Sunday 16 November 2014

Cerita Sahabat : "CR?"



Di suatu sore, sahabat kecilku mengajak ngopi di sekitar daerah Thamrin. Udara mendung, udah kebayang macet jelang pulang kantor. Jarak dari kantorku yang terletak di Medan Merdeka memang tak terlalu jauh ke arah Thamrin, tapi kalau jelang pulang kantor seperti ini, aku harus lewat jalan lain untuk menghindari 3 in 1. 
Ah, tapi kapan lagi ngopi sambil ngrumpi dengan dia yang akhir-akhir ini dalam setahun bisa dihitung dengan jari pertemuan kami. Kulangkahkan kakiku ke arah parkir di samping gedung, udara semakin mendung, rintik hujan sudah mulai turun. Jam menunjukkan pukul 16.30. Dingin.

Lalu lintas mulai merayap padat, sudah 3 in 1, kuarahkan mobilku ke jalan arah Menteng. Lancar hingga di parkiran Sarinah. Masih hujan, aku harus berlari-lari kecil menyebrang ke Skyline Building menuju Starbuck, hujan begini bisa bikin pusing, hari-hari belakangan ini, hujan sudah mulai datang secara teratur, tapi aku selalu lupa menyimpan paying dimobilku.
Kulihat seorang wanita berpakaian santai duduk di kursi luar Starbuck. Hmmm, masih manis dia dan lebih dewasa. Senyum cerah menyambutku, kupeluk hangat, Lisa, sahabatku.
“Kamu mau pesan apa, Ra? Masih suka coklat panas dan Red Velvet ?  tanyanya. Aku mengangguk. Kuperhatikan wajahnya, terutama matanya pada saat aku berbicara dengannya. Ada guratan aneh, seperti luka. Ups… kutepis pikiran itu.
“Kayaknya aku ga banyak berubah untuk urusan makanan, Lis. Badanku ga gede-gede meskipun makan dan minuman berlemak kadar tinggi” candaku.
“Emang, enak punya badan kayak kamu, coba aku, habis melahirkan menghabiskan waktu dua tahun lebih untuk balik ke awal, itu pun resiko  makan dikit langsung naik.” Jawabnya ngakak.
“Yo wis, nikmati saja. Btw gimana kabarmu, masih di kantor lama ?”
“Masih Ra, mau kemana lagi, buka kantor sendiri aku belum mampu, umur nambah, karier jadi senior malas juga cari-cari lagi, kecuali dicari boleh juga sih.” Tangannya mengambil sebatang rokok yang masih menyala di depanku, dihisapnya dalam-dalam.
“Ga apa-apa, disana bagus juga kan kariermu. Dulu aku pengen banget masuk sana, eeeh ditolak habis-habisan hahaha.”  Kami tertawa.
“Tumben kau dadakan ngajak ketemu, biasa seminggu sebelumnya kau bikin janji, menyesuaikan agendamu dulu.”
“Ya Ra, ada yang  mau aku diskusikan denganmu.” Jawabnya serius. Matanya berkaca-kaca.
“Ada apa Lis ? Tentang kerjaan atau pribadi?” tanyaku dengan penasaran.
Lisa adalah seorang single parent tangguh dengan satu  anak gadis remaja sejak kematian suaminya tujuh  tahun yang lalu. Hari-hari diisinya dengan kerja, kerja dan kerja, hari Sabtu dan Minggu dia khususkan untuk acara dengan anak gadis kesayangannya. Ga bisa diganggu gugat tentang itu. Karirnya di bidang property patut dibanggakan, bahkan membuat teman-teman kami iri dengan kepiawaiannya. Tidak pernah selama tujuh tahun dalam kesendiriannya Lisa memintaku bertemu seserius ini. Hatiku bertanya-tanya.
“Tentang kehidupan pribadiku.” Air mata merebak pelan, tangannya meraih tissue dan mengusap matanya. Kugeser kursiku agar lebih dekat dengannya, bahunya bergetar.
“Ada apa Lisa, ceritalah apa adanya.” Tangisnya mereda.
“Kamu ingat Dave, partnerku ?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku membina hubungan dengan Dave dalam dua tahun ini.” Aku tersentak kaget, namun tak kuucap sepatah katapun untuk memotongnya.
Dave, laki-laki ganteng, dewasa, matang, dan mapan. Umurnya beberapa tahun lebih muda di bawahku. Aku berkenalan dengannya ketika menghadiri salah satu acara peluncuran buku di Sahid Hotel, tiga tahun yang lalu. Aku yakin, dengan apa yang Dave punya, dia bisa mendapatkan perempuan manapun, meskipun dia sudah menikah. Tapi kalau Lisa berhubungan dengan Dave, I’m not sure before, tipe Lisa, ga suka berhubungan dengan lelaki yang telah menikah.
“So… ?” tanyaku.
“Awalnya kita partner biasa, kondisiku sebagai single parent membuka jalan ke arah hubungan kami. Kami sering bertemu, bercerita, dan akhirnya kami berjalan. Kamu kan tahu Ra, aku paling ga suka ganggu suami orang.”
Aku mengangguk tegas.
“Semuanya diluar kemampuanku, dan inilah kelemahanku. Aku bicara di sini sebagai sahabat, bantu aku” isaknya kembali terdengar.
“Apa yang bisa aku bantu, Lis. Keluarkan apa yang ingin kau ungkapkan, biar kamu lega.” Tanganku menyentuh bahunya, lembut.  Kepalanya menyusup kebahuku, terguncang keras. “Separah inikah Lis”, bisikku.
Badannya kembali tegak, matanya menatapku lekat-lekat.
“Apa artinya Casual Relationship menurutmu ?
“Apa Dave menyebut hubungan kalian sebagai Casual ? Lisa mengangguk.
“Kapan dia bilang ?” selidikku.
“Seminggu yang lalu, ketika aku, sebagai perempuan dewasa menanyakan kelanjutan hubungan kami.”
“Gimana awal hubungan kalian. Apakah ada sesuatu yang menjadi komitmen ?”
“Semuanya berjalan begitu saja, seperti yang aku bilang, sering bertemu, bercerita, semuanya mengalir seperti air, tidak ada komitmen” jawabnya lemah.
“Sejauh mana kalian berhubungan ? Sorry Lis, aku perlu tahu tentang ini, kalau kau keberatan untuk menjawab, ga apa-apa.” Tanyaku hati-hati. Ngeri juga  membuat Lisa tersinggung, marah dan menambah luka hatinya.
I’m Ok, Ra. Kita jujur saja, semuanya memang berat buatku, aku perlu bicara pada orang yang sangat aku percayai dan paham tentang masalahku. Sebagai wanita dewasa dan Dave pun dewasa, hubungan kami sudah sangat jauh, saling membutuhkan dan ketergantungan, yang membedakan kehidupan kami dengan suami istri lainnya adalah, aku tak ada “surat” dan pulang ke rumah masing. Kamu ngerti kan, Ra ?” Jelasnya.
Kuanggukan kepalaku sambil memicingkan mata, sedikit tertegun.
“Point apa yang kau sampaikan ke Dave kemarin tentang hubungan kalian?”
“Aku bilang, bahwa aku ga bisa menjalani hubungan seperti ini selamanya, dosa, aku butuh kepastian, aku perlu seseorang yang mendampingiku di hari tuaku nanti.”
“Jawaban Dave ?”
“Dia kaget waktu aku tanya gitu. Dan akhirnya setelah kami berdebat, Dave bilang : “Lisa, hubungan kita tidak pernah ada komitmen apapun dari awal, kau tahu itu kan? Kita sama-sama senang menjalani hubungan ini, tanpa saling menuntut, sama-sama saling menjaga. Aku sayang kamu, Lisa, tapi ke arah yang lebih jauh, tidak pernah terpikir olehku akan menikahimu. Hubungan kita adalah Casual.” Tangisnya kembali terdengar. Haru biru hatiku mendengarnya. Kejadian ini sebenarnya sudah menjadi satu trend dalam hubungan sosial di kota seperti ini, namun terjadi pada Lisa, aku paham dia belum bisa menerimanya.
“Oke Lis, kita bicarakan masalahnya. Dari gambaran pembicaraan Dave, aku paham maksudnya. Dia menyebut Casual, dalam bahasa kita sering disebut hubungan tidak tetap, hubungan sementara, hubungan sambil lalu. Atau lebih gampang dikenal dengan “have fun”.”
“Tapi aku ga bisa begitu, Ra. Semua yang aku lakukan adalah dengan perasaan dan harapan. Seharusnya aku tanya ini dari dulu ama Dave.”
“Betul, itulah sebabnya, teorinya, pada awal berhubungan ada komitmen seperti apa jenis hubungan tersebut dan harus ada persamaan perserpsi.  Yang terjadi pada dirimu adalah, kau membiarkannya mengalir seperti air, namun akhirnya kau masuk dalam pusaran air tersebut, tanpa akhir.”
“Coba aku lanjutkan teorinya, Casual Relationship adalah satu hubungan fisik dan emosional antara dua orang yang memiliki hubungan non seksual, mendekati seksual dan seksual tanpa menuntut atau mengharapkan komitmen tambahan dari hubungan romantis yang lebih formal. Hubungan ini terjadi karena perasaan saling mendukung, kasih sayang dan kenikmatan yang bisa bersifat sementara atau tidak terbatas, tergantung para pihak. Biasanya terjadi pada partner exlusive, sukarela dan akan bertahan apabila kedua belah pihak masih menginginkan. Menurutku, Dave pasti sudah memberikan sinyal itu, tapi kamu tak mengerti.” Jelasku.
“Aku ga bisa begitu, Ra. Awalnya aku berpikir, Dave dan aku mempunyai tujuan yang sama. Kejadian kemarin membuat aku terhenyak, seperti anak SMA yang diputuskan pacarnya. Apa yang harus aku lakukan ? Aku malu” Lemah suaranya, nyaris berbisik.
“Apa jawabmu ke Dave, Lis?
“Intinya aku mengikuti apa katanya, bahwa tidak ada pernikahan untuk hubangan kami, tapi dalam hatiku aku bertanya-tanya, hubungan macam apa ini ? Kalau seandainya dari dulu aku tahu dan mengerti, ada dua kemungkinan dalam aku menjalaninya, menikmatinya atau meninggalkannya. Tapi ini tidak, Ra. Aku sakit. Dan sejak itu, kami menjadi dingin, dan hampir tanpa komunikasi”
“Aku paham perasaanmu. Bisa aku simpulkan bahwa keputusanmu adalah meninggalkan dia ?”
“Ya Ra, aku tidak bisa menjalani hubungan seperti ini, terutama dengan dia.”
“Mengakhiri satu hubungan casual ataupun pernikahan selalu berhubungan dengan kecemasan, rasa bersalah dan bahkan konfilik. Ada bagusnya untuk tidak berkomunikasi dulu, untuk saling menenangkan diri dan saling menghapus diri dari hubungan emosional. Hindari hubungan telepon dan berhentilah menjawab pesan teks atau dengan memberikan jawaban dengan ketidaktertarikan, sehingga kita bisa masuk pada fase menjauhkan diri dari mereka secara emosional” Penjelasanku cukup panjang. Lisa terdiam.
         “Sedikitnya aku sudah melakukan itu.”
“Ada beberapa tips lain yang aku dapatkan dari beberapa artikel, antara lain, jangan mencoba menyalahkan satu sama lain, karena itu akan memperpanjang proses, jangan tidur dengan dia lagi, jangan mengikuti media sosial dia dan memberikan pesan-pesan khusus, ingatkan dalam diri bahwa dengan berakhirnya hubungan menimbulkan kecemasan, rasa bersalah dan konflik, siapkan diri untuk menerima umpan balik negative dari dia dan orang-orang sekitarnya. Dan ingat, kamu berhak untuk perasaanmu, mengubah pikiranmu, menjadi egois, dan kamu bukan orang jahat.”
“Memang semua itu teori, Lis, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba untuk melenyapkan perasaan sakitmu. Aku percaya kamu bisa dan ini satu pengalaman dalam hidup, bahwa ada hubungan semacam ini di sekitar kita”
“Aku paham Ra, akan aku coba. Paling tidak, aku sudah mengeluarkan semua bebanku, maafkan aku, Ra.” Aku tersenyum.
Wajah Lisa sudah mulai tenang, senyumnya kembali mengembang, pembicaraan kami beralih dari topik satu ke topik lain. Ada yang mengganjal dalam pikiranku, segera kutepis, tak enak rasanya memikirkan hal itu disaat Lisa sudah mulai tenang.
Waktu menunjukkan 20.30, cukup larut. Perjalanan menuju rumah cukup jauh, jalan sudah mulai lengang, aku pamit dengan satu nasehat klasik, be strong woman ! Aku yakin Lisa bisa, aku cukup mengenalnya dengan baik sejak di bangku SMA. 
Dari mulai menuju parkir, sampai aku duduk di mobil, pikiranku gundah, tubuhku dingin dan bergetar. Kuambil handphone dan kutekan speed dial, terdengar suara :
“Sayang, sudah sampai rumah?” hatiku bergetar.
“Belum, aku baru mau jalan pulang, kamu masih di kantor ?”
“Aku udah di cassablanca, masih macet. Mau ketemu dulu?”
“Ga, aku harus pulang cepat, pesawatku jam 5.30 besok pagi, takut kesiangan.”
“Oh oke, take care ya … kabari kalau sudah sampai rumah.”
“Yups, take care too …”
“Btw, jangan lama-lama di Bali, ga kangen aku kah ?”
“Just one night, I’ll be back.”
“Love You always!!”
“Love You too ..”
Kudengar suara beep, telepon ditutup, pembicaraan terputus. Kulihat layar telepon, di dialed number ada nama terakhir panggilan teleponku, DAVE ……!!!

#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk aku urai menjadi sebuah cerita.

  

0 comments:

Post a Comment