Hari-hari kulalui lebih bersemangat dan penuh harap. Tugas-tugas rutin dilakukan dengan lebih baik, satu prestasi yang patut dibanggakan dalam jenjang karir diusiaku. Beberapa penawaran kerja dengan jenjang yang lebih bagus datang silih berganti, hingga satu titik aku harus memilih di antara mereka. Mungkin ini saatnya aku harus lebih tegas untuk memutuskan apa yang terbaik untukku. Menjauh dari satu bayang-bayang, yang kadang bukan satu keberuntungan. Dan aku harus lebih kuat untuk mempertahankn keputusanku agar bisa lebih mandiri.
Angga tidak berhasil mempertahankanku untuk tetap tinggal di
perusahaan keluarganya, meskipun demikian aku telah berjanji, sepanjang aku
bisa, aku akan membantu perusahaannya. Kekecewaan terpancar dalam setiap
kalimat Angga dan pertanyaan-pertanyaan yang hampir tak bisa kujawab terlontar
dari Angga. Mungin Angga benar, bahwa keputusanku adalah salah satu cara agar
aku tidak selalu berada di antara mereka, namun tak mungkin aku ungkapkan
kepada Angga, bagaimana aku sanggup menatap mata Pak Bambang jika sedang
membicarakan keluarganya. Aku ingin menjaga semua, meskipun aku sendiri
merasakan sakit yang hanya aku yang mengerti.
Hubunganku dengan Angga semakin dekat, komunikasi berlangsung dengan
sangat baik, pertemuan demi pertemuan terjadwal dengan rapinya. Hari ini Angga ulang tahun. Biasanya, keluarga
besar mempesiapkan satu makan malam yang diadaakan di rumah atau di tempat
lain, dan biasanya aku mendapatkan undangan untuk hadir beberapa hari
sebelumnya. Tapi kali ini, aku tidak mendapat undangan itu. Mereka tidak pernah
melewati masa-masa seperti ini, kebersamaan mereka begitu kental, dan menjadi
keanehan dan pertanyaan dalam diriku. Apakah mungkin aku tidak diundang ?
Apakah mereka mulai mencium hubunganku dengan Angga ? Apakah aku harus
menanyakan pada Mas Widi ? Ah, konyol
rasanya kalau bertanyaa ke Mas Widi.
Aku mulai merapikan barang-barang pribadi dari meja dan ruangan
kerjaku. Kemarin, ada pesta kecil yang diadakan oleh Pak Bambang untuk
melepasku pergi meninggalkan kantornya. Rasa haruku begitu menyesakkan dada. Tujuh
tahun aku kami bersama membangun perusahaan, rasanya belum cukup apa yang telah
aku berikan.
“Hi Dear ..”
Suara itu sangat hangat dan sangat kukenal. Aku mengangkat muka dan
melihat pintu. Mas Widi.
“Hai hai Mas… Apa kabar ?. sapaku riang. Kutinggalkan meja kerjaku dan
segera melangkah ke arah pintu. Mas Widi mengangkat kedua tangannya dengan
lebar, dan aku jatuh dalam pelukan hangatnya.
“Anak emas mau kemana ? Kok tega ninggalin kami.” Kukecup pipi kiri
kanan Mas Widi, kunjinjitkan kakiku dan berbisik : “aku ga kemana-mana”
“Kabar beritanya sudah menyebar kemana-mana …”
Kulepaskan pelukanku, dan kutuntun Mas Widi untuk duduk di sofa besar.
“Cari pengalaman aja Mas, lagian aku masih di Jakarta. Gampang kan
kalau nyari aku.”
“Iya, tapi tak ga gampang lagi kalau teriak dadakan.” Gerutunya. Aku
tertawa.
“Kapan mulai kerja ? Di 3G ada sahabatku lho, jadi aku masih bisa mantau
nanti, aku akan minta dia jaga Tiara baik-baik” lanjutnya.
“Minggu depan. Oya siapa Mas, jangan-jangan yang kemarin wawancara. So tahu banget dia
tentang aku.”
“Ada deh … nanti ga rame ceritanya.” Mas Widi berjalan ke mejaku.
Matanya lekat menatap selembar kertas post it di antara tumpukan berkas. Aku
terkejut, di kertas itu kutulis tanggal Angga ultah dengan gambar khusus,
untung bukan love. Pucat mukaku.
“Angga ultah hari ini, tapi aneh dia ga mau dirayain.”
“Aku pikir, kali ini aku ga diundang
Mas, marah kali orang-orang di rumah karena aku pergi.” candaku.
“Enggak, dia cuma bilang ada acara
diluar. Tiara hari ini langsung cabut?” tanyanya. Aku mengangguk berat.
“Ya Mas, siang ini. Aku harus beres-beres juga, karena mau pulang ke
Semarang. Minta doa restu ama bapak ibu”
“Good, semoga menjadi berkah,
mudah-mudahan di sana ga betah, dan balik lagi ke sini, kami menerima dengan
tangan terbuka.” Aku tersenyum.
“Ada titipan dari Bapak, kemarin tak sempat Bapak berikan, surat cinta
kayaknya hahaha…” Mas Widi tertawa keras. Aku cemberut.
“Kalau Bapak kirim surat cinta, ga perlu lewat Mas Widi.”
Kuterima selembar amplop putih tipis dengan berkerut.
“Surat cintanya tipis begini Mas, pasti ga puitis.” gurauku. Mas Widi
senyum, “Salam dari keluarga besar, dan terima kasih. Jaga silaturahmi kita
Tiara ..” Mataku berkaca-kaca. Mas Widi memelukku hangat. Pertemuan ini seolah-olah
perpisahan panjang yang tidak akan ada pertemuan lagi. Aku tidak mau itu
terjadi. Seandainya …. batinku mengeluh.
“Mas Widi, apa yang aku alami sekarang adalah berkat kesempatan yang
telah Bapak berikan, begitu berharga. Tak mungkin aku melupakan dan
meninggalkan semuanya.”
“Aku percaya Tiara, kamu anak baik. Jaga diri.”
Mas Widi melepaskan pelukannya dan pamit dalam beberapa saat. Aku
masih terpaku melihatnya pergi dan hilang dari pandanganku. Aku begitu
terenyuh, apakah salah keputusanku ? Kembali
aku berandai-andai dan kembali aku pada kenyataan yang telah terjadi.
Aku terduduk di kursi kerjaku untuk terakhir kali. Kubuka amplop putih
itu perlahan, satu surat pendek didalamnya.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Tiara,
Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas
kebersamaan selama ini. Banyak kalimat
yang ingin kami sampaikan untuk menghalangimu pergi, namun kami tidak boleh
egois hingga menghambat masa depan yang cerah didepanmu.
Kami do’akan, semoga sukses dalam mengemban
tugas baru.
Ingat Nak, itu adalah amanah.
Tanda kasih sayang, kami sampaikan, sebagai
bekal.
Kami masih berharap, suatu hari nanti, kamu
kembali dan bersama kami.
Wassalam
Bambang S. dan Keluarga
Satu lembar cek terlampir disana. Mataku tidak lagi berkaca-kaca.
Isakku sesak. Aku benar-benar merasa bersalah. Namun apa mau dikata, aku telah
mengambil satu keputusan, yang detik ini aku tidak tahu apakah yang terbaik
atau bukan. Dengan cepat aku bereskan
semua. Aku ingin cepat pergi dari sini, aku tidak ingin menemukan satu moment
yang membuatku merasa lebih bersalah.
***
Langkahku goyang menuju lift
apartement dengan box sedang ditanganku. Ga berat sebenarnya, tapi box ini
hampir menutupi mukaku …. Langkah di belakangku menjejeri langkahku dengan
cepat. Aku membiarkannya melewatiku. Dan
laki-laki itu tepat berhenti di depanku.
Aku menghentikan langkah dengan cepat, kuangkat mukaku.
“Abis tu badan bawa box kayak gini.”
tangan laki-laki itu mengambil box dari tanganku.
“Mas ..!” pekikku kecil. Angga tertawa-tawa sambil
melangkah ke lift yang terbuka. Aku mengikutinya dengan terburu-buru. Dongkol juga.
“Kok ga kerja ?” tanyaku heran. Hari
masih siang, alasan apa kali ini yang membuatnya bisa kabur dari kantor.
“Izin mau bawain box.” guraunya.
Aduuh.. bener-bener ledekannya, gerutuku
dalam hati. “Jangan cemberut, bikin gemes.”
Aku berjalan lebih dulu keluar lift,
dan membuka pintu dengan tergesa.
“Udah lama sampai ?” tanyaku. Angga menyimpan box di meja kecil di
sudut ruang makan.
“Belum lama, tadi aku telepon ke kantor, terus Saly bilang Mbak udah
jalan pulang.”
Oooo pantas, pikirku. Tiba-tiba aku
teringat hari ulang tahunnya hari ini. Aku keluar dari kamar, dan serta merta
memeluknya.
“Met ultah Mas, semoga panjang umur
dan sukses selalu.” Satu kecupan kecil
kudaratkan dibibirnya. Angga membalas kecupanku dengan hangat.
“Makasih sayang.” pelukannya erat dan hangat.
“Aku lupa beli kado.’ bisikku.
“Ga perlu, Mbak kado terbaik buatku.” balasnya. Wah kalau begini,
rayuannya bisa selangit. Kurenggangkan badanku, dan tertawa … “mulai deh.”
Angga tersenyum menanggapi. Kusiapkan minuman dingin dan kue kecil simpananku
sebagai jamuan ulang tahunnya kali ini. Ini memang tak kuduga sama sekali, tak
ada persiapan apapun. Untunglah datanganya lepas makan siang, aku yakin dia
sudah makan.
Kursi kekuasaanku sekarang jadi kekuasaan Angga juga. Dia terlihat
nyaman duduk disana dan mencari–cari acara TV.
“Kapan ke Semarang ?”
“Besok pagi.”
“Balik kapan?”
“Hari Sabtu.”
Angga menghela nafas pendek.
“Kenapa?” tanyaku.
“Andai aku bisa ikut.” pelan, tapi jelas jawabannya. Kali ini aku yang
menghela nafas. Satu jawaban yang tidak aku kira. Is it possible ? pikirku dalam hati.
“Tumben ga ada acara kumpul di rumah hari ini?” tanyaku mengalihkan
pembicaraan.
“Aku ingin menghabiskan waktu hari ini dengan Mbak. Di rumah acara
hari Minggu.” jawabnya.
“Paling enggak, jam 7 udah sampai rumah Mas, mereka pasti nunggu.”
timpalku. Angga terdiam.
“Ga suka aku disini?’ Aku menggeleng cepat.
“Bukan begitu, aku hapal kebiasaan di sana, nanti ada pertanyaan.”
jelasku.
“Aku sudah bilang pulang agak
terlambat malam ini.’” Angga menatapku
sesaat. Satu kebohongan lagi, pikirku. Angga meraih bahuku perlahan. Aku tak
bereaksi. “Lihat aku Mbak, coba lihat apakah ada satu kebohongan tentang perasaanku
kepada Mbak selama ini?”
Kuangkat kepalaku dan menatapnya, “Aku tidak bilang kalau Mas bohong
kan? Aku menghargai perasaan Mas sebagaimana aku menghargai perasaanku.”
Kusentuh pipinya perlahan, jujur ada
rasa perih di dalam sana. Aku mulai merasakan rasa takut kehilangan yang mulai
mendera. Satu rasa yang alami sebenarnya, namun tidak pada dia seharusnya. Tangan
Angga menahan tanganku dipipinya, dan mengecupnya. “Aku tidak mau kehilangan
Mbak.” Kalimatnya membuatku kaku. Tangan
kekarnya meraihku lebih dekat, badannya berdiri tegak dan mengajakku berdiri.
Aku terheran-heran. Belum lenyap rasa heranku, Angga mengangkat tubuhku dan
membopongku ke kamar tidur.
“Mas ..” bisikku lirih.
Angga mencium keningku dengan lembut
dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Wajah kami begitu dekat, tangan kiri Angga
mempermainkan anak rambut di keningku. Matanya sayu menatapku, nafas lembut
menyapu permukaan wajahku. Darahku berdesir halus. Wajahnya lebih dekat, aku tak
kuasa, menjauh dan membiarkannya lebih dekat. Aku bisa merasakan kecupan hangat di kedua
kelopak mataku, pipiku, dan bibirku. Kecupan-kecupan itu menjadi lebih hangat
ketika tanganku menyentuh rambutnya, bahunya ….
Nafasnya mulai tidak beraturan, aku mengerti apa yang tengah kami
alami. Sentuhan demi sentuhan dia berikan dan membiarkan aku menikmatinya. Ciuman
kami membuat kami lupa dengan segala kendala yang akan kami hadapi nanti. Dan
kami telah membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Jemari kami yang bersatu
sebagai tanda kami melewati batas yang seharusnya tidak kami lalui.
Hari ini, aku telah menyerahkan semuanya kepada Angga. Tangis lirihku
dalam dekapannya. Angga mendekapku
dengan erat, mengecup keningku berulang kali.
“Mbak, aku tidak akan pernah meninggalkan Mbak. Aku tidak mau
selamanya menjadi dosa, Aku akan
menikahi Mbak.” Bisikan Angga membuatku aku mengangkat muka.
“Keadaan seperti ini yang sebenarnya aku hindari Mas, tak kubayangkan
bagaimana kita akan menghadapi semuanya. Tapi aku tidak akan pernah menyesal, kita
cari jalan keluarnya.”
“Jalan keluarnya adalah menikah.”
Aku terdiam. Aku pun tidak ingin menambah dosa lebih banyak. Tapi di sisi
lain, bagaimana aku harus menghadapi orang-orang yang telah mengenal kami dengan baik, bagaimana aku harus bicara
dengan kedua orang tuaku ?
“Biar aku yang urus Mbak, tidak ada niat sekecil apapun untuk
mempermainkan Mbak, niat menikahi Mbak tidak muncul hanya karena kejadian ini,
niat itu sudah ada sejak lama. Kita hadapi sama-sama.”
“Disatu sisi, Mbak harus lebih mengerti dengan pekerjaanku, sebagai
karyawan aku harus lebih giat, untuk membangun rumah tangga, aku harus
membaginya dengan adil.”
Aku tak menyangka Angga sudah berpikiran jauh seperti itu. Aku tak
tahu, apakah aku senang, bahagia, sedih atau kecewa ? Sampai saat ini aku tidak
tahu. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya.
“Ini kado terindah yang pernah aku terima, sampai kapan pun aku tidak akan
pernah lupa. Setiap detik waktu menuju ulang tahunku akan menjadi satu tahapan
untuk mengingatnya dengan lebih sempurna.”
Aku tersenyum. Ya, Angga tidak akan pernah melupakan hari ini, tanggal
dan bulan ini, dengan ada atau tidak adanya aku disampingnya nanti.
Bersambung ...
0 comments:
Post a Comment