Pembicaraanku dengan Angga tak cukup waktu untuk kami saling memberikan
satu keputusan, meskipun Angga cukup memaksa dengan segala alasan demi satu
tujuan. Tidak segampang itu, semakin hari semakin perlu pertimbangan. Waktuku
yang cukup pendek untuk mengerjakan tugas Pak Bambang mengharuskan untuk fokus
menyelesaikannya.
Jam menunjukkan 10.45 ketika aku tiba di Graha Niaga Kawasan Sudirman.
Widi telah menunggu di Pepenoro, tempat yang kami janjikan. Mungkin Widi tidak
mengetahui bahwa segala sesuatu tentang keluarganya ada di sini. Mungkin hanya
aku dan Pak Bambang yang tahu. Suasana sekeliling mulai ramai jelang makan
siang, Widi tersenyum cerah menyambutku.
“Sempat sarapan tadi ?” tanyanya. Aku mengangguk. Widi memandangku
heran. “Kok lesu sekali, Tiara, ada apa ?”
“Ga apa-apa mas, agak sedikit penat saja.”
Kupesan segelas orange juice mengisi waktu menunggu staf CIMB menjemput kami. Aku memandang Widi,
kulihat dengan jelas matanya penuh dengan tanya.
“Mas kok jadi bengong.”
“Sepertinya ada yang sedang Tiara pikirkan.” Aku tersenyum kecil. Banyak
Mas… kataku dalam hati.
“No… I’m ok. Oya ini ada beberapa list yang sudah aku buat semalam
tentang pembicaraanku dengan Bapak. Sebagai anak tertua, aku pikir Mas bisa
handle semuanya. Ibu sudah minta aku untuk bicara dengan Mas.” Kuserahkan satu
lembar nota putih tertulis rapi, Widi membacanya dengan seksama.
“Namun sementara, ada yang masih Bapak simpan sendiri belum diserahkan
kepada Mas, mungkin nanti Bapak akan bicara sendiri.”
“Setelah Mas pelajari, nanti
tolong buka safe box untuk diketahui oleh Ibu dan adik-adik semua, hari ini
kita serah terima ke keluarga. Dokumen-dokumen itu ada sejak aku dampingi
Bapak, dan Bapak memintaku untuk menyimpannya.” Lanjutku. Widi
menangguk-angguk, sedikit bingung.
Kuteguk minumanku, mengharapkan ada kesegaran yang datang
menghampiriku. Entahlah, hari ini begitu gelisah, salah tingkah, dan aku takut
salah langkah.
“Bu Tiara.” Seseorang memanggil di belakangku.
“Hai Mbak Suci, apa kabar? Widi, ini Mbak Suci, private banking
officer CIMB, Widi ini anak tertua dari Pak Bambang.” Aku memperkenalkan
keduanya, serta mempersilahkan Mbak Sudi untuk duduk.
“Maaf agak terlambat, ada rapat mendadak barusan.”
“Tidak apa-apa Mbak, kami tidak ada acara lain.”
“Kita langsung aja Bu?” Tanya Suci.
“Ayo.” Widi mengikuti langkahku ke Graha Niaga dan menggandengku.
“Mulai deh…” elakku.
“Jangan-jangan Tiara udah punya pacar ya.” Langkahku seolah tertahan,
dan pandanganku menatap mata Widi.
“Memangnya kenapa Mas ?” tanyaku was-was.
“Susah banget mau digandeng .”
Aku tertawa, lega rasanya.
“Ga enak aja Mas, ntar ada yang kenal jadi bahan omongan.”
“Lah kan mereka tahu kita kakak adik.” Matanya mendelik ke arahku.
Aku tertawa kecil.
Lorong bawah arah ruangan safety box sunyi, langkah-langkah kami
terdengar dengan jelas. Widi tak banyak bicara lagi. Suci menerangkan form-form
yang akan diisi untuk pengambilan dokumen nanti, dan meninggalkan kami. Widi
mengikutiku dari belakang mencoba mencari nomor-nomor box yang tertera
ditangannya.
Aku berhenti di depan box abu-abu tua sebelah utara. Badanku berputar,
dan memberi jalan Widi untuk membuka kuncinya. Kuserahkan satu kertas kecil dan
memintanya menekan kode box.
“Buka dulu kuncinya, baru tekan.”
Widi memasukan anak kunci dan memutarnya pelan, matanya meliriku. Aku
mengangguk, dan melangkah mundur. Kondisi ini pernah aku bayangkan sebelumnya,
dan aku begitu yakin bahwa aku akan mengalaminya. Menyerahkan semua yang pernah
aku pegang, kepada yang lebih berhak. Sangat melegakkan hati. Amanah yang
bertahun-tahun aku emban, bisa aku pegang dan aku serahkan pada waktunya.
Pintu box terbuka dengan derit pelan. Widi seperti ragu untuk
membukanya. Sekali lagi dia menoleh ke arahku. Aku diam.
“Benarkah aku yang harus membukanya ?” tanyanya pelan. Aku mengangguk.
Entah apa yang ada dalam pikirannya… Setumpuk dokumen terpampang di hadapan Widi,
diambilnya map coklat paling atas, dan dibukanya. Widi menghela nafas berat.
“Mas ambil dulu seluruh dokumen, nanti aku jelaskan satu-satu. Brankas
paling atas, kita selesaikan setelah ini.” Widi menarik setumpuk dokumen
setinggi 30 cm dengan cepat dan mengikuti ke sofa terdekat. Aku menghela nafas,
berpikir, dari mana aku mulai bicara ?
“Oke Mas, kita mulai dari yang pertama. Berkas itu berisi tentang kewajiban-kewajiban
Bapak secara pribadi yang harus diselesaikan. Nilai total ada di paling bawah, tidak ada jatuh tempo,
tapi bapak minta diselesaikan dalam waktu dekat.”
Widi mengerutkan keningnya.
“Kewajiban itu timbul ketika Bapak memulai usaha di Surabaya, ada
beberapa yang ikut, tapi tidak turut dalam saham. Mereka secara sukarela
menyerahkannya kepada Bapak, tanpa ada embel-embel pengembalian. Namun Bapak
memintaku untuk mencatat setiap waktu, berapa yang bisa dibagi dari setiap
keuntungan perusahaan, agar suatu hari bisa diserahkan kepada mereka dan
keluarganya.”
“Map selanjutnya adalah kewajiban perusahaan yang telah jatuh tempo,
termasuk pembayaran deviden tahun ini. Ada beberapa kewajiban yang masih
disusun, tapi tidak terlalu besar, dan masih bisa diselesaikan di kantor.”
“Map keempat itu total data bank Bapak pribadi, berikut surat-surat
berharga, deposito dan lain-lain. Pengaturannya sudah ada di kertas yang aku
kasih tadi.”
“Yang keempat surat Bapak buat Ibu dan anak-anak tentang adanya surat
wasiat jika Bapak tiada.” Suaraku serak ketika mengucapkan kata terakhir.
“Berikutnya adalah setumpuk sertifikat dan surat tanah lainnya. List
ada di kertas tadi juga.”
“Semuanya ada ketika aku mulai bersama Bapak, dan Bapak meminta aku
mencatat dan menyimpannya, tolong cocokkan dulu.” Kuambil pulpen dan
menyerahkan ke Widi. Widi memandangku dengan air mata berlinang.
“Selama ini Tiara simpan hanya untuk kami ?” bisik Widi pelan.
Aku terdiam.
Widi memeriksa satu persatu dokumen dengan cermat. Kami saling diam.
Tumpukan berkas itu menghabiskan waktu satu jam untuk mencocokannya dengan data
yang aku berikan. Udara dingin di basement ber AC ini membuatku sedikit merasa
tercekam. Widi termenung dan menghela nafas dan menatapku dengan tajam.
Aku tergagap dibuatnya.
“Ada apa Mas?”
“Aku ga nyangka Bapak bisa menyimpan semua ini, dan Tiara simpan
selama ini. Biasanya Bapak tidak pernah serapi ini. Karena kamu Tiara, terima
kasih.” Aku tersenyum.
“Itu tugas Tiara Mas.”
“Iya aku ngerti, sekarang aku mengerti juga mengapa Bapak sayang sama
Tiara.”
“Maksudnya Mas?”
“Bapak begitu percaya Tiara, pernah dulu kami membicarakan hal ini di
keluarga dan Bapak begitu yakin untuk mempercayakan segala sesuatunya kepada
Tiara.”
Aku tercekat.
“Belasan tahun Tiara bersama kami, sampai akhirnya Tiara memutuskan
untuk pindah, dan Bapak tidak menyerahkannya kepada yang lain, dan kamu Tiara,
selalu siap datang di saat kami perlukan, meskipun harus meninggalkan kewajiban
di sana.”
“Aku sayang seluruh keluarga Bapak, Mas. Sebagai pengganti Bapak dan
Ibu di Semarang selama aku di Jakarta.”
“Kami sayang kamu, Tiara.” Widi mengusap rambutku halus. Suasana
henimg. Aku tak suka.
“Sudah cocok semua Mas ? Kita lanjut ke yang lain.” Widi mengangguk.
“Saya sudah buatkan tanda terimanya. Kita tanda tangan di sini, nanti
dengan keluarga, ada satu tanda terima lagi. Pesan Bapak, pada saat
ditandaterimakan kepada keluarga, berkas ini semua dibawa, dan untuk
mengembalikannya tinggal Mas yang kesini.” Tanganku menyerahkan lembaran kertas yang dari
tadi aku pegang. Widi kembali mencocokan data dan menandatanganinya.
“Kita lanjut Mas, Mas tinggal tekan angka tadi juga.” Aku berdiri
mendahului Widi, dan berjalan ke box yang masih terbuka lebar. Widi menatapku dan berkata : “Isinya apa?”
“Bukalah.” Jawabku pendek.
Widi menekan 8 angkat itu dengan cermat, derit kecil terdengar ketika
box dalam terbuka. Matanya terbelak dan kembali menatapku. Aku mengangguk
seraya tersenyum kecil.
“Perlu aku hitung?” tanyanya.
“Wajib, karena itu jumlah tertentu dan harus ditandatangani.”
“Gimana menghitungnya ?” ujar Widi seraya tertawa.
“Pelan-pelan aja, kita masih banyak waktu.”
Widi menarik sebagian isi box dan berjalan kembali ke sofa. Aku
membiarkannya berhitung dan duduk dihadapannya. Aku senang melihat dia mengerutkan kening
seolah jenuh dengan tumpukan itu. Widi kembali menuju box dan membawa sisa
isinya dan menghitungnya.
Perlu waktu lebih dari 1 jam untuk menghitung dengan teliti. Akhirnya
kelar juga.
“Yang ini ga perlu di bawa Mas, berkas-berkas aja yang kita bawa.
Total sudah diketahui dan cocok. Tanda tangan dulu tanda terimanya.”
Widi menurut tanpa berkata apa-apa. Aku segera membereskan setumpuk
berkas dan memasukkannya ke dalam tas yang sudah aku sediakan. Widi mengembalikan semua isi box terakhir dan
menguncinya. Selesai salah satu tugasku, tinggal mengatur pertemuan dengan
seluruh keluarga. Membayangkan kehadiran seluruh keluarga inti nanti, membuatku
sedikit ketidaknyamanan.
Kami naik ke lantai satu, Suci
masih menunggu dengan setia.
“Sudah kelar Bu ?” tanyanya dengan tersenyum manis.
“Sudah Mbak. Oya, selanjutnya nanti Widi yang atur semuanya Mbak,
sekalian tolong dibuatkan pembatalan kuasa dan pembuatan kuasa baru untuk serah
terima kunci dari Saya. Mas nanti siapkan KTPnya, dan Mbak Suci perlu nomor
telepon Mas.”
Widi mengambil KTP dan kartu nama dan menyerahkannya KTP kepada Suci.
Suci dengan cekatan mempersiapkan dokumen yang diperlukan, dan menyerahkannya
untuk kami tandatangan.
“Tanda tangan Bapak, nanti saya susulkan Mbak, berkasnya saya bawa
dulu.” Suci mengangguk, dan kami beranjak dari ruangan private banking dan
berpamitan.
Langkah kami gontai menyusuri lorong menuju lobby gedung. Tak banyak
yang kami bicarakan, masing-masing asyik dengan pikiran, entah apa.
“Dari sini Tiara mau kemana ?”
“Bapak sudah minta semua kumpul di Novotel, jadi kita langsung ke
sana.”
“Maksudnya semua adik-adik dan Ibu ?”
Aku menangguk.
“Kita makan dulu ?”
“Ga usah Mas, nanti aja. Aku ingin semua kelar dulu.”
Mobil yang dikemudikan Ipung telah datang tepat didepanku. Aku
mendahului Widi, dan duduk tepat di belakang Ipung. Kulihat Ipung menatapku dari
kaca spion, tatapannya mengandung beribu tanya. Aku tersenyum.
“Kita ke Novotel Pung,” Ujar Widi. Ipung mengangguk dan menjalankan
mobil perlahan.
“Gimana kerjaan di sana Tiara? Betahkah ?”
“Merangkak Mas, kota kecil tidak terlalu banyak inovasi yang
diperlukan. Ini adalah tantangan.”
“Aku percaya kamu bisa. Kamu masih juga bisa mengerjakan di luar area
sana kan ?”
“Iya Mas, aku lagi mengajukan beberapa kerjaan di Jakarta, respon
sudah bagus tinggal follow up.”
“Bakalan balik Jakarta dong…”
Aku tertawa, mencoba mengelak dengan pendapatnya.
“See, kita coba dengan dua tempat Mas. Belum ada pikiran untuk kembali
secara total ke sini. Jangan coba-coba mempengaruhiku.”
“Habitatmu ada disini, dan kamu akan kembali ke sini.”
Aku terdiam.
“Ibu sudah siapkan ruangan di business center Mas, mungkin Mas Angga
yang nanti agak terlambat. Ibu mengundang semuanya jam 3.” Ipung berkata seraya
melihat spion dan menatapku. Aku membalas dan berujar, “kita bisa sempatkan
makan siang dulu di sana Mas, baru kita ke ruangan jam 3 an.”
“Ibu udah disana Pung?” tanyaku.’
“Ibu masih di RS tadi, ada Mbak Desi dan Mbak Citra juga.”
“Ok .. aku bisa mampir ke kamar bentar nanti, Mas mau langsung ke
Novotel atau ke RS dulu?’ tanyaku ke Widi, jujur berharap dia ke RS dulu.
“Kita makan sama-sama, nanti aku ke RS setelah selesai.”
“Tiara, kita atur besok kita ketemu menjelang sore. Acaramu apa
besok?”
“Aku ke kantor pagi, ketemu Pak Suheli dan membereskan kerjaan di
sana. Jam berapa kira-kira?”
“Aku atur jam 4 an ya, sekitar SCBD.”
“Ok, aku sesuaikan Mas.”
Pembicaraan itu terhenti sampai di Lobby Novotel. Menikmati pikiran
masing-masing. Aku mengatur agendaku di sini, dan secepatnya kembali ke
Semarang. Masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Angga, menyelesaikan
pembicaraan yang tertunda.
“Tiara, mau langsung makan siang ?”
“Yuks… terlalu telat makan.” Ajakku. Waktu menuunjukkan jam 14.10,
masih sempat makan siang tapi tidak bisa mampir ke kamar. Badanku rasanya penat
dan tak bergairah. Widi mengiringiku menuju meja tengah di resto hotel, suasana
sepi. Kubuka menu dan memperhatikan
baris demi baris. Sungguh tak berselera. Kututup menu dan menyerahkan ke Widi.
“Tiara pesan apa ?”
“Aku minta spaghety aja, polos, minumnya jeruk panas.”
Jariku memainkan ujung meja di kananku. Pikiranku benar-benar kalut,
seperti ada sesuatu yang lepas. Entahlah, sepertinya aku ingin melalui waktu
seperti ini dengan cepat, secepat aku bisa pergi dari lingkungan ini.
“Ga berarti selesai tugas Tiara” Suara Widi mengagetkanku. Aku sedikit, tergagap, “kenapa Mas?”
“Dengan menyerahkan semuanya, tidak berarti tugas Tiara kelar.” Aku
tersenyum kecut, mendumel dalam hati, kok bisa tahu ?
“ Gal ah Mas, kok bisa punya pikiran seperti itu?”
“Aku ngerti apa yang kamu pikirkan, jangan berpikiran terlalu jauh.
Semuanya tidak akan pernah berakhir, sampai suatu hari nanti”
Aku tertawa. “Kalimatnya oke banget Mas. Tiba-tiba jadi melankonis
begini.”
Widi tidak menyahutku, tangannya sibuk membereskan makanan didepannya.
Selera makanku hilang, sesekali menghitung waktu, seolah melambat.
“Hai Angga, sini sekalian makan.”
Kepalaku sontak terangkat mendengarnya. Jantungku berdegub lebih
kencang. Angga menghampiriku dan duduk
disebelahku. Ooo My God!!!
“Sekalian makan Mas?” Angga menggeleng cepat, dan menyeruput minumanku. “Eh itu punyaku…”
Angga tertawa, “nyicip dikit.”
Huh, aku merengut, bukan marah, tapi aku tambah susah makan.
“Ibu udah di business center, tadi aku mampir kesana.”
“Lho bukannya jam 3? Tanya Widi .
“Iya, tapi kayaknya ibu lagi diskusi ama Mbak Citra.”
“Citra dah sampai sini?” Widi mengerutkan dahinya. “Kayaknya aku mesti duluan, Tiara lanjut dulu
makannya yang rapi, tepat jam 3 baru
kesana.” Aku mengangguk cepat, Widi
meninggalkan kami dengan tergesa.
“Ada apa sih jam 3 nanti ?” Angga memandangku dengan menyelidik.
“Ada pesan dari Bapak suruh kumpul anak-anak.”
“Intinya ? Kok agak aneh ? Tiara ikut kan ?”
“Emang aku anak Bapak Mas ?” jawabku seraya menepuk bahunya.
“Anak emas.”
Kami tertawa, tapi hanya sesaat, terhenti karena sentuhan halus Angga
di rambutku. Risi rasanya.
“Aku anterin pulang ya ke Semarang .”
“Ngusir ni, aku belum ada rencana pulang.” Mataku mendelik kesal.
“Ow bagus itu, lebih lama lebih bagus, tapi jangan disini.”
“Kemahalan ya ..” ledekku.
“Bukan, aku ga bisa gerak.”
Haduuuuuuh, aku benar-benar dibuat kesal.
“Masih ada 15 menit, aku mampir kamar dulu, nanti ketemu di BC ya.” ujarku seraya berdiri. Angga menahan tanganku dan berbisik .. “Aku
ikut.” Kutepis pelan dan berjalan menuju
lift. Aku tahu Angga menjejeri langkahku, aku tahu kalau itu yang aku inginkan,
aku tahu Angga berusaha untuk menggandengku, dan aku tahu ada suara perempuan
memanggil Angga setengah berteriak ….
Desi …..