Monday 22 December 2014

Bagian Keempat : "Diantara Kalian"


Meja 23 dengan karpet warna merah terasa lebih menyala sore ini. Riuh suara peserta dan penonton seakan menyemangatiku mengikuti turnamen. Ini mejaku, kataku dalam hati.
“Tiara, latihan dulu ?” Bang Tino mendatangi dengan wajah yang cerah.
“Boleh Bang buat pemanasan. Sorry telat, agak macet tadi.”
Aku mengikuti langkah Bang Tino menuju meja kosong tak jauh dari sini. Ada Glen, pemain senior menunggu di sana. Boleh juga untuk lawan latihan, pikirku.
 “Bang, aku break ya..! “ seruku kepada Glen. Glen menangguk  dan menunggu di sudut meja. Bola putih aku arahkan ke tengah dengan cermat, dan mengambil kuda-kuda untuk satu  pukulan. Bola bertebaran, bola 3, 8, dan 6 masuk ke lubang ujung. Kemarin-kemarin, breakku seperti kurang oke, bola menumpuk di tengah, seakan pukulanku tidak bertenaga.
Aku melanjutkan permainan dengan hati-hati, bolaku tidak ada yang meleset satu pun kali ini, sampai bola 9 masuk dengan lurus dan mulus mengakiri set pertama. Seandainya setiap set aku main seperti ini, wuih….. pikirku.
 “Hebat Ra, gantian aku yang break.” ujar Bang Glen. Aku tertawa senang.
Bola putih dipukul Glen menyisakan empat bola di meja, aku menggeleng-gelengkan sambil memberi acungan jempol.
 “Belum apa-apa ni, Ra” jawab Glen. Bola 5, 7, dan 8 masuk dengan mulus. Kondisi begini yang aku tidak suka, nunggu bola 9 melenceng dari pukulan Glen dengan harap-harap cemas. Posisinya kurang enak menurutku, agak menyudut dan rapat.
Glen memukul bola lurus, atas dan pelan, serta mengambil sisi samping bola 9. Bola putih menggelinding pelan, tepat di sisi badan, duk, bola putih menyentuh bola 9, bola sembilan menggelinding pelan …. Dan berhenti di tepi lubang.
“Hore…” teriakku kegirangan. Benar-benar hokky.
Glen menggerutu, mukanya yang putih dengan pipi sedikit bulat terlihat kecewa.
 “Buat kamu kok Ra, biar semangat.” jawabnya.
“Iye iye. Aku siap-siap ya, thanks udah nemenin” kataku.
“Iya Ra, selamat berjuang.”
 Meja 23. Aku mencari Bang Tino sambil membersihkan stik-stikku. Siapa lawanku kali ini ? pikirku.  Aku tidak memperhatikan pengumuman di resepsionis sewaktu aku masuk tadi. Mataku bertemu pada satu tatapan yang tengah menatapku di depan cafe. Senyum kecil tersungging dibibirnya. Angga. Ya ampun, kok datang ? Aku melambaikan tangan ke arahnya dan mengajak ke tempatku. Dia menggelengkan kepala dengan cepat. Aku cemberut. Akhirnya mengalah dan berjalan ke arahku.
Aku berdiri, tanganku terulur menyambut jabatan tangannya. Angga mendekatiku dan mencium pipiku. Satu kata terucap dari bibirnya, tapi tak begitu jelas, suara musik lebih dominan daripada suaranya.
 “Apa ?” tanyaku sedikit keras.
Bibirnya mendekati telingaku, “Kangen” katanya dengan jelas. Duh untung di sini agak remang-remang, mukaku terasa panas, kusentuh hidupnya sambil tersenyum :  “Me too.”  
 “Mas disini saja.”  Kataku.
“Nanti malah ganggu.”
“Ga lah, biar aku semangat.”
 “Sini …” tangannya meraih bahuku, dan satu kecupan kecil menyentuh keningku. “Makasih ..” bisikku.
“Tiara, ciumannya buat nanti.” Teriakan kecil Bang Tino mengagetkanku.. Ya ampun.
“Sorry Bang.” balasku sambil tertawa.
“Siap-siap, Ra.”
“Lawanku siapa ?” hampir lupa aku menanyakan ke Bang Tino.
“Muti” Jawabnya singkat.
Lengkapnya Mutiara.  Salah satu pemain nasional. Umurnya hampir sebayaku, manis, kulit sawo matang, dengan kuciran rambut yang menjadi ciri khasnya. Aku mengenalnya dengan baik, permainannya bagus dan sederhana.
Muti mendekatiku dengan senyum cerah.
“Kenapa gue mesti ketemu lo di meja ?” kelakarnya.
“Nasib kita Mut, kalau boleh memilih mending ga ketemu lo di sini.” balasku.
 “Mau latihan dulu Ra?” Aku menggeleng cepat. Jujur aku ingin permainan bisa berjalan dan berakhir dengan cepat.
Turnamen segera dimulai. Kami mulai mempersiapkan diri. Angga dengan sabar menungguku. “Ra, ambil coin, cari 5 ya.” suara wasit mengingatkanku untuk segera mulai.
“Oke!”
Coin dimenangkan Muti untuk break pertama.  Aku menunggu di sebelah Angga, mataku tertuju pada bola-bola yang mulai menyebar. Bagus. Bola 3 masuk di lubang kanan atas. Muti melanjutkan dengan pukulan-pukulan lurus keras mewarnai permainanya. Aku deg deg an di set pertama ini. Posisi bola sangat strategis.
Angga menggengam jemariku halus, “Tenang dan fokus.” bisiknya. Aku mengangguk.
Dua bola disisakan Muti untukku, bola 6 dan 9. Aku menarik nafas panjang dan bersiap  untuk bermain. Bola putih tepat di sudut kiri menempel di ban, bola 9 tepat di tengah-tengah meja. Kucari titik bola 6 untuk masuk di lubang kiri tengah. Posisi bola 9 berada di dekat lubang kanan. Satu pukulan halus kuarahkan ke bola 6 .. Yes … bola putih menggelinding pelan ke ban sebelah atas dan berhenti tidak jauh tepat lurus di bola 9. Satu posisi yang menguntungkan, tinggal konsentrasi mengarahkan bola putih ke bola 9 lurus menuju lubang. Bola putih kupukul bagian tengah menuju bola 9, tak terlalu keras. Taaak .. bola putih menyentuh bola 9 dengan cepat masuk. Yes.
Set pertama aku menangkan, itu memberikan semangat. Muti tersenyum.
Aku berjalan mengelilingi meja menuju kursi. Angga tersenyum dan memberiku minuman.  Set demi set aku mainkan, posisi imbang dengan skor 2-2, suasana mulai panas. Set terakhir menjadi penentuan untuk melaju ke babak berikutnya. Muti menghampiriku, “Lo kurang  konsentrasi.”
“Yups, gue agak grogi Mut”
“Nape, ada yang di sebelah ya ?.” candanya. Aku menepuk bahunya keras dan berbisik : “Gue ga nahan ama genggamannya.”  Kami sontak tertawa, Bang Tino memberi aba-aba untuk segera di mulai.
Kali ini, aku harus menyerah pada Muti, permainannya di set terakhir tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memukul. Permainan dimenangkan Muti dengan skor 3-2.
“Pukulan lo bikin gue ga dikasih nafas dan akhirnya mati” selorohku, kujabat tangannya erat, Muti memelukku.
“Thanks Ra.”
“Gue langsung cabut ya, mumpung masih sore.”
Bang Tino menghampiri kami. Ada rasa bersalah pada Bang Tino atas kekalahanku kali ini.
“Bang, sorry ya.”
Bang Tino, memegang pundakku, “Itulah yang namanya permainan, kalah atau menang., perjuangan. Aku bangga Ra, disela-sela kesibukanmu, kamu masih sempat untuk berlatih. Masih ada turnamen lain kan ?.”
“Iya Bang, thanks a lot ya. Aku langsung balik ya.” pamitku.
“Ok Ra, hati-hati.” jawab Bang Tino. Aku mengangguk.
Angga membereskan stik-stikku. Aku segera datang ke menghamprinya.
“Biar aku saja Mas.”
“Ga apa-apa, istarahatlah dulu.”
“Kita langsung pulang, aku udah kelar, kita bisa makan malam.” ajakku. Angga mengangguk senang, dibawanya peralatanku dan menggandeng tanganku menuju pintu keluar, tepat di kasir, aku berhenti.
“Bentar Mas.”
“Ros, bill nya ada di Bang Tino”  Rosi mengangguk, dan bertanya : “ga nunggu final, Mbak ?“
“Ga Ros, kemalaman, makasih ya.”
Kami berjalan ke lift, jam 19.15 sekarang. Hari ini aku sengaja tidak membawa kendaraan, tadi rencananya aku akan diantar pulang oleh Bang Tino setelah acara final.
“Mau makan dimana?”
“Yang dekat-dekat apartemen saja, di sana banyak menu. Mas mau makan apa ?”
“Sop. Garang Asem, ada ga di sana ?.”  
“Ada dan enak.” Laju mobil ini begitu pelan, mungkin 20km/jam. Aku menepuk tangan Angga.
“Kok pelan banget, ngantuk ya?” tanyaku.
“Engga, biar lama.”
Hadeeeeeh … bener-bener pikirku. Aku memiringkan badan ke arah Angga. “Sejak kapan jadi begini?” tanganku menyentuh rambutnya, menyentuh dan mempermainkannya pelan-pelan.
“Sejak dua bulan yang lalu.”
“Sejak apa tuh ..”
“Sejak bareng ama Mbak.”
Sentuhanku turun ke arah pundaknya, satu cubitan kecil kuberikan di sana.
“Mbak, aku lagi nyupir …” mukanya lucu menahan geli. “Gantian dong, Mbak yang nyupir, biar ngerasain juga.”
Aku tertawa. Moment seperti ini yang sering kami lakukan, tak banyak waktu yang kami miliki untuk bersama untuk saling memberi arti.
“Kita parkir di basement aja biar ga ribet, pake member aku.”
“Ok, terus nanti makannya ga jauh ?”
“Deket kok, paling 30 meter, kalau malam, di parkir depan dekat ruko itu dijadikan tenda-tenda.”
“Oh oke… ngomong-ngomong, boleh aku mampir ke apartement ?”  tanya Angga. Aku terdiam. Selama ini, aku belum pernah mengundang Angga untuk datang ke apartement atau Angga meminta datang ke apartement. Aneh memang.
“Ga boleh ya?”
“Boleh, kita makan di apartement aja gimana, nanti aku pesan dan mereka antarkan.” jawabku sedikit tergagap. Angga setuju. Kupijit nomor telepon Aseng, penjual garang asem itu, memesan dan dan meminta mengirimnya ke apartement.
“Memang bisa diantar ya?”
“Sebenarnya ga bisa, itu karena Aseng dah bosen lihat aku bolak balik ke tendanya, jadi dari pada dia melihatku makan di sana, mending dianterin katanya.” Angga tertawa.
Basement mulai penuh dengan mobil-mobil yang terparkir disana. Angga mulai bingung mencari tempat parkir. “Coba ke sana aja Mas, ga apa-apa ga dekat lift.”
“Disana reserve semua” katanya sambil memperhatikan bagian-bagian kosong.
“Aku reserve kok, pake yang C aja.”
“Walah non, bilang dong dari tadi …” gerutu Angga, Aku senang melihatnya cemberut.
Lift berhenti di lantai 18, tanganku merogoh tas dan mencari kunci pintu. Pintu 27 terbuka, terasa hangat ruangan, tanpa AC . Kunyalakan lampu-lampu dan AC dengan cepat, rasa hangat mulai terasa panas. Apartemenku tidak besar, kira-kira 80 meter persegi, dengan dua kamar tidur, 2 kamar mandi, ruang tamu  sekaligus ruang TV dan dapur. Tidak banyak barang-barang yang aku simpan di sini, agar tidak terlihat sesak. Semua tertata dengan apik.  Ada satu kursi besar yang sekaligus bisa jadi kasur di depan TV, kursi itu yang sering jadi korban di saat-saat aku lelah dan penat sepulang kerja, aku akan langsung lompat di kursi itu.
Angga mengikutiku pelan-pelan, matanya memperhatikan sekeliling ruangan. Aku melangkah ke wastafe dan mencuci tangan.  “Duduk Mas.”.
“Enak tempatnya, agak jauh dari kantor .”
“Lama-lama akan terbiasa.” jawabku.
Dua ketukan pintu terdengar. Pasti Aseng, pikirku. Aku membuka pintu dan mengambil pesanannya. Angga menghampiriku dan membayar pesanannya.
“Lho, Mbak ga pesan?” tanyanya  ketika melihatku membuka bungkusan pesanannya.
“Berdua aja Mas, udah lewat jam makan, porsinya juga banyak.” Aku menyiapkan peralatan makan di meja makan kecilku. Angga sudah duduk dengan manis di kursi meja makan. Aku menuangkan sop garang asam ke mangkuk ukuran sedang dan mengaduknya perlahan. Dua sendok nasi aku tuangkan ke atas piring putih, dua gelas air putih tersaji.
 “Yuk makan… “ ajakku.
Suasana hening di antara kami, entah menikmati makan atau bermain dengan pikiran masing-masing. Kadang mata kami bertemu dan tersenyum. Kadang aku mencuri-curi pandang untuk melihatnya. Kadang aku menemukan matanya begitu lekat memandangku.
“Mbak cantik, imut dan pintar.” katanya tiba-tiba
Hampir tersedak aku mendengarnya. 
“Bereskan dulu makannya, baru merayu.” ujarku.  Angga tertawa dan bangkit dari kursi dan melangkah ke kursi di depan TV. Haduh… itu kursi kekuasaanku.  Kubereskan alat-alat makan dengan cepat, kulihat jam dinding sudah menunjukan jam 08.15. Sudah larut, Angga harus segera pulang. Rasanya seperti Cinderela menjelang tengah malam.
Aku mengikuti Angga duduk di kursi itu dengan satu jeruk manis yang telah aku kupas. Angga mengotak-atik remote TV mencari chanel kesukaannya.
“Mbak mau nonton apa?” tanyanya.
“Biasa jam segini siap-siap HBO, buat nina bobo.”
“Mau aku carikan ?”
“Ntar Mas aku tinggal tidur.” Angga tertawa.
“Ga apa-apa, nanti kalau udah lelap, aku pulang.”
Suara TV sengaja Angga kecilkan agar kami bisa berbincang. Sekali-kali tangannya meraih jeruk dan memakannya dengan cepat. Tangannya tersandar manis dibahuku. Kami tak pernah berdua seperti ini.  Aku memandangnya, tanganku menyentuh kepalanya, mengusapnya, dan Angga memegang tanganku. Jarak kami begitu dekat, tak sempat aku menarik mundur badanku ketika tanganya dengan erat memegang bahuku. Jantungku berdetak cepat, dan terasa lebih cepat ketika Angga memegang daguku dan bibirnya semakin dekat bibirku. Satu ciuman pertama kami terjadi, lembut. Nafasku rasanya berhenti. Tangan Angga meraih pinggangku. Aku masih mendengar bisikannya yang begitu dekat ditelingaku. Aku tak mampu menjawab. Ciuman kami menjadi hangat dan membuat aku bergetar hebat dan tercekat … Angga memandangku, mengusap rambutku dan berbisik : “Maafkan aku Mbak’” Dan semua terhenti.
Aku tidak ingin menjadi larut, menjadi satu kebutuhan di antara kami. Tak bisa aku bayangkan bagaimana aku harus menghadapi keadaan jika terjadi.  Namun ini memang membuat kami semakin dekat.
Rasanya waktu berlalu dengan cepat, Cinderella harus segera pulang, membawa kami pada posisi nyata masing-masing. 
Pamit Angga begitu pelan terdengar, seolah enggan mengakhiri kebersamaan kami, hanya dengan anggukan kecil sebagai jawaban. Angga mendekapku erat. “Tidak akan ada akhir tentang kita Mbak, apapun yang terjadi, aku janji.” Ingin rasanya aku berteriak aku menyalahkan takdir atas ketidaktepatan waktu awal pertemuan kami.
Kulepas Angga pergi, dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam batin. Aku berusaha untuk menatap kenyataan yang terjadi, yang mana perlu satu perjuangan yang mungkin harus aku lakukan, dimana perjuangan itu mungkin satu kesalahan…
***

Bersambung ....

0 comments:

Post a Comment