencanaku. Kamu yang telah membiarkan aku memilih Rara, mencintainya, dan memberiku kekuatan untuk menikahinya. Dan  aku kembali pada komitmen kita, kita casual, kamu tidak bisa menerimanya sehingga kamu menceritakan semuanya kepada Rara. Sekarang semuanya berantakan. Aku ga yakin, Rara akan menerima, dan aku ga tahu apa yang akan dia lakukan.”
         “Seharusnya handphonemu tidak terbawa sama dia.” teriakan kecil terdengar.
         “Mana aku tahu kalau handphoneku kebawa, aku pikir handphoneku mati.”
         “Jadi sekarang bagaimana ?”
         “Aku bingung. Aku harus ketemu dan bicara dengan Rara besok. Pembicaraan kami sepertinya akan menentukan langkah selanjutnya. Hanya dua kemungkinan kan, terus berjalan dengan memperbaiki atau break up.” suara Dave terdengar pelan.
         Sekarang, aku lebih paham bagaimana perjalanan mereka. Suara dentingan terdengar, menghentikan pembicaraan mereka sementara. Sebenarnya aku sudah tidak kuat mendengarnya, aku hanya ingin tahu bagaimana mereka mengakhiri pembicaraan ini. Ku ambil handphone di tas kerjaku, dan ku silent  untuk menghindarkan telepon masuk yang akan memaksaku untuk berbicara.
         “Aku memikirkan tentang kita.” suara Dave memecahkan keheningan di antara mereka, Aku memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kita jika aku menikahi Rara.” Jantungku berdebar kencang.
          “Aku sayang kamu, Lisa, dan aku bisa pastikan semua akan berlangsung meskipun aku bersama yang lain.”
         Emosiku mulai naik, mataku panas. Munafik, gombal!! Aku sudah sampai pada keputusanku. Aku tidak ingin mendengar kaliamat selanjutnya. Kalimat terakhir Dave telah memberikan sinyal kemana arah pembicaraannya. Tanganku bergetar meraih barang-barang di meja, merapikannya, dan memasukkan ke dalam tas kerjaku. Kutarik nafas panjang, menenangkan debaran jantungku yang semakin keras. Tidak ada air mata yang terurai meskipun mataku terasa panas.  Aku berdiri, tanganku masih menggenggam sudut meja, perlahan kubalikkan badanku, melangkah ke arah dua manusia yang duduk membelakangiku.
         “Hai.” suaraku halus menyapa mereka.
         “Rara !!” hampir bersamaan mereka menjawab sapaanku. Dave bangkit dari kursi, dan mengajakku duduk. Kutolak halus, aku berdiri di sisi meja. Lisa tertegun menatapku.
          “Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian, dari sejak kalian datang. Aku bersyukur, aku tidak mendengar dari mulut orang lain.”
         “Ra, biar aku jelaskan dulu.” sela  Lisa. Aku tersenyum, cukup getir rasanya.
         “Aku pun sudah memahami bagaimana hubungan kalian, dulu, sekarang dan akan datang. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, semua sudah cukup.”
         “Dave, hubungan kalian begitu indah, bisa saling membagi, menyerahkan diri pada orang lain, sedangkan hati masih tertinggal pada yang lain. Menjalin dua rasa dalam satu masa pada orang yang berbeda, belum pernah aku jalani, dan semoga tidak pernah  aku jalani.”
         “Rara, tidak begitu, biar kami jelaskan.” Dave terlihat resah, dan Lisa mulai terisak.
         “Lisa, sebelum kamu mengirim pesan di handphone Dave, hampir saja aku mengirim email hanya untuk membesarkan hatiku, bahwa hubungan kalian adalah masa lalu dan persahabatan kita adalah segalanya. Tapi sejak aku baca pesanmu dan mendengar semua pembicaraan kalian, baru aku sadar bahwa hubungan kalian bukan masa lalu, tidak akan pernah berakhir dan aku menghargai apapun hubungan kalian.” suaraku sedikit tegar, tanpa getaran, tanpa isakan, dan datar.     
“Dave, maaf aku tidak bisa melanjutkan rencana-rencana kita. Aku tidak sanggup membangun satu kehidupan di antara duri,  lebih baik aku menjauhi duri yang akan mengoyakku.”
         Lisa bangkit dan mencoba meraihku. Aku bergerak mundur.
         “Maafkan aku, Ra, tidak ada niat sedikitpun untuk menyakitimu, semua diluar kehendak kami.”
         “Aku tidak sakit hati Lis, kalian telah menolongku membuka mata hatiku tentang apa yang terjadi. Jalani hidup kita masing-masing, tak ada yang perlu dijelaskan dan disesali, semua diluar kehendak kita. Dave, kita cukup dewasa untuk menerangkan kepada keluarga apa yang terjadi dalam hubungan kita, bicaralah baik-baik atas ketidakcocokan kita.”
         Kubalikkan badan dan melangkah ke pintu keluar. Masih terdengar panggilan Lisa dan suara langkah Dave yang menyusulku, kuminta Dave untuk tidak mengikutiku. Aku tak perduli. Aku ingin meneriakan kekecewaaan yang menggumpal didadaku.
Aku hanya ingin pergi dari sini, aku tidak ingin mencerna apa yang telah terjadi dalam detik-detik terakhir tadi. Bagaimana aku harus melupakan seseorang yang hampir menjadi suamiku, melupakan sahabat kecilku yang selama ini selalu hadir disaat-saat aku berkeluh kesah ? Tuhan,  inikah ujian yang harus aku lalui, di saat aku telah menentukan apa yang aku inginkan, mencoba menggapai angan dan harapan yang  nyaris aku gapai ? Bagaimana aku menata hati dan menjalani sesudah ini terjadi? Hikmah apa di balik semua ini ?
***
Dear Diary,
Ternyata aku tidak cukup mengenal lelaki yang hampir dua tahun ini mendampingiku, memberikan harapan tentang hari esok yang akan dilalui bersama dengannya. Ternyata tak cukup indah kata dan kalimat yang terurai dibanding dengan perbuatannya. Semua hanya bagian dari episode hidup yang aku jalani di antara skenario yang tak pernah aku ketahui.
Hidup adalah pilihan,
Dan aku memilih tidak menyakiti diri sendiri karena aku tak sanggup menerima luka demi luka.
Aku lebih sanggup hidup sendiri menuai asa, tanpa yang lain melukaiku.
Dan itulah kesendirian.
Episode Agustus 2013.
#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk aku urai menjadi sebuah cerita. 

Monday 24 November 2014