Saturday 13 December 2014

Bagian Kedua : "Diantara Kalian"


Bagian Kesatu 


Sumber gambar  : www.pinterest.com




“Tiara ..!!” suara keras memanggilku dari kejauhan. Kucari sumber suara asing itu diantara meja-meja bilyar. Kulihat seraut wajah yang tak asing disana dan kulambaikan tangan memintanya menghampiriku. Langkahnya tergopoh menuju kearahku dan senyuman cerah tersungging di bibirnya yang tipis.

“Tumben main disini?” pipinya meyentuh pipiku kiri kanan. Kebiasaan, pikirku.
“Bang Tino kuminta kesini, biar gampang pulang” jawabku. Tanganku masih memegang chuck yang dan menggosoknya keujung stik.
“Gimana persiapan ?”
“Lumayan, agak ketat sekarang, Bang Tino ada anak baru juga, aku mesti atur jadwal. Gimana kabarnya Van ?”
“Not too bad, masih rutinitas juga. Kemarin Gue ketemu sama Dion di PS, dia tanya kabarmu dan titip salam kangen.”
“Oya …? Lama aku Gue kontak dengan Dion, masih di Permata ? Entar Gue kontak dia, biar kangennya ga pake perantara” timpalku.
“Masih betah dia disana, posisinya tambah enak, makanya susah kabur. Main yuk .. biar agak panas dikit.” ajak Dion. Tangannya meraih tas stikku dan mengambilnya salah satu.
“Baru lagi ni Predator ?”
“Hadiah. Ga mungkin Gue beli beli stik, makin mahal.” 
“Up to date ni Ra, paling ga di harga 10 juta.” Tangannya melap stik dengan hati-hati, kulempar chuck kearahnya. “Cepet dikit.” Kataku. Vandi menangkapnya dengan gesit. Vandi pemegang handy cup 4 di dua tahun terakhir ini, salah satu pemain yang disegani di Jakarta. Dari sepuluh turnamen, 8 turnamen dimenangkan dalam tahun ini, satu prestasi yang patut dibanggakan. Punya sparring partner seperti ini membuatku seolah aku dalam permainan yang sebenarnya, perlu konsentrasi penuh dan seolah bertaruh dengan diri sendiri.
“Cari tiga ya Ra, anggap saja lagi main.” ujarnya seakan membaca pikiranku. Aku mengangguk dan memulai permainan. Break yang dilakukan Vandi menyisakan 5 bola di meja, sedikit susah. Kubaca Aku mengayunkan stikku kearah bola 5 di pojok, halus dan mulus .. Yes.
“Tipismu makin oke, Ra.”
“Latihan banyak, ini sebenarnya kelemahanku.” Jawabku sambil tertawa.
Tiga set dilalui dengan lancar dengan hitungan 2 – 1, kali ini permainan dimenangkan olehku. Vandi cemberut melihatku senang.
“Awas ya kalau ketemu di meja lain.”  Ujarnya.
“Siaaaap!! Lo main aja, aku makan dulu.”
Setengah poris nasi goreng ayam  dan teh manis hanget menuku malam ini. Masakannya lumayan enak untuk ukuran cafĂ© di FX dan harga tidak terlalu mahal. Teleponku bergetar di saku belakangku, sengaja aku vibrate karena beberapa kali miscall, suara hingar bingar musik mengalahkan dering teleponku.  Angga’s calling. Kuangakat telepon itu cepat.
“Assalamu’alaikum Mas. “ kataku, suarak sedikit keras.
“Waalaikumsalam. Mbak lagi dimana ?”
“Lagi latihan Mas, di FX.”
“O.. sampai jam berapa ?”  tanganku reflek melihat ke arah jam di tangan kiriku, waktu menunjukkan jam 20.15.
“Sampai jam 10 an Mas.”
“Boleh aku kesana?”
Wah, satu kejutan. Kayaknya tidak pernah orang type Angga datang ke tempat begini.
“Apa tidak kemalaman Mas ? Disini rame pula.”
“Ga kok, bentar lagi aku kesana ya.”
“Oke, Mas sudah makan ? Aku pesanin makan ?”
“Sudah .. terima kasih.”
Setelah menjawab salamnya aku menutup telepon. Benar-benar Aneh. Di lingkungan kantor aku memang cukup dikenal sebagai pemain bilyar yang cukup handal. Setiap ada acara diluar kantor selalu disiapkan meja bilyar sebagai acara game untuk menyemarakkan acara dan kadang teman-teman sengaja taruhan untuk mengadu kebolehanku dengan yang lain. Dulu aku masih sembunyi-sembunyi dengan latihanku, seringkali Pak Bambang telepon ketika aku latihan, dan pertanyaannya selalu muncul “sedang di diskotik ya.” Akhirnya aku jelaskan kepada beliau agar tidak misunderstanding, sehingga bisa memaklumi.
“Mbak Tiara, ada yang nyari di front office .” seorang gadis membuyarkan lamunanku.
“Oiya .. thanks ya Mita.” Jawabku.  Aku menuju ke arah front office, tak jauh dari mejaku. Angga tengah duduk di sofa besar di pojok, pakaiannya terlihat lebih santai, aku ga tahu disimpan dimana baju kemeja dan dasinya  … :-D Kujatuhkan tubuhku di sebelahnya.
“Tumben mau kesini ..” kataku basa basi.
“Sengaja pengen lihat Mbak latihan.” tangannya terjulur ke arahku, kusambut tangannya, dingin. Kutarik kembali tanganku dari genggambannya dengan halus.
“Grogi dong Mas, malah ga bisa latihan nanti.” kelakarku. Angga tersenyum cerah, dan ini jarang sekali aku lihat. Sikapnya masih sedikit kaku, ini pertama kali aku bertemu secara khusus dengannya.
Bingung juga aku mau bicara apa. Sejenak kami terdiam, asyik dengan pikiran masing-masing, suara musik mulai melembut. Aneh, kenapa aku jadi terbawa perasaan.
“Mbak, boleh ga kalau kapan-kapan aku ajak makan?
“Makan apa ni.” candaku.
“Makan malam, kalau makan pagi ga akan keburu, makan siang dikejar-kejar meeting.” Jawabnya.
Aku tertawa mendengarnya.
“Malam juga terburu-buru kena jam malam mas.” elakku.
“Memangnya ada yang nunggu di rumah?” tanyanya dengan tatapan melekat ke arahku. Bagian aku yang tersipu.
“Gal ah … maksudku macet membuat kita sampai pada jam malam.”
“Diatur aja, biar kita tiba di tempat jam 07.00 an, biar aku yang reserve tempat. Mbak suka makan apa ?”
“Apa aja, tapi aku ga suka makanan Eropa, jangan terlalu jauh dari kantor.”
“Makan Jepang gimana ?”
“Ok, di Yakoya aja, Graha Mandiri, lebih dekat.”
“Aku ga perlu izin Bapak kan ajak Mbak makan?” tanyanya sambil tertawa. Aku tertawa seraya berkata : “sekalian aku ajak Bapak makan bareng kita aja Mas.”  Angga merengut, tangannya menyentuh kuciran rambutku.  Darahku sedikit berdesir, kepalaku sedikit menjauh dari tangannya.
“Ga boleh ?” tanyanya lembut.
Aku tak menjawab, kuajak Angga ke mejaku.
“Katanya mau lihat aku latihan. Yuks! Bang Tino udah kasih tanda buat mulai”
Kami melangkah ke arah Meja 21. Aku ga yakin aku bisa konsen kali ini, cara Angga memperlakukanku seakan kami sudah begitu ‘dekat’. Tanpa disadari aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diri… Akh… kutepis pikiran semua itu.
“Ra, kita ga sparring dulu, ambil teori aja dalam 1 jam, ada beberapa pukulan yang harus kamu perbaiki.” Bang Tino menyiapkan bola 15 di depanku. Aku paling ga suka pelajaran ini, bikin pegel dan boring.
“Awas kalau lebih Bang, mestinya pelajaran gini pas tadi datang.” ujarku sambil cemberut. Bang Tino menyeringai di depanku, senang lihat aku mulai cemberut.
“Bang, ini Angga, adikku.” Kuperkenalkan Angga pada Bang Tino. Angga berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya ke Bang Tino.
“Wah, punya adik gede juga ya Ra, baru kali ini kau kenalkan dan datang kesini.”
“Iya Mas, adik ketemu gede.” Angga menjawab sambil menatapku. Aku melolot kearahnya. Sial banget.
Bang  Tino tertawa.
“Tino. Saya pelatih Tiara sejak dua tahun yang lalu. Senang berkenalan denganmu.”
“Ayo Ra, kita mulai.”
“Bentar ya Mas … kalau mulai bosan, bilang ya.” kataku dengan harapan dalam hati semoga cepat bosan dan pulang duluan.
“Santai aja Mbak, aku suka kok.”
Pukulan demi pukulan aku selesaikan dengan susah payah. Lebih baik main dari pada teori seperti ini, belum lagi mendengar komentar Bang Tino yang seakan tidak ada henti. Ups…. Bang Tino dengan sabar memperbaiki pukulanku, dan memberikan trik-trik khusus yang tidak mudah aku hapal. Untuk kali ini, perhatianku lebih fokus, tidak hilang konsentrasiku meskipun Angga dengan sabar menunggu dan memperhatikanku.
“Mbak, coba main denganku yuk..!” kata Angga dibelakangku. Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan tak percaya.
“Boleh … “
“Bang, break dulu, aku mau sparring ama Angga.” seruku kepada Bang Tino di yang masih memperhatikanku di sebrang meja. Bang Tino mengangguk.  Seorang anak laki-laki muda membereskan bola dan menyiapkan bola 9 dengan rapi dan padat.
“Siap Mas.” Angga memilih stik di dinding, ku berikan satu stik padanya.
“Yang ini aja Mas, coba dulu.” Ditelitinya stik pilihanku dan berkata : “Ini Predator terakhir Mbak, bagus banget.” Alisku terangakat, aneh Angga tahu produk ini dengan detail.
“Kok tahu ?”
“Iya aku pernah lihat iklannya aja.”
Ternyata permainan Angga lumayan juga, dia cukup familiar dengan bola 9.
“Latihan dimana Mas ?” godaku.
“Dulu masa-masa kuliah sering diajak anak-anak kampus.”
Pantes kataku dalam hati. Kupikir typenya Angga ga suka main, malah mungkin lebih senang dengan buku-buku koleksinya.
“Kapan-kapan boleh juga main Mbak, aku ajak temen-temen yang di Jakarta. Ada satu orang yang dulu pemegang handy cup 3, sekarang sih udah jarang main kayaknya.”
“Boleh Mas, atur aja waktunya, bagus juga untuk  latihan.”
Rasa lelah mulai melandaku, ga terasa sudah jam 22.30, aku mengajak pulang, entah alasan apa yang akan disampaikan Angga sesampai dirumahnya. Akh, mengapa harus aku pikirkan, itu urusan dia, bukan aku pula yang mengajaknya. Kumasukkan stik-stik ke dalam tas, dan aku pamit pada Bang Tino. Angga mengikutiku dari belakang, tangannya meraih tasku.
“Sini bawakan, Mbak, tambah kecil aja ntar.” Aku tertawa dan menyerahkan tasku.
Angga mengantarku ke pelataran parkir P3 yang sudah sepi sekali, hanya tinggal beberapa mobil terparkir disana.
“Semoga ga tiap hari Mbak begini, aku jadi khawatir.”
“Khawatir kenapa Mas ? tanyaku.
“Pulang jam segini, mana parkiran sepi.”
Aku tersenyum.
“Dua hari sekali Mas, biasanya di full kalau Sabtu Minggu, sekarang-sekarang memang agak sering, kejar Bulan April nanti buat Kartini Cup. Sesudah itu regular aja.” Jawabku.
“Iya, bulan April masih dua bulan lagi.”
Aku terdiam. Kenapa dia jadi khawatir begini ?
Dengan cepat kumasuk ke mobil, menghidupkannya, dan memanaskannya sesaat. Jendela aku buka penuh, Angga menatapku, tangannya menyentuh sisi jendela, badannya lebih condong ke arahku.
“Saat-saat seperti ini yang aku rindukan sejak aku ketemu Mbak.”
“Maksudnya ?” tanyaku tak mengerti.
“Aku memikirkan Mbak sejak pertama kali bertemu.”
Mataku sontak menatapnya.
“Iya memikirkan bagaimana aku memperlakukan keluarga Mas.” Jawabku pelan.
“Bukan, aku memikirkan Mbak lebih dari itu. Ada yang aku sayangkan.”
Kalimatnya sengaja terpotong, aku mengerutkan dahi ada sedikit kekhawatiran  yang timbul dengan kalimatnya, apakah tentang keburukanku ?
“Apa ?” tanyaku penasaran.
“Kenapa kita tidak bertemu sejak dulu..” tangannya menyentuh tanganku di atas kemudi. Aku terhenyak kaget. Swear, aku tidak menyangka akan menerima kalimat itu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang pikiranku benar-benar kalut. Perasaan yang lama tak kurasa sekarang muncul, dan desiran halus semakin terasa.
“Mas, aku pulang dulu.”
“Mbak marah? Maaf aku sudah lancang mengatakannya.”
“Tidak  Mas, aku hanya bingung.”
Angga mengerti dengan situasi yang menjadi tambah kaku.  Jarak kami semakin dekat, tangannya halus menyentuh pipiku. Bibirnya lembut mencium keningku, bisikan lirih terdengar dan dekat ditelingaku .. “Hati-hati, kabari kalau sudah sampai apartmen.”
Kutarik kepalaku sedikit menjauh, mukaku terasa panas, dan aku yakin pasti sudah memerah. Bibirku gemetar, kugenggam tangannya, “Mas juga hati-hati.”  
Angga menjauh dari jendela, dan membiarkan aku pergi meninggalkannya.  Kujalankan mobil dengan perlahan, kulambaikan tanganku ke arahnya, lambaianku tak terbalas, Angga setengah berlari melangkah ke mobilku, dengan reflex aku menginjak rem. Ada apa ???
“Mbak … Salahkah kalau aku sayang Mbak ?” tanyanya dengan tatapan seolah memohon. Aku terdiam.
“Tidak ada yang perlu disalahkan, nanti kita bicarakan.” Aku mencoba menghindar dari percakapan ini, cukup sudah teka teki yang ada dibenakku beberapa bulan ini terjawab, yang hampir tak kuungkap dan aku nikmati sendiri.
Angga mengangguk dan membiarkanku pergi.
Lengkap sudah hari ini, pekerjaan kantor yang  seabreg-abreg, latihan yang membuatku lelah badan, dan sekarang ucapan-ucapan Angga menambah penat pikiranku. Aku ingin segera sampai di apartmen, mandi, sholat, dan istrahat. Aku akan membuka buku harianku beberapa bulan yang lalu, ketika teta teki itu hadir mengisi lembaran kertasnya.  
Dan di sisa malam ini, tak sempat aku untuk membuka semua tulisan teka-tekiku beberapa bulan yang lalu, tapi aku menuliskan apa yang aku rasakan saat ini… karena aku masih ingat apa yang aku tulis dan apa yang menjadi teka teki itu  dan aku hanya tinggal menuliskan jawaban atas semuanya.
Dear Diary ..
Aku masih ingat, kapan aku bertemu dengannya, dan Aku masih ingat, moment apa yang membuat kami bertemu untuk pertama kalinya. Saat itu, tak ada sebersit pikiran dan perasaan apa pun dalam diriku padanya selain menganggapnya seperti saudara seperti yang lain. 
Namun satu tahun kemudian, sering aku dapatkan pandangan mata yang tidak pernah aku mengerti, tak pernah ada pertemuan khusus di antara kami, kecuali diantara acara-acara keluarga yang paling tidak tiga kali dalam setahun, dan dia tidak pernah datang sendiri, ada seseorang lain yang mendampinginya di setiap acara itu. Jujur dari sana ada perasaan yang aku simpan sendiri.
Bertahun-tahun aku menerimanya, hingga hari ini aku tahu apa yang ingin diungkapkannya. Mungkin ini arti semuanya, berapa tahun ini terjadi, mungkin hanya aku dan dia yang tahu. Apa yang akan kami bicarakan pada pertemuan berikutnya, aku tidak punya cukup waktu untuk menduga-duga.
Bersambung ….

#Cerita ini disadur dari Catatan Harian Seorang Sahabat (CHSS)

Friday 12 December 2014

Bagian Kesatu : Diantara Kalian




 “Tut”, suara sms melesetkan pukulanku, bolaku menyentuh bola 9 terlalu pelan dan menyudut. Upsss …  mukaku merengut. Sudah seminggu ini aku kehilangan konsentrasi latihan, waktuku sedikit tersita dengan urusan kantor yang mulai beruntun di awal tahun ini. Bang Tino, pelatihku, ikut merengut.


“Ayo Ra, konsen dikit, kejar tayang ni, saingan tambah kuat …”
“Iya Bang.” tanganku meraih saku belakang, kubuka telepon. Satu nama di inbox membuatku penasaran. Tumben, pikirku.
“Apa kabar Mbak ?” tertulis disitu, singkat, padat, dan hambar.
“Baik Mas.” Singkat pula balasanku. Kumasukan kembali teleponku, jujur aku tak mengharapkan balasnya lagi.
“Matikan dulu teleponnya, Ra” ujar Bang Tino.
“Jangan Bang, bos besar paling ga suka teleponku mati” jawabku sambil tertawa kecil. Bang Tino memasang bola 9 dengan rapi di mejaku, dan memintaku untuk persiapan break.  Satu set kuakhiri dengan sempurna.
“Coba partner sama Eko, biar lebih panas ya Ra.” Aku mengangguk. Eko adalah salah satu member di FX Bilyar, cukup bagus mainnya, rapi dan tenang. Ketenanganya yang kadang bikin aku sedikit nervous.  Eko mengambil stik break  disebelahku, dengan senyum dia menggodaku, “Mba, waktunya cuma sepuluh menit.”
Break dulu lah Ko, abis itu bagianku.”  Jawabku sambil mengepalkan tangan. Eko tertawa.
Persiapan kejuaran “Kartini” tahun ini memerlukan latihan dengan jadwal yang ketat dan konsentrasi yang lebih tinggi, waktu tinggal tersisa dua bulan lagi. Di sela latihan masih ada beberapa turnamen yang harus kuikuti. Cukup padat sebenarnya, tapi aku punya target di kejuaraan mendatang, sebagai ajang bergengsi kejuaraan bilyar wanita nasional yang diadakan satu tahun sekali, seperti  tahun lalu, bisa masuk di 10 besar dengan perjuangan segenap jiwa.
“Tut” teleponku berbunyi lagi. Tak kuacuhkan, bos besar tidak akan SMS, mataku asyik memperhatikan bola-bola di atas meja hasil sisa-sisa pukulan Eko, empat bola lagi.
“Bagian Gue ya, kau duduk manis dulu, biar kuhabiskan.” ujarku seraya tertawa.
“Iya Mbak, sisain 9 nya saja.” ledek Eko.
“No way.” Jawabku.   
Kuhabiskan bola-bola di meja dengan cepat, Bang Tino tersenyum lebar. Jam menunjukkn pukul 21.30, kubereskan stikku. Seharusnya latihan berakhir 22.30, tapi aku harus segera pulang, ada beberapa bahan presentasi yang harus aku selesaikan malam ini, untuk bahan rapat besok pagi.
“Lanjut besok Bang, agak awal ya, aku bisa keluar kantor jam 4, jadi di sini jam 5 bisa mulai.”
“Ok, jangan lupa bawa chuck mu besok.”
Aku menganggguk. Aku meraih gelas minuman di meja sampingku sambil membuka telepon. Pesan, dari nama yang sama. Penasaran.
“Mbak, Angga dan keluarga besar mengucapkan terima kasih atas semua bantuan mbak kepada kami selama ini , terutama kepada Bapak.” Alisku naik, ada apa ?
Kutekan reply dan kuketik : “Sama-sama Mas. Kok tumben, ada apa ?”
“Bang, aku balik dulu, sampai jumpa besok.” teriakku pada Bang Tino di pojok cafe.  Bang Tino melambaikan tangan, aku melangkah ke pintu keluar dengan tas di punggungku dan stikku.
Hatiku masih bertanya-tanya tentang SMS Angga. Ada apa gerangan ? Aku tak cukup mengenal Angga sebagaimana aku mengenal kakak dan adik-adiknya. Mereka adalah anak dari Pak Bambang, sahabat ayahku.  Ada beberapa pekerjaan Pak Bambang yang sempat aku selesaikan, menurutku biasa saja. Hubunganku dengan keluarga besar Pak Bambang sangat baik. Angga tidak begitu aku  kenal karena dia sekolah di luar kota, pertama kali aku melihatnya di saat Angga dewasa adalah sewaktu Angga akan melangsungkan pertunangan beberapa tahun yang lalu, setelah Angga menyelesaikan kuliah S1nya. Dalam acara tersebut, memang aku membantu mereka dari segi pikiran dan tenaga. Tapi, rasanya itu juga biasa-biasa saja.
Kubuka pintu apartemen, dan menguncinya kembali.  Kurebahkan sejenak badan di sofa panjang di ruang tamu. Badanku terasa lelah. Dalam kondisi seperti inilah kadang aku berpikir aku perlu orang yang menemani di apartemenku. Terbayang jika pulang ada yang menyiapkan makan malam, tidak usah memikirkan laundry, bersih-bersih dan lain-lain. Tapi dengan begini, aku seakan belajar mendisiplinkan diri, terutama waktu. Ah pusing aku memikirkannya.
Teleponku berbunyi lagi. SMS. Segera kuambil telepon dari tasku dan kubaca … “Mungkin buat Mbak tidak ada artinya, tapi buat kami, terutama aku, semuanya sangat berarti. Banyak cerita yang disampaikan dari Mas Widi juga dari adik-adik tentang Mbak, semuanya tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku.”
Pikiranku melayang pada keluarga Pak Bambang, aku mencoba membuka semua memori ingatanku, apa yang pernah aku lakukan pada mereka. Ayah dan Ibu memberiku satu pelajaran dari kecil, “bantulah orang-orang yang menurutmu perlu dibantu dan orang-orang yang meminta bantuanmu, selama kamu mampu, dan jangan kau mengingat apa yang telah kau berikan kepada mereka, sebesar apapun bantuanmu.”  Mungkin inilah yang membuatku tidak berupaya mengingat apa yang telah aku lakukan kepada mereka sehingga kini aku harus menguras ingatanku untuk mengingatnya. Kuhela nafas panjang, ketika aku mulai mengingatnya satu per satu, mungkin itulah yang Mas Widi ceritakan atau siapapun yang menceritakan kepada Angga. Aku tidak ingin mengkonfirmasi tentang ingatanku kepada Angga.
“Hanya itu yang bisa aku lakukan Mas, insya allah ada hikmahnya kelak.” Reply.
Sejak Angga pulang ke rumah Pak Bambang, sedikitnya aku mulai mengenalnya, tidak terlalu dekat. Angga dikenal lebih pendiam di antara  kakak dan adik-adiknya. Usianya lebih muda satu tahun dariku. Sikapnya dingin dan kaku, termasuk senyumnya. J sehingga komunikasiku dengan Angga hanya sepintas lalu, meskipun lima tahun dia sudah kembali ke rumah.
“Insya allah Mbak, Angga sayang Mbak, juga keluarga.”
Keningku berkerut.
“Mbak sayang Mas dan keluarga, met istirahat ya” replyku dengan beribu pertanyaan yang muncul di kepala. Sengaja kuputuskan pembicaraanku, aku cukup lelah hari ini, pekerjaanku masih menunggu di atas meja kerja kecilku.
“Met istirahat, Mbak.”
****
 “Bu, telepon dari Mas Angga, di line 1” terdengar suara Saly dari intercom di ruanganku berbunyi.
“Angga mana ?” teriakku.
“Angga Bapak.”
Kuangkat telepon dan kuucap salam.
“Angga Mbak.”
“Iya Mas, ada yang bisa aku bantu.”
“Bapak minta aku  datang rapat hari ini, jadi jam 2 ?”
“Jadi Mas, nanti bahannya aku siapkan ya.”
“Makasih Mbak.”
Kututup telepon, tanganku tiba-tiba meraih telepon di saku blazerku, ada penasaran apakah Angga menghubungiku ? Duh, kenapa aku jadi berpikiran seperti ini. Tiga pesan di inboxku, dari Angga.
“Pagi Mbak..”
“Sudah di kantor ? Aku mau bicara.”
“Sibuk hari ini ?”
Kuhela nafas panjang…
Sejak dulu, Pak Bambang tidak pernah melibatkan anak-anak dalam bisnis-bisnisnya, apalagi agenda rapat jam 2 tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang Angga. Angga lulusan Teknik Sipil di salah satu universitas di Jawa Timur dan bekerja di salah satu kantor konsultan terkenal, dan agenda rapat hari ini adalah pembahasan tentang kontrak ekspor. Mungkin Angga hanya dampingi Pak Bambang … Atau Pak Bambang sedang memulai untuk melibatkan anak-anak dalam bisnisnya ? Aku mencoba untuk tidak peduli.
Angga datang dengan kemeja batik coklat muda, badannya yang tegap menunjukkan kewibawaan, raut mukanya “dingin”, bisa dibilang acuh. Sapaannya kepada staf di kantor kurang ramah di banding ke Mas Widi. Jauh malah. Basa basinya benar-benar basa basi. Ini ciri khas yang diberikan Angga kepada sekeliling.
Rapat dimulai jam 14.15, peserta hadir lengkap, meja rapat berbentuk oval dan Angga memilih kursi tepat disebrangku, tepat didepanku.  Entahlah, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak menentu. Seringkali tatapanku bertemu dengan tatapan Angga dan membuatku salah tingkah, seringkali kulihat dengan dengan sudut mataku, bagaimana Angga mencuri pandang dan memperhatikanku…. Tak pernah Angga memberikan pendapat apapun dalam rapat atas semua yang aku sampaikan, hanya tatapan tajam yang aku terima setiap aku berbicara. Rasanya aku ingin segera mengakhir rapat ini.

#Cerita ini disadur dari Catatan Harian Seorang Sahabat (CHSS)

Bersambung ....