Meja 23 dengan karpet warna merah terasa lebih menyala sore ini. Riuh
suara peserta dan penonton seakan menyemangatiku mengikuti turnamen. Ini
mejaku, kataku dalam hati.
“Tiara, latihan dulu ?” Bang Tino mendatangi dengan wajah yang cerah.
“Boleh Bang buat pemanasan. Sorry telat, agak macet tadi.”
Aku mengikuti langkah Bang Tino menuju meja kosong tak jauh dari sini.
Ada Glen, pemain senior menunggu di sana. Boleh juga untuk lawan latihan,
pikirku.
“Bang, aku break ya..! “ seruku kepada Glen. Glen menangguk dan menunggu di sudut meja. Bola putih aku
arahkan ke tengah dengan cermat, dan mengambil kuda-kuda untuk satu pukulan. Bola bertebaran, bola 3, 8, dan 6
masuk ke lubang ujung. Kemarin-kemarin, breakku
seperti kurang oke, bola menumpuk di tengah, seakan pukulanku tidak bertenaga.
Aku melanjutkan permainan dengan hati-hati, bolaku tidak ada yang
meleset satu pun kali ini, sampai bola 9 masuk dengan lurus dan mulus mengakiri
set pertama. Seandainya setiap set aku main seperti ini, wuih….. pikirku.
“Hebat Ra, gantian aku yang
break.” ujar Bang Glen. Aku tertawa senang.
Bola putih dipukul Glen menyisakan empat bola di meja, aku
menggeleng-gelengkan sambil memberi acungan jempol.
“Belum apa-apa ni, Ra” jawab
Glen. Bola 5, 7, dan 8 masuk dengan mulus. Kondisi begini yang aku tidak suka,
nunggu bola 9 melenceng dari pukulan Glen dengan harap-harap cemas. Posisinya
kurang enak menurutku, agak menyudut dan rapat.
Glen memukul bola lurus, atas dan pelan, serta mengambil sisi samping
bola 9. Bola putih menggelinding pelan, tepat di sisi badan, duk, bola putih
menyentuh bola 9, bola sembilan menggelinding pelan …. Dan berhenti di tepi
lubang.
“Hore…” teriakku kegirangan. Benar-benar hokky.
Glen menggerutu, mukanya yang putih dengan pipi sedikit bulat terlihat
kecewa.
“Buat kamu kok Ra, biar
semangat.” jawabnya.
“Iye iye. Aku siap-siap ya, thanks udah nemenin” kataku.
“Iya Ra, selamat berjuang.”
Meja 23. Aku mencari Bang Tino sambil
membersihkan stik-stikku. Siapa lawanku kali ini ? pikirku. Aku tidak memperhatikan pengumuman di
resepsionis sewaktu aku masuk tadi. Mataku bertemu pada satu tatapan yang
tengah menatapku di depan cafe. Senyum kecil tersungging dibibirnya. Angga. Ya
ampun, kok datang ? Aku melambaikan tangan ke arahnya dan mengajak ke tempatku.
Dia menggelengkan kepala dengan cepat. Aku cemberut. Akhirnya mengalah dan berjalan
ke arahku.
Aku berdiri, tanganku terulur menyambut jabatan tangannya. Angga
mendekatiku dan mencium pipiku. Satu kata terucap dari bibirnya, tapi tak
begitu jelas, suara musik lebih dominan daripada suaranya.
“Apa ?” tanyaku sedikit keras.
Bibirnya mendekati telingaku, “Kangen” katanya dengan jelas. Duh
untung di sini agak remang-remang, mukaku terasa panas, kusentuh hidupnya
sambil tersenyum : “Me too.”
“Mas disini saja.” Kataku.
“Nanti malah ganggu.”
“Ga lah, biar aku semangat.”
“Sini …” tangannya meraih
bahuku, dan satu kecupan kecil menyentuh keningku. “Makasih ..” bisikku.
“Tiara, ciumannya buat nanti.” Teriakan kecil Bang Tino mengagetkanku..
Ya ampun.
“Sorry Bang.” balasku sambil tertawa.
“Siap-siap, Ra.”
“Lawanku siapa ?” hampir lupa aku menanyakan ke Bang Tino.
“Muti” Jawabnya singkat.
Lengkapnya Mutiara. Salah satu pemain
nasional. Umurnya hampir sebayaku, manis, kulit sawo matang, dengan kuciran rambut
yang menjadi ciri khasnya. Aku mengenalnya dengan baik, permainannya bagus dan
sederhana.
Muti mendekatiku dengan senyum cerah.
“Kenapa gue mesti ketemu lo di meja ?” kelakarnya.
“Nasib kita Mut, kalau boleh memilih mending ga ketemu lo di sini.”
balasku.
“Mau latihan dulu Ra?” Aku
menggeleng cepat. Jujur aku ingin permainan bisa berjalan dan berakhir dengan
cepat.
Turnamen segera dimulai. Kami mulai mempersiapkan diri. Angga dengan
sabar menungguku. “Ra, ambil coin, cari 5 ya.” suara wasit mengingatkanku untuk
segera mulai.
“Oke!”
Coin dimenangkan Muti untuk break
pertama. Aku menunggu di sebelah
Angga, mataku tertuju pada bola-bola yang mulai menyebar. Bagus. Bola 3 masuk
di lubang kanan atas. Muti melanjutkan dengan pukulan-pukulan lurus keras mewarnai
permainanya. Aku deg deg an di set pertama ini. Posisi bola sangat strategis.
Angga menggengam jemariku halus, “Tenang dan fokus.” bisiknya. Aku
mengangguk.
Dua bola disisakan Muti untukku, bola 6 dan 9. Aku menarik nafas
panjang dan bersiap untuk bermain. Bola putih
tepat di sudut kiri menempel di ban, bola 9 tepat di tengah-tengah meja. Kucari
titik bola 6 untuk masuk di lubang kiri tengah. Posisi bola 9 berada di dekat
lubang kanan. Satu pukulan halus kuarahkan ke bola 6 .. Yes … bola putih
menggelinding pelan ke ban sebelah atas dan berhenti tidak jauh tepat lurus di
bola 9. Satu posisi yang menguntungkan, tinggal konsentrasi mengarahkan bola
putih ke bola 9 lurus menuju lubang. Bola putih kupukul bagian tengah menuju
bola 9, tak terlalu keras. Taaak .. bola putih menyentuh bola 9 dengan cepat
masuk. Yes.
Set pertama aku menangkan, itu memberikan semangat. Muti tersenyum.
Aku berjalan mengelilingi meja menuju kursi. Angga tersenyum dan
memberiku minuman. Set demi set aku
mainkan, posisi imbang dengan skor 2-2, suasana mulai panas. Set terakhir
menjadi penentuan untuk melaju ke babak berikutnya. Muti menghampiriku, “Lo
kurang konsentrasi.”
“Yups, gue agak grogi Mut”
“Nape, ada yang di sebelah ya ?.” candanya. Aku menepuk bahunya keras
dan berbisik : “Gue ga nahan ama genggamannya.”
Kami sontak tertawa, Bang Tino memberi aba-aba untuk segera di mulai.
Kali ini, aku harus menyerah pada Muti, permainannya di set terakhir
tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memukul. Permainan dimenangkan Muti
dengan skor 3-2.
“Pukulan lo bikin gue ga dikasih nafas dan akhirnya mati” selorohku,
kujabat tangannya erat, Muti memelukku.
“Thanks Ra.”
“Gue langsung cabut ya, mumpung masih sore.”
Bang Tino menghampiri kami. Ada rasa bersalah pada Bang Tino atas kekalahanku
kali ini.
“Bang, sorry ya.”
Bang Tino, memegang pundakku, “Itulah yang namanya permainan, kalah
atau menang., perjuangan. Aku bangga Ra, disela-sela kesibukanmu, kamu masih
sempat untuk berlatih. Masih ada turnamen lain kan ?.”
“Iya Bang, thanks a lot ya. Aku langsung balik ya.” pamitku.
“Ok Ra, hati-hati.” jawab Bang Tino. Aku mengangguk.
Angga membereskan stik-stikku. Aku segera datang ke menghamprinya.
“Biar aku saja Mas.”
“Ga apa-apa, istarahatlah dulu.”
“Kita langsung pulang, aku udah kelar, kita bisa makan malam.” ajakku.
Angga mengangguk senang, dibawanya peralatanku dan menggandeng tanganku menuju
pintu keluar, tepat di kasir, aku berhenti.
“Bentar Mas.”
“Ros, bill nya ada di Bang Tino” Rosi mengangguk, dan bertanya : “ga nunggu
final, Mbak ?“
“Ga Ros, kemalaman, makasih ya.”
Kami berjalan ke lift, jam 19.15 sekarang. Hari ini aku sengaja tidak membawa
kendaraan, tadi rencananya aku akan diantar pulang oleh Bang Tino setelah acara
final.
“Mau makan dimana?”
“Yang dekat-dekat apartemen saja, di sana banyak menu. Mas mau makan
apa ?”
“Sop. Garang Asem, ada ga di sana ?.”
“Ada dan enak.” Laju mobil ini begitu pelan, mungkin 20km/jam. Aku
menepuk tangan Angga.
“Kok pelan banget, ngantuk ya?” tanyaku.
“Engga, biar lama.”
Hadeeeeeh … bener-bener pikirku. Aku memiringkan badan ke arah Angga. “Sejak
kapan jadi begini?” tanganku menyentuh rambutnya, menyentuh dan
mempermainkannya pelan-pelan.
“Sejak dua bulan yang lalu.”
“Sejak apa tuh ..”
“Sejak bareng ama Mbak.”
Sentuhanku turun ke arah pundaknya, satu cubitan kecil kuberikan di sana.
“Mbak, aku lagi nyupir …” mukanya lucu menahan geli. “Gantian dong,
Mbak yang nyupir, biar ngerasain juga.”
Aku tertawa. Moment seperti ini yang sering kami lakukan, tak banyak
waktu yang kami miliki untuk bersama untuk saling memberi arti.
“Kita parkir di basement aja biar ga ribet, pake member aku.”
“Ok, terus nanti makannya ga jauh ?”
“Deket kok, paling 30 meter, kalau malam, di parkir depan dekat ruko
itu dijadikan tenda-tenda.”
“Oh oke… ngomong-ngomong, boleh aku mampir ke apartement ?” tanya Angga. Aku terdiam. Selama ini, aku belum
pernah mengundang Angga untuk datang ke apartement atau Angga meminta datang ke
apartement. Aneh memang.
“Ga boleh ya?”
“Boleh, kita makan di apartement aja gimana, nanti aku pesan dan
mereka antarkan.” jawabku sedikit tergagap. Angga setuju. Kupijit nomor telepon
Aseng, penjual garang asem itu, memesan dan dan meminta mengirimnya ke
apartement.
“Memang bisa diantar ya?”
“Sebenarnya ga bisa, itu karena Aseng dah bosen lihat aku bolak balik
ke tendanya, jadi dari pada dia melihatku makan di sana, mending dianterin
katanya.” Angga tertawa.
Basement mulai penuh dengan mobil-mobil yang terparkir disana. Angga
mulai bingung mencari tempat parkir. “Coba ke sana aja Mas, ga apa-apa ga dekat
lift.”
“Disana reserve semua” katanya sambil memperhatikan bagian-bagian
kosong.
“Aku reserve kok, pake yang C aja.”
“Walah non, bilang dong dari tadi …” gerutu Angga, Aku senang melihatnya
cemberut.
Lift berhenti di lantai 18, tanganku merogoh tas dan mencari kunci
pintu. Pintu 27 terbuka, terasa hangat ruangan, tanpa AC . Kunyalakan
lampu-lampu dan AC dengan cepat, rasa hangat mulai terasa panas. Apartemenku
tidak besar, kira-kira 80 meter persegi, dengan dua kamar tidur, 2 kamar mandi,
ruang tamu sekaligus ruang TV dan dapur.
Tidak banyak barang-barang yang aku simpan di sini, agar tidak terlihat sesak. Semua
tertata dengan apik. Ada satu kursi besar
yang sekaligus bisa jadi kasur di depan TV, kursi itu yang sering jadi korban
di saat-saat aku lelah dan penat sepulang kerja, aku akan langsung lompat di
kursi itu.
Angga mengikutiku pelan-pelan, matanya memperhatikan sekeliling
ruangan. Aku melangkah ke wastafe dan mencuci tangan. “Duduk Mas.”.
“Enak tempatnya, agak jauh dari kantor .”
“Lama-lama akan terbiasa.” jawabku.
Dua ketukan pintu terdengar. Pasti Aseng, pikirku. Aku membuka pintu
dan mengambil pesanannya. Angga menghampiriku dan membayar pesanannya.
“Lho, Mbak ga pesan?” tanyanya
ketika melihatku membuka bungkusan pesanannya.
“Berdua aja Mas, udah lewat jam makan, porsinya juga banyak.” Aku
menyiapkan peralatan makan di meja makan kecilku. Angga sudah duduk dengan
manis di kursi meja makan. Aku menuangkan sop garang asam ke mangkuk ukuran
sedang dan mengaduknya perlahan. Dua sendok nasi aku tuangkan ke atas piring
putih, dua gelas air putih tersaji.
“Yuk makan… “ ajakku.
Suasana hening di antara kami, entah menikmati makan atau bermain
dengan pikiran masing-masing. Kadang mata kami bertemu dan tersenyum. Kadang
aku mencuri-curi pandang untuk melihatnya. Kadang aku menemukan matanya begitu
lekat memandangku.
“Mbak cantik, imut dan pintar.” katanya tiba-tiba
Hampir tersedak aku mendengarnya.
“Bereskan dulu makannya, baru merayu.” ujarku. Angga tertawa dan bangkit dari kursi dan
melangkah ke kursi di depan TV. Haduh… itu kursi kekuasaanku. Kubereskan alat-alat makan dengan cepat,
kulihat jam dinding sudah menunjukan jam 08.15. Sudah larut, Angga harus segera
pulang. Rasanya seperti Cinderela menjelang
tengah malam.
Aku mengikuti Angga duduk di kursi itu dengan satu jeruk manis yang
telah aku kupas. Angga mengotak-atik remote TV mencari chanel kesukaannya.
“Mbak mau nonton apa?” tanyanya.
“Biasa jam segini siap-siap HBO, buat nina bobo.”
“Mau aku carikan ?”
“Ntar Mas aku tinggal tidur.” Angga tertawa.
“Ga apa-apa, nanti kalau udah lelap, aku pulang.”
Suara TV sengaja Angga kecilkan agar kami bisa berbincang. Sekali-kali
tangannya meraih jeruk dan memakannya dengan cepat. Tangannya tersandar manis
dibahuku. Kami tak pernah berdua seperti ini. Aku memandangnya, tanganku menyentuh
kepalanya, mengusapnya, dan Angga memegang tanganku. Jarak kami begitu dekat,
tak sempat aku menarik mundur badanku ketika tanganya dengan erat memegang
bahuku. Jantungku berdetak cepat, dan terasa lebih cepat ketika Angga memegang
daguku dan bibirnya semakin dekat bibirku. Satu ciuman pertama kami terjadi,
lembut. Nafasku rasanya berhenti. Tangan Angga meraih pinggangku. Aku masih
mendengar bisikannya yang begitu dekat ditelingaku. Aku tak mampu menjawab. Ciuman
kami menjadi hangat dan membuat aku bergetar hebat dan tercekat … Angga
memandangku, mengusap rambutku dan berbisik : “Maafkan aku Mbak’” Dan semua terhenti.
Aku tidak ingin menjadi larut, menjadi satu kebutuhan di antara kami.
Tak bisa aku bayangkan bagaimana aku harus menghadapi keadaan jika
terjadi. Namun ini memang membuat kami
semakin dekat.
Rasanya waktu berlalu dengan cepat, Cinderella harus segera pulang, membawa kami pada posisi nyata masing-masing.
Pamit Angga begitu pelan terdengar, seolah enggan mengakhiri
kebersamaan kami, hanya dengan anggukan kecil sebagai jawaban. Angga mendekapku
erat. “Tidak akan ada akhir tentang kita Mbak, apapun yang terjadi, aku janji.”
Ingin rasanya aku berteriak aku menyalahkan takdir atas ketidaktepatan waktu awal
pertemuan kami.
Kulepas Angga pergi, dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam batin.
Aku berusaha untuk menatap kenyataan yang terjadi, yang mana perlu satu
perjuangan yang mungkin harus aku lakukan, dimana perjuangan itu mungkin satu
kesalahan…
***
Bersambung ....
0 comments:
Post a Comment