Saturday 27 December 2014

Bagian Kelima : "Diantara Kalian"



Hari-hari kulalui lebih bersemangat dan penuh harap. Tugas-tugas rutin dilakukan dengan lebih baik, satu prestasi yang patut dibanggakan dalam jenjang karir diusiaku. Beberapa penawaran kerja dengan jenjang yang lebih bagus datang silih berganti, hingga satu titik aku harus memilih di antara mereka. Mungkin ini saatnya aku harus lebih tegas untuk memutuskan apa yang terbaik untukku. Menjauh dari satu bayang-bayang, yang kadang bukan satu keberuntungan. Dan aku harus lebih kuat untuk mempertahankn  keputusanku  agar bisa lebih mandiri.
Angga tidak berhasil mempertahankanku untuk tetap tinggal di perusahaan keluarganya, meskipun demikian aku telah berjanji, sepanjang aku bisa, aku akan membantu perusahaannya. Kekecewaan terpancar dalam setiap kalimat Angga dan pertanyaan-pertanyaan yang hampir tak bisa kujawab terlontar dari Angga. Mungin Angga benar, bahwa keputusanku adalah salah satu cara agar aku tidak selalu berada di antara mereka, namun tak mungkin aku ungkapkan kepada Angga, bagaimana aku sanggup menatap mata Pak Bambang jika sedang membicarakan keluarganya. Aku ingin menjaga semua, meskipun aku sendiri merasakan sakit yang hanya aku yang mengerti.

Monday 22 December 2014

Bagian Keempat : "Diantara Kalian"


Meja 23 dengan karpet warna merah terasa lebih menyala sore ini. Riuh suara peserta dan penonton seakan menyemangatiku mengikuti turnamen. Ini mejaku, kataku dalam hati.
“Tiara, latihan dulu ?” Bang Tino mendatangi dengan wajah yang cerah.
“Boleh Bang buat pemanasan. Sorry telat, agak macet tadi.”
Aku mengikuti langkah Bang Tino menuju meja kosong tak jauh dari sini. Ada Glen, pemain senior menunggu di sana. Boleh juga untuk lawan latihan, pikirku.
 “Bang, aku break ya..! “ seruku kepada Glen. Glen menangguk  dan menunggu di sudut meja. Bola putih aku arahkan ke tengah dengan cermat, dan mengambil kuda-kuda untuk satu  pukulan. Bola bertebaran, bola 3, 8, dan 6 masuk ke lubang ujung. Kemarin-kemarin, breakku seperti kurang oke, bola menumpuk di tengah, seakan pukulanku tidak bertenaga.

Saturday 20 December 2014

Bagian Ketiga :"Diantara Kalian"




Satu minggu berlalu sudah, tidak ada komunikasi lagi dengan Angga, apalagi makan malam yang telah kami bicarakan, tak aku coba untuk mengingatnya. Aku membiarkan semuanya berjalan apa adanya, tak kuhidupkan sekecil harapan apapun untuk ini, aku tak ingin membuat hatiku terluka, dan aku berusaha untuk bijak pada diriku sendiri. Sebagaimana dulu, aku menikmati perasaanku sendiri.
Pagi ini, aku lebih memilih cuti untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di luar aktifitas rutinku. Cukup awal memang aku mengambil jatah cuti, ini lebih baik, karena biasanya, aku selalu melewati jatah cutiku dengan begitu saja. Satu box ukuran sedang sudah berada di meja kerjaku, siap untuk dibongkar. Hmmm lama aku tak menyentuhnya, sejak pindah ke apartemen ini aku belum merapikan isinya.

Saturday 13 December 2014

Bagian Kedua : "Diantara Kalian"


Bagian Kesatu 


Sumber gambar  : www.pinterest.com




“Tiara ..!!” suara keras memanggilku dari kejauhan. Kucari sumber suara asing itu diantara meja-meja bilyar. Kulihat seraut wajah yang tak asing disana dan kulambaikan tangan memintanya menghampiriku. Langkahnya tergopoh menuju kearahku dan senyuman cerah tersungging di bibirnya yang tipis.

“Tumben main disini?” pipinya meyentuh pipiku kiri kanan. Kebiasaan, pikirku.
“Bang Tino kuminta kesini, biar gampang pulang” jawabku. Tanganku masih memegang chuck yang dan menggosoknya keujung stik.
“Gimana persiapan ?”
“Lumayan, agak ketat sekarang, Bang Tino ada anak baru juga, aku mesti atur jadwal. Gimana kabarnya Van ?”
“Not too bad, masih rutinitas juga. Kemarin Gue ketemu sama Dion di PS, dia tanya kabarmu dan titip salam kangen.”
“Oya …? Lama aku Gue kontak dengan Dion, masih di Permata ? Entar Gue kontak dia, biar kangennya ga pake perantara” timpalku.
“Masih betah dia disana, posisinya tambah enak, makanya susah kabur. Main yuk .. biar agak panas dikit.” ajak Dion. Tangannya meraih tas stikku dan mengambilnya salah satu.
“Baru lagi ni Predator ?”
“Hadiah. Ga mungkin Gue beli beli stik, makin mahal.” 
“Up to date ni Ra, paling ga di harga 10 juta.” Tangannya melap stik dengan hati-hati, kulempar chuck kearahnya. “Cepet dikit.” Kataku. Vandi menangkapnya dengan gesit. Vandi pemegang handy cup 4 di dua tahun terakhir ini, salah satu pemain yang disegani di Jakarta. Dari sepuluh turnamen, 8 turnamen dimenangkan dalam tahun ini, satu prestasi yang patut dibanggakan. Punya sparring partner seperti ini membuatku seolah aku dalam permainan yang sebenarnya, perlu konsentrasi penuh dan seolah bertaruh dengan diri sendiri.
“Cari tiga ya Ra, anggap saja lagi main.” ujarnya seakan membaca pikiranku. Aku mengangguk dan memulai permainan. Break yang dilakukan Vandi menyisakan 5 bola di meja, sedikit susah. Kubaca Aku mengayunkan stikku kearah bola 5 di pojok, halus dan mulus .. Yes.
“Tipismu makin oke, Ra.”
“Latihan banyak, ini sebenarnya kelemahanku.” Jawabku sambil tertawa.
Tiga set dilalui dengan lancar dengan hitungan 2 – 1, kali ini permainan dimenangkan olehku. Vandi cemberut melihatku senang.
“Awas ya kalau ketemu di meja lain.”  Ujarnya.
“Siaaaap!! Lo main aja, aku makan dulu.”
Setengah poris nasi goreng ayam  dan teh manis hanget menuku malam ini. Masakannya lumayan enak untuk ukuran café di FX dan harga tidak terlalu mahal. Teleponku bergetar di saku belakangku, sengaja aku vibrate karena beberapa kali miscall, suara hingar bingar musik mengalahkan dering teleponku.  Angga’s calling. Kuangakat telepon itu cepat.
“Assalamu’alaikum Mas. “ kataku, suarak sedikit keras.
“Waalaikumsalam. Mbak lagi dimana ?”
“Lagi latihan Mas, di FX.”
“O.. sampai jam berapa ?”  tanganku reflek melihat ke arah jam di tangan kiriku, waktu menunjukkan jam 20.15.
“Sampai jam 10 an Mas.”
“Boleh aku kesana?”
Wah, satu kejutan. Kayaknya tidak pernah orang type Angga datang ke tempat begini.
“Apa tidak kemalaman Mas ? Disini rame pula.”
“Ga kok, bentar lagi aku kesana ya.”
“Oke, Mas sudah makan ? Aku pesanin makan ?”
“Sudah .. terima kasih.”
Setelah menjawab salamnya aku menutup telepon. Benar-benar Aneh. Di lingkungan kantor aku memang cukup dikenal sebagai pemain bilyar yang cukup handal. Setiap ada acara diluar kantor selalu disiapkan meja bilyar sebagai acara game untuk menyemarakkan acara dan kadang teman-teman sengaja taruhan untuk mengadu kebolehanku dengan yang lain. Dulu aku masih sembunyi-sembunyi dengan latihanku, seringkali Pak Bambang telepon ketika aku latihan, dan pertanyaannya selalu muncul “sedang di diskotik ya.” Akhirnya aku jelaskan kepada beliau agar tidak misunderstanding, sehingga bisa memaklumi.
“Mbak Tiara, ada yang nyari di front office .” seorang gadis membuyarkan lamunanku.
“Oiya .. thanks ya Mita.” Jawabku.  Aku menuju ke arah front office, tak jauh dari mejaku. Angga tengah duduk di sofa besar di pojok, pakaiannya terlihat lebih santai, aku ga tahu disimpan dimana baju kemeja dan dasinya  … :-D Kujatuhkan tubuhku di sebelahnya.
“Tumben mau kesini ..” kataku basa basi.
“Sengaja pengen lihat Mbak latihan.” tangannya terjulur ke arahku, kusambut tangannya, dingin. Kutarik kembali tanganku dari genggambannya dengan halus.
“Grogi dong Mas, malah ga bisa latihan nanti.” kelakarku. Angga tersenyum cerah, dan ini jarang sekali aku lihat. Sikapnya masih sedikit kaku, ini pertama kali aku bertemu secara khusus dengannya.
Bingung juga aku mau bicara apa. Sejenak kami terdiam, asyik dengan pikiran masing-masing, suara musik mulai melembut. Aneh, kenapa aku jadi terbawa perasaan.
“Mbak, boleh ga kalau kapan-kapan aku ajak makan?
“Makan apa ni.” candaku.
“Makan malam, kalau makan pagi ga akan keburu, makan siang dikejar-kejar meeting.” Jawabnya.
Aku tertawa mendengarnya.
“Malam juga terburu-buru kena jam malam mas.” elakku.
“Memangnya ada yang nunggu di rumah?” tanyanya dengan tatapan melekat ke arahku. Bagian aku yang tersipu.
“Gal ah … maksudku macet membuat kita sampai pada jam malam.”
“Diatur aja, biar kita tiba di tempat jam 07.00 an, biar aku yang reserve tempat. Mbak suka makan apa ?”
“Apa aja, tapi aku ga suka makanan Eropa, jangan terlalu jauh dari kantor.”
“Makan Jepang gimana ?”
“Ok, di Yakoya aja, Graha Mandiri, lebih dekat.”
“Aku ga perlu izin Bapak kan ajak Mbak makan?” tanyanya sambil tertawa. Aku tertawa seraya berkata : “sekalian aku ajak Bapak makan bareng kita aja Mas.”  Angga merengut, tangannya menyentuh kuciran rambutku.  Darahku sedikit berdesir, kepalaku sedikit menjauh dari tangannya.
“Ga boleh ?” tanyanya lembut.
Aku tak menjawab, kuajak Angga ke mejaku.
“Katanya mau lihat aku latihan. Yuks! Bang Tino udah kasih tanda buat mulai”
Kami melangkah ke arah Meja 21. Aku ga yakin aku bisa konsen kali ini, cara Angga memperlakukanku seakan kami sudah begitu ‘dekat’. Tanpa disadari aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diri… Akh… kutepis pikiran semua itu.
“Ra, kita ga sparring dulu, ambil teori aja dalam 1 jam, ada beberapa pukulan yang harus kamu perbaiki.” Bang Tino menyiapkan bola 15 di depanku. Aku paling ga suka pelajaran ini, bikin pegel dan boring.
“Awas kalau lebih Bang, mestinya pelajaran gini pas tadi datang.” ujarku sambil cemberut. Bang Tino menyeringai di depanku, senang lihat aku mulai cemberut.
“Bang, ini Angga, adikku.” Kuperkenalkan Angga pada Bang Tino. Angga berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya ke Bang Tino.
“Wah, punya adik gede juga ya Ra, baru kali ini kau kenalkan dan datang kesini.”
“Iya Mas, adik ketemu gede.” Angga menjawab sambil menatapku. Aku melolot kearahnya. Sial banget.
Bang  Tino tertawa.
“Tino. Saya pelatih Tiara sejak dua tahun yang lalu. Senang berkenalan denganmu.”
“Ayo Ra, kita mulai.”
“Bentar ya Mas … kalau mulai bosan, bilang ya.” kataku dengan harapan dalam hati semoga cepat bosan dan pulang duluan.
“Santai aja Mbak, aku suka kok.”
Pukulan demi pukulan aku selesaikan dengan susah payah. Lebih baik main dari pada teori seperti ini, belum lagi mendengar komentar Bang Tino yang seakan tidak ada henti. Ups…. Bang Tino dengan sabar memperbaiki pukulanku, dan memberikan trik-trik khusus yang tidak mudah aku hapal. Untuk kali ini, perhatianku lebih fokus, tidak hilang konsentrasiku meskipun Angga dengan sabar menunggu dan memperhatikanku.
“Mbak, coba main denganku yuk..!” kata Angga dibelakangku. Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan tak percaya.
“Boleh … “
“Bang, break dulu, aku mau sparring ama Angga.” seruku kepada Bang Tino di yang masih memperhatikanku di sebrang meja. Bang Tino mengangguk.  Seorang anak laki-laki muda membereskan bola dan menyiapkan bola 9 dengan rapi dan padat.
“Siap Mas.” Angga memilih stik di dinding, ku berikan satu stik padanya.
“Yang ini aja Mas, coba dulu.” Ditelitinya stik pilihanku dan berkata : “Ini Predator terakhir Mbak, bagus banget.” Alisku terangakat, aneh Angga tahu produk ini dengan detail.
“Kok tahu ?”
“Iya aku pernah lihat iklannya aja.”
Ternyata permainan Angga lumayan juga, dia cukup familiar dengan bola 9.
“Latihan dimana Mas ?” godaku.
“Dulu masa-masa kuliah sering diajak anak-anak kampus.”
Pantes kataku dalam hati. Kupikir typenya Angga ga suka main, malah mungkin lebih senang dengan buku-buku koleksinya.
“Kapan-kapan boleh juga main Mbak, aku ajak temen-temen yang di Jakarta. Ada satu orang yang dulu pemegang handy cup 3, sekarang sih udah jarang main kayaknya.”
“Boleh Mas, atur aja waktunya, bagus juga untuk  latihan.”
Rasa lelah mulai melandaku, ga terasa sudah jam 22.30, aku mengajak pulang, entah alasan apa yang akan disampaikan Angga sesampai dirumahnya. Akh, mengapa harus aku pikirkan, itu urusan dia, bukan aku pula yang mengajaknya. Kumasukkan stik-stik ke dalam tas, dan aku pamit pada Bang Tino. Angga mengikutiku dari belakang, tangannya meraih tasku.
“Sini bawakan, Mbak, tambah kecil aja ntar.” Aku tertawa dan menyerahkan tasku.
Angga mengantarku ke pelataran parkir P3 yang sudah sepi sekali, hanya tinggal beberapa mobil terparkir disana.
“Semoga ga tiap hari Mbak begini, aku jadi khawatir.”
“Khawatir kenapa Mas ? tanyaku.
“Pulang jam segini, mana parkiran sepi.”
Aku tersenyum.
“Dua hari sekali Mas, biasanya di full kalau Sabtu Minggu, sekarang-sekarang memang agak sering, kejar Bulan April nanti buat Kartini Cup. Sesudah itu regular aja.” Jawabku.
“Iya, bulan April masih dua bulan lagi.”
Aku terdiam. Kenapa dia jadi khawatir begini ?
Dengan cepat kumasuk ke mobil, menghidupkannya, dan memanaskannya sesaat. Jendela aku buka penuh, Angga menatapku, tangannya menyentuh sisi jendela, badannya lebih condong ke arahku.
“Saat-saat seperti ini yang aku rindukan sejak aku ketemu Mbak.”
“Maksudnya ?” tanyaku tak mengerti.
“Aku memikirkan Mbak sejak pertama kali bertemu.”
Mataku sontak menatapnya.
“Iya memikirkan bagaimana aku memperlakukan keluarga Mas.” Jawabku pelan.
“Bukan, aku memikirkan Mbak lebih dari itu. Ada yang aku sayangkan.”
Kalimatnya sengaja terpotong, aku mengerutkan dahi ada sedikit kekhawatiran  yang timbul dengan kalimatnya, apakah tentang keburukanku ?
“Apa ?” tanyaku penasaran.
“Kenapa kita tidak bertemu sejak dulu..” tangannya menyentuh tanganku di atas kemudi. Aku terhenyak kaget. Swear, aku tidak menyangka akan menerima kalimat itu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang pikiranku benar-benar kalut. Perasaan yang lama tak kurasa sekarang muncul, dan desiran halus semakin terasa.
“Mas, aku pulang dulu.”
“Mbak marah? Maaf aku sudah lancang mengatakannya.”
“Tidak  Mas, aku hanya bingung.”
Angga mengerti dengan situasi yang menjadi tambah kaku.  Jarak kami semakin dekat, tangannya halus menyentuh pipiku. Bibirnya lembut mencium keningku, bisikan lirih terdengar dan dekat ditelingaku .. “Hati-hati, kabari kalau sudah sampai apartmen.”
Kutarik kepalaku sedikit menjauh, mukaku terasa panas, dan aku yakin pasti sudah memerah. Bibirku gemetar, kugenggam tangannya, “Mas juga hati-hati.”  
Angga menjauh dari jendela, dan membiarkan aku pergi meninggalkannya.  Kujalankan mobil dengan perlahan, kulambaikan tanganku ke arahnya, lambaianku tak terbalas, Angga setengah berlari melangkah ke mobilku, dengan reflex aku menginjak rem. Ada apa ???
“Mbak … Salahkah kalau aku sayang Mbak ?” tanyanya dengan tatapan seolah memohon. Aku terdiam.
“Tidak ada yang perlu disalahkan, nanti kita bicarakan.” Aku mencoba menghindar dari percakapan ini, cukup sudah teka teki yang ada dibenakku beberapa bulan ini terjawab, yang hampir tak kuungkap dan aku nikmati sendiri.
Angga mengangguk dan membiarkanku pergi.
Lengkap sudah hari ini, pekerjaan kantor yang  seabreg-abreg, latihan yang membuatku lelah badan, dan sekarang ucapan-ucapan Angga menambah penat pikiranku. Aku ingin segera sampai di apartmen, mandi, sholat, dan istrahat. Aku akan membuka buku harianku beberapa bulan yang lalu, ketika teta teki itu hadir mengisi lembaran kertasnya.  
Dan di sisa malam ini, tak sempat aku untuk membuka semua tulisan teka-tekiku beberapa bulan yang lalu, tapi aku menuliskan apa yang aku rasakan saat ini… karena aku masih ingat apa yang aku tulis dan apa yang menjadi teka teki itu  dan aku hanya tinggal menuliskan jawaban atas semuanya.
Dear Diary ..
Aku masih ingat, kapan aku bertemu dengannya, dan Aku masih ingat, moment apa yang membuat kami bertemu untuk pertama kalinya. Saat itu, tak ada sebersit pikiran dan perasaan apa pun dalam diriku padanya selain menganggapnya seperti saudara seperti yang lain. 
Namun satu tahun kemudian, sering aku dapatkan pandangan mata yang tidak pernah aku mengerti, tak pernah ada pertemuan khusus di antara kami, kecuali diantara acara-acara keluarga yang paling tidak tiga kali dalam setahun, dan dia tidak pernah datang sendiri, ada seseorang lain yang mendampinginya di setiap acara itu. Jujur dari sana ada perasaan yang aku simpan sendiri.
Bertahun-tahun aku menerimanya, hingga hari ini aku tahu apa yang ingin diungkapkannya. Mungkin ini arti semuanya, berapa tahun ini terjadi, mungkin hanya aku dan dia yang tahu. Apa yang akan kami bicarakan pada pertemuan berikutnya, aku tidak punya cukup waktu untuk menduga-duga.
Bersambung ….

#Cerita ini disadur dari Catatan Harian Seorang Sahabat (CHSS)

Friday 12 December 2014

Bagian Kesatu : Diantara Kalian




 “Tut”, suara sms melesetkan pukulanku, bolaku menyentuh bola 9 terlalu pelan dan menyudut. Upsss …  mukaku merengut. Sudah seminggu ini aku kehilangan konsentrasi latihan, waktuku sedikit tersita dengan urusan kantor yang mulai beruntun di awal tahun ini. Bang Tino, pelatihku, ikut merengut.


“Ayo Ra, konsen dikit, kejar tayang ni, saingan tambah kuat …”
“Iya Bang.” tanganku meraih saku belakang, kubuka telepon. Satu nama di inbox membuatku penasaran. Tumben, pikirku.
“Apa kabar Mbak ?” tertulis disitu, singkat, padat, dan hambar.
“Baik Mas.” Singkat pula balasanku. Kumasukan kembali teleponku, jujur aku tak mengharapkan balasnya lagi.
“Matikan dulu teleponnya, Ra” ujar Bang Tino.
“Jangan Bang, bos besar paling ga suka teleponku mati” jawabku sambil tertawa kecil. Bang Tino memasang bola 9 dengan rapi di mejaku, dan memintaku untuk persiapan break.  Satu set kuakhiri dengan sempurna.
“Coba partner sama Eko, biar lebih panas ya Ra.” Aku mengangguk. Eko adalah salah satu member di FX Bilyar, cukup bagus mainnya, rapi dan tenang. Ketenanganya yang kadang bikin aku sedikit nervous.  Eko mengambil stik break  disebelahku, dengan senyum dia menggodaku, “Mba, waktunya cuma sepuluh menit.”
Break dulu lah Ko, abis itu bagianku.”  Jawabku sambil mengepalkan tangan. Eko tertawa.
Persiapan kejuaran “Kartini” tahun ini memerlukan latihan dengan jadwal yang ketat dan konsentrasi yang lebih tinggi, waktu tinggal tersisa dua bulan lagi. Di sela latihan masih ada beberapa turnamen yang harus kuikuti. Cukup padat sebenarnya, tapi aku punya target di kejuaraan mendatang, sebagai ajang bergengsi kejuaraan bilyar wanita nasional yang diadakan satu tahun sekali, seperti  tahun lalu, bisa masuk di 10 besar dengan perjuangan segenap jiwa.
“Tut” teleponku berbunyi lagi. Tak kuacuhkan, bos besar tidak akan SMS, mataku asyik memperhatikan bola-bola di atas meja hasil sisa-sisa pukulan Eko, empat bola lagi.
“Bagian Gue ya, kau duduk manis dulu, biar kuhabiskan.” ujarku seraya tertawa.
“Iya Mbak, sisain 9 nya saja.” ledek Eko.
“No way.” Jawabku.   
Kuhabiskan bola-bola di meja dengan cepat, Bang Tino tersenyum lebar. Jam menunjukkn pukul 21.30, kubereskan stikku. Seharusnya latihan berakhir 22.30, tapi aku harus segera pulang, ada beberapa bahan presentasi yang harus aku selesaikan malam ini, untuk bahan rapat besok pagi.
“Lanjut besok Bang, agak awal ya, aku bisa keluar kantor jam 4, jadi di sini jam 5 bisa mulai.”
“Ok, jangan lupa bawa chuck mu besok.”
Aku menganggguk. Aku meraih gelas minuman di meja sampingku sambil membuka telepon. Pesan, dari nama yang sama. Penasaran.
“Mbak, Angga dan keluarga besar mengucapkan terima kasih atas semua bantuan mbak kepada kami selama ini , terutama kepada Bapak.” Alisku naik, ada apa ?
Kutekan reply dan kuketik : “Sama-sama Mas. Kok tumben, ada apa ?”
“Bang, aku balik dulu, sampai jumpa besok.” teriakku pada Bang Tino di pojok cafe.  Bang Tino melambaikan tangan, aku melangkah ke pintu keluar dengan tas di punggungku dan stikku.
Hatiku masih bertanya-tanya tentang SMS Angga. Ada apa gerangan ? Aku tak cukup mengenal Angga sebagaimana aku mengenal kakak dan adik-adiknya. Mereka adalah anak dari Pak Bambang, sahabat ayahku.  Ada beberapa pekerjaan Pak Bambang yang sempat aku selesaikan, menurutku biasa saja. Hubunganku dengan keluarga besar Pak Bambang sangat baik. Angga tidak begitu aku  kenal karena dia sekolah di luar kota, pertama kali aku melihatnya di saat Angga dewasa adalah sewaktu Angga akan melangsungkan pertunangan beberapa tahun yang lalu, setelah Angga menyelesaikan kuliah S1nya. Dalam acara tersebut, memang aku membantu mereka dari segi pikiran dan tenaga. Tapi, rasanya itu juga biasa-biasa saja.
Kubuka pintu apartemen, dan menguncinya kembali.  Kurebahkan sejenak badan di sofa panjang di ruang tamu. Badanku terasa lelah. Dalam kondisi seperti inilah kadang aku berpikir aku perlu orang yang menemani di apartemenku. Terbayang jika pulang ada yang menyiapkan makan malam, tidak usah memikirkan laundry, bersih-bersih dan lain-lain. Tapi dengan begini, aku seakan belajar mendisiplinkan diri, terutama waktu. Ah pusing aku memikirkannya.
Teleponku berbunyi lagi. SMS. Segera kuambil telepon dari tasku dan kubaca … “Mungkin buat Mbak tidak ada artinya, tapi buat kami, terutama aku, semuanya sangat berarti. Banyak cerita yang disampaikan dari Mas Widi juga dari adik-adik tentang Mbak, semuanya tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku.”
Pikiranku melayang pada keluarga Pak Bambang, aku mencoba membuka semua memori ingatanku, apa yang pernah aku lakukan pada mereka. Ayah dan Ibu memberiku satu pelajaran dari kecil, “bantulah orang-orang yang menurutmu perlu dibantu dan orang-orang yang meminta bantuanmu, selama kamu mampu, dan jangan kau mengingat apa yang telah kau berikan kepada mereka, sebesar apapun bantuanmu.”  Mungkin inilah yang membuatku tidak berupaya mengingat apa yang telah aku lakukan kepada mereka sehingga kini aku harus menguras ingatanku untuk mengingatnya. Kuhela nafas panjang, ketika aku mulai mengingatnya satu per satu, mungkin itulah yang Mas Widi ceritakan atau siapapun yang menceritakan kepada Angga. Aku tidak ingin mengkonfirmasi tentang ingatanku kepada Angga.
“Hanya itu yang bisa aku lakukan Mas, insya allah ada hikmahnya kelak.” Reply.
Sejak Angga pulang ke rumah Pak Bambang, sedikitnya aku mulai mengenalnya, tidak terlalu dekat. Angga dikenal lebih pendiam di antara  kakak dan adik-adiknya. Usianya lebih muda satu tahun dariku. Sikapnya dingin dan kaku, termasuk senyumnya. J sehingga komunikasiku dengan Angga hanya sepintas lalu, meskipun lima tahun dia sudah kembali ke rumah.
“Insya allah Mbak, Angga sayang Mbak, juga keluarga.”
Keningku berkerut.
“Mbak sayang Mas dan keluarga, met istirahat ya” replyku dengan beribu pertanyaan yang muncul di kepala. Sengaja kuputuskan pembicaraanku, aku cukup lelah hari ini, pekerjaanku masih menunggu di atas meja kerja kecilku.
“Met istirahat, Mbak.”
****
 “Bu, telepon dari Mas Angga, di line 1” terdengar suara Saly dari intercom di ruanganku berbunyi.
“Angga mana ?” teriakku.
“Angga Bapak.”
Kuangkat telepon dan kuucap salam.
“Angga Mbak.”
“Iya Mas, ada yang bisa aku bantu.”
“Bapak minta aku  datang rapat hari ini, jadi jam 2 ?”
“Jadi Mas, nanti bahannya aku siapkan ya.”
“Makasih Mbak.”
Kututup telepon, tanganku tiba-tiba meraih telepon di saku blazerku, ada penasaran apakah Angga menghubungiku ? Duh, kenapa aku jadi berpikiran seperti ini. Tiga pesan di inboxku, dari Angga.
“Pagi Mbak..”
“Sudah di kantor ? Aku mau bicara.”
“Sibuk hari ini ?”
Kuhela nafas panjang…
Sejak dulu, Pak Bambang tidak pernah melibatkan anak-anak dalam bisnis-bisnisnya, apalagi agenda rapat jam 2 tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang Angga. Angga lulusan Teknik Sipil di salah satu universitas di Jawa Timur dan bekerja di salah satu kantor konsultan terkenal, dan agenda rapat hari ini adalah pembahasan tentang kontrak ekspor. Mungkin Angga hanya dampingi Pak Bambang … Atau Pak Bambang sedang memulai untuk melibatkan anak-anak dalam bisnisnya ? Aku mencoba untuk tidak peduli.
Angga datang dengan kemeja batik coklat muda, badannya yang tegap menunjukkan kewibawaan, raut mukanya “dingin”, bisa dibilang acuh. Sapaannya kepada staf di kantor kurang ramah di banding ke Mas Widi. Jauh malah. Basa basinya benar-benar basa basi. Ini ciri khas yang diberikan Angga kepada sekeliling.
Rapat dimulai jam 14.15, peserta hadir lengkap, meja rapat berbentuk oval dan Angga memilih kursi tepat disebrangku, tepat didepanku.  Entahlah, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak menentu. Seringkali tatapanku bertemu dengan tatapan Angga dan membuatku salah tingkah, seringkali kulihat dengan dengan sudut mataku, bagaimana Angga mencuri pandang dan memperhatikanku…. Tak pernah Angga memberikan pendapat apapun dalam rapat atas semua yang aku sampaikan, hanya tatapan tajam yang aku terima setiap aku berbicara. Rasanya aku ingin segera mengakhir rapat ini.

#Cerita ini disadur dari Catatan Harian Seorang Sahabat (CHSS)

Bersambung .... 

Thursday 4 December 2014

You Called Me "ToU"




Last night, someone told me about You, describe You, everything ... I'm so wondering in my mind. Never imagine that will be happened with You, almost denied whatever he said. But I knew, how's he so close with you than me lately. He never know about us.

Tuesday 2 December 2014

Saturday 29 November 2014

Wednesday 26 November 2014

Cerita Sahabat "CR?" --Part Three--


         “Rara, berangkat ke kantor jam berapa ?” terdengar pintu kamarku diketuk pelan, suara halus membangunkanku. Sinar matahari masuk diantara gorden jendela menyilaukan mataku. Upsss jam berapa ini ?
         “Iya Mom.” teriakku serak.
         “Dave tadi telepon, titip pesan apakah handphonenya kebawa kamu tidak?” Mamaku mulai berteriak.
         “Iyaaaaa, nanti aku telepon Mom, handphonenya memang kebawa aku semalam.” Jam 08.15 … Wah kok bisa kesiangan begini. Sedikit pusing, aku bangun dan berjalan ke arah kamar mandi. Kubasuh mukaku dengan air dingin, segar … Agenda hari ini apa ya? Pikirku.

         Kupilih baju berwarna lembut pagi ini, rok selutut warna hitam, dengan atasan bahan katun berwarna  hijau pupus dengan balutan  syal kecil warna orange. Manis, pikirku. Handphone Dave tergeletak di sisi  bantal, off. Kuperhatikan dalam-dalam, ada segurat kepedihan yang masih membekas. What should I do ?
         “Masih cape, Ra? Lelap sekali tidurmu. Dari jam 6 Mama bangunkan, ga ada jawaban sama sekali.” tanya Mama sambil memberikan roti bakar kesukaanku.
“Iya Mom, aku penat sekali, semalam ga langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus aku siapkan.” seteguk orange juice mampir di tenggorokanku, terasa hangat.
“Agenda apa hari ini ? Ga ada meeting pagi ?” Aku menggeleng.
Report aja Mom, sehabis makan siang.”
“Mom, sepertinya pertemuan Sabtu ini kita tunda dulu.”
Wajah Mama tersentak kaget. “Kenapa ? Mama udah reserve tempat sesuai pembicaraan dengan Jeng Santi, terus Mama sudah undang keluarga terdekat kita.” Aku terdiam. Memang, waktu tinggal dua hari, begitu pendek dengan kejadian yang beruntun beberapa hari ini. Aku berpikir keras untuk mengutarakan alasan yang tepat, tapi apa ? Menceritakan yang sebenarnya terjadi ? No way.
“Coba aku bicarakan dulu dengan Dave, Mom.” nafasku berat. Gigitan roti dimulutku terasa keras, kunyahanku tertahan. Tubuhku beranjak dari kursi, satu ciuman kecil mendarat di pipi Mama. “Rara pergi dulu, agak telat pulang nanti malam, Rara janji ketemu Dave.” Izinku. Mama mengangguk, matanya menunjukkan sejuta pertanyaan besar padaku. Aku menghindari tatapan Mama, menghindarkan linangan air mata di pelupuk mataku.
“Hati-hari, Ra.” Aku mengangguk.
****
Jam 9.45 ketika aku tiba di lobby gedung kantor. Tepukan dibahuku membuatku menoleh ke belakang dengan sedikit kaget.
“Morning sayang.” satu senyuman merekah di belakangku.
“Hadeh, kupikir siapa ..!”
“Memangnya ada yang berani tepuk-tepuk begini selain aku ?” balasnya sambil cemberut. Aku tersenyum sambil memijit tombol lift dihadapkanku.
“Handphonemu kebawa semalam, sorry.”
“Ga apa-apa, aku juga ga ngeh semalam, sampai tadi pagi baru ingat.” Langkahnya mengikutiku masuk ke dalam lift. Kuserahkan handphonenya, sambil berkata : “aku ga sempat charge, bangun kesiangan.”
“Nanti aku ikut ngecharge bentar deh di ruangan ya ..! Aku mengangguk. Lantai 17, lift terbuka, aku bergegas ke luar lift. Ada perasaan ga nyaman, Dave pasti tahu pesannya sudah dibuka, karena  pesan itu tidak aku hapus.
“Rara, ada surat di meja, tolong dipelajari dan langsung buat memo ke Pak Idris.”  Satu suara dari intercom terdengar.
“Oke, jadi jam berapa aku ketemu Pak Idris, sekalian aku antar report Bali kemarin.”
“Jam 13.30, di ruang meeting kecil.
“Ok”.
Kulihat Dave memperhatikan handphonenya, jarinya bermain di atas keypad. Aku menunggu. Dan mata Dave mengarah ke mataku tajam. Aku diam.
“Kamu membacanya, Ra?” suaranya sedikit keras.
“Ya, kamu keberatan ?” jawabku balik tanya.
“Ya.” jawabnya pendek.
‘Kenapa ? Diantara kita tidak pernah ada yang dirahasiakan tentang isi pesan. Apalagi pesan itu dikirim tengah malam, seperti keadaan darurat, berulang kali pesan itu berbunyi,  wajar aku baca, kupikir ada musibah”
Dave tidak menjawab. Mukanya sedikit memerah.
“Dave, maaf, aku masih banyak pekerjaan, kita bicara setelah jam kantor di tempat biasa.” Lanjutku.
Tubuhnya beringsut dari sofa di depanku, dan melangkah ke pintu tanpa berkata-kata. Aku tertegun dan bertanya dalam diri, seperti itu ? Kuhempaskan badanku di kursi kerjaku, tanganku menutup wajah … Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi ? Kemana lagi aku harus bertanya dan mencari kebenaran selain kepada Mu ?  Tunjukan padaku apa yang benar dan apa yang salah. Jika Dia memang baik untukku, mudahkan dan lancarkan rencana kami, jika dia memang tidak baik untukku, berikanlah jalan untuk menjalani silaturahmi dengan cara lain.  Aku mulai terisak. Tak pernah sejauh ini aku membawa persoalan pribadi di antara setumpuk pekerjaan di meja kerja kantorku. Ingin rasanya aku berlari pulang, berteriak dan membenamkan wajahku di atas bantal basah karena air mata.
Kutarik nafas dalam-dalam, tiga lembar tissue menyeka air mataku. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin, aku tidak ingin sekelilingku melihat keadaanku seperti ini. Berat memang, tapi apapun harus aku hadapi.
Kertas di hadapanku masih terlihat kabur, kubaca, kuperhatikan dan kucoba untuk memahaminya dengan baik. Tak terlalu sulit sebenarnya, tapi aku perlu konsentrasi untuk mengurai kata membuat memo pendek untuk Pak Idris.  Konsentrasiku kembali buyar, ketika dering handphone berbunyi nyaring. Kuraih handphone di depanku, Mama Santi.
“Assalamu’alaikum Ma, apa kabar ?”
“Waalaikumsalam Rara, baik. Rara sudah di kantor ?”
“Sudah Ma, semalam baru tiba di Jakarta.”
“Syukurlah. Mama baru saja terima telepon dari Dave.” Jantungku berdegup.
“Iya Ma, gimana ?” tanyaku.
“Dave bilang katanya pertemuan Sabtu diundur.” Nafasku seolah terhenti, nyaris tak kujawab perkataan Mama Santi.
“Ada apa Ra?” tanya di sebrang sana.
“Iya Ma, ada beberapa hal yang harus kami bicarakan lebih matang. Rara baru mau telepon Mama setelah makan siang rencananya.”
“Kalian baik-baik saja kan, Ra?” suaranya sedikit khawatir. 
“Ga ada apa-apa kok Ma, kami baik-baik saja” Suaraku melemah, air mata kembali kembali berkumpul di pelupuk mataku. Ya Allah, teriakku dalam hati.
“Tolong kabari Mama kalau ada apa-apa.”
“Baik Ma, terima kasih, assalamu’alaikum.” tak terdengar jawaban, kututup telepon perlahan. Untuk sementara aku perlu off kan telepon, sampai pekerjaanku selesai. Tinggal satu jam aku mempunyai waktu untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dihadapanku, dan aku rasa, aku lebih baik keluar kantor lebih cepat setelah urusan dengan Pak Idris selesai.
Makan siang tak sempat kusentuh, memo sudah kutandatangani. Aku periksa laporan perjalanan terakhirku, masih tersisa 20 menit sebelum meeting dengan Pak Idris, cukup untuk Sholat Dzhuhur dan merapikan diri.
“Des, tolong print dua kali  laporan perjalanan yang tadi untuk tambahan, sekalian dokumentasinya siapkan juga. Saya sholat dulu.” Kataku pada Desi, ketika langkahku melintas di mejanya.
“Baik Bu. Ibu belum makan siang, saya sudah siapkan snack untuk rapat nanti.” 
Aku mengangguk, “Terima kasih, nanti tolong dampingi saya juga.”
Desi tersenyum seraya mengangguk. Kulanjutkan langkuku ke Mushola tak jauh dari tempat Wudhu. Semoga aku diberikan kemudahan dalam segala urusanku. Bismillah …
Tak perlu lama-lama meeting dengan Pak Idris. Sejak dua tahun yang lalu, urusan Public Relation memang sangat dipercayakan padaku. Jarang sekali aku dengar Pak Idris mengeluh atas apa yang aku kerjakan, Beliau sangat percaya padaku. Memoku cukup ditambah tanda tangan Pak Idris di sebelah kanan tanda tanganku, dan laporan perjalanan cukup di paraf dan siap ditindaklanjuti. Untung aku sempat mengirimkan loporan global sehingga aku tidak perlu terlalu rinci menerangkannya.
Lega rasanya.
Kuhidupkan handphoneku yang sempat beberapa jam off. Mejaku mulai bersih, laptopku masih terbuka dengan beberapa tab. Handphoneku mulai ramai dengan bunyi-bunyi pesan yang berbenturan. Kebayang, ada BBM, Whatsapp, LINE, email, dan lain-lain, hmmm nambah kerjaan saja.
Kubuka LINE, ada beberapa pesan di sana.
“HP mu off, kenapa ? Aku ingin bicara sebentar.”
“Tolong sebelum rapat dengan Pak Idris telepon aku.”
“Ok, aku coba hubungi kamu ke kantor, masih meeting. Aku tidak bisa ketemu nanti sore, kita atur besok siang sesudah jum’atan.”
Aku menghela nafas panjang. Baguslah, agar aku bisa mempersiapkan pembicaraan dan langkah-langkah selanjutnya. Aku perlu waktu sendiri.  Pertemuan hari Sabtu yang sekiranya akan membicarakan tanggal pernikahan menurutku memang menentukan 99% pernikahan itu terjadi. Aku tidak ingin membuat satu keputusan yang akan meninggalkan persoalan di masa-masa yang akan datang.
“Bu, telepon di line 3, dari Pak Dave” suara Desi lewat intercom  mengagetkanku.
“Oke.. thanks.” jawabku. Kutarik gagang telepon di samping mejaku.
“Halo.” Suaraku kubuat se’biasa” mungkin.
“Sudah kelar rapatnya ?” datar.
“Baru kelar. Sorry hp sengaja aku off kan, kerjaanku ga kepegang.”
“Aku sudah bicara dengan Mama, kita tunda pertemuan hari Sabtu. Aku tidak sempat membicarakannya denganmu dulu, tapi aku rasa kamu pun memikirkan hal yang sama.”
“Ya, Mama sempat telepon sebelum rapat tadi dan memang aku berpikiran seperti itu juga. Ada hal-hal yang harus kita bicarakan, Dave. Terserah waktunya kapan, aku ngikut saja.”
“Aku atur besok, kalau kamu tidak keberatan, hari ini aku harus meeting dengan client dari Surabaya.”   
“Oke, kita atur besok.”
Tiba-tiba perasaanku sedikit ringan.
***
            Mendung sore ini ketika kususuri jalan sepanjang Sudirman menuju Senayan City, lalu lalang orang di sekitar tidak membuatku mengalihkan perhatian dari tatapanku ke trotoar jalan, seolah aku takut memandang orang-orang.  Aku perlu menikmati waktku.
         Portico, café ini menjadi tempat favoritku untuk menikmati segelas kopi panas dan menemaniku menyelesaikan tugas-tugasku atau sekedar kongkow dengan teman-teman. Belum terlalu ramai sore ini, masih jam 16.30. Kubuka laptop, kuketik password, satu kata berisi satu nama dan empat angka sebagai symbol, done … Tanganku menopang dagu, mataku memandang ke arah jalan yang mulai dibasahi oleh rintik hujan. Adem …  Mataku terpaku pada dua bayangan yang semakin jelas terlihat, seorang laki-laki dengan dengan payung di tangan kanannya dan di sebelahnya seorang perempuan menggelayut di lengan laki-laki itu. Terbelak aku memandangnya, kugigit bibir menahan sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Kubalikkan badan dan berdoa semoga kedua orang itu tidak masuk ke tempat ini.
         “Cari meja duluan di luar, aku titip payung dulu.” satu suara terdengar begitu jelas di belakangku.
         “Smoking ya …!’ balasannya terdengar.
         Aku mengenal dengan baik suara itu. Ada dua pilihan yang datang, pergi dari tempat itu atau tetap bertahan dan akan mendengar apa yang mereka bicarakan.  
         Ruangan di bagian luar Portico memang disediakan untuk “smoking area”, terasa dingin dengan hujan yang mulai deras. Mejaku tepat di sudut kanan ruangan, lebih dekat ke jendela, lebih dingin, kuambil jaket di sebrang meja, kaku. Sudah tak ada pilihan lain, selain bertahan di sini, aku rasa mereka telah memilih tiga meja di belakangku.
         “Aku belum sempat bicara banyak dengan Rara, hanya garis besarnya sudah aku sampaikan tadi.”
         Suara di belakangku itu sangat jelas terdengar.
         “Ada comment?” pertanyaan dari wanita itu.
         “Tidak, aku atur pertemuan dengannya besok siang.”
         “Apa tidak terlalu cepat kita mengambil langkah, aku merasa tidak enak, sejak aku bicarakan tentang kita beberapa yang lalu, almost two  days kami tidak ada komunikasi lagi.”
         “Menurutku tidak, lebih cepat lebih baik, aku tidak ingin memperlebar urusan.”
         “Mau minum apa, Lis ?”
         “Yang hangat-hangat deh, tadi siang aku ga sempat makan, kita pesan yang agak berat aja, biar aku pulang ga makan lagi.”
         Aku tersenyum getir, ini client dari Surabaya ?
         “Dave, apa Rara akan mengerti dengan kondisi kita ?”
         “Maksudnya ?”
         “Dengan kondisi kamu menikah dan kita tetap menjalani hubungan kita ?”
         “Apa mungkin aku harus jujur padanya, kalau kita tetap lanjut walaupun kami menikah ? Ga mungkin !!  Aku hanya tak habis pikir dengan  tindakanmu membicarakan hubungan kita padanya.” sedikit ketus suara itu kudengar.
         “Sorry, seharusnya aku tidak menyebut nama waktu itu, sempat aku melihat raut kaget di wajahnya, tapi hanya sesaat, dan kupikir sebenarnya dia sudah tahu.”
         “Dari awal aku sudah bilang, dia tidak tahu, sampai kamu mengatakan semuanya, sekarang mau gimana lagi ?”
         “Seharusnya aku menerima lamaranmu dulu …” suara Lisa terdengar seperti bisikan, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Jantungku berdegup kencang, hampir saja aku membalikkan tubuhku ke arah mereka.
         “Seharusnya aku tidak membiarkanmu untuk mendekati Rara … yang aku rasakan, setelah kamu bersamanya, perasaanku untuk bisa terus bersamamu semakin besar.”
         “Lis, aku tidak mau berkilas balik tentang itu, semua yang terjadi adalah kesepakatan kita. Aku sudah cukup jujur selama ini, kecuali kamu yang tidak jujur. Sampai pada satu titik, aku harus memilih antara kamu dan Rara, kamulah yang pertama aku  minta sebagai istriku, kita telah saling mengenal, ternyata kamu telah menganggap hubungan kita sebagai teman biasa dan kamu lebih merelakan aku pergi untuk bersama Rara, itu aku terima.”
         “Coba kita renungkan, apakah hubungan kita selama ini membodohi Rara atau tidak. Kita yang tahu, Lis. Mungkin akan lain jadinya jika kamu tidak bicara kepadanya.”
         Tak ada jawaban terdengar dari Lisa, tak ada suara apapun darinya. Aku tak tahu apa yang dia lakukan. Kalau Dave tidak bicara, artinya mereka akan tetap melanjutkan hubungan ? Perih rasanya, sangat beruntung aku mengetahui semua sebelum pernikahan terjadi.
         “Dan dua minggu yang lalu, kamu minta aku menikahimu, itu semua tidak ada dalam rencanaku. Kamu yang telah membiarkan aku memilih Rara, mencintainya, dan memberiku kekuatan untuk menikahinya. Dan  aku kembali pada komitmen kita, kita casual, kamu tidak bisa menerimanya sehingga kamu menceritakan semuanya kepada Rara. Sekarang semuanya berantakan. Aku ga yakin, Rara akan menerima, dan aku ga tahu apa yang akan dia lakukan.”
         “Seharusnya handphonemu tidak terbawa sama dia.” teriakan kecil terdengar.
         “Mana aku tahu kalau handphoneku kebawa, aku pikir handphoneku mati.”
         “Jadi sekarang bagaimana ?”
         “Aku bingung. Aku harus ketemu dan bicara dengan Rara besok. Pembicaraan kami sepertinya akan menentukan langkah selanjutnya. Hanya dua kemungkinan kan, terus berjalan dengan memperbaiki atau break up.” suara Dave terdengar pelan.
         Sekarang, aku lebih paham bagaimana perjalanan mereka. Suara dentingan terdengar, menghentikan pembicaraan mereka sementara. Sebenarnya aku sudah tidak kuat mendengarnya, aku hanya ingin tahu bagaimana mereka mengakhiri pembicaraan ini. Ku ambil handphone di tas kerjaku, dan ku silent  untuk menghindarkan telepon masuk yang akan memaksaku untuk berbicara.
         “Aku memikirkan tentang kita.” suara Dave memecahkan keheningan di antara mereka, Aku memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kita jika aku menikahi Rara.” Jantungku berdebar kencang.
          “Aku sayang kamu, Lisa, dan aku bisa pastikan semua akan berlangsung meskipun aku bersama yang lain.”
         Emosiku mulai naik, mataku panas. Munafik, gombal!! Aku sudah sampai pada keputusanku. Aku tidak ingin mendengar kaliamat selanjutnya. Kalimat terakhir Dave telah memberikan sinyal kemana arah pembicaraannya. Tanganku bergetar meraih barang-barang di meja, merapikannya, dan memasukkan ke dalam tas kerjaku. Kutarik nafas panjang, menenangkan debaran jantungku yang semakin keras. Tidak ada air mata yang terurai meskipun mataku terasa panas.  Aku berdiri, tanganku masih menggenggam sudut meja, perlahan kubalikkan badanku, melangkah ke arah dua manusia yang duduk membelakangiku.
         “Hai.” suaraku halus menyapa mereka.
         “Rara !!” hampir bersamaan mereka menjawab sapaanku. Dave bangkit dari kursi, dan mengajakku duduk. Kutolak halus, aku berdiri di sisi meja. Lisa tertegun menatapku.
          “Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian, dari sejak kalian datang. Aku bersyukur, aku tidak mendengar dari mulut orang lain.”
         “Ra, biar aku jelaskan dulu.” sela  Lisa. Aku tersenyum, cukup getir rasanya.
         “Aku pun sudah memahami bagaimana hubungan kalian, dulu, sekarang dan akan datang. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, semua sudah cukup.”
         “Dave, hubungan kalian begitu indah, bisa saling membagi, menyerahkan diri pada orang lain, sedangkan hati masih tertinggal pada yang lain. Menjalin dua rasa dalam satu masa pada orang yang berbeda, belum pernah aku jalani, dan semoga tidak pernah  aku jalani.”
         “Rara, tidak begitu, biar kami jelaskan.” Dave terlihat resah, dan Lisa mulai terisak.
         “Lisa, sebelum kamu mengirim pesan di handphone Dave, hampir saja aku mengirim email hanya untuk membesarkan hatiku, bahwa hubungan kalian adalah masa lalu dan persahabatan kita adalah segalanya. Tapi sejak aku baca pesanmu dan mendengar semua pembicaraan kalian, baru aku sadar bahwa hubungan kalian bukan masa lalu, tidak akan pernah berakhir dan aku menghargai apapun hubungan kalian.” suaraku sedikit tegar, tanpa getaran, tanpa isakan, dan datar.     
“Dave, maaf aku tidak bisa melanjutkan rencana-rencana kita. Aku tidak sanggup membangun satu kehidupan di antara duri,  lebih baik aku menjauhi duri yang akan mengoyakku.”
         Lisa bangkit dan mencoba meraihku. Aku bergerak mundur.
         “Maafkan aku, Ra, tidak ada niat sedikitpun untuk menyakitimu, semua diluar kehendak kami.”
         “Aku tidak sakit hati Lis, kalian telah menolongku membuka mata hatiku tentang apa yang terjadi. Jalani hidup kita masing-masing, tak ada yang perlu dijelaskan dan disesali, semua diluar kehendak kita. Dave, kita cukup dewasa untuk menerangkan kepada keluarga apa yang terjadi dalam hubungan kita, bicaralah baik-baik atas ketidakcocokan kita.”
         Kubalikkan badan dan melangkah ke pintu keluar. Masih terdengar panggilan Lisa dan suara langkah Dave yang menyusulku, kuminta Dave untuk tidak mengikutiku. Aku tak perduli. Aku ingin meneriakan kekecewaaan yang menggumpal didadaku.
Aku hanya ingin pergi dari sini, aku tidak ingin mencerna apa yang telah terjadi dalam detik-detik terakhir tadi. Bagaimana aku harus melupakan seseorang yang hampir menjadi suamiku, melupakan sahabat kecilku yang selama ini selalu hadir disaat-saat aku berkeluh kesah ? Tuhan,  inikah ujian yang harus aku lalui, di saat aku telah menentukan apa yang aku inginkan, mencoba menggapai angan dan harapan yang  nyaris aku gapai ? Bagaimana aku menata hati dan menjalani sesudah ini terjadi? Hikmah apa di balik semua ini ?
***
Dear Diary,
Ternyata aku tidak cukup mengenal lelaki yang hampir dua tahun ini mendampingiku, memberikan harapan tentang hari esok yang akan dilalui bersama dengannya. Ternyata tak cukup indah kata dan kalimat yang terurai dibanding dengan perbuatannya. Semua hanya bagian dari episode hidup yang aku jalani di antara skenario yang tak pernah aku ketahui.
Hidup adalah pilihan,
Dan aku memilih tidak menyakiti diri sendiri karena aku tak sanggup menerima luka demi luka.
Aku lebih sanggup hidup sendiri menuai asa, tanpa yang lain melukaiku.
Dan itulah kesendirian.
Episode Agustus 2013.
#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk aku urai menjadi sebuah cerita.