Pintu kamar terbuka lebar didepanku, kaki melangkah gontai tanpa
tenaga, seakan tak bertulang. Pikiran buntu. Kejadian di bawah tadi,
benar-benar membuat kami tidak berkutik.
Masih terasa tangan Angga tersentak dari genggamanku. Dan ternyata, ada
yang terasa sakit, bukan tanganku.
Ujung tempat tidur dingin, sprei
putih diatasnya masih tertata rapi. Dadaku
terasa sesak, saat aku mengakui, ternyata aku tidak sanggup menghadapi kondisi
seperti ini. Air mata mengalir perlahan, tetap kubiarkan. Ingin rasanya berteriak, marah pada diri sendiri.
Kujatuhkan badan di atas tempat tidur, terpelungkup dengan dada terguncang.
Tanganku meremas sprey dan membiarkan air mata terberai. Aku tak ingin mengingatkan diri bahwa aku
harus turun menghadiri rapat keluarga itu. Aku hanya ingin disini, melampiaskan
semua perasaan. Ya, aku putuskan untuk
tidak menemui mereka. Aku tidak sanggup. Pengecut ? Apapun itu, aku tidak
peduli.
Suara telepon menghentikan sesaat tangisku, dengan enggan aku menariknya.
“Tiara, pertemuanya ditunda, besok siang sesudah makan siang. Ibu ada
acara mendadak.” suara Mas Widi
terdengar jelas.
“Hey, are you ok ?” suaranya terdengar cemas.
“Ga apa-apa Mas, aku ketiduran barusan.”
“Aku perlu naik, Tiara ?”
“Tidak usah. Nanti agak sorean aku ke rumah sakit, sekalian bicarakan ke Bapak.
Besok aku pulang last flight Mas, jadi mudah-mudahan ga pending lagi ya.”
“Kok tiba-tiba, Ra? Bukannya rencanamu seminggu di sini?” suara Mas
Widi terasa meninggi..”
“Maaf, barusan baru dapat kabar, acara yang tidak bisa diwakilkan.”
“Sampaikan ke Bapak ya, sepertinya Bapak ada agenda lain untuk Tiara.”
“Baik Mas.”
Kusimpan telepon perlahan. Kucoba menarik nafas, menghilangkan sesak di
dada, tak ada yang berkurang. Masih sesak. Terdengar seperti ketukan pintu pelan,
kepalaku menengok ke arah pintu, dan tak ada suara lagi. Tubuhku bangkit menuju
meja rias, ingin aku melihat seperti apa rupaku saat ini. Langkaku sedikit
tertatih. Suara ketukan terdengar lagi, mataku mengarah pada pintu kamar coklat
tua yang terkesan dingin. Ketukan itu terdengar lagi. Siapa ? Pikirku. Langkahku pelan menuju pintu dengan hati
bertanya-tanya, dan pintu terbuka perlahan, sosok tubuh tegap dihadapanku
nampak dengan kekusutan di wajahnya. Tangan kokoh mendorong pintu perlahan,
tubuhku mundur dengan tanpa membalik badan.
“Ada apa ?” tanyaku.
“Aku ingin istirahat di sini.” suaranya
terdengar bergetar. Aku membalikkan badan dan menuju kursi di depan meja rias.
Lelaki itu menutup pintu dengan cepat, dan berjalan ke arahku.
“Maafkan aku Mbak.”
“Apa yang perlu aku maafkan Mas?” Wajahku terangkat dan berusaha untuk
memandangnya. Tangannya menyentuh pipiku dan membelainya.
“Begitu banyak beban yang aku berikan, dan aku seolah menari di atasnya.”
“Aku ga ngerti Mas.”
“Mbak, perasaan kita sama, kebingungan kita pun sama, tak usah disembunyikan.” Badannya mundur dan duduk di ujung tempat
tidur.
“Sayang, aku sudah menyampaikan apa yang aku inginkan, dengan segala
konsekuensinya, aku akan terima. Sekarang, aku kembalikan pada Mbak, maukah
menerimaku apa adanya? Aku tidak mau menunggu terlalu lama .”
Aku tidak tahu apa yang harus aku jawab. Aku tidak siap untuk menjawab
yang artinya itu adalah satu keputusan. Aku tidak ingin menjawabnya sekarang.
Tubuhku berdiri perlahan, tepat didepannya. Kusentuh pipinya, halus,
kuusap, tubuhku terbungkuk dan mengecup matanya. Kurasakan Angga menahan nafas,
lima detik cukup aku menikmati sentuhanku. Angga meraih bahuku dan meremasnya
perlahan, menarikku dalam pelukannya hanya satu gerakan lambat. Erat dan hangat. Kutarik tubuhku dan
menatapnya. Aku melihat seribu harapan dimatanya. Tanganku mendorong dadanya perlahan, Angga
membiarkan tubuhnya terlentang di atas kasur bersprei putih. Kutahan nafas ketika kakiku menaiki tempat
tidur, menuju ke arahnya. Aku tahu tatapan
Angga tak terlepas dariku, dan aku tahu bagaimana Angga mencoba meraih tubuhku.
Kutahan tangan kokoh itu ketika menggapaiku, “biarkan aku yang bicara”,
bisikku. Angga terdiam.
Aku tidak peduli dengan baju kerjanya yang cepat kusut. Aku
benar-benar menikmati suasana ini. Tubuhku terasa ringan, tanganku
mengusap rambutnya, terasa damai, dan dalam benakku aku berpikir, akankah kami bisa mengulang saat-saat seperti
ini?
Tanganku turun menyentuh dadanya, mengusapnya perlahan, berulang, meresapi setiap hembusan nafas dan detak
jantungnya. Angga meraih jemariku, dan mengecupnya lembut. Sesaat kami terdiam.
Mata kami bertemu, jemariku masih dalam
kecupan Angga. Kutarik jemariku, kusentuh bibirnya, sesaat Angga memejamkan
matanya. Tubuhku beringsut mendekati wajah angga, mengecup bibirnya. Aku tak
ingin kehilangan saat-saat seperti ini, setiap detik terasa begitu menyentuh,
berarti, meninggalkan moment yang tidak akan pernah aku lupakan, seperti mimpi
indah yang tidak ingin berakhir.
“Biarkan kita bicara” Angga berbisik. Bibirnya mengecupku lembut, dan
mengecupku. Pelukannya hangat. Aku tak sanggup untuk mengelak ketika kecupan
itu berulang, semua berjalan begitu berirama, dan meninggalkan kenangan dan
sisa air mata.
Detik demi detik berlalu, satu masa dalam keheningan dalam kesadaran
yang sempurna. Angga memelukku erat, mengecup keningku lembut.
“Tak akan pernah aku lepaskan Mbak, sampai kapan pun.”
Aku tak ingin menjawabnya, dan aku tidak ingin membahas hal itu. Di
satu sisi, aku tahu, aku harus memutuskan demi masa depanku. Aku hanya perlu
waktu, cepat atau lambat. Aku menarik selimut, dan menenggelamkan diri
didalamnya.
Suara dering telepon di ujung meja mengagetkan kami, tatapan
bertemu. Dengan tergesa aku melemparkan selimut dan meraih telepon.
“Halo.” suara ku terdengar parau.
“Tiara, sudah enakan?” Suara Mas Widi terdengar khawatir.
“Hehe ga apa-apa Mas, tidurku lumayan pulas.”
“Aku bawain makan malam ya.”
“Duh ga usah Mas, nanti Tiara
turun aja.” Mataku secara otomatis melihat jam dinding, jam 19.00, aduh …!
Angga memandangku dengan tajam.
“Ga apa-apa Tiara, nanti aku ke sana, ada titipan dari Bapak.”
“Ketemu di lobby aja setengah jam lagi, kita makan di sana. Aku mandi
dulu.”
“Oke.” Aku mendengar helaan nafas berat Mas Widi. Entah apa yang ada
dipikiranku, kalut.
Aku menaruh telepon perlahan.
Angga mendekatiku dan memelukku.
“Mas Widi?” tanyanya . Aku mengangguk.
“Apa aku harus cemburu pada kakakku sendiri?” bisik Angga.
“Duh apaan sih ? “ mataku mendelik memandangnya. Angga tertawa.
“Aku mandi dulu, Mas Widi nunggu di bawah, ada titipan dari Bapak.”
“Aku ikut ya.”
“Maksudnya ?” tanyaku heran.
“Aku ikut makan malamnya.”
“Mas kebagian jaga malam ini ?”
“Ga, aku nginep disini.’ Angga memelukku erat.
“Becanda melulu.” Kudorong
badannya hingga terlentang di tempat tidur.
“Eeh, aku serius.” teriaknya
“Ga mungkin.’ Balasku dengan teriakan.
Kucuran air terasa menyegarkan, tak ingin aku menghilangkan fokusku
diantara air yang mengucur dingin. Aku
berjalan meninggalkan butiran kecil air ketika menuju ruang ganti. Terdengar
sayup-sayup pembicaraan yang masih terdengar samar-samar. Suara Angga. Telepon.
Gerakanku terhenti, keinginantahuanku timbul.
“Aku buka kamar di Novotel nanti, Mas Widi juga. Besok aku langsung ke
kantor.” Suara Angga berhenti, menunggu jawaban. Jantungku berdebar
mendengarnya, nekad pikirku.
“Engga Bu, semua akan disampaikan nanti.”
Masih ada pembicaraan lain yang membuatku menahan diri untuk melangkah
keluar. Sayup sayup… tapi cukup untuk membuatku mengerti apa arti pembicaraan
selanjutnya. Aku keluar dari kamar ganti dan memberi isyarat untuk segera
siap-siap. Ada seraut wajah yang berbeda dari beberapa menit yang lalu.
Kuhampiri dan kuserahkan handuk bersih.
“Aku dandan dulu, Mas Mandi. Nanti aku duluan turun.”
Angga menatapku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kita turun sama-sama.”
“Jangan Mas.”
“Mas Widi sudah tahu aku ada di sini. Jam 8 makan malamnya, Mas Widi
masih dampingi Bapak dengan tamunya”
Mataku terbelak kaget, kuhampiri Angga dengan pandangan tak mengerti
“Ada apa ?”
Aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi tanpa kata.
“Mas !!” teriakku seraya menyusulnya. Tak ada jawaban. Ada perasaan cemas yang tiba-tiba menerpa.
Kusandarkan badanku di dinding luar kamar mandi, seakan-akan aku menunggunya
keluar. Mataku menerawang memandang kosong ke arah langit-langit, jantungku
berdebar lebih kencang. Kuhela nafas perlahan, terasa berat, kuarahkan kaki ke
meja rias. Cermin itu dengan jelas menampakkan wajah mungilku yang terlihat
pucat. Kuusap sudut mata kanan, ada setetes air mata yang tersisa disana. Kapan
aku menangis ? Selembar tisu membereskan sisa-sisa air mata. Kuambil pelembab
dan mulai mengusap di seluruh wajahku. Aku tidak ingin orang melihat aku
seperti ini. Mataku memandang cermin, dan mencoba tersenyum. Tak kulihat terlihat
secercah cahaya dari mataku. Kuratakan polesan wajah dengan ulasan bedak tipis,
perona merah menolongku agar terlihat segar. Segaris lipstick pink aku sentuh dengan ujung
jari dan memolesnya ke bibirku. Cukup.
Suara pintu terbuka, Angga keluar dengan rambut yang masih basah. Aku
berdiri dan mengambil handuk, dan mengusapkan pada rambutnya. Tangan Angga
menghentikanku, aku memandangnya .. ‘masih basah Mas, ga enak nanti kalau
turun.’ bisikku.
“Aku tidak ingin membuat Mbak bertanya-tanya, dan aku tidak berani apa
yang sebenarnya terjadi.” Angga menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku meronta
dan menolak halus pelukannya. Tubuhku mundur seraya memandangnya.
“Aku tahu apa yang ada dipikiran Mas,
biar aku lakukan sendiri.” Dadaku
sesak menahan tangis. “rapihkan bajunya,
kita turun sekarang.” Aku membalikkan badan menyembunyikan air mata yang mulai
merebak di mataku. Terasa perih
didadaku.
“Mbak….” Angga mencoba membalikkan badanku, tangannya halus menyentuh
bahuku.
Tahukah Mas, saat-saat ini
pernah aku bayangkan sebelumnya .. hatiku berteriak. Kutegarkan diri dan memandangnya, dengan
senyum yang aku yakin tidak ada warna.
“Kita turun.”
“Mbak, aku mau bicara.”
“Ga perlu Mas, aku sudah tahu apa yang akan Mas sampaikan. Kita bicara
nanti di bawah. Tolong cek jangan sampai ada yang ketinggalan ” Tanganku
merapikan tas dan barang-barang kecil di tempat tidur. Aku tidak ingin
memandangnya kembali. Badanku tegak memandangnya yang terduduk di tepi tempat
tidur. Matanya sayu, kegusaran terlihat, dan aku sudah tidak peduli.
“Kita turun sama-sama atau mau masing-masing?” tegasku.
“Kita sama-sama.” Angga menjawab seraya memelukku, mengusap dan
mencium lembut rambutku. Tak dapat kuhindari lagi, tangisku pecah didadanya.
Angga memelukku erat, tanganku mencengkram kemejanya, badaku terguncang halus.
Tak ada suara di antara kami. Angga
membelai rambutku, menciumnya, dan saat ini, aku tidak mendengar bisikannya. Kurenggangkan
pelukannya, wajahku terangkat dan memandangnya. Senyum kecil kuberikan padanya,
seraya berkata : “”Mas duluan turun, aku nanti nyusul.”
“Aku ga mau Mbak turun dengan mata sembab seperti ini. Apa
harus aku telepon Mas Widi untuk menunda makan malam ini ? “
“Jangan Mas, beri waktu aku sebentar.”
Angga mengangguk,
“Aku duluan, jangan lama-lama.” Angga mengecup keningku, memelukku
erat, dan meninggalkan kecupan hangat
yang seakan tak mau mengakhirinya. Tanganku mendorong badannya.
“Aku rapikan diri dulu.”
“Mbak, aku sayang sampai kapanpun.”
Aku tersenyum getir.. dan mengangguk.
“Aku tahu Mas.”
Angga berjalan mundur menuju pintu, “Sampai kapan pun, Mbak jadi
milikku.” Aku diam, Angga membuka pintu dan menghilang.
Sekarang saatnya, aku harus menentukan langkah. Aku sudah mengambil
keputusan, dan yakin semua langkah yang diambil, apapun. Tegar. Kurapihkan
rambut dengan sisir kecil di atas meja rias, memoles pipi dengan bedak tipis,
masih melihat kesembaban di kedua mataku, biarlah…
***
Pintu kamar terkunci perlahan, kunci kusimpan rapi di saku celana
jeans. Langkahku menuju lift yang tak jauh dari kamar, pandangan mengarah pada lorong diantara
kamar-kamar yang berjejer, sepi, sedikit mencekam. Uuuh.
Pintu lift terbuka perlahan, kakiku melangkah dengan cepat. G. Kutarik
nafas panjang, menenangkan debaran jantung yang masih tak beraturan. Hmm… aku
tak ingin membayangkan apa yang ada yang dalam pikiran Mas Widi nanti.
Langkahku terhenti menatap meja besar di sudut ruangan restoran, dan mataku
terpaku melihat Pak Bambang di kursi ujung. Pak Bambang tersenyum dan melambaikan
tangannya. Aku mengangguk. Aku tersenyum memandang seluruh anggota keluarga
lengkap. Bagaimana bisa Pak Bambang diizinkan untuk keluar dari rumah sakit
malam ini ? pikirku.
Aku duduk di kursi yang telah disediakan, seperti rapat keluarga,
pikirku.
“Tiara, saya dapat kabar dari Widi tentang rencana kepulanganmu besok.
Jadi saya pikir, ada baiknya rencana pertemuan kemarin dipercepat malam ini.
Alhamdulillah semua hadir.” Pak Bambang membuka pembicaraan di antara kekakuan
kami. Semua mata tertuju padaku.
“Maaf Pak, saya tidak memberitahukan sebelumnya, jika nanti
ada yang bisa saya bantu, saya akan kembali.”
“Tidak apa Tiara, jangan sampai ganggu acaramu di Semarang. Kami
sangat menghargai waktumu.” Suaranya terdengar lebih berwibawa, tapi terdengar seperti mengandung arti lain.
“Kita makan dulu ya.” Bu Bambang mengalihkan pembicaraandan beranjak menyiapkan makanan untuk Pak Bambang. Kulihat dari sudut mata Mas Widi memandangaku,
kuangkat wajahku dan memandanganya, mata kami bertemu, tanpa kata dan senyum. Aku
berusaha untuk tersenyum seperti biasa, Mas Widi tersenyum tipis. Aku berdiri mengikuti langkah Bu Bambang,
ringan rasanya meninggalkan tatapan Mas Widi.
Kujejeri langkah Bu Bambang dengan
piring di tangan.
“Bapak kok bisa keluar Bu?” tanyaku.
“Iya, Bapak sengaja ingin makan malam bersama, hampir sebulan ini ga
kumpul.”
“Hmmm, kok ga ada suster ikut ?”
“Sekarang sudah tidak lagi, jaga makanan saja.
Jam berapa besok pulang Tiara?”
“Saya masih cari fligt pagi, Bu.” Bu Bambang mengambil sesendok salad
memberikannya padaku.
“Hmmm, ada yang ingin kami sampaikan nanti, setelah acara ini kelar.”
“Kami ? Kami siapa Bu?” tanyaku. Jantungku berdebar kencang dengan
tiba-tiba.
“Saya, Bapak, Widi dan Angga.”
Badanku terasa dingin dan badanku kaku tiba-tiba.
“Iya Bu.” Jawabku pelan.
“Ayo, ambil makananya, makan yang banyak, gemukin dikit.” Bu Bambang
menggodaku. Aku tertawa kecil, dan memberikan jalan untuk Bu Bambang. Selera makan yang kurang menjadi menghilang
tiba-tiba. Cerita baru akan dimulai ..
pikirku.
“Mbaqu, are you ok?”
Aku mengangkat mukaku, Bayu memandangku dengan seksama.
“Ada apa ?” tanyanya.
“Ga apa-apa Bayu, lagi mikir aja, makan apa malam ini.”
“Bohoooong …. udah cepet pilih makannya, Bapak nunggu.”
“Iya .. iya. Bisa tolong ambilin desert” pintaku. Bayu mengangguk. Aku melangkah ke
meja, dan berpapasan dengan Mas Widi.
“Tiara, setelah ini aku mau bicara.”
Aku mengangguk. Ada apa lagi ? pikirku.
Semua sudah berkumpul di meja menikmati makan malam dengan tanpa
banyak pembicaraan. Agak sedikit mencekam menurutku. Tiga anak perempuan Pak
Bambang terlihat lebih santai dibanding saudara laki-lakinya. Aku menatap ke
arah Angga disebrangku. Wajahnya terlihat kaku, lebih dari biasanya. Tak satu
kali pun aku melihat dia mencuri pandang. Selintas satu praduga datang
dibenakku.
Satu per satu menyelesaikan makan malam masing-masing, dan para gadis
Pak Bambang langsung pamit. Aku membenahi dudukku agar lebih terlihat tenang.
Pak Bambang terlihat sesekali berbisik kepada Ibu.
“Pak bisa kita mulai agar Bapak bisa cepat istirahat ?” Suara Widi memecahkan kekakuan. Mukaku
terangkat, mataku terbentur pada satu pandangan tajam di depanku. Kikuk.
“Iya, Tiara juga perlu istrahat untuk perjalan besok pagi.” Ibu
Bambang menambahkan. Pak Bambang memandangku, aku tersenyum kecil.
“Tiara, tadi Widi sudah bicara tentang dokumen di Niaga, semua sudah cocok dan sudah
dibicarakan dengan Ibu.” Pak Bambang
berkata dengan tegas dan seluruh mata memandangku
“Alhamdulillah Pak, untuk teknis bank, nanti saya kordinasikan
segera.” Jawabku.
“Atas nama keluarga, saya mengucapkan terima kasih atas bantuanmu dalam mengatur dan menjaga semuanya. Walaupun demikian, dalam beberapa hal kami
masih membutuhkanmu, dan kami harap, Tiara masih bisa membantu kami.”
“Bapak, semua saya lakukan karena tugas dan amanah yang saya emban.
Alhamdulillah bisa diselesaikan. Dan
jika ada yang bisa Tiara bantu, insya Allah.“
“Ya, untuk urusan perusahaan nanti akan dipegang oleh Angga, Widi
tidak bisa banyak terlibat karena bisnisnya. Pengalihan saham akan dilakukan
segera, dan rencana pembukaan cabang di Semarang untuk bidang PR akan dilakukan
bulan depan.”
Aku tersentak kaget. Mataku tertuju pada Angga, Angga memandangaku
tanpa ekspresi. Angga akan meninggalkan pekerjaanya, pikirku dalam hati. Aku
paham, mengapa semua perusahaan dilimpahkan kepada Angga, Angga memang lebih kompeten
di bidang, tapi untuk pembukaan kantor di Semarang, aku tidak mengerti.
“Rencana kunjungan lokasi minggu depan, Angga yang akan kesana, Tiara
bisa bantu untuk rekomendasi dan dampingi Angga dalam kunjungan itu? Dan mudah-mudahan, Tiara bisa bantu dalam operasional di sana.”
“Siapa rencana untuk Direktur di sana Pak ?” tanyaku dengan dada
berdebar.
“Angga.” Jawab Pak Bambang tegas.
Semua mata memandangku seakan menunggu komentarku. Aku terdiam sekedtika.
“Mohon maaf Pak, untuk operasional sehari-hari kemungkinan saya tidak bisa, kami sekeluarga akan pindah ke Bali
bulan depan, Bapak ditugaskan di sana. Saya sudah mempersiapkan semuanya
termasuk untuk kantor saya. Untuk mencari tempat dan survey lapangan minggu
depan saya bisa bantu.” Entah ide dari
mana muncul meluncur begitu saja.
“Maksud Tiara, Tiara akan pindah Bali?” Widi angkat bicara.
Aku mengangguk tegas.
Pak Bambang menghela nafas, bu Bambang mengusap tangan Pak
Bambang. Angga memandangku penuh tanya, hanya Bayu yang
terlihat tenang.
“Nanti kami kontak untuk acara minggu depan.” Suara Pak Bambang menurun.
“Mungkin Ibu ada yang mau disampaikan ke Tiara?” lanjutnya.
Duh, ga biasanya Pak Bambang meminda Ibu bicara di forum seperti ini.
Aku memandang Bu Bambang dengan mata penuh harapan. Aku meyakini, bahwa semua
yang hadir telah mengetahui tentang segala sesuatu tentang aku dan Angga, aku paham.
“Kita harus menghargai rencana Tiara yang pasti sudah disusun sejak
lama. Jika Tiara tidak bisa memegang manajemen di sana, kita bisa coba
untuk cari yang lain, siapa tahu Tiara pun bisa merekomendasikan seseorang untuk
itu. Begitu kan Tiara?” Aku menghela nafas atas jawaban Bu Bambang.
Aku tersenyum.
“Tentu Bu, Insya Salah saya akan cari teman-teman yang bisa
mengerjakannya.”
“Tiara, saya selaku putra tertua Bapak dan mewakili keluarga besar,
ada yang ingin kami berikan, ingat ya, bukan berarti masa bakti berakhir haha.”
Widi berdiri dan menghampiriku, menyerahkan satu amplop
coklat cukup tipis rapi.
Aku memandang Pak Bambang dengan pandangan tidak mengerti. Pak Bambang
dan Ibu mengangguk dan tersenyum.
Aku menerima amplop itu dengan berkaca-kaca. Ucapaan terima kasihku
nyaris tak terdengar.
“Mbaqu, besok aku antar ke bandara ya, udah dapat tiket kan?” Bayu
memecahkan keheningan sesaat.
“Belum dapat fixnya, tidak lebih dari jam 10. Boleh, memangnya ga ada
acara ?” tanyaku.
“Special for you, Mbak.” Jawab Bayu sambil tertawa.
“Biar tiga arjuna Bapak yang antar Mbak besok.” suara Angga menyambar
tawa Bayu. Widi mengiyakan.
“Duh senengnya dikawal arjuna-arjuna. “ tawaku mulai terdengar ringan,
namun kemudian terhenti ketika kulihat tatapan kosong Pak Bambang.
“Oke, Bapak harus segera ke kamar, dan Tiara juga harus mempersiapkan
kepulangan besok.” Widi menutup acara.
Pak Bambang mengangguk dan berkata : “kalian duluan, saya mau bicara
dengan Tiara berdua sebentar.”
“Widi tunggu di lobby.” Widi beranjak meninggalkan resto, diikuti oleh
yang lainnya. Aku berdiri menyalami Bu Bambang, memeluk erat dan mengucapkan
terima kasih. Bu Bambang merenggangkan
pelukannya dan menatapku, matanya berkaca-kaca.
“Tiara, saya tahu kamu akan bijak menghadapi semua hal. Luka hatimu,
bukan karena kesalahan, tapi karena tidak tepat waktu. Jawabanmu adalah jawaban
buat Angga. Kami hampir menyerah, dan mencoba menerima semuanya. Tapi kamu
sudah mengambil langkah untuk hidupmu yang akan datang, tanpa mengganggu
tatanan yang sudah ada. Kamu adalah bagian dari kami, saya bangga mengenalmu.”
Bu Bambang mendekapku erat. Aku merasakan tetesan air mata dipipiku
perlahan turun. Jelas sudah arti
pertemuan tadi, dan aku telah menjawab dengan baik seluruh pertanyaan yang belum sempat terlontarkan. Dan itu adalah keputusanku.
Aku kembali duduk. Pak Bambang
menyentuh tanganku dan mentapku.
“Tiara, apakah itu semua sudah menjadi keputusanmu?”
Aku mengangguk.
“Nanti akan saya atur untuk pembatalan pembukaan kantor di Semarang. saya
tahu Tiara tidak pindah ke Bali dan saya yakin Angga pun akan mundur setelah pembicaraan
tadi.”
“Maksud Bapak, apakah pembukaan kantor itu permintaan dari Angga?”
Pak Bambang mengangguk, “dengan maksud untuk memulai hidup denganmu.”
lanjutnya. Aku terhenyak kaget.
“Hal ini sudah kami bicarakan di intern keluarga. Desi menyetujui, dan
kami tidak bisa menolak dengan permintaan Desi, untuk menjadikanmu sebagai yang
kedua. Widi yang paling menentang keputusan Desi, namun dia tidak bisa berbuat
apa-apa.”
“Semua sudah menjadi keputusan saya Pak. Mungkin dalam beberapa waktu
hubungan saya dengan Angga akan sedikit kaku. Pengalihan perusahaan akan membuat saya serba salah dalam
pengurusannya, saya akan usahakan partner saya yang akan bantu. Saya belum
bicara apa-apa kepada Angga.” Jawabanku
terdengar tegas.
“Saya hargai dan berterima kasih pada keputusan Tiara, perkawinan
mereka memang retak, tapi tidak hancur, semoga bisa diperbaiki berjalan dengan
waktu.” Aku terdiam, perasaaan bersalah
melaju cepat dalam benakku.
“Oya, di amplop itu, ada tiga dokumen, satu yang pernah saya sampaikan
dulu, dua yang lainnya dari kami sekeluarga. Sampaikan jika ada yang bisa Saya
bantu. Saya bangga didampingi kamu selama ini.”
Aku berdiri memeluk tubuhnya yang tetap tegap di masa tuanya. Raut
muka dengan guratan bijak yang tidak pernah hilang dan tak akan pernah aku lupa.
Aku menangis, baru pertama kali ini aku menangis di pelukannya, seolah ada
perpisahan di depan mata yang siap aku lalui. Pak Bambang mengusap kepalaku, badanku
terguncang pelan menahan isak.
“Kamu akan mendapatkan yang terbaik., jaga dirimu baik-baik. Saya tahu
seberat apa beban yang kamu terima sekarang, tapi saya yakin kamu bisa
mengatasinya. ”
Kulepaskan pelukan, dan kupegang tangannya, menciumnya.
“Terima kasih Bapak. Semua pelajaran berharga saya terima selama ini,
sangat bermanfaat, satu pelajaran yang tidak pernah saya peroleh di sekolah
jenjang paling tinggi pun.”
Satu pelukan terakhir malam ini aku terima, pelukan seorang ayah
kepada anaknya. “Kembalilah ke kamar, Tiara. Istirahat. Saya berdoa untuk kehidupanmu
penuh berkah.”
Aku mengangguk, ada satu beban
yang hilang, ada satu harapan baru yang muncul.
Pak Bambang meninggalkanku sendiri di meja makan besar. Widi
menjemputnya dan meninggalkan secarik kertas di meja. Kuarahkan pandanganku
padanya, Widi tersenyum. Aku tidak bisa membalas senyumnya, teka teki lagi pikirku.
Menghilang mereka dalam pandanganku. Aku kembali duduk, dan menjangkau
kertas orange di pinggir meja.
“I proud of you, I will be back in 15 min, wait for me.”
Singkat jelas, tapi mampu menjadikanku terpaku di atas kursi ini.
Aku berjalan menuju coffeeshop di sudut hotel. Tempat itu lebih rilex
daripada menghadapi meja besar tadi. Kuambil
ponsel dan ku tulis pesan untuk Widi. Capucino hangat dan sebatang rokok sedikit
mengendurkan syarafku. Sedikit tenang, meskipun didepanku masih ada yang harus
aku hadapi, Widi dan Angga.
Widi berjalan tergesa menghampiriku. Wajahnya lebih tenang dibanding
ketika makan malam tadi. Aku berusaha tersenyum senormal mungkin.
“Sorry, meeting kilat dulu.” Ujarnya seraya tersenyum. Tangannya
menyambar rokok dan menyulutnya dengan cepat. Matanya tak lepas memandangku.
“Are you ok dear ?”
“Not too bad. What’s time you will go home?”
“I’m staying here.”
“Oh ok.”
Kaku. Terlintas dalam pikiranku apa yang akan dibicarakan Widi. Masih
berhubungan dengan pertemuan tadi, terungkit, itu yang harus kuhadapi.
“Tiara, you know how’s my feeling of you, right?”
“Means ?” keningku berkerut.
“You should understand what I mean.”
“Is it about the past?”
“It’s still be in.”
“What?” aku tergagap.
“Tiara, aku tidak mau menambah beban dan mengungkit lukamu., tapi aku
harus mengatakannya. Pertemuan keluarga tiga hari yang lalu membuat aku nyaris pingsan
dihadapan keluarga. Aku tidak menyalahkan Angga yang bisa
membuatmu jatuh hati, dan aku tidak menyalahkanmu mengapa Angga dan bukan aku. Tapi
aku tidak menyangka sejauh itu.”
Aku terdiam. Aku tidak ingin
menjawabnya, dan aku tidak ingin air mata mengalir hanya untuk itu lagi. Widi
meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Tiara, aku tidak perlu jawabanmu. Pertemuan tadi sudah menjawab semuanya.
Seusai malam ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana komunikasi kita nanti,
aku merasa ini adalah terakhir aku bisa berbicara seperti ini.”
“Mas, hidup adalah pilihan. Kita akan tiba pada satu titik untuk
memilih, dan saat ini, terjadi padaku. Aku meyakini atas apa yang telah dan
akan aku pilih dengan resiko apapun. Ketika sampai pada satu pilihan, disitulah
perjalanan dimulai.” Suaraku terdengar pelan tapi tegas.
Widi mengangkat mukanya.
“Ketika Mas datang padaku, tidak ada pilihan selain Mas. Ada perasaan
sayang yang aku rasa, lebih besar dari apa yang aku pikirkan. Rasa nyaman yang
aku dapat ketika Mas ada disampingku, bersamaku, begitu aku rindukan. Tapi ada
hal lain yang aku sendiri tidak pernah mengerti hingga detik ini, aku tidak memilih
Mas, tapi memilih Angga, yang hadir jauh setelah Mas mengungkapkan padaku,
dengan resiko seperti ini.”
“Sampai detik ini, aku sangat menghargai perasaaan Mas, terkadang ada
perasaan berdosa terhadap Angga. Menurutku
itu adalah satu pengkhianatan secara halus. Ketika aku memutuskan pergi dari
kota ini, itu adalah keputusan terbaik. Meninggalkan semua kemungkinan yang
akan lebih beresiko, meskipun tidak dipungkiri, kepergianku menjadi teka teki
bagi semua.” panjang lebar aku berbicara, tak ada sanggahan satu kata pun dari
Widi .
“Dan malam ini, semua sudah aku putuskan, dengan harapan aku bisa
menyampaikan tersendiri kepada Angga dan Angga bisa menerimanya. Permintaan menikah dari Angga, bukan jalan
terbaik bagi semuanya. Aku tidak mau berjalan dengan kerikil yang lama-lama akan
menjadi gumpalan batu besar, dan kemudian kami akan hancur juga.”
Widi mempererat genggamannya. Aku tidak bisa menahan air mata yang
mulai meriak dimataku.
“Tiara, sampai saat ini apa yang aku sampaikan dulu, tidak berubah,
mungkin waktu yang bisa merubahnya dengan segala sesuatu yang terjadi nanti. Jika
itu terjadi, aku yakin bahwa rasa sayangku masih ada, berbeda dari sekarang. Ini
adalah anugerah. Semua perkataanmu membuatku bisa lebih menerima atas
keputusanmu.”
“Maafkan aku Mas, juga kepada seluruh keluarga, terutama kepada Mbak
Desi. Aku janji, suatu hari aku akan datang khusus untuk meminta maaf. Mas
benar, komunikasi keluarga denganku ataupun sebaliknya akan sedikit berubah,
dan itu pun akan berubah pula dengan waktu, menjadi lebih baik.”
“Maafkan aku juga Tiara. Akhirnya aku memahami semua, kita ambil
hikmahnya. Aku percaya Tiara bisa menghadapi dan menjalaninya. Jaga komunikasi
antara kita, kami tidak mau kehilanganmu begitu saja.”
Widi memelukku hangat. Aku masih merasakan kedamaian dalam pelukannya.
Riak air mataku tak terbendung dan membasahi kemeja putihnya.
“Jangan biarkan aku melihatmu menangis lagi Tiara, cukup tangisanmu
sampai disini. Istrihat ya, kabari flight jam berapa besok, tiga arjuna akan
mengantarmu besok.” Senyum getir kulihat dibibirnya. Widi mengecup keningku dan
mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku mengangguk. Kurenggangkan pelukannya, mundur. Aku ingin melihat
senyum cerianya malam ini, namun aku
tidak melihatnya. Aku tersenyum, mundur
dan membalikkan badanku, meninggalkannya.
***
Waktu tepat menunjukan jam 10.45 ketika aku melewati meja resepsionis
yang mulai sepi. Setiap langkahku terdengar halus, ruanganpun tanpa suara musik. Lalu
lalang orang di lobby mulai jarang, sehingga dengan jelas terdengar suara
langkah lain di belakangku. Nyaris tak kuhiraukan
langkah ketika mendekatiku, namun ketika satu tangan meraih
pergelanganku, badanku berbalik dengan cepat, langkahku terhenti, pegangannya
terlepas.
“Mbak, aku perlu bicara.”
Suasana sepi menyebabkan suara itu terkesan nyaring.
“Bisa kita bicara besok pagi ?”
“Bicara diantara kakak dan adikku ?” tanyanya.
Aku berjalan meninggalkannya . Langkahnya kembali menjejeriku.
“Aku perlu bicara malam ini.”
Tangan kokoh itu menahan tombol lift didepanku.
“Tolong beri aku waktu.”
Aku tidak berani menatapnya. Tangan kiriku yang bebas, mencoba memijit
tombol lift dengan cepat.
“Ok, kita bicara.”
Box lift itu terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya, terasa
lebih lambat. Tak ada kata diantara kami, berdiri menjaga jarak, diam, suara nafas kecil pun seakan takut terdengar.
Pintu kamar kubuka perlahan, takut menimbulkan suara. Langkah kami di
atas lantai beralas karpet coklat, membuat suasana semakin senyap. Kusimpan
amplop coklat di atas tumpukan file di meja kerja. Angga berdiri
memperhatikanku. Aku membalikkan badan, dan duduk di kursi meja rias. Kemana
tawa dan canda beberapa jam yang lalu disini ?
Angga menghampiriku dan duduk di ujung tempat tidur, tepat
dihadapanku.
“Jadi itu keputusannya ? Pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya ?
Melupakan semua yang telah terjadi diantara kita ? Begitu saja ?” tanyanya
beruntun.
“Ya, itu keputusanku, tidak untuk meninggalkanmu, dan tidak akan
pernah melupakan apa yang telah terjadi di antara kita. Itu untuk Mas dan
keluarga.”
“Masih kurang perjuanganku agar kita dapat diterima oleh seluruh
keluarga besar ?”
“Kurang ? Mas tidak pernah membicarakan hal ini kepadaku sebelumnya. Rapat
keluarga beberapa hari yang lalu telah memutuskan menerimaku sebagai istri Mas
dengan tanpa membicarakannya denganku.”
“Rapat itu membuka semua tentang kita. Menjadikan Desi sebagai perempuan
yang tersakiti secara nyata dihadapan keluarga. Kenapa Mas ga bicara ?
Bagaimana jika tadi aku bilang, aku menerima pekerjaan itu tanpa aku tahu
skenario apa yang sedang Mas susun ?”
“Dari kemarin aku ingin membicarakannya, juga sampai tadi siang.”
“Bahasamu Mas, klise dan aku sudah terbiasa, sehingga tidak asing
ditelingaku.”
“Mbak, aku begitu yakin Mbak bersedia menikah denganku, menjadi
milikku selamanya.”
“Yakin ? Kalau saja bapak tidak berbicara tentang Desi, apakah Mas
akan bicara denganku tentang ini ? Kalau
saja bapak tidak sakit apakah Mas akan tetap menikahiku dengan keberanian seperti ini?”
“Mbak, please tolong mengerti kondisiku, semua ada waktunya. Mbak
salah pengertian.”
Emosiku meninggi.
“Bayangkan, Mas mengatur semua urusan di Semarang dengan tujuan untuk
memulai hidup denganku di sana, dan itu keluar dari mulut bapak ? Oh no Mas,
bapak bukan kurir penyampai berita. Mana keberanianmu ?”
Angga terdiam. Emosiku membuatku menangis, merasa tidak dihargai.
Angga menghampiriku, tangan kokohnya memelukku erat. Kehangatan
menjalar di tubuhku di antara isak tangis. Tak bisa dipungkiri, aku menemukan
kedamaian dalam pelukannya. Jemarinya mengusap-usap rambutku dan kecupan di
keningku mampu menggetarkan seluruh persendianku. Aku begitu mencintainya.
“Mbak, dari sejak pertama kali kita bersama, aku sudah bilang, Mbak
akan jadi miliku selamanya. Aku akan ada setiap Mbak memerlukanku. Aku tidak
akan pernah meninggalkan Mbak sampai kapanpun. Aku akan selalu menyayangi Mbak.
Ingat ? Dan sampai saat ini pun, semua masih aku jaga. Ingat waktu pertama kali
aku melamar Mbak ketika kita baru bersama 6 bulan ? Ingat lamaran keduaku sebelum
Mbak pindah ke Semarang?”
Bibirnya mencium keningku dengan lembut.
“Ini lamaranku yang ketiga kalinya. Aku ingin mbak menjawab untuk
terakhir kalinya.”
Hatiku terasa tersayat. Dilema muncul pada saat yang tepat. Di satu
sisi, aku sudah mempunyai jawaban, di sisi lain aku mencintainya. Tanganku
memeluknya perlahan. Meraba punggung hangatnya. Aku merindukan suasana seperti
ini. Air mataku menitik di antara
kemejanya, hangat. Jemarinya menarik
dagu ku, menyentuhnya dengan bibirnya, mengecup mataku, bibirku dengan penuh
perasaan. Tanganku meremas lembut
kemejanya,
“Aku sayang Mbak,.” Bisikan itu menyerangku secara bertubi-tubi, melupakan
kejadian di meja makan, pertemuan dengan Widi, semua lenyap. Naluriku mulai
bermain, tak bisa dihindari. Setiap gerak memberi arti, sentuhan demi sentuhan memberikan
gairah yang lebih, perasaan takut kehilangan seakan membuat kami semakin erat.
Ini akan menjadi malam terakhirku bersamanya.
Kubiarkan kami terhanyut, menjalani detik demi detik penuh arti, dan aku sangat
meyakininya bahwa malam ini lebih berarti dari sebelumnya. Ini adalah malam
terakhirku dengannya.
***
Jakarta Oktober 2013
Dear Mas Angga
Maaf aku pergi sebelum Mas bangun.
Aku telah memutuskan untuk pergi dari
kehidupan pribadi Mas.
Bukan karena aku tidak mencintai Mas, bukan aku
tidak menginginkan menjadi milik Mas dan menjadi istri Mas selamanya. Tatanan
yang Mas bina bersama Mbak Desi, sudah tertoreh oleh hubungan kita, membagi
rasa dan perhatian Mas untukku. Aku tidak mau semua menjadi hancur dan kita
hidup dalam ketidaknyamanan, dengan bayang-bayang kesalahan kita.
Apa yang terjadi di antara kita, tidak akan
pernah hilang dalam ingatan kita dan menjadi menjadi bagian dari perjalanan
hidup kita. Yang aku harapkan adalah, silaturahmi dengan Mas dan keluarga besar
tetap bisa terjalin seperti dulu, namun dengan kondisi sekarang, kita butuh
waktu untuk menyesuaikan kembali.
Aku pamit Mas, jangan menghubungiku dulu.
Biarkan aku sendiri.
Yours
Tiara Dewi
Bersambung ..
0 comments:
Post a Comment