Di suatu sore, sahabat
kecilku mengajak ngopi di sekitar
daerah Thamrin. Udara mendung, udah kebayang macet jelang pulang kantor. Jarak
dari kantorku yang terletak di Medan Merdeka memang tak terlalu jauh ke arah Thamrin,
tapi kalau jelang pulang kantor seperti ini, aku harus lewat jalan lain untuk
menghindari 3 in 1.
Ah, tapi kapan
lagi ngopi sambil ngrumpi dengan dia yang akhir-akhir ini
dalam setahun bisa dihitung dengan jari pertemuan kami. Kulangkahkan kakiku ke
arah parkir di samping gedung, udara semakin mendung, rintik hujan sudah mulai
turun. Jam menunjukkan pukul 16.30. Dingin.
Lalu lintas mulai
merayap padat, sudah 3 in 1, kuarahkan mobilku ke jalan arah Menteng. Lancar
hingga di parkiran Sarinah. Masih hujan, aku harus berlari-lari kecil
menyebrang ke Skyline Building menuju Starbuck, hujan begini bisa bikin pusing,
hari-hari belakangan ini, hujan sudah mulai datang secara teratur, tapi aku
selalu lupa menyimpan paying dimobilku.
Kulihat seorang
wanita berpakaian santai duduk di kursi luar Starbuck. Hmmm, masih manis dia
dan lebih dewasa. Senyum cerah menyambutku, kupeluk hangat, Lisa, sahabatku.
“Kamu mau pesan
apa, Ra? Masih suka coklat panas dan Red Velvet ? tanyanya. Aku mengangguk. Kuperhatikan
wajahnya, terutama matanya pada saat aku berbicara dengannya. Ada guratan aneh,
seperti luka. Ups… kutepis pikiran itu.
“Kayaknya aku ga
banyak berubah untuk urusan makanan, Lis. Badanku ga gede-gede meskipun makan
dan minuman berlemak kadar tinggi” candaku.
“Emang, enak punya
badan kayak kamu, coba aku, habis melahirkan menghabiskan waktu dua tahun lebih
untuk balik ke awal, itu pun resiko makan
dikit langsung naik.” Jawabnya ngakak.
“Yo wis, nikmati
saja. Btw gimana kabarmu, masih di kantor lama ?”
“Masih Ra, mau
kemana lagi, buka kantor sendiri aku belum mampu, umur nambah, karier jadi
senior malas juga cari-cari lagi, kecuali dicari boleh juga sih.” Tangannya
mengambil sebatang rokok yang masih menyala di depanku, dihisapnya dalam-dalam.
“Ga apa-apa,
disana bagus juga kan kariermu. Dulu aku pengen banget masuk sana, eeeh ditolak
habis-habisan hahaha.” Kami tertawa.
“Tumben kau
dadakan ngajak ketemu, biasa seminggu sebelumnya kau bikin janji, menyesuaikan
agendamu dulu.”
“Ya Ra, ada
yang mau aku diskusikan denganmu.”
Jawabnya serius. Matanya berkaca-kaca.
“Ada apa Lis ?
Tentang kerjaan atau pribadi?” tanyaku dengan penasaran.
Lisa adalah
seorang single parent tangguh dengan satu anak gadis remaja sejak kematian suaminya tujuh
tahun yang lalu. Hari-hari diisinya
dengan kerja, kerja dan kerja, hari Sabtu dan Minggu dia khususkan untuk acara
dengan anak gadis kesayangannya. Ga bisa diganggu gugat tentang itu. Karirnya
di bidang property patut dibanggakan, bahkan membuat teman-teman kami iri
dengan kepiawaiannya. Tidak pernah selama tujuh tahun dalam kesendiriannya Lisa
memintaku bertemu seserius ini. Hatiku bertanya-tanya.
“Tentang kehidupan
pribadiku.” Air mata merebak pelan, tangannya meraih tissue dan mengusap
matanya. Kugeser kursiku agar lebih dekat dengannya, bahunya bergetar.
“Ada apa Lisa,
ceritalah apa adanya.” Tangisnya mereda.
“Kamu ingat Dave,
partnerku ?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku membina
hubungan dengan Dave dalam dua tahun ini.” Aku tersentak kaget, namun tak
kuucap sepatah katapun untuk memotongnya.
Dave, laki-laki
ganteng, dewasa, matang, dan mapan. Umurnya beberapa tahun lebih muda di
bawahku. Aku berkenalan dengannya ketika menghadiri salah satu acara peluncuran
buku di Sahid Hotel, tiga tahun yang lalu. Aku yakin, dengan apa yang Dave
punya, dia bisa mendapatkan perempuan manapun, meskipun dia sudah menikah. Tapi
kalau Lisa berhubungan dengan Dave, I’m
not sure before, tipe Lisa, ga suka berhubungan dengan lelaki yang telah
menikah.
“So… ?” tanyaku.
“Awalnya kita
partner biasa, kondisiku sebagai single parent membuka jalan ke arah hubungan
kami. Kami sering bertemu, bercerita, dan akhirnya kami berjalan. Kamu kan tahu
Ra, aku paling ga suka ganggu suami orang.”
Aku mengangguk
tegas.
“Semuanya diluar
kemampuanku, dan inilah kelemahanku. Aku bicara di sini sebagai sahabat, bantu
aku” isaknya kembali terdengar.
“Apa yang bisa aku
bantu, Lis. Keluarkan apa yang ingin kau ungkapkan, biar kamu lega.” Tanganku
menyentuh bahunya, lembut. Kepalanya
menyusup kebahuku, terguncang keras. “Separah inikah Lis”, bisikku.
Badannya kembali
tegak, matanya menatapku lekat-lekat.
“Apa artinya Casual Relationship menurutmu ?
“Apa Dave menyebut
hubungan kalian sebagai Casual ? Lisa
mengangguk.
“Kapan dia bilang
?” selidikku.
“Seminggu yang
lalu, ketika aku, sebagai perempuan dewasa menanyakan kelanjutan hubungan
kami.”
“Gimana awal
hubungan kalian. Apakah ada sesuatu yang menjadi komitmen ?”
“Semuanya berjalan
begitu saja, seperti yang aku bilang, sering bertemu, bercerita, semuanya
mengalir seperti air, tidak ada komitmen” jawabnya lemah.
“Sejauh mana
kalian berhubungan ? Sorry Lis, aku perlu tahu tentang ini, kalau kau keberatan
untuk menjawab, ga apa-apa.” Tanyaku hati-hati. Ngeri juga membuat Lisa tersinggung, marah dan menambah
luka hatinya.
“I’m Ok, Ra. Kita jujur saja, semuanya
memang berat buatku, aku perlu bicara pada orang yang sangat aku percayai dan
paham tentang masalahku. Sebagai wanita dewasa dan Dave pun dewasa, hubungan
kami sudah sangat jauh, saling membutuhkan dan ketergantungan, yang membedakan
kehidupan kami dengan suami istri lainnya adalah, aku tak ada “surat” dan
pulang ke rumah masing. Kamu ngerti kan, Ra ?” Jelasnya.
Kuanggukan
kepalaku sambil memicingkan mata, sedikit tertegun.
“Point apa yang
kau sampaikan ke Dave kemarin tentang hubungan kalian?”
“Aku bilang, bahwa
aku ga bisa menjalani hubungan seperti ini selamanya, dosa, aku butuh
kepastian, aku perlu seseorang yang mendampingiku di hari tuaku nanti.”
“Jawaban Dave ?”
“Dia kaget waktu
aku tanya gitu. Dan akhirnya setelah kami berdebat, Dave bilang : “Lisa, hubungan
kita tidak pernah ada komitmen apapun dari awal, kau tahu itu kan? Kita
sama-sama senang menjalani hubungan ini, tanpa saling menuntut, sama-sama
saling menjaga. Aku sayang kamu, Lisa, tapi ke arah yang lebih jauh, tidak
pernah terpikir olehku akan menikahimu. Hubungan kita adalah Casual.” Tangisnya kembali terdengar.
Haru biru hatiku mendengarnya. Kejadian ini sebenarnya sudah menjadi satu trend
dalam hubungan sosial di kota seperti ini, namun terjadi pada Lisa, aku paham
dia belum bisa menerimanya.
“Oke Lis, kita
bicarakan masalahnya. Dari gambaran pembicaraan Dave, aku paham maksudnya. Dia
menyebut Casual, dalam bahasa kita
sering disebut hubungan tidak tetap, hubungan sementara, hubungan sambil lalu.
Atau lebih gampang dikenal dengan “have fun”.”
“Tapi aku ga bisa
begitu, Ra. Semua yang aku lakukan adalah dengan perasaan dan harapan.
Seharusnya aku tanya ini dari dulu ama Dave.”
“Betul, itulah
sebabnya, teorinya, pada awal berhubungan ada komitmen seperti apa jenis
hubungan tersebut dan harus ada persamaan perserpsi. Yang terjadi pada dirimu adalah, kau
membiarkannya mengalir seperti air, namun akhirnya kau masuk dalam pusaran air
tersebut, tanpa akhir.”
“Coba aku lanjutkan teorinya, Casual Relationship adalah satu hubungan
fisik dan emosional antara dua orang yang memiliki hubungan non seksual,
mendekati seksual dan seksual tanpa menuntut atau mengharapkan komitmen
tambahan dari hubungan romantis yang lebih formal. Hubungan ini terjadi karena
perasaan saling mendukung, kasih sayang dan kenikmatan yang bisa bersifat sementara
atau tidak terbatas, tergantung para pihak. Biasanya terjadi pada partner exlusive, sukarela dan akan bertahan
apabila kedua belah pihak masih menginginkan. Menurutku, Dave pasti sudah
memberikan sinyal itu, tapi kamu tak mengerti.” Jelasku.
“Aku ga bisa
begitu, Ra. Awalnya aku berpikir, Dave dan aku mempunyai tujuan yang sama.
Kejadian kemarin membuat aku terhenyak, seperti anak SMA yang diputuskan
pacarnya. Apa yang harus aku lakukan ? Aku malu” Lemah suaranya, nyaris
berbisik.
“Apa jawabmu ke
Dave, Lis?
“Intinya aku
mengikuti apa katanya, bahwa tidak ada pernikahan untuk hubangan kami, tapi
dalam hatiku aku bertanya-tanya, hubungan macam apa ini ? Kalau seandainya dari
dulu aku tahu dan mengerti, ada dua kemungkinan dalam aku menjalaninya,
menikmatinya atau meninggalkannya. Tapi ini tidak, Ra. Aku sakit. Dan sejak
itu, kami menjadi dingin, dan hampir tanpa komunikasi”
“Aku paham
perasaanmu. Bisa aku simpulkan bahwa keputusanmu adalah meninggalkan dia ?”
“Ya Ra, aku tidak
bisa menjalani hubungan seperti ini, terutama dengan dia.”
“Mengakhiri satu
hubungan casual ataupun pernikahan
selalu berhubungan dengan kecemasan, rasa bersalah dan bahkan konfilik. Ada
bagusnya untuk tidak berkomunikasi dulu, untuk saling menenangkan diri dan
saling menghapus diri dari hubungan emosional. Hindari hubungan telepon dan
berhentilah menjawab pesan teks atau dengan memberikan jawaban dengan
ketidaktertarikan, sehingga kita bisa masuk pada fase menjauhkan diri dari
mereka secara emosional” Penjelasanku cukup panjang. Lisa terdiam.
“Sedikitnya
aku sudah melakukan itu.”
“Ada beberapa tips
lain yang aku dapatkan dari beberapa artikel, antara lain, jangan mencoba
menyalahkan satu sama lain, karena itu akan memperpanjang proses, jangan tidur
dengan dia lagi, jangan mengikuti media sosial dia dan memberikan pesan-pesan
khusus, ingatkan dalam diri bahwa dengan berakhirnya hubungan menimbulkan kecemasan,
rasa bersalah dan konflik, siapkan diri untuk menerima umpan balik negative
dari dia dan orang-orang sekitarnya. Dan ingat, kamu berhak untuk perasaanmu,
mengubah pikiranmu, menjadi egois, dan kamu bukan orang jahat.”
“Memang semua itu
teori, Lis, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba untuk melenyapkan perasaan
sakitmu. Aku percaya kamu bisa dan ini satu pengalaman dalam hidup, bahwa ada
hubungan semacam ini di sekitar kita”
“Aku paham Ra,
akan aku coba. Paling tidak, aku sudah mengeluarkan semua bebanku, maafkan aku,
Ra.” Aku tersenyum.
Wajah Lisa sudah
mulai tenang, senyumnya kembali mengembang, pembicaraan kami beralih dari topik
satu ke topik lain. Ada yang mengganjal dalam pikiranku, segera kutepis, tak
enak rasanya memikirkan hal itu disaat Lisa sudah mulai tenang.
Waktu menunjukkan
20.30, cukup larut. Perjalanan menuju rumah cukup jauh, jalan sudah mulai
lengang, aku pamit dengan satu nasehat klasik, be strong woman ! Aku yakin Lisa bisa, aku cukup mengenalnya dengan
baik sejak di bangku SMA.
Dari mulai menuju
parkir, sampai aku duduk di mobil, pikiranku gundah, tubuhku dingin dan
bergetar. Kuambil handphone dan kutekan speed
dial, terdengar suara :
“Sayang, sudah
sampai rumah?” hatiku bergetar.
“Belum, aku baru
mau jalan pulang, kamu masih di kantor ?”
“Aku udah di
cassablanca, masih macet. Mau ketemu dulu?”
“Ga, aku harus
pulang cepat, pesawatku jam 5.30 besok pagi, takut kesiangan.”
“Oh oke, take care
ya … kabari kalau sudah sampai rumah.”
“Yups, take care
too …”
“Btw, jangan
lama-lama di Bali, ga kangen aku kah ?”
“Just one night,
I’ll be back.”
“Love You always!!”
“Love You too ..”
Kudengar suara beep, telepon ditutup,
pembicaraan terputus. Kulihat layar telepon, di dialed number ada nama terakhir panggilan teleponku, DAVE ……!!!
#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk
aku urai menjadi sebuah cerita.
0 comments:
Post a Comment