Saturday 20 December 2014

Bagian Ketiga :"Diantara Kalian"




Satu minggu berlalu sudah, tidak ada komunikasi lagi dengan Angga, apalagi makan malam yang telah kami bicarakan, tak aku coba untuk mengingatnya. Aku membiarkan semuanya berjalan apa adanya, tak kuhidupkan sekecil harapan apapun untuk ini, aku tak ingin membuat hatiku terluka, dan aku berusaha untuk bijak pada diriku sendiri. Sebagaimana dulu, aku menikmati perasaanku sendiri.
Pagi ini, aku lebih memilih cuti untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di luar aktifitas rutinku. Cukup awal memang aku mengambil jatah cuti, ini lebih baik, karena biasanya, aku selalu melewati jatah cutiku dengan begitu saja. Satu box ukuran sedang sudah berada di meja kerjaku, siap untuk dibongkar. Hmmm lama aku tak menyentuhnya, sejak pindah ke apartemen ini aku belum merapikan isinya.
Kriiiiing … telepon disudut ruangan tv berbunyi nyaring. Duh, pagi begini sudah ada telepon. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui nomor telepon ini. Kuambil gagang telepon, terdengar salam diujung sana.
“Waalaikumsalam.” Jawabku.
“Sudah sarapan Ra ?” suara berat di sebrang sana menyapaku.
“Baru kelar Pak.”jawabku.
“Saya dengar hari ini cuti ya, dalam rangka apa ?”
“Bebenah rumah Pak, sejak pindah saya belum sempat mengerjakan yang kecil-kecil.”
“Tiara, saya ada  rapat jam 4 sore nanti di RNI, saya tidak bisa datang saya harus berangkat ke Surabaya, bisa wakili saya ?”
“Ow.. rapat apa Pak?”
 “Lanjutan dengan Pak Simon, kebetulan pointnya pas denganmu.”
Aku termenung sejenak, gagal deh.
“Nanti Angga mendampingi Tiara, jadi tolong kordinasi dengan dia.” lanjutnya. Kalimat terakhir ini membuatku tergagap ketika menjawab perkataan Pak Bambang.
“Tidak apa-apa Pak, saya bisa jalan sendiri, takutnya ganggu Mas Angga.”
“Sudah saya bicara ke Angga, dia bisa ikut rapat.” tegasnya.
“Baik Pak, saya kordinasi dengan Mas Angga.”
“Terima kasih Tiara, saya tunggu laporannya, diemail saja, waktu cutimu masih dua hari, kan ?”
“Iya Pak, segera saya laporkan.”
Suara telepon ditutup. Aku terduduk di  samping meja telepon. Duh .. kenapa mesti Angga ? Aku merasakan, apabila ada satu kesempatan bertemu atau berkomunikasi, itu akan melanjutkan pada pertemuan dan komunikasi lainnya. Kenapa aku jadi was-was ?
Tut tut .. suara smsku berbunyi bersahutan, langkahku gontai menuju meja kerjaku. Mestinya aku matikan dulu telepon selama aku cuti, pikirku.
“Nanti kita rapat jam 4. Aku jemput Mbak di kantor atau gimana?”
“Pulang rapat kita bisa lanjutkan untuk makan malam ?”
Kuhela nafas panjang sebelum menjawabnya. Ragu.
“Kita ketemu di Kuningan saja Mas, 15.45 aku sudah sampai di sana. Jeda makan dari kelar rapat sampai waktunya makan malam agak lama.” balasku.
“Aku jemput ke apartmen saja bagaimana, cuti kan hari ini ?”
Wah kabar cutiku sudah sampai kemana-mana, tapi masih bisa diganggu, gerutuku dalam hati.
“Wah ga enak Mas, kejauhan nanti. Kita ketemu saja disana.”
“Kalau kita jadi jalan, ga lucu kan kalau dua mobil.” Sms ku dibalas dengan skak matt. Siapa juga yang sudah setuju kami jalan ? pikirku sambil tersenyum kecil.
“He..he.. early dinner Mas, entar keburu lapar lagi?” balasku
“Kita nonton aja, gimana?”
“Ok, nanti kita atur deh, lihat waktunya. Kita ketemu di sana, aku ga bawa kendaraan.”
“Oke.”
Percakapan terhenti sampai disana.  Aku membuka laptop dan mencek email-email yang masuk. Kucari email tentang hasil rapat terakhir dengan Pak Simon dua minggu yang lalu untuk bahan meetingku nanti sore.   Tak terlalu sulit untuk bahan yang satu ini, pertemuan kali ini membahas tentang  advertising untuk publikasi produk yang akan ditawarkan. Sebenarnya ada pertanyaan yang harus aku lontarkan kepada Pak Bambang tadi, kenapa Angga harus ikut dalam rapat ini ?
File-file yang berada di box aku buka satu persatu. Ada undangan, foto-foto, surat-surat, dan beberapa proposal. Dua bulan yang lalu aku pindah ke apartemen ini, sebelumnya aku kost di daerah Setia Budi. Sebenarnya di sana juga enak, andai saja tidak terjadi beberapa tawuran di sekolah itu, mungkin aku masih di sana dan sejak kejadian terakhir aku memutuskan untuk pindah.
Satu amplop berwarna coklat jatuh tepat di bawah kakiku.  Tipis. Aku belum pernah melihat amplop ini. Kulihat sampul mukanya, ada nama dan alamat kantorku tertera disana. Kapan surat ini sampai ? Tanpa cap pos ataupun tanda terima kurir, tanpa pengirim di belakangnya. Aku benar-benar penasaran.  Biasanya kalau ada surat yang dikirim ke kantor, selalu disiapkan oleh Saly di mejaku, yang ini kok bisa terlewati ?
Kubuka amplop itu dengan menggunting ujungnya, satu lembar kertas putih didalamnya. Hanya satu lembar. Satu rangkaian tulisan tangan dengan tinta hitam tertera di sana. Kulihat akhir kalimat, mencari nama pengirimnya. AM. Aku terhenyak kaget. AM adalah salah satu inisial yang diberikan Pak Bambang untuk anak-anaknya. Angga Margana. Dadaku berdebar kencang, pikiranku tak menentu.
Pandanganku terarah pada kalimat awal pada surat itu.
Jakarta,  15 Januari 2006
Dear Tiara,
Tak banyak yang ingin aku sampaikan, tapi terasa aneh ketika aku tulis surat ini. Sekian lama kita saling mengenal, tak ada satu pertemuan khusus antara kita selama ini.
Jauh dari lubuk hati, ingin rasanya aku bisa mengenalmu lebih jauh, tak ada sedikit keberanian datang untuk mencoba membuka komunikasi denganmu.
Namun harapan masih ada,  ada kesempatan kita untuk bicara.
Mungkin Tiara bingung apa yang akan kita bicarakan, dan aku pun bingung bagaimana aku harus memulai. Semua diluar kendaliku, Tiara pasti mengerti.
Surat ini mewakili dari semua perasaanku, mungkin hanya aku dan Allah yang tahu selama ini, dimana aku merasakan rasa sayang kepada Tiara lebih dari sebagai teman atau apapun. Apa pun tanggapan Tiara, aku siap menerima, aku tahu kondisiku. Cukup bagiku mengungkapkan semuanya, agar Tiara tahu.
Love you
AM
Mataku masih terpukau pada tulisan itu. Surat ini dikirim empat bulan yang lalu, dan tak pernah aku mengetahuinya.  Ada yang berdesir didada, aku mengerti perasaan itu. Satu yang terlintas dalam pikiranku, apakah aku harus membahas surat ini kepada Angga ?  Tak ada gairah lagi untuk membereskan file-file itu. Perasaanku tak menentu,  berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku. Ya Allah bagaimana aku harus menghadapinya ?
Aku melangkah ke kamar, mempersiapkan baju untuk rapat sore ini, sepertinya harus mempersiapkan satu baju untuk dua acara pikirku. Casual, itu pilihanku, toh aku sudah cukup mengenal baik Pak Simon dan staf-stafnya, dan rapat itu tidak terlalu formil.
Waktu menunjukan pukul 13.00, aku harus segera bersiap, perjalanan ke arah Kuningan tak bisa diprediksi, paling tidak jam 15.45 aku harus sudah sampai disana, jam 15.00 sepertinya cukup dari sini.
***
“Mbak …”  satu panggilan menghentikanku untuk memijit tombol lift. Aku menengok ke arah lobby.
“Hai, kok pas banget datengnya.” Kataku seraya berjalan ke arahnya.
“Sengaja, aku tahu kalau Mbak pasti tepat waktu.”
“Ga ada kerjaan sih, jadi lebih pas datangnya. Kita langsung aja ya, ga enak kalau telat.” Ujarku.
Angga berjalan di sampingku. Wangi parfum khasnya tercium dengan jelas. Aku menyukai wanginya, lembut.
“Lantai 8 kan ?” tanya Angga dan aku mengangguk.
Hanya kami berdua di lift, kurapikan dasi Angga yang sedikit kusut.
“Makasih.”
“Posisi dasi mulai berubah kalau jam segini ya.” kataku sambil tertawa.
“Harusnya lebih kusut Mbak, biar Mbak bisa lama rapiinnya.” balas Angga, aku merengut, Angga tertawa senang.
Ruang rapat masih kosong, ketika kami sampai di sana, seorang staf mengantarkan kami, dan segera memberitahukan Pak Simon atas kedatangan kami. Aku mengambil posisi duduk strategis di tengah, Angga mengikutiku dengan mengamil kursi di sebelahku. Kusiapkan bahan-bahan rapat dan laptopku. Sepuluh menit kemudian peserta rapat sudah lengkap, dan Pak Simon mulai membuka rapat.”
“Bilang Pak Simon, rapatnya ga usah lama-lama.” bisik  Angga.
“Mas aja yang bilang,” balasku.
Bahan rapat dari Pak Simon mulai dibagikan. Kubaca sekilas, tak banyak berbeda dengan kemarin. Point-point yang dibold aku cermati, sepertinya bukan bagianku lagi, karena masalah harga dan waktu, pas buat Angga sepertinya.
“Bu Tiara, untuk design dan materi lainnya sudah kami setujui, rapat ini akan bicara tentang harga dan waktu penyelesaian, namun apabila ada ide-ide lain yang lebih cemerlang, kami akan menerima ide-ide itu untuk menyempurnakan produk kami.” Kata Pak Simon, semua mata tertuju ke arahku. Alhamdulillah, kataku dalam hati.
“Baik Pak, insya allah kami akan mencoba untuk menyempurnakannya. Untuk penawaran kami terdahulu bagaimana masukan bapak ?” jawabku, tanganku membuka file penawaran perusahaan yang telah aku siapkan.
“Ada beberapa point yang telah kami diskusikan, bisa dilihat di halaman 18 sampai 23 untuk materinya, kami minta kebijakan dari Bu Tiara dan pihak perusahaan dan untuk waktu penyelesaianya kita memerlukan waktu lebih cepat”
“Berapa permintaan yang Bapak ajukan dan untuk waktu bisa kita telaah lagi dan kami diskusikan dengan pihak teknis, dan bisa kita tetapkan kapan startnya.”
Pak Simon menuliskan beberapa kalimat, angka dan hitungan di white board,  aku berbisik pada Angga, Angga mengangguk.
“Kami minta waktu 15 menit Pak Simon untuk kalkulasi.” Kata Angga.
“Baik Pak, silahkan.”
Pak Bambang sudah menyerahkan keputusan kepada kami, tugas Angga menghitung penawaran Pak Simon dengan berpatokan pada proposal yang kami ajukan.  Kubiarkan Angga mencoret-coret kertas dihadapannya, jago memang dia kalau urusan hitungan, pikirku. Aku membuka laptop ketika terdengar notifkasi email masuk, ada satu email masuk … tapi kok dari Angga ? Heran.
“Selamat ya, aku bangga ama Mbak, seharusnya aku ga kuliah di Jawa.”
Hadeh sempet-sempetnya. Kucubit pinggang Angga pelan, “iseng banget” bisikku.
“Balas dong.” bisiknya pula, cubitanku sedikit keras, Angga meringis sambil tersenyum.
“Mbak, ini perhitunganku, coba Mbak periksa.” Angga memberikan kertas yang dipegangnya kepadaku.
“Marginnya gimana ?”
“Cukup. Tinggal mbak atur kira-kira diberapa.”
 “Minimal disini?” tanyaku seraya menunjuk deretan angka terakhir. Angga mengangguk.
“Mas saja yang bicara, coba naikkan dulu, agar kita ga mati.” Bisikku.
“Ok.”
“Pak Simon, kami sudah diskusi dengan penawaran yang Bapak ajukan, boleh saya jelaskan?” Angga berkata seraya berdiri.
“Silahkan Pak, mudah-mudah sesuai dengan permintaan kami.” jawab Pak Simon sambil tertawa dan mengedipkan matanya ke arahku.
“Bisa pak, tapi saya dapat fee lagi ya.” ujarku.
Angga mempresentasikan hitunganya dengan cermat. Dia memang ahli juga dalam hitungan, selain urusan sipil. Pak Simon menanggapi perhitungan Angga dengan serius, dengan sedikit debat. Urusan angka seperti ini sebenarnya yang aku ga suka, kadang suka feeling guilty kalau diminta untuk tawar menawar. Angga lebih netral.  Aku mencatat apa yang Angga uraikan di depan, sebagai bahan laporan nanti. Debat demi debat akirnya diputuskan sesuai dengan keputusan. Nilai yang disepkati sangat tepat dengan permintaanku, margin dengan penawaran Pak Simon cukup jauh. Good job.
“Terima kasih Pak Angga, Bu Tiara, kami sepakat dengan harga tersebut. Kami akan membuat notulensinya dan kami kirimkan via email. Mengeni waktu penyelesaian bisa kami mendapat kabar lebih cepat ?”
“Kami usahakan dalam 2 (dua) hari ini, kami segera kordinasi dengan teknisi.” Kataku. Alhamdulillah.
“Terima kasih , Bu, kami tunggu kabarnya.”
Pak Simon menutup rapat dengan cepat, dan melambaikan tangannya ke arahku, “Thanks Tiara” Aku mengangguk, membalas lambaian tangannya, dan pamit ke peserta yang lain.
“Mbak tunggu di sini aja, aku ambil mobil.” kata Angga, menghentikan langkahku.
“Emangnya Mas sopirku? balasku sambil tersenyum.
“Hujan, Mbak .. Nanti saki.t” Katanya. Aku menggeleng dan melanjutkan langkahku mengikutinya.
Gerimis memang, jarak lobby ke parkiran depan ga terlalu jauh, tak cukup membasahkuyupkan bajuku. Biasa aja.  Mobil Jazz Biru itu terparkir dipojok, Angga membukakan pintu untukku. “cepat masuk, Mbak, dingin.” tangannya menarik lembut tanganku.
Great Meeting Mbak. Aku baru percaya kalau apa yang di percayakan Bapak ke Mbak bisa diselesaikan dengan baik.”
“Wah, itu kan hasil hitungan Mas, dan itu kan tugas Mas, harus diselesaikan dengan baik, karena amanah.”
“Dari awal kan Mbak yang urus, aku ending nya  saja.”
“Kerja kita hari ini bagus Mas, that’s the point” kataku. Inilah kalau berhubungan dengan keluarga, selalu dihubung-hubungkan, kadang bikin aku ga nyaman.
“Ok, jadi kita kemana dulu ?”
“Terserah Mas,  yang pasti jangan makan dulu, perutku ga siap nerima.” kataku seraya melihat ke jam tangan. Jam 17.30.
“Ok, kita ke Sarinah saja ya, coba lihat di Jakarta Theather ada film apa.”
Aku mengangguk. Ingin rasanya aku membicarakan tentang surat yang aku baca pagi ini, tapi bagaimana mulainya ? Angga mulai menjalankan mobil, agak canggung, ini pertama kali aku satu kendaraan dengannya. Aku menolehkan mukanya padaku, “kok diam?” tanyanya.
Aku tersenyum, “bingung mau bicara apa, tapi jangan ngomongin kerjaan ya.”
Jalanan padat di jam pulang kantor seperti ini, apalagi hujan mulai deras, jalur lambat agak lancar kali ini.
“Mbak, beberapa waktu yang lalu aku pernah kirim surat ke kantor.”
Dadaku berdegup.
“Untuk siapa?” tanyaku, aku mulai grogi.
“Buat Mbak, tapi kok aku ga dapat feedback apapun, Mbak marah ya”
Aku terdiam. Inilah yang tidak aku prefentifkan untuk menjawabnya.
“Mbak ?” tanyanya lagi.
“Mas, jujur ya, aku baru baca surat itu tadi pagi, itu pun dari tumpukan file yang rencananya tadi pagi aku bereskan.” kataku, agak was-was juga takutnya Angga tersinggung. 
“What ???” tanyanya dengan kaget.
“Iya … aku juga kaget melihat tanggal surat itu.”
“Pantas aku ga dapat balasan apa-apa, aku kira Mbak marah, terus ga balas. Aku sempat mau tanya tapi ga enak. Dan aku agak surprise kalau Mbak balas teleponku atau sms ataupun kalau kita ketemu, kok tidak menunjukkan kemarahan atau apapun, datar aja” ujarnya sambil tertawa.
“Maaf …”
“It’s ok Mbak, mungkin sekarang saatnya bicarakan tentang itu. Ini waktu yang Angga tunggu. Kita ga usah nonton ya Mbak, kita cari tempat yang enak untuk bicara.”
“Ok .. aku ngikut aja, yang penting jangan terlalu malam.” Jawabku.
Angga mengangguk, ada keheningan diantara kami, seakan-akan masing-masing mempersiapkan kalimat-kalimat apa yang akan dibicarakan nanti. Aku bermain dengan pikiranku sendiri, Angga mengarahkan mobil ke daerah Menteng, dan memarkirkan mobilnya di sana.
“Disini aja Mbak, sepertinya belum terlalu rame.”
Daerah ini sangat familiar denganku, satu tempat yang sering aku kunjungi hanya untuk mengobrol dengan teman-teman atau sebagai tempat menunggu acara berikutnya adalah café yang dipilih Angga. Tempatnya nyaman, nyaman banget malah, kadang bikin betah dan aku sering mengalihkan pertemuan-pertemuan ku ke tempat ini.
“Ok.” Jawabku.
Angga memilih kursi agak pojok dekat jendela sebelah kanan. Suasana mulai ramai. Makanan dan minuman disini tidak ada yang khas, tempatnya yang bikin khas, tertata rapi dan unik. Secangkir coklat panas dan keju muffin ku pesan, Angga memilih moccachino panas.  Angga duduk di depanku, aku agak salah tingkah.
“Jadi, Mbak baru baca surat itu tadi ? 
 Aku mengangguk.
“Menurut Mbak gimana ?”
“Gimana apanya Mas.” Jawabku, bingung mesti jawab apa.
“Tentang suratku.”
Sebenarnya aku ingin jawab “suratnya indah, sudah lama ga dapat surat cinta.” aku tersenyum dalam hati.
“Menurutku, Mas yang jelaskan isi surat itu, aku takut salah persepsi” pelan jawabanku. Angga menarik nafas pelan, badannya ditegakkan, tangannya meraih cangkir kopi, meniup-niup permukaannya.
 “Mbak tidak paham.”
“Aku paham, tapi lebih paham  kalau Mas juga uraikan. Aku tidak ingin bermain-main dengan persepsiku”
“Aku menyayangi  Mbak, Mencintai Mbak.” Jawabnya tegas.
How’s coming.”  kataku sedikit tergagap.
“Sejak aku kuliah semester 6, aku mulai dengar cerita tentang Mbak. You are the best for My father. Dan aku tak peduli dengan itu, Bapak sudah sering berganti-ganti rekan kerja dan Bapak selalu sebut mereka itu terbaik, dan waktu berlalu Bapak sudah no comment tentang mereka, dan aku berpikiran bahwa  tentang Mbak pun sama dengan rekan-rekan Bapak, dan Bapak akan mengganti Mbak dengan yang lain.”
“Tapi cerita tentang Mbak terus berlanjut hingga sampai akhirnya aku lulus. Kita pernah ketemu dipernikahan Mas  Widi beberapa tahun yang lalu, Mbak pasti ga lihat aku, tapi dari sana aku mulai perhatikan Mbak, bertanya tentang Mbak ke Bapak, Ibu dan saudara-saudara. And you know Mbak, komentar mereka 100% bagus. “ lanjutnya.
“Aku berpikir keras, bagaimana aku bisa mengenal dan berkomunikasi dengan Mbak seperti Mas Widi, aku bingung. Aku mencoba beberapa jalan, tapi aku tidak bisa meneruskan komunikasi kita. Kaku.”
Ya memang begitu. Setiap Angga berkomunikasi denganku tahun-tahun lalu memang terasa formal, sehingga aku harus menjawabnya dengan cara yang sama. Tak ada dalam pikiranku bahwa komunikasi itu adalah cara dia untuk mengenalku dengan lebih baik. Angga yang dingin, kaku dan sedikit angkuh. Huh.
“Hingga akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan Mbak baik, pada satu moment yang tidak aku duga, menjelang pertunanganku dengan Desi.” Suaranya lirih.
Aku terdiam. Ya, menjelang pertunangannya akulah key person di acara itu, aku mengurus semuanya.
“Itu awalnya ya Mbak, setelah pertunangan itu kita bisa komunikasi dengan baik meskipun tidak terlalu sering.”
Aku mengangguk.
“Dan tahukah Mbak, bahwa sejak itulah aku mulai memikirkan Mbak.”
Mukaku terangkat tegak. Pertunangan itu berlangsung 4 tahun yang lalu. Sejak itu ? tanyaku dalam hati.  Tahun-tahun berikutnya aku memang sering lihat tatapan mata Angga berbeda jika tatapan kami bertemu, aku tak berpikir sejauh itu.
Aku menggelengkan kepala pelan.
“Aku mengerti.”
“Mbak, aku tidak mau berbicara tentang bagaimana aku bisa memikirkan, menyayangi dan mencintai Mbak. Aku hanya ingin mengungkapkan semuanya, entah terlambat atau tidak, aku hanya ingin Mbak tahu.”
“Mas, aku mengerti dan sekarang tahu bagaimana perasaan Mas. Pernah ada pikiran seperti itu, dulu, kalau kita bertemu. Aku pikir itu perasaanku saja, dan aku tidak mau bermain dengan perasaanku, karena bisa melukaiku.”
“Artinya ..?” desak Angga.
Aku tidak segera menjawab, mataku menatap kearahnya, jemariku bermain satu sama lain.
“Ya, dulu aku punya pikiran bahwa Mas memperhatikan aku.” kataku lirih.
“Memang itu adanya.”
“Dan sekarang, aku menghadapi kenyataan Mas mengungkapkan semuanya. Harus aku jawab ?”
“Ya.” tegas Angga.
“Kalau aku jawab, akan seperti apa kita ?”
“Kita akan seperti orang-orang yang saling menyayangi pada umumnya,”
“Bagaimana kita ke depannya ? Bagaimana kita menjaga hubungan kita diantara keluarga dan orang-orang sekeliling kita?”
“Kita akan jalani apa adanya. Kita perlu waktu untuk menjalaninya. Jawab Mbak.” Tanganya meraih jemariku, mengecupnya lembut, matanya lekat menatapku.
“Ya, aku merasakan yang sama, menyayangi dan mencintai, Mas.” tersedak rasanya aku mengucapkan itu. Tak ada pikiran lain dibenakku selain mengungapkan semuanya. Tak aku pikirkan seperti apa hubungan kami nanti, rintangan apa di depan kami, bagaimana kami menjalaninya, dan bagaimana aku harus bersikap kalau keluarganya tahu ?? Aku seakan tak peduli dan cukup bagiku Angga mengetahui semuanya.
“Mbak paham dengan kondisiku, aku tidak akan membuat Mbak sakit hati, aku akan berbuat yang terbaik buat kita.”
Aku terdiam. Aku tidak boleh mengharapkan bahwa aku akan memiliki dan mendampingi dia  selamanya. Aku tidak boleh mengharapkan dia hadir setiap waktu  di saat aku memerlukannya. Aku tidak boleh mengharapkan rasa sayang dan cintanya hanya untukku. Aku mengerti semua. Aku simpan semua. Dan akan aku jalani, aku harus menjaga hubungan kami.
“Mbak, aku bahagia. Aku menunggunya setelah sekian lama. ”
Aku tersenyum, mengangguk.
Dan kisah pun dimulai, sejak  itu …

Bersambung ....
  

0 comments:

Post a Comment