Satu minggu berlalu sudah, tidak ada komunikasi lagi dengan
Angga, apalagi makan malam yang telah kami bicarakan, tak aku coba untuk
mengingatnya. Aku membiarkan semuanya berjalan apa adanya, tak kuhidupkan
sekecil harapan apapun untuk ini, aku tak ingin membuat hatiku terluka, dan aku
berusaha untuk bijak pada diriku sendiri. Sebagaimana dulu, aku menikmati
perasaanku sendiri.
Pagi ini, aku lebih memilih cuti untuk mengerjakan beberapa
pekerjaan di luar aktifitas rutinku. Cukup awal memang aku mengambil jatah cuti,
ini lebih baik, karena biasanya, aku selalu melewati jatah cutiku dengan begitu
saja. Satu box ukuran sedang sudah berada di meja kerjaku, siap untuk dibongkar.
Hmmm lama aku tak menyentuhnya, sejak pindah ke apartemen ini aku belum merapikan
isinya.
Kriiiiing … telepon disudut ruangan tv berbunyi nyaring.
Duh, pagi begini sudah ada telepon. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui
nomor telepon ini. Kuambil gagang telepon, terdengar salam diujung sana.
“Waalaikumsalam.” Jawabku.
“Sudah sarapan Ra ?” suara berat di sebrang sana menyapaku.
“Baru kelar Pak.”jawabku.
“Saya dengar hari ini cuti ya, dalam rangka apa ?”
“Bebenah rumah Pak, sejak pindah saya belum sempat
mengerjakan yang kecil-kecil.”
“Tiara, saya ada
rapat jam 4 sore nanti di RNI, saya tidak bisa datang saya harus
berangkat ke Surabaya, bisa wakili saya ?”
“Ow.. rapat apa Pak?”
“Lanjutan dengan Pak
Simon, kebetulan pointnya pas denganmu.”
Aku termenung sejenak, gagal deh.
“Nanti Angga mendampingi Tiara, jadi tolong kordinasi
dengan dia.” lanjutnya. Kalimat terakhir ini membuatku tergagap ketika menjawab
perkataan Pak Bambang.
“Tidak apa-apa Pak, saya bisa jalan sendiri, takutnya
ganggu Mas Angga.”
“Sudah saya bicara ke Angga, dia bisa ikut rapat.”
tegasnya.
“Baik Pak, saya kordinasi dengan Mas Angga.”
“Terima kasih Tiara, saya tunggu laporannya, diemail saja,
waktu cutimu masih dua hari, kan ?”
“Iya Pak, segera saya laporkan.”
Suara telepon ditutup. Aku terduduk di samping meja telepon. Duh .. kenapa mesti
Angga ? Aku merasakan, apabila ada satu kesempatan bertemu atau berkomunikasi,
itu akan melanjutkan pada pertemuan dan komunikasi lainnya. Kenapa aku jadi
was-was ?
Tut tut .. suara smsku berbunyi bersahutan, langkahku
gontai menuju meja kerjaku. Mestinya aku matikan dulu telepon selama aku cuti,
pikirku.
“Nanti kita rapat jam 4. Aku jemput Mbak di kantor atau
gimana?”
“Pulang rapat kita bisa lanjutkan untuk makan malam ?”
Kuhela nafas panjang sebelum menjawabnya. Ragu.
“Kita ketemu di Kuningan saja Mas, 15.45 aku sudah sampai
di sana. Jeda makan dari kelar rapat sampai waktunya makan malam agak lama.” balasku.
“Aku jemput ke apartmen saja bagaimana, cuti kan hari ini
?”
Wah kabar cutiku sudah sampai kemana-mana, tapi masih bisa
diganggu, gerutuku dalam hati.
“Wah ga enak Mas, kejauhan nanti. Kita ketemu saja disana.”
“Kalau kita jadi jalan, ga lucu kan kalau dua mobil.” Sms
ku dibalas dengan skak matt. Siapa juga yang sudah setuju kami jalan ? pikirku
sambil tersenyum kecil.
“He..he.. early
dinner Mas, entar keburu lapar lagi?” balasku
“Kita nonton aja, gimana?”
“Ok, nanti kita atur deh, lihat waktunya. Kita ketemu di sana,
aku ga bawa kendaraan.”
“Oke.”
Percakapan terhenti sampai disana. Aku membuka laptop dan mencek email-email
yang masuk. Kucari email tentang hasil rapat terakhir dengan Pak Simon dua
minggu yang lalu untuk bahan meetingku nanti sore. Tak
terlalu sulit untuk bahan yang satu ini, pertemuan kali ini membahas tentang advertising
untuk publikasi produk yang akan ditawarkan. Sebenarnya ada pertanyaan yang
harus aku lontarkan kepada Pak Bambang tadi, kenapa Angga harus ikut dalam
rapat ini ?
File-file yang berada di box aku buka satu persatu. Ada
undangan, foto-foto, surat-surat, dan beberapa proposal. Dua bulan yang lalu
aku pindah ke apartemen ini, sebelumnya aku kost di daerah Setia Budi.
Sebenarnya di sana juga enak, andai saja tidak terjadi beberapa tawuran di
sekolah itu, mungkin aku masih di sana dan sejak kejadian terakhir aku
memutuskan untuk pindah.
Satu amplop berwarna coklat jatuh tepat di bawah kakiku. Tipis. Aku belum pernah melihat amplop ini.
Kulihat sampul mukanya, ada nama dan alamat kantorku tertera disana. Kapan
surat ini sampai ? Tanpa cap pos ataupun tanda terima kurir, tanpa pengirim di
belakangnya. Aku benar-benar penasaran.
Biasanya kalau ada surat yang dikirim ke kantor, selalu disiapkan oleh
Saly di mejaku, yang ini kok bisa terlewati ?
Kubuka amplop itu dengan menggunting ujungnya, satu lembar
kertas putih didalamnya. Hanya satu lembar. Satu rangkaian tulisan tangan
dengan tinta hitam tertera di sana. Kulihat akhir kalimat, mencari nama
pengirimnya. AM. Aku terhenyak kaget. AM adalah salah satu inisial yang
diberikan Pak Bambang untuk anak-anaknya. Angga Margana. Dadaku berdebar
kencang, pikiranku tak menentu.
Pandanganku terarah pada kalimat awal pada surat itu.
Jakarta, 15 Januari 2006
Dear Tiara,
Tak banyak yang ingin aku sampaikan,
tapi terasa aneh ketika aku tulis surat ini. Sekian lama kita saling mengenal,
tak ada satu pertemuan khusus antara kita selama ini.
Jauh dari lubuk hati, ingin rasanya
aku bisa mengenalmu lebih jauh, tak ada sedikit keberanian datang untuk mencoba
membuka komunikasi denganmu.
Namun harapan masih ada, ada kesempatan kita untuk bicara.
Mungkin Tiara bingung apa yang akan
kita bicarakan, dan aku pun bingung bagaimana aku harus memulai. Semua diluar
kendaliku, Tiara pasti mengerti.
Surat ini mewakili dari semua
perasaanku, mungkin hanya aku dan Allah yang tahu selama ini, dimana aku
merasakan rasa sayang kepada Tiara lebih dari sebagai teman atau apapun. Apa
pun tanggapan Tiara, aku siap menerima, aku tahu kondisiku. Cukup bagiku
mengungkapkan semuanya, agar Tiara tahu.
Love you
AM
Mataku masih terpukau pada tulisan itu. Surat ini dikirim empat bulan
yang lalu, dan tak pernah aku mengetahuinya.
Ada yang berdesir didada, aku mengerti perasaan itu. Satu yang terlintas
dalam pikiranku, apakah aku harus membahas surat ini kepada Angga ? Tak ada gairah lagi untuk membereskan
file-file itu. Perasaanku tak menentu,
berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku. Ya Allah bagaimana aku harus
menghadapinya ?
Aku melangkah ke kamar, mempersiapkan baju untuk rapat sore ini,
sepertinya harus mempersiapkan satu baju untuk dua acara pikirku. Casual, itu
pilihanku, toh aku sudah cukup mengenal baik Pak Simon dan staf-stafnya, dan rapat
itu tidak terlalu formil.
Waktu menunjukan pukul 13.00, aku harus segera bersiap, perjalanan ke
arah Kuningan tak bisa diprediksi, paling tidak jam 15.45 aku harus sudah
sampai disana, jam 15.00 sepertinya cukup dari sini.
***
“Mbak …” satu panggilan
menghentikanku untuk memijit tombol lift. Aku menengok ke arah lobby.
“Hai, kok pas banget datengnya.” Kataku seraya berjalan ke arahnya.
“Sengaja, aku tahu kalau Mbak pasti tepat waktu.”
“Ga ada kerjaan sih, jadi lebih pas datangnya. Kita langsung aja ya,
ga enak kalau telat.” Ujarku.
Angga berjalan di sampingku. Wangi parfum khasnya tercium dengan
jelas. Aku menyukai wanginya, lembut.
“Lantai 8 kan ?” tanya Angga dan aku mengangguk.
Hanya kami berdua di lift, kurapikan dasi Angga yang sedikit kusut.
“Makasih.”
“Posisi dasi mulai berubah kalau jam segini ya.” kataku sambil
tertawa.
“Harusnya lebih kusut Mbak, biar Mbak bisa lama rapiinnya.” balas
Angga, aku merengut, Angga tertawa senang.
Ruang rapat masih kosong, ketika kami sampai di sana, seorang staf
mengantarkan kami, dan segera memberitahukan Pak Simon atas kedatangan kami.
Aku mengambil posisi duduk strategis di tengah, Angga mengikutiku dengan
mengamil kursi di sebelahku. Kusiapkan bahan-bahan rapat dan laptopku. Sepuluh
menit kemudian peserta rapat sudah lengkap, dan Pak Simon mulai membuka rapat.”
“Bilang Pak Simon, rapatnya ga usah lama-lama.” bisik Angga.
“Mas aja yang bilang,” balasku.
Bahan rapat dari Pak Simon mulai dibagikan. Kubaca sekilas, tak banyak
berbeda dengan kemarin. Point-point yang dibold
aku cermati, sepertinya bukan bagianku lagi, karena masalah harga dan waktu,
pas buat Angga sepertinya.
“Bu Tiara, untuk design dan materi lainnya sudah kami setujui, rapat
ini akan bicara tentang harga dan waktu penyelesaian, namun apabila ada ide-ide
lain yang lebih cemerlang, kami akan menerima ide-ide itu untuk menyempurnakan
produk kami.” Kata Pak Simon, semua mata tertuju ke arahku. Alhamdulillah,
kataku dalam hati.
“Baik Pak, insya allah kami akan mencoba untuk menyempurnakannya.
Untuk penawaran kami terdahulu bagaimana masukan bapak ?” jawabku, tanganku membuka file penawaran perusahaan yang
telah aku siapkan.
“Ada beberapa point yang telah kami diskusikan, bisa dilihat di
halaman 18 sampai 23 untuk materinya, kami minta kebijakan dari Bu Tiara dan
pihak perusahaan dan untuk waktu penyelesaianya kita memerlukan waktu lebih
cepat”
“Berapa permintaan yang Bapak ajukan dan untuk waktu bisa kita telaah
lagi dan kami diskusikan dengan pihak teknis, dan bisa kita tetapkan kapan
startnya.”
Pak Simon menuliskan beberapa kalimat, angka dan hitungan di white board, aku berbisik pada Angga, Angga mengangguk.
“Kami minta waktu 15 menit Pak Simon untuk kalkulasi.” Kata Angga.
“Baik Pak, silahkan.”
Pak Bambang sudah menyerahkan keputusan kepada kami, tugas Angga
menghitung penawaran Pak Simon dengan berpatokan pada proposal yang kami
ajukan. Kubiarkan Angga mencoret-coret
kertas dihadapannya, jago memang dia kalau urusan hitungan, pikirku. Aku
membuka laptop ketika terdengar notifkasi email masuk, ada satu email masuk …
tapi kok dari Angga ? Heran.
“Selamat ya, aku bangga ama Mbak, seharusnya aku ga kuliah di Jawa.”
Hadeh sempet-sempetnya. Kucubit pinggang Angga pelan, “iseng banget”
bisikku.
“Balas dong.” bisiknya pula, cubitanku sedikit keras, Angga meringis
sambil tersenyum.
“Mbak, ini perhitunganku, coba Mbak periksa.” Angga memberikan kertas
yang dipegangnya kepadaku.
“Marginnya gimana ?”
“Cukup. Tinggal mbak atur kira-kira diberapa.”
“Minimal disini?” tanyaku
seraya menunjuk deretan angka terakhir. Angga mengangguk.
“Mas saja yang bicara, coba naikkan dulu, agar kita ga mati.” Bisikku.
“Ok.”
“Pak Simon, kami sudah diskusi dengan penawaran yang Bapak ajukan, boleh
saya jelaskan?” Angga berkata seraya berdiri.
“Silahkan Pak, mudah-mudah sesuai dengan permintaan kami.” jawab Pak
Simon sambil tertawa dan mengedipkan matanya ke arahku.
“Bisa pak, tapi saya dapat fee lagi ya.” ujarku.
Angga mempresentasikan hitunganya dengan cermat. Dia memang ahli juga
dalam hitungan, selain urusan sipil. Pak Simon menanggapi perhitungan Angga
dengan serius, dengan sedikit debat. Urusan angka seperti ini sebenarnya yang
aku ga suka, kadang suka feeling guilty kalau
diminta untuk tawar menawar. Angga lebih netral. Aku mencatat apa yang Angga uraikan di depan,
sebagai bahan laporan nanti. Debat demi debat akirnya diputuskan sesuai dengan
keputusan. Nilai yang disepkati sangat tepat dengan permintaanku, margin dengan
penawaran Pak Simon cukup jauh. Good job.
“Terima kasih Pak Angga, Bu Tiara, kami sepakat dengan harga tersebut.
Kami akan membuat notulensinya dan kami kirimkan via email. Mengeni waktu
penyelesaian bisa kami mendapat kabar lebih cepat ?”
“Kami usahakan dalam 2 (dua) hari ini, kami segera kordinasi dengan
teknisi.” Kataku. Alhamdulillah.
“Terima kasih , Bu, kami tunggu kabarnya.”
Pak Simon menutup rapat dengan cepat, dan melambaikan tangannya ke
arahku, “Thanks Tiara” Aku mengangguk, membalas lambaian tangannya, dan pamit
ke peserta yang lain.
“Mbak tunggu di sini aja, aku ambil mobil.” kata Angga, menghentikan
langkahku.
“Emangnya Mas sopirku? balasku sambil tersenyum.
“Hujan, Mbak .. Nanti saki.t” Katanya. Aku menggeleng dan melanjutkan langkahku
mengikutinya.
Gerimis memang, jarak lobby ke parkiran depan ga terlalu jauh, tak
cukup membasahkuyupkan bajuku. Biasa aja.
Mobil Jazz Biru itu terparkir dipojok, Angga membukakan pintu untukku. “cepat
masuk, Mbak, dingin.” tangannya menarik lembut tanganku.
“Great Meeting Mbak. Aku
baru percaya kalau apa yang di percayakan Bapak ke Mbak bisa diselesaikan
dengan baik.”
“Wah, itu kan hasil hitungan Mas, dan itu kan tugas Mas, harus
diselesaikan dengan baik, karena amanah.”
“Dari awal kan Mbak yang urus, aku ending
nya saja.”
“Kerja kita hari ini bagus Mas, that’s
the point” kataku. Inilah kalau berhubungan dengan keluarga, selalu
dihubung-hubungkan, kadang bikin aku ga nyaman.
“Ok, jadi kita kemana dulu ?”
“Terserah Mas, yang pasti
jangan makan dulu, perutku ga siap nerima.” kataku seraya melihat ke jam
tangan. Jam 17.30.
“Ok, kita ke Sarinah saja ya, coba lihat di Jakarta Theather ada film
apa.”
Aku mengangguk. Ingin rasanya aku membicarakan tentang surat yang aku
baca pagi ini, tapi bagaimana mulainya ? Angga mulai menjalankan mobil, agak
canggung, ini pertama kali aku satu kendaraan dengannya. Aku menolehkan mukanya
padaku, “kok diam?” tanyanya.
Aku tersenyum, “bingung mau bicara apa, tapi jangan ngomongin kerjaan
ya.”
Jalanan padat di jam pulang kantor seperti ini, apalagi hujan mulai
deras, jalur lambat agak lancar kali ini.
“Mbak, beberapa waktu yang lalu aku pernah kirim surat ke kantor.”
Dadaku berdegup.
“Untuk siapa?” tanyaku, aku mulai grogi.
“Buat Mbak, tapi kok aku ga dapat feedback
apapun, Mbak marah ya”
Aku terdiam. Inilah yang tidak aku prefentifkan untuk menjawabnya.
“Mbak ?” tanyanya lagi.
“Mas, jujur ya, aku baru baca surat itu tadi pagi, itu pun dari
tumpukan file yang rencananya tadi pagi aku bereskan.” kataku, agak was-was juga
takutnya Angga tersinggung.
“What ???” tanyanya dengan kaget.
“Iya … aku juga kaget melihat tanggal surat itu.”
“Pantas aku ga dapat balasan apa-apa, aku kira Mbak marah, terus ga balas.
Aku sempat mau tanya tapi ga enak. Dan aku agak surprise kalau Mbak balas
teleponku atau sms ataupun kalau kita ketemu, kok tidak menunjukkan kemarahan
atau apapun, datar aja” ujarnya sambil tertawa.
“Maaf …”
“It’s ok Mbak, mungkin sekarang saatnya bicarakan tentang itu. Ini
waktu yang Angga tunggu. Kita ga usah nonton ya Mbak, kita cari tempat yang
enak untuk bicara.”
“Ok .. aku ngikut aja, yang penting jangan terlalu malam.” Jawabku.
Angga mengangguk, ada keheningan diantara kami, seakan-akan
masing-masing mempersiapkan kalimat-kalimat apa yang akan dibicarakan nanti.
Aku bermain dengan pikiranku sendiri, Angga mengarahkan mobil ke daerah Menteng,
dan memarkirkan mobilnya di sana.
“Disini aja Mbak, sepertinya belum terlalu rame.”
Daerah ini sangat familiar denganku, satu tempat yang sering aku
kunjungi hanya untuk mengobrol dengan teman-teman atau sebagai tempat menunggu
acara berikutnya adalah café yang dipilih Angga. Tempatnya nyaman, nyaman
banget malah, kadang bikin betah dan aku sering mengalihkan pertemuan-pertemuan
ku ke tempat ini.
“Ok.” Jawabku.
Angga memilih kursi agak pojok dekat jendela sebelah kanan. Suasana
mulai ramai. Makanan dan minuman disini tidak ada yang khas, tempatnya yang
bikin khas, tertata rapi dan unik. Secangkir coklat panas dan keju muffin ku
pesan, Angga memilih moccachino panas. Angga
duduk di depanku, aku agak salah tingkah.
“Jadi, Mbak baru baca surat itu tadi ?
Aku mengangguk.
“Menurut Mbak gimana ?”
“Gimana apanya Mas.” Jawabku, bingung mesti jawab apa.
“Tentang suratku.”
Sebenarnya aku ingin jawab “suratnya indah, sudah lama ga dapat surat
cinta.” aku tersenyum dalam hati.
“Menurutku, Mas yang jelaskan isi surat itu, aku takut salah persepsi”
pelan jawabanku. Angga menarik nafas pelan, badannya ditegakkan, tangannya
meraih cangkir kopi, meniup-niup permukaannya.
“Mbak tidak paham.”
“Aku paham, tapi lebih paham
kalau Mas juga uraikan. Aku tidak ingin bermain-main dengan persepsiku”
“Aku menyayangi Mbak, Mencintai
Mbak.” Jawabnya tegas.
“How’s coming.” kataku sedikit tergagap.
“Sejak aku kuliah semester 6, aku mulai dengar cerita tentang Mbak.
You are the best for My father. Dan aku tak peduli dengan itu, Bapak sudah
sering berganti-ganti rekan kerja dan Bapak selalu sebut mereka itu terbaik,
dan waktu berlalu Bapak sudah no comment tentang mereka, dan aku berpikiran
bahwa tentang Mbak pun sama dengan
rekan-rekan Bapak, dan Bapak akan mengganti Mbak dengan yang lain.”
“Tapi cerita tentang Mbak terus berlanjut hingga sampai akhirnya aku
lulus. Kita pernah ketemu dipernikahan Mas
Widi beberapa tahun yang lalu, Mbak pasti ga lihat aku, tapi dari sana
aku mulai perhatikan Mbak, bertanya tentang Mbak ke Bapak, Ibu dan
saudara-saudara. And you know Mbak, komentar mereka 100% bagus. “ lanjutnya.
“Aku berpikir keras, bagaimana aku bisa mengenal dan berkomunikasi
dengan Mbak seperti Mas Widi, aku bingung. Aku mencoba beberapa jalan, tapi aku
tidak bisa meneruskan komunikasi kita. Kaku.”
Ya memang begitu. Setiap Angga berkomunikasi denganku tahun-tahun lalu
memang terasa formal, sehingga aku harus menjawabnya dengan cara yang sama. Tak
ada dalam pikiranku bahwa komunikasi itu adalah cara dia untuk mengenalku
dengan lebih baik. Angga yang dingin, kaku dan sedikit angkuh. Huh.
“Hingga akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan Mbak baik, pada satu
moment yang tidak aku duga, menjelang pertunanganku dengan Desi.” Suaranya
lirih.
Aku terdiam. Ya, menjelang pertunangannya akulah key person di acara itu, aku mengurus semuanya.
“Itu awalnya ya Mbak, setelah pertunangan itu kita bisa komunikasi
dengan baik meskipun tidak terlalu sering.”
Aku mengangguk.
“Dan tahukah Mbak, bahwa sejak itulah aku mulai memikirkan Mbak.”
Mukaku terangkat tegak. Pertunangan itu berlangsung 4 tahun yang lalu.
Sejak itu ? tanyaku dalam hati. Tahun-tahun
berikutnya aku memang sering lihat tatapan mata Angga berbeda jika tatapan kami
bertemu, aku tak berpikir sejauh itu.
Aku menggelengkan kepala pelan.
“Aku mengerti.”
“Mbak, aku tidak mau berbicara tentang bagaimana aku bisa memikirkan,
menyayangi dan mencintai Mbak. Aku hanya ingin mengungkapkan semuanya, entah
terlambat atau tidak, aku hanya ingin Mbak tahu.”
“Mas, aku mengerti dan sekarang tahu bagaimana perasaan Mas. Pernah
ada pikiran seperti itu, dulu, kalau kita bertemu. Aku pikir itu perasaanku
saja, dan aku tidak mau bermain dengan perasaanku, karena bisa melukaiku.”
“Artinya ..?” desak Angga.
Aku tidak segera menjawab, mataku menatap kearahnya, jemariku bermain
satu sama lain.
“Ya, dulu aku punya pikiran bahwa Mas memperhatikan aku.” kataku
lirih.
“Memang itu adanya.”
“Dan sekarang, aku menghadapi kenyataan Mas mengungkapkan semuanya.
Harus aku jawab ?”
“Ya.” tegas Angga.
“Kalau aku jawab, akan seperti apa kita ?”
“Kita akan seperti orang-orang yang saling menyayangi pada umumnya,”
“Bagaimana kita ke depannya ? Bagaimana kita menjaga hubungan kita
diantara keluarga dan orang-orang sekeliling kita?”
“Kita akan jalani apa adanya. Kita perlu waktu untuk menjalaninya.
Jawab Mbak.” Tanganya meraih jemariku, mengecupnya lembut, matanya lekat
menatapku.
“Ya, aku merasakan yang sama, menyayangi dan mencintai, Mas.” tersedak
rasanya aku mengucapkan itu. Tak ada pikiran lain dibenakku selain mengungapkan
semuanya. Tak aku pikirkan seperti apa hubungan kami nanti, rintangan apa di
depan kami, bagaimana kami menjalaninya, dan bagaimana aku harus bersikap kalau
keluarganya tahu ?? Aku seakan tak peduli dan cukup bagiku Angga mengetahui
semuanya.
“Mbak paham dengan kondisiku, aku tidak akan membuat Mbak sakit hati,
aku akan berbuat yang terbaik buat kita.”
Aku terdiam. Aku tidak boleh mengharapkan bahwa aku akan memiliki dan
mendampingi dia selamanya. Aku tidak
boleh mengharapkan dia hadir setiap waktu di saat aku memerlukannya. Aku tidak boleh
mengharapkan rasa sayang dan cintanya hanya untukku. Aku mengerti semua. Aku
simpan semua. Dan akan aku jalani, aku harus menjaga hubungan kami.
“Mbak, aku bahagia. Aku menunggunya setelah sekian lama. ”
Aku tersenyum, mengangguk.
Dan kisah pun dimulai, sejak itu
…
Bersambung ....
0 comments:
Post a Comment