Langkahku benar-benar gontai memasuki lobby RS Bintaro, gamang. Udara
dinginnya AC mulai menyelimuti ketika
aku melewati lobby, sedikit segar. Jujur, pikiranku kalut, hampir tak focus. Beberapa
suara terdengar memanggilku, kepalaku menoleh kiri kanan mencari sumber suara.
Kucari ruang ICU yang pasti berkumpul di sana. Benar, suara-suara itu datang
dari arah ruang ICU. Jantungku berdegup kencang, hampir semua keluarga inti dan
beberapa rekan senior berkumpul disana. Aku mencoba tersenyum dengan sambutan
dan menjawab singkat beberapa pertanyaan-pertanyaan.
“Bayu, Ibu mana ?” Bayu melepaskan pelukannya. Matanya sembab, tanpa
cahaya.
“Ibu di dalam Mbak, Bapak baru sadar.”
“Alhamdulillah.”
Mataku mencari-cari sosok Mbak Desi. Perasaan berdosaku seakan
menggunung. Tak kulihat di sana… Ingin
aku bertanya, tapi rasanya aneh, karena selama ini hubunganku dengan Mbak Desi
tidak begitu dekat seperti dengan yang lain. Satu tangan terulur dibahuku, ini
gaya yang khas dan sangat aku kenali.
“Hai Mas, apa kabar, makasih udah kirim Ipung jemput.” Angga tersenyum
dan mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya pelan.
“Sama-sama Mbak.” Angga menatapku lekat. Aku menunduk dan berjalan ke
arah ruangan, Angga menjajariku dengan cepat.
“Mbak sakit?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Agak sedikit cape aja Mas. Baru datang?” balikku bertanya.
“Iya baru kelar, langsung ke sini.” Angga membuka pintu ruangan pelan,
dan mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu.
Aku melihat Bu Bambang berdiri di tepi tempat tidur, aku menghampir
dan memeluknya dengan hangat. Bu Bambang mencium pipiku, dan menatapku.
“Kamu pucat Tiara, sakit?”
“Tidak Bu, Tiara baik-baik saja.”
Pak Bambang memanggilku pelan, aku segera menghampirnya. Kucium tangan
dan keningnya. Mataku berkaca-kaca dan tersenyum.
“Terima kasih sudah datang Tiara ...” suara itu benar-benar membuatku
menangis.
“Iya Bapak, Tiara datang buat Bapak dan keluarga. Bapak akan
baik-baik.” tangan tua itu mengelus jemariku.
“Saya minta waktumu seminggu disini, ada beberapa yang harus
diselesaikan.” Aku mengangguk dan tersenyum.
“Bapak istirahat dulu ya … biar cepat pindah ke ruangan.” Pak Bambang
tersenyum. Aku dan Bu Bambang meninggalkan ruangan, Angga masih berdiri di
samping tempat tidur.
“Analisa dokter apa, Bu?”
“Belum terdeteksi, namun diperkirakan dari ginjalnya. Tiara nginap
dimana ?”
“Belum tahu, mungkin dekat-dekat sini.”
“Iya, nanti biar Widi atau Bayu yang atur, besok tolong ke kantor,
ketemu Pak Suheli di sana.”
“Baik Bu.”
Aku segera bergabung dengan keluarga yang berkumpul di ruang tunggu.
Sebenarnya aku senang berkumpul seperti ini, tapi tidak di sini dan tidak dalam
kondisi ini. Suasana hangat masih
terasa, namun mata-mata duka masih terlihat dengan jelas. Widi memberi kode
untuk segera menghampirnya. Aku berjalan cepat dengan senyum yang aku harapkan
bisa benar-benar tersenyum.
“Tadi aku ke administrasi, bingung aku ditanya mau pake asuransi apa,
tolong dibantu nanti, sekalian Pak Suheli minta Tiara ke kantor besok.”
“Siap Mas, nanti aku kordinasi dengan admin. Pak Suheli tentang apa ya
Mas kira-kira.”
“Bapak minta urus peralihan perusahaan. Sebenarnya dari dua minggu
yang lalu harus sudah diurus, tapi kelihatannya ada beberapa yang perlu
dipertimbangkan.”
Kepalaku mengangguk-angguk kecil. Iya, Pak Bambang sempat bicara
tentang ini, ada beberapa hal prinsip yang memang harus dibicarakan dengan
pemilik saham lainnya, dan memang hanya aku yang tahu untuk mengatasinya.
“Aku siapin hotelnya Tiara dekat-dekat sini, mau berapa lama atur
aja.”
Aku menangguk. Bunyi message di handphone berdering kecil. Aku segera
membuka pesan, “Aku sudah book Novotel. Ketemu aku di kantin, sekarang.”
Kusimpan handphone di saku mantelku.
“Aku udah pesan di Novotel.”
“Ok, billnya kirim ke kantor nanti.”
“Aku izin ke kantin dulu Mas, belum makan siang ni.”
“O iyaaaa, sorry sorry perlu aku temenin?” tanyanya. Aku menggeleng
cepat, “ga enak Mas, Mas diperlukan disini. Aku bentar kok.’’ Widi
membiarkanku pergi.
Kantin di sebelah gedung utama terasa nyaman. Mataku mencari-cari
sosok Angga di antara kursi-kursi yang tersedia di sana. Hmmm … ada Reno,
sahabatnya Angga. Reno tersenyum ke arahku dan melambaikan tangannya. Disampingnya,
Angga memandangku lekat-lekat.
“Mbakyuku makin imut aja, apa kabar ?” tangannya terulur menjabat
tanganku, kucium pipi kiri dan kanannya dengan hangat.
“Baik sayang, gimana kabarnya juga?”
“Not too bad, I miss you.” Aku tergelak dengan gayanya. Angga
tersenyum. Aku duduk di sebelah Angga, rasanya semua biasa saja. Aku mencoba
menempatkan diri sesuai dengan porsi awalku.
“Mbak mau pesan apa, belum makan siang kan?” ujar Reno seraya menyerahkan daftar menu
kearahku.
“Ya, belum sempat makan. Jangan yang terlalu berat, udah tanggung
jamnya, plus orange juice.”
Angga membolak balik buku menu dihadapannya.
“Sekalian pilihkan buat aku Mbak.”
Aku menoleh ke arah Angga.
Kutuliskan beberapa makanan di kertas order dan menyerahkannya pada waitress di sebelahku. Reno tertawa, “Ga
perlu nanya lagi ya Mbak, Angga suka makanan apa.” Mukaka terasa panas. Jujur
sekarang menjadi lebih sensitive.
“Udah hapal dari dulu-dulu Ren, kalau pun ga suka pasti dimakan juga.”
elakku seraya tertawa menyembunyikan salah tingkahku yang begitu menyergap. Angga
tersenyum kecil.
Obrolan berjalan lancar, suasana nyaris mencair seperti biasanya,
sebelum Desi datang menghampiri kami. Aku tersenyum menyambutnya dan memeluknya
erat.
“Kapan datang Mbak?” tanya Desi. Raut mukanya biasa, datar.
“Baru aja datang, langsung ke sini. Ayo Mbak duduk sini” kataku seraya
pindah ke sebelah Reno.
“Tidak Mbak, lanjut aja, aku mau bicara dengan Mas Angga sebentar.” Angga
beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke meja lain. Aku tidak mau
memperhatikan mereka, dan sekarang aku tidak bisa bersikap biasa.
“Piye toh Mbakyu adikmu itu.” Reno berbisik.
“Kenapa Ren.”
“Ga denger ceritanya?” tanyanya seraya mendelik. Aku menggeleng cepat.
“Hmmm …. Berarti sejak pindah lewat ya ceritanya.”
“Apa sih Reno, jangan berteka teki deh.”
“Angga ketahuan punya pacar lagi.”
Aku terdiam.
“Cobalah bicara dengan Angga, Mbakyu. Siapa tahu bisa terbuka.”
“Angga orangnya ga begitu banyak bicara Ren, gimana Mbak bisa bicara
tiba-tiba ama Angga tentang itu.”
“Baru aja Angga bilang, kalau dia mau coba diskusi dengan Mbakyu.”
Aku menghentikan kunyahanku. Untunglah kali ini aku tidak tersedak.
“Angga itu benar-benar mengidolakan Mbakyu, dari dulu. Angga suka
cerita tentang Mbakyu.” Aku tersenyum.
“Cerita apa.”
“As a wonder woman.”
Aku tertawa.
“Kamu tahu siapa pacarnya?”
Reno mengangguk.
“Married?”
“Aku ga tahu kalau itu. Itu tugas Mbakyu untuk cari tahu.”
Aku tersedak keras mendengar perkataan Reno, tanganku segera meraih
orange juice di depanku dan meminumnya perlahan. Mukaku benar-benar panas.
“Aduh Mbakyu maaf…..!!
Angga dan Desi menghampiri meja kami, dan Desi segera pamit untuk ke
ruang ICU. Aku mengangguk. Angga kembali duduk di sebelahku. Matanya menatapku
lekat, benar-benar lekat.
“Ada apa Mas?” tanyaku.
“Aku perlu bicara dengan Mbak sebentar.”
“Iya disini aja, ada Reno ga apa-apa kan?” aku berpaling ke arah Reno.
Reno segera berdiri dan berkata : “Aku harus ketemu Bayu dulu, nanti
aku kesini lagi.” Aku menatapnya dengan heran. Reno bergegas meninggalkan kami.
Angga duduk tepat di depanku. Hening, dingin, tanpa kata. Aku seolah
paham dengan apa yang akan dibicarakan, perlahan aku mencoba mencairkan suasana,
bersikap santai menghalau semua kegundahan yang ada, membohongi diri.
“Ada apa ?” tanyaku berdebar. Jujur aku takut mendengar apa yang akan
dikatakanya.
“Nanti malam, aku di sini. Sepulang kantor aku mampir ke hotel, jangan
pulang terlalu malam.”
Aku diam, sebenarnya bukan ini yang ingin aku dengar.
“Siapa lagi yang nemani ?”
“Belum tahu.”
“Ada yang serius?” tanyaku.
“Nanti aku cerita.”
“Tentang?”
“Banyak.”
Aku tidak suka dengan ucapan-ucapan Angga yang pendek.
“Tentang kita?” tebakku. Angga mengangkat mukanya, raut mukanya
berubah.
“Salah satunya.”
Aku menghela nafas, aku mencoba menyembunyikan seribu pertanyaan
untuknya dan berusaha menahan diri untuk tidak bertanya.
“Jadi itu saja yang mau Mas bilang ama aku sekarang?” Angga
menggeleng.
“Aku kangen.”
Oh My God… disela kegundahan dan kondisi seperti ini ingin aku ucapkan
lebih dari itu. Ada rasa yang berbeda ketika aku dengar itu, ada yang lebih
menyesak.
“Mbak ga kangen? Empat bulan kita ga ketemu.”
Aku tersenyum getir. “Aku kangen Mas.”
Basa basikah itu, pikirku. Tidak, aku merasakannya.
“Aku balik kantor dulu, lepas itu aku langsung ke hotel.”
“Ada Mbak Desi, Mas.”
“Aku sudah atur semuanya, jangan terlalu malam dari sini. Jam 10 aku
harus sudah ada di RS.”
“Mbak Tiara.!” Suara teriakan
dibelakangku memanggilku dengan keras.
Aku menengok ke belakang dengan cepat. Ningsih menghamipiriku
tergopoh-gopoh.
Aku berdiri menyambutnya dengan heran.
“Ada apa Mbak?” tanyaku cepat.
“Dipanggil Bapak.”
“Wallah kok ga telepon ? kasihan kau
lari-lari begini.”
“Aku coba telepon ga bisa, terus
ketemu Mas Reno katanya Mbak lagi di sini.”
“Bapak kenapa?”
“Bapak sudah pindah ke ruangan, Mbak
langsung ke sana saja.”
“Bapak kenapa Ningsih?” Angga berdiri dengan cepat.
“Entahlah Mas, tiba-tiba manggil
Mbak Tiara.” Ningsih meninggalkan kami cepat-cepat. Aku memandang Angga tajam.
“Ada pembicaraan Mas dengan Bapak?’
tanyaku dengan sedikit berlari ke arah lift. Angga menjejeri langkahku dengan
cepat, dan menjawab, “Ya, Bapak memanggilku, bertanya dan aku menjawab.”
Kuhentikan langkahku dan bertanya ..
“Tentang ??”
“Tentang kita.”Angga menjawab dengan
tegas
“Hubungan kita?” tanyaku dengan mengerutkan kening.
“Ya.”
Sejuta rasa benar-benar terasa di
dada, 80% gundah, resah. Inilah saat yang aku takutkan. Apa yang aku takutkan
bertahun-tahun akhirnya terjadi juga. Bagaimana aku harus menjawabnya.
“Jika Bapak bertanya, jawab apa
adanya Mbak, semua sudah terbuka.”
“Maksud Mas, dengan kondisi seperti
ini aku harus jawab dengan kebenaran semuanya ?” tanyaku sedikit berteriak,
emosiku naik.
“Iya Mbak.”
“Siapa lagi yang tahu?”
“Sementara ini hanya Bapak saja.”
Ingin rasanya aku berteriak sekuat-kuatnya. Aku menghentikan langkahku
di depan pintu kamar. Angga menarikku tanganku halus, dan memelukku erat,
mencium keningku hangat. Tak kulihat orang-orang di sekitar. Air mataku
bergulir cepat, dadaku sesak, tak bisa kugerakan tanganku membalas pelukannya.
Rasa perih didada mulai aku rasakan, seakan memberiku ucapan selamat tinggal
dan semuanya akan berakhir.
“Masuklah Mbak, aku tunggu di sini.” bisiknya halus. Aku mengangguk.
Angga mengusap air mataku pelan dan melepaskan pelukannya. Tak kubayangkan jika
ada orang lain yang melihat kami ….
***
Aku mengetuk pintu kamar dan membukannya dengan perlahan. Tak ada
seorang pun di sana. Duh, apakah aku datang di waktu yang salah ketika Pak
Bambang harusnya beristirahat ? pikirku.
Sekitar dua meter lebih di depanku kulihat Pak Bambang tertidur dengan
selimut putih. Aku membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu, mungkin satu
jam lagi aku balik lagi ke sini, pikirku.
“Tiara …” suara lemah memanggilku dari belakang. Aku membalikkan badan
dengan cepat dan menuju tempat tidur.
“Iya Pak. Bapak istirahat dulu, Tiara tunggu di sini.” bisikku.
Tanganku membelai tangannya.
“Tidak Tiara, kondisi saya sudah mulai enak. Ada beberapa hal yang
harus saya sampaikan ke Tiara.”
“Iya … ada yang bisa Tiara bantu ?”
“Tolong catat baik-baik, ini tentang semuanya, pekerjaan, keluarga,
dan Tiara.” Badanku kaku. Aku menahan nafas menunggu apa yang diucapkan Pak
Bambang.
“List pekerjaan ada di Pak Suheli, tolong selesaikan dalam dua hari
ini, biaya langsung ke keuangan. Hitungan saya, seminggu ini in progress, Tiara
bantu segera, hubungi yang lain-lain.”
“Baik Pak.”
“Tentang keluarga, Tiara sudah paham kan maksud saya?” Aku menggeleng
cepat, aku belum paham maksudnya.
“Ambil semua dokumen di safety box, bikin list, saya minta bereskan
dengan Bayu untuk jalan.”
Aku mulai mengerti.
“Yang luar kota biar Bayu yang jalan, yang di Jakarta tolong salah
satu anak yang bisa damping Tiara.”
“Tindaklanjutnya apa Pak?
“Ada dokumen di amplop coklat kecil di sana, Tiara baca dan kerjakan,
sekali lagi, salah satu anak ada yang dampingi.”
“Ada dana yang harus saya keluarkan untuk beberapa kewajiban, ambil
dari CIMB, daftarnya sudah saya buat, cek sudah saya tanda tangani di situ,
anak-anak tidak perlu tahu.”
“Baik Pak.”
Pak Bambang menatapku tajam. Aku tertunduk diam.
“Ada yang bisa Tiara ambil di sana, di amplop putih bergaris coklat,
semua sudah atas nama Tiara, tak usah bicara ke siapa pun. Ingat Tiara, dua
hari harus sudah beres semua.”
Aku mengangguk. “Besok pagi saya langsung kerjakan Pak, Bapak
istirahat dulu sekarang.”
Pak Bambang menyentuh pergelangan tanganku. Matanya lekat menatapku, aku
menemukan satu sorot mata yang tidak biasa. Tak ada kata, tak berani bertanya.
Tanganku terasa gemetar.
“Tiara, saya sudah mengetahui hubunganmu dengan Angga sejak 5 tahun
yang lalu.” suara halus itu bagaikan petir di telingaku. Mukaku pucat, tanganku
semakin gemetar.
“Awalnya saya berpikir itu tidak akan berjalan lama, sampai akhirnya
saya harus mengetahui ada orang lain selain Desi dan Tiara. Saya membiarkan Tiara benar-benar pergi dari
samping saya dengan satu harapan agar Angga bisa melupakan Tiara, tapi ternyata
saya salah. Saya tidak bisa menjaga Desi dan Tiara. “
“Saya salah Pak, saya minta maaf, saya benar-benar lancang.” Aku mulai
terisak … berjuta perasaan benar-benar berkecamuk dalam dada.
“Desi yang memberitahu saya kalau ada Tiara dihati Angga.”
Aku tersentak kaget. Tak mungkin pikirku.
“Dan Desi menerima semuanya tanpa bicara kepada Angga, itu lima tahun
yang lalu.”
“Tiara bingung Desi tahu dari mana?” tanya Pak Bambang. Aku mengangguk pelan. Mataku masih tertujuh pada tatapan Pak Bambang. “Desi menemukan catatan-catatan kecil Angga di
meja kerja kantornya, lima tahun yang lalu.”
“Catatan kecil ?” alisku bertaut.
“Ya, Angga menuliskan sejuta mimpinya dengan Tiara disitu. Desi
membacanya, menyimpan tulisan itu dalam hatinya dan mencoba menerima semua itu
dalam waktu tiga tahun, sebelum Tiara pergi.”
“Desi menerima keberadaan Tiara
tanpa Tiara sadari. Tak ada keluarga yang lain yang mengetahui tentang hubungan
kalian. Sampai akhirnya datang satu nama lain di antara kalian, itu yang membuat
Desi merasa lebih disakiti.”
“Saya tidak membenarkan hubungan kalian dalam konteks ini, tapi dengan
sikap Desi yang memberikan peluang kepada kalian tanpa kalian sadari, saya
hanya ingin melihat semua alami. Kesalahan saya adalah, saya tidak bicara
kepada Angga.”
Aku semakin terisak. Tanganku erat memegang jemari Pak Bambang.
Wajahku tertunduk semakin jauh ke dalam.
“Tiara, berita ini belum kamu dengar dari Angga. Saya rasa Tiara bisa
dengan bijak menyikapi semuanya dengan Angga. Bicara baik-baik. Desi sudah
mengizinkan Angga untuk bicara dengan Tiara nanti malam.”
Aku tidak ingin bertanya tentang “nama lain” itu, aku sudah cukup
menguatkan diri untuk mengatur pikiranku untuk bicara dengan dengan Angga. Ketakutan selama tujuh tahun ini, berakhir di
saat Pak Bambang terbaring sakit, dan perlu satu keputusan untuk menyelesaikan
semuanya. Perasaan berdosa semakin menyelimuti. Tak kubayangkan jika ini
diketahui oleh yang lain, bagaimana sikap mereka kepadaku ? Apa penilaian
mereka kepadaku ? Apakah aku dianggap sebagai pecundang yang menunggu waktu
datang sebagai pemenang ?
“Tiara, Desi bersedia menerimamu sebagai istri kedua Angga.”
Tak ada petir di ruangan ini, namun cukup membuatku berteriak
kecil dan menutup mukaku menahan isak
yang terbuncah menjadi tangis.
“Biar saya bicarakan dengan Mas Angga, Pak.”
“Pikirkan itu, keputusan ada ditangan Tiara”
Aku tidak ingin berlama-lama di hadapan Pak Bambang. Tak bisa
kusembunyikan rasa malu yang kian menggunung dihadapannya. Apa yang aku anggap
“aman” selama ini justru datang dari pihak yang aku sakiti secara perlahan. Dan
bagaimana semua bisa berjalan tanpa aku sadari. Aku ingat bagaimana sikap kami jika
ada pertemuan keluarga besar, semua wajar, walau kadang ada tatapan mata kami yang
bertemu tanpa seuntai kata, penuh arti. Ini yang disebut sepandai-pandainya
kodok melompat, akhirnya jatuh juga.
Pak Bambang menyerahkan satu kunci kecil untuk tugas-tugasku besok
pagi, kusimpan baik-baik dan segera pamit.
“Besok sore saya baru bisa ke sini … Bapak istirahat ya.”
“Iya … tolong kordinasi. Sekalian urus administrasi di bawah, saya
rasa saya bisa pulang lusa.”
“Saya bereskan, jangan dulu mengingat pulang, pulihkan kondisi Bapak
dulu.” Aku tersenyum dan mencium tangan Pak Bambang.
“Baik-baik Tiara.” Ujarnya
lirih. Aku menangguk dan meninggalkan tempat tidur menuju pintu. Sesampaikan di
depan pintu, aku memutar pandanganku ke arah Pak Bambang. Pak Bambang masih memandangku dengan segurat
senyum yang tak kumengerti. Perasaan berdosa menggumpal dalam dadaku. Ya Allah
… sejauh ini aku telah membohongi mereka ?
***
Kubuka pintu kamar perlahan, dengan harapan aku masih bisa melihat
Angga menunggu di luar. Semburat merah
serasa memenuhi mukaku ketika kulihat keluarga ini berada di sana, perasaan
kikuk menyelimutiku. Mereka membiarkanku berbicara dengan Pak Bambang, tanpa
ada yang berani masuk menyela kami. Bu Bambang mendekatiku perlahan, menyentuh
bahuku.
“Tiara istirahat dulu, biar Ipung antar Tiara ke hotel.”
“Iya Bu. Saya mau bicara dulu dengan Mas Widi.”
Bu Bambang meninggalku memasuki kamar. Aku melihat Angga dipojok
jendela koridor. Sendiri. Aku tak ingin menatapnya lebih lama, ada perasaan
dikhianati yang tiba-tiba datang, dan itu adalah keegoisanku. Seharusnya aku
berkaca dalam situasi ini, posisikan diriku pada seorang Desi yang telah
memendam perasaan bertahun-tahun tentang kami. Satu ketegaran tiba-tiba muncul untuk menyelesaikan semua yang terjadi diantara
kami.
Satu persatu mereka memasuki kamar Pak Bambang, termasuk Angga yang
melewatiku diantara mereka. Widi masih berdiri di depanku, seolah tahu aku
menunggunya untuk berbicara.
“Everything’s ok , Dear?”
“Yups… I need talk to you now.”
Widi mendekatku. Aku berdiri bersandar pada dinding koridor yang
terasa dingin di punggungku.
“Tell me what happended?”
“Not here… Could we go ?” Widi mengangguk. Tangannya meraih bahu,
dan mengajakku berjalan menuju ruang tunggu tamu. Suasana tenang di sana,
meja-meja tak banyak berisi. Aku memilih di sudut kanan dekat jendela. Mas
meraih jemariku dan menciumnya lembut.
“Miss you a lot Tiara.”
“Can’t say anything…”
“If I could go back in time …”
Aku menarik jemariku dari genggamannya. Ada sebaris kenangan antara
aku dan Widi, dulu. Jika orang boleh jujur untuk menilai kedekatan kami,
mungkin orang akan lebih menilai bahwa diantara kamilah yang telah terjadi satu
hubungan yang lebih.
“Time goes by, don’t remind me about that. You look great with you
fam.”” “I worry about you.”
“No need. I’m ok.”
“So, what did my dad talk to you?”
“I should choose the one of his son to be with me to process all of
his list.”
“What’s list ?”
“His property.”
“Means ?
“You should be understand. He look like to prepare everything.”
“He didn’t tell me anything before.”
“He talked to me, and I ask you to be. Wee have time for two days, I will
start tomorrow morning and please give me your time for two day.”
“Nope … wha’s time tomorrow ?
“11 am, please.”
“Ok. Do I need prepare anything ?
Aku menggeleng cepat.
“Just be with me.”
“Like that.”
Aku tertawa melihat gayanya. Matanya begitu ceria, seperti dulu. Mata
yang sering memandangku dengan sejuta harapan, dan akhirnya harapan itu bermuara
pada satu perasaan sebagai saudara. Andai dulu aku bisa bersikap yang sama
terhadap Angga, tak ada yang perlu
disesali, perjalanan hidup menjadikan satu pelajaran dan pengalaman, dengan segala
resiko yang kadang tidak bisa diperkirakan.
Bersambung ...
0 comments:
Post a Comment