Tujuh tahun aku melewati waktu dengan satu keyakinan yang kadang aku
ragu mengisi hariku bersama Angga. Sering aku bayangkan satu masa yang kami
harapkan itu tidak akan pernah terjadi, namun selama ini aku halau dan mencoba
untuk bisa meyakini diri. Sekarang ? Perlahan
namun pasti akhirnya kenyataan harus aku hadapi. Kenyataan pahit ? Bukan. Ini
adalah satu perjalanan dan pelajaran hidup yang sangat berharga dimana aku
membiarkan diri hanyut dalam satu hal yang aku sendiri tidak meyakini namun
tetap aku jalani.
Penat pikiranku, melayang pada kejadian-kejadian dalam dua tahun terakhir
ini, mencoba untuk mencari sesuatu yang bisa menjadi tanda akan perbedaan sikap
dan rasa Angga kepadaku. Rasanya tak ada yang berubah, semuanya berjalan
normal. Mungkin karena dari dulu kita mencoba menjaga sikap, berhati-hati dan
menutup diri atau mungkin karena ……
Suara ketukan pintu kamar membuyarkan pikiranku. Langkah-langkah
kecilku bergerak lesu, dan membuka pintu. Kulihat seraut wajah lesu didepanku
dengan senyum tipis. Kami tahu apa yang kami pikirkan. Aku menutup pintu tanpa
suara. Angga duduki di tepi tempat tidur. Tanpa suara, kaku, tak biasanya.
“Sudah makan?” Aku menggeleng.
“Kita makan dulu di bawah.”
“Ga usah Mas, kita pesan di sini saja. Aku pesankan ya.”
Angga mengangguk. Langkahku melaju ke pojok tempat tidur, meraih
telepon putih, dan memesan makan malam.
“Mbak ga makan ?” tanyanya heran.
“Berdua aja, belum terlalu lapar.”
Aku duduk di sebrang meja
kecil, kami masih berdiam diri. Tanganku memainkan jemari satu sama lain.
Bingung, harus mulai bagaimana ? Angga mendekatiku, pelan, bahkan sangat pelan,
menyentuhku halus bak memegang porselin yang takut pecah. Wajahku tertunduk.
“Mbak, aku harus bicara.” Wajahku terangkat sedikit, menatap matanya
yang tepat di depan mataku.
“Ya, waktu kita tak banyak.” Jawabku pendek.
Angga mengangkat wajahku lebih tegak. Kepalanya menggeleng cepat.
“Kita masih punya banyak waktu.”
Tak kumengerti apa maksud kalimatnya, tapi aku tak mencoba bertanya
dan menentangnya.
Angga berdiri dan mengajakku duduk di tepi tempat tidur. Aku mengikutinya. Saat-saat seperti ini yang
aku rindukan, sebenarnya. Dan biasanya semua berawal dari sini, dengan
cerita-cerita ringan, tertawa, saling menyentuh ….. Kali ini, tak ingin aku
bayangkan …
Angga meraih bahuku dan menariknya dalam pelukan. Ada sebersit rasa
sakit yang menyelinap, dan akhirnya mengiris, menumpahkan air mata dalam
pelukannya. Angga mengusap dan mengecup rambutku berulang kali, mendekapku
semakin erat. Aku bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Maafkan aku.“ bisiknya.
Kurenggangkan pelukannya, mataku mencari matanya. Angga tertunduk,
tangannya meraih jemariku dan mengecupnya. Kutarik halus tanganku, Angga
terdiam.
“Bicaralah. Aku hanya ingin mendengar semua darimu.”
Kami duduk berhadap-hadapan di atas tempat tidur. Rasa egoku sedikit
bangkit, mataku memandang Angga dengan pandangan yang berbeda, menantang.
“Apa aku harus tanya ke Desi ?” Kening Angga berkerut. Mukanya berubah kaku. “Atau aku harus mengkonfirmasi apa yang Bapak
ucapkan kepadaku tadi siang?”
Angga mengusap mukanya.
“Kesalahan pertamaku adalah membiarkan Mbak pergi …” Angga memulai dengan pelan.
“Itu bukan satu kesalahan, itu adalah satu jalan.”
“Maksudnya ?”
“Kita tahu kenapa aku pergi dari sini, bukan karena kemandirianku,
tapi karena kita mencoba untuk mencari aman.”
“Mbak, tak pernah aku pikirkan hal seperti itu.”
“Oya ? Bukannya dulu Mas ‘mengiyakan’ ?“
Angga terdiam.
“Dan ternyata semua menjadi ‘aman’ buat Mas.” Emosiku naik. Perasaan
dikhianati tiba-tiba bergejolak. Angga menarik tanganku, kutepis dengan cepat.
“Mbak, tidak begitu ceritanya,
beri aku kesempatan untuk bicara.” Angga
berbicara pelan, mencoba menahan emosiku.
Seraut wajah lesu didepanku tertunduk. Emosiku sedikit mereda. Kutarik
nafas dalam-dalam, menenangkan diri.
“Baik, bicaralah.”
“Pembicaraan kami sekeluarga belum selesai. Semua sudah emosi. Dia
datang dalam kehidupanku tidak berarti aku bersama dia. Pada saat pembicaraan
kedua, Bapak keburu sakit, semua memprioritaskan Bapak. Sampai sekarang pun
semua masih menganggap aku berhubungan dengan Dia.”
“Dia, siapa dia ?”
“Mona, anak buahku.”
“Bagaimana mereka bisa berpikir ada yang lain antara Mas dan dia kalau
tidak ada yang bisa membuat mereka angkat bicara?”
“Kejadiannya karena masalah komunikasi.”
“Maksudnya?”
“BBM.”
“Yes, and then?”
“Dulu Mona tugas di Lampung, dan setahun ini dia ditugaskan di
Jakarta.”
“Kira-kira enam bulan yang lalu, dia ada salah kirim BBM, tengah
malam, waktu itu pas Desi membukanya, karena Mbak tahu antara aku dan Desi
terbuka untuk hal-hal seperti itu, kecuali komunikasi kita.”
“Then …”
“Desi membalasnya, dengan bahasaku.”
“Isinya ?”
“BBM yang dikirim Mona, mesra, dan Desi membalasnya. Desi menghapus
chat malam itu, tanpa bicara. Dan aku kena getahnya. Mona berubah sikap sejak
itu, aku pikir karena dia anak baru, mencoba cari perhatianku, aku bersikap
normal”
Aku terdiam.
“Antara aku dan dia tak pernah ada BBM mesra, sampai satu hari aku
menerima pesan Mona di tengah malam.”
Angga menatapku.
“Aku bingung. Aku menjawab dengan sekedarnya, sampai di akhir chat dia
memberikan symbol kiss, dan aku tidak pernah memberi tanda read dan membiarkannya.”
“Sesimple itu ?” tanyaku.
“Itu dua bulan yang lalu. Sampai pagi harinya, Desi menemukan dan
melihatnya, dari sanalah kesalahpahaman itu terjadi, hingga akhirnya Desi
bicara ke Ibu, dan pulang ke rumah orang
tuanya.”
Pembicaraan terpotong ketika room service datang dengan pesanan makan
kami. Angga membuka pintu, mengambil makanan dan menyimpannya di meja kecil
sebrang kami.
“Makan dulu.”
Aku duduk tanpa berkata apa-apa. Nafsu makanku sudah lenyap sejak awal
pembicaraan kami. Angga menarik tanganku dan mengecupnya.
“Tak ada yang bisa menggantikan Mbak dari hatiku.”
Aku masih tak bergeming dengan kekakuanku. Aku masih asyik dengan
semua pikiranku sejak Pak Bambang bicara tadi siang.
“Makan dulu.” Balasku. Angga melepaskan tanganku, matanya masih begitu
lekat memandangku. Aku mengambil sayur, dan mengunyahnya perlahan.
Sepertinya Angga juga mulai tak bersemangat makan, tangannya
mempermainkan potongan kentang di piring dengan garpu. Matanya menatap kosong.
Aku mengambil sepotong melon dan mengarahkannya
pada mulut Angga. Angga membuka mulutnya sedikit. Aku tersenyum kecil.
“Kurang besar bukanya.” Angga
menyeringai, dan mengunyah perlahan.
“Aku kangen Mbak. sejak kejadian itu yang aku takutkan hanya satu,
Mbak mengetahui dari orang lain”
Aku diam.
Makanan utama tak disentuh sama sekali. Kami asyik dengan pikiran
masing-masing. Suasana sunyi dan kaku masih menyelimuti. Kuteguk sedikit air putih dan kembali menuju
tempat tidur. Aku ingin tahu endingnya segera. Waktu sudah jam 8, Angga harus
segera ke rumah sakit.
Angga berdiri dan melepaskan kancing kemejanya satu per satu, kemeja
seragam itu dilemparkanya ke pelukanku pelan, kurapihkan dan kusimpan di sisi
meja kecil. Kaos oblong putihnya masih terlihat rapi.
“Boleh rebahan ga ?” tanya Angga seraya meletakan kepalanya di
pangkuanku. Aku mengangguk. Tanganku mengusap rambutnya.
“Lanjutkan ceritanya.”
“Desi di rumah orang tuanya 3 hari, Ibu memanggilku dan menanyakan
persoalannya. Apa yang aku sampaikan berbeda dengan penjelasan Desi. Akhirnya
Bapak dan Widi turun tangan, berbicara
denganku sebagai laki-laki.”
“Tak ada yang aku harus buktikan kepada mereka, karena aku tidak
merasa ada hal-hal yang aneh dengan hubunganku dengan dia. Ibu, sebagai seorang
perempuan, minta aku menunjukkan kebenaran. Pada saat kami bicara, tiba-tiba
teleponku berbunyi, dari Mona. Event itulah yang membuat semua yakin, bahwa aku
ada hubungan dengan dia. Aku tak bicara apa-apa, hanya satu yang aku harus
selesaikan adalah mempertemukan Desi dan dia untuk bicara.”
“Sudah dilakukan ?”
Angga menggeleng.
“Kenapa?”
“Bapak memanggilku ke kantor beberapa hari yang lalu, bertanya, dan
bercerita banyak. Disanalah Bapak menceritakan tentang Desi yang telah
mengetahui hubungan kita.” Angga menatapku. Bibirku gemetar.
“Bapak sangat kecewa mendengar beritaku dengan Mona, dan memintaku
untuk menyelesaikannya segera.”
“Menyelesaikan ?” keningku berkerut.
“Ya, salah satunya mempertemukan Desi dan dia.”
Aku tidak ingin membicarakan apa yang telah Pak Bambang sampaikan
kepadaku tentang hubungan kami. Aku ingin Angga yang mengungkapkan apa yang
diketahui Pak Bambang tentang kami.
“Sebelum aku berhasil mempertemukan mereka, Bapak keburu sakit, semua
jadi pending. Mas Wibi marah”
Kuhela nafas panjang, memperjuangkan diri untuk bisa mengerti dan
mempercayai apa yang aku dengar. Apa dengan begitu saja aku mendengar
penjelasannya ?
“Dan aku tak menyangka Bapak akan membicarakan tentang hubungan kita,
dan lebih tak kusangka ternyata Desi telah mengetahuinya sejak lama.” Angga
meraih jemariku, dan mengusapnya. Matanya menatap lurus mataku. Aku salah
tingkah.
“Bapak dan Desi memberikan restu untuk kita.”
Kali ini, aku benar-benar tak bisa berkata-kata. Tak kurasakan
kebahagiaan takkala mendengar semua itu. Kalimat itu yang dari dulu aku tunggu,
dan hingga saatnya tiba, aku seolah tak punya rasa.
“Mbak, bicaralah.”
“Aku bingung Mas. Dikala kondisi seperti ini, semuanya terbuka. Apa
yang aku takutkan selama ini seakan hampir terjadi di depan kita. Bagaimana aku
bisa menghadapi orang-orang di sekitar kita?”
“Jujur Mbak, aku yang membuat aku gentar hanya satu.”
“Gentar ? Tentang apa ?”
“Menghadapi Mas Widi bila mendengar semua ini.”
“Aku gentar pada semua orang, aku tidak bisa memegang kepercayaan yang
telah diberikan selama ini.
“Ini tentang rasa, Mbak. Alami, tak bisa diundang dan tak bisa
dielakkan. Tapi menghadapi Mas Widi, aku
belum tahu bagaimana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul
nanti”
“Aku ga ngerti, kenapa Mas gentar menghadapi Mas Widi?’ Keningku
berkerut.
“Mbak ga ngerti ?” tanyanya berbalik. Aku mengangguk pasti.
Sekarang, Angga yang menghela nafas. Diraihnya bahuku, dan didekap
erat.
“Kenapa sih?’
“Mbak ga tahu perasaan Mas Widi?” bisiknya.
Aku tersentak, ada sedikit gusar dalam pikiranku. Mungkinkah ?
“Maksud Mas ?” berdebar aku menunggu jawaban Angga.
“Perasaan Mas Widi sama denganku, ada keinginan untuk bisa memiliki
Mbak?”
“What??” Aku merenggangkan pelukan Angga, dan menatapnya.
“Apa yang Mas Widi ceritakan pada Mas ?” Kali ini aku mencoba untuk
mengingat tentang beberapa kalimat yang pernah Mas Widi ucapkan padaku. Dulu …
sebelum Angga datang.
“Kami berbicara sebagai laki-laki, sebagai saudara kami benar-benar
terbuka dalam segala hal. Sejak kecil. Setelah Mbak pindah, keluarga banyak
cerita tentang Mbak.”
“That’s nothing special…” Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Sebelum kami berdua berbicara, semuanya biasa saja memang, tetapi
dalam kesempatan lain, kami sempat bicara banyak, dan akhirnya Mas Widi
bercerita tentang Mbak, dan perasaan dia.”
Waktu aku pergi, itu dua tahun yang lalu. Tak mungkin Mas Widi masih
menyimpan semua rasa itu sampai dua tahun yang lalu.
“Perasaan bagaimana ?” tolol pertanyaanku.
“Hmmm, you are a mature woman, baby, you should understand. I can’t tell you
anymore, coz that’s sometimes make me jealous.” Angga tertawa kecil. Tanganku
memukul perutnya.
“So, how’s your feeling for
him?”
“Aku ga mau bicara tentang ini, urusan kita masih banyak. Jangan coba
mengalihkan pembicaraan.” Aku berdiri ke arah meja, dan mengambil segelas air
putih. Badanku berbalik dan memberikan isyarat untuk mengajaknya minum. Angga
menggeleng.
“Jadi bagaimana kesimpulannya tentang Mona?” Aku mendekati Angga dan memberikan segelas air putih. “Aku
hanya perlu itu sekarang.” lanjutku
“Mbak perlu tahu lebih banyak, kita harus segera mencari jalan keluar,
tidak hanya tentang Mona.” Jawabnya
cepat.
“Kita bicarakan satu-satu.” Kunaiki tempat tidur dan duduk dengan kaki
bersila. Tanganku bertopang dagu, memperhatikan Angga yang kelihatan lebih
tenang. Jam telah menunjukkan 20.15. Bagaikan cinderela yang menunggu jelang
tengah malam, berhitung dengan waktu..
“Antara Mona dan aku, tidak ada hubungan yang lebih, cukup sebatas
antara hubungan kerja. Kesalahpahaman yang terjadi menurutku bisa aku
selesaikan dengan segera, mengatur waktu untuk bicara dengan Desi dan Mona. Yang ingin aku tekankan disini adalah, apa
yang aku sampaikan adalah yang sebenarnya. Dari beberapa waktu yang lalu aku
ingin cerita, tapi aku takut kesalahpahaman akan semakin melebar. Maafkan aku.”
Ketika perasaan ragu mulai menghampiri beberapa waktu yang lalu, tak
pernah terlintas sedikitpun tentang hal ini, kepercayaanku terhadapnya cukup
tinggi, mengingat beberapa rintangan di depan kami yang cukup akan menjadi
sandungan dan kerikil dalam perjalanan.
“Aku tidak bisa menghakimi Mas
tentang hal ini, mendesak Mas untuk bercerita lebih banyak karena tanggapan
keluarga sudah lebih dari yang Mas bayangkan. Namaku muncul di antara Bapak dan
Mbak Desi dalam suasana ini, membuat aku sedikit tidak leluasa untuk melakukan
hal-hal yang rutin di sini. Mas memang harus menyelesaikan segera, terutama untuk
Mbak Desi dan Bapak, sementara. Tentang kita, sepertinya kita harus menunggu
sampai Bapak sehat. Apakah Mbak Desi sudah bicara tentang kita ?”
Angga menarik tanganku dan mengecupnya, tersenyum. Aku tak mengerti
arti senyum itu. Satu anggukan kecil Angga membuat aku sedikit berdegup.
“Kami sudah membicarakannya. Jujur, aku kaget ketika Desi membicarakan
tentang itu. Tak pernah aku bayangkan bahwa dari Desi sendiri aku mendengar
seberapa jauh dia mengetahui hubungan Kita. Dan aku tidak bisa mengelak,
mengelak sama dengan aku membohongi kita, aku tak mau bohong, meskipu aku tahu
bahwa itu menyakiti dia.” Angga terdiam
sesaat. Hening. Aku mengerti apa yang Angga pikirkan dan rasakan.
“Dan kami sempat tidak banyak bicara, bicara seperlunya, mencoba untuk
menetralisir suasana di rumah, dihadapan anak-anak. Kejadian yang beruntun
membuat kami benar-benar beku. Hampir seminggu. Akhirnya kami mencari waktu
untuk lebih bisa bicara banyak, mencoba
untuk saling mengerti. Aku mengerti perasaan Desi yang terkhianati.”
“Point apa yang bisa aku tahu dari pembicaraan Mas dengan Mbak Desi
tentang kita ?” Antara siap dan tak siap
aku mendengar jawabannya, karena dari jawaban ini ada dua jalan yang harus aku
pilih, dan tak berubah.
“Desi memintaku untuk menikahi Mbak.”
That’s the point!!! Wajahku
tertunduk dalam, mencoba mencari kata-kata yang bisa aku sampaikan. Angga
merengkuhku perlahan, mengusap rambut-rambut kecil di dahiku. Apa yang kami
bayangkan terjadi juga … Dimana aku harus menghadapi orang-orang disekitar
kami, menerima tatapan mata bertanya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang intinya “bagaimana bisa??””
“Dan aku akan menikahi Mbak.”
Tak ada air mata yang dapat kutahan lagi, semua terbuncah di kemeja
putih Angga. Entah air mata kebahagiaan atau kesedihan, tak jelas, namun aku
bisa merasakan bagaimana kegalauan hati dan pikiranku, bak buah simalakama. Angga
mendekapku erat, tanpa kata, seakan hati kamilah yang berbicara seakan bisa lebih
jujur.
Bersambung …