Pintu kamar terbuka lebar didepanku, kaki melangkah gontai tanpa
tenaga, seakan tak bertulang. Pikiran buntu. Kejadian di bawah tadi,
benar-benar membuat kami tidak berkutik.
Masih terasa tangan Angga tersentak dari genggamanku. Dan ternyata, ada
yang terasa sakit, bukan tanganku.
Ujung tempat tidur dingin, sprei
putih diatasnya masih tertata rapi. Dadaku
terasa sesak, saat aku mengakui, ternyata aku tidak sanggup menghadapi kondisi
seperti ini. Air mata mengalir perlahan, tetap kubiarkan. Ingin rasanya berteriak, marah pada diri sendiri.
Kujatuhkan badan di atas tempat tidur, terpelungkup dengan dada terguncang.
Tanganku meremas sprey dan membiarkan air mata terberai. Aku tak ingin mengingatkan diri bahwa aku
harus turun menghadiri rapat keluarga itu. Aku hanya ingin disini, melampiaskan
semua perasaan. Ya, aku putuskan untuk
tidak menemui mereka. Aku tidak sanggup. Pengecut ? Apapun itu, aku tidak
peduli.
Suara telepon menghentikan sesaat tangisku, dengan enggan aku menariknya.
“Tiara, pertemuanya ditunda, besok siang sesudah makan siang. Ibu ada
acara mendadak.” suara Mas Widi
terdengar jelas.