“Rara,
berangkat ke kantor jam berapa ?” terdengar pintu kamarku diketuk pelan, suara
halus membangunkanku. Sinar matahari masuk diantara gorden jendela menyilaukan
mataku. Upsss jam berapa ini ?
“Iya
Mom.” teriakku serak.
“Dave
tadi telepon, titip pesan apakah handphonenya kebawa kamu tidak?” Mamaku mulai
berteriak.
“Iyaaaaa,
nanti aku telepon Mom, handphonenya memang kebawa aku semalam.” Jam 08.15 … Wah
kok bisa kesiangan begini. Sedikit pusing, aku bangun dan berjalan ke arah
kamar mandi. Kubasuh mukaku dengan air dingin, segar … Agenda hari ini apa ya?
Pikirku.
Kupilih
baju berwarna lembut pagi ini, rok selutut warna hitam, dengan atasan bahan
katun berwarna hijau pupus dengan
balutan syal kecil warna orange. Manis,
pikirku. Handphone Dave tergeletak di sisi
bantal, off. Kuperhatikan dalam-dalam, ada segurat kepedihan yang masih membekas.
What should I do ?
“Masih
cape, Ra? Lelap sekali tidurmu. Dari jam 6 Mama bangunkan, ga ada jawaban sama
sekali.” tanya Mama sambil memberikan roti bakar kesukaanku.
“Iya Mom, aku
penat sekali, semalam ga langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus aku
siapkan.” seteguk orange juice mampir di tenggorokanku, terasa hangat.
“Agenda apa hari
ini ? Ga ada meeting pagi ?” Aku
menggeleng.
“Report aja Mom, sehabis makan siang.”
“Mom, sepertinya
pertemuan Sabtu ini kita tunda dulu.”
Wajah Mama
tersentak kaget. “Kenapa ? Mama udah reserve
tempat sesuai pembicaraan dengan Jeng Santi, terus Mama sudah undang
keluarga terdekat kita.” Aku terdiam. Memang, waktu tinggal dua hari, begitu
pendek dengan kejadian yang beruntun beberapa hari ini. Aku berpikir keras
untuk mengutarakan alasan yang tepat, tapi apa ? Menceritakan yang sebenarnya
terjadi ? No way.
“Coba aku
bicarakan dulu dengan Dave, Mom.” nafasku berat. Gigitan roti dimulutku terasa
keras, kunyahanku tertahan. Tubuhku beranjak dari kursi, satu ciuman kecil
mendarat di pipi Mama. “Rara pergi dulu, agak telat pulang nanti malam, Rara
janji ketemu Dave.” Izinku. Mama mengangguk, matanya menunjukkan sejuta pertanyaan
besar padaku. Aku menghindari tatapan Mama, menghindarkan linangan air mata di
pelupuk mataku.
“Hati-hari, Ra.”
Aku mengangguk.
****
Jam 9.45 ketika aku
tiba di lobby gedung kantor. Tepukan dibahuku membuatku menoleh ke belakang
dengan sedikit kaget.
“Morning sayang.”
satu senyuman merekah di belakangku.
“Hadeh, kupikir
siapa ..!”
“Memangnya ada
yang berani tepuk-tepuk begini selain aku ?” balasnya sambil cemberut. Aku
tersenyum sambil memijit tombol lift dihadapkanku.
“Handphonemu
kebawa semalam, sorry.”
“Ga apa-apa, aku
juga ga ngeh semalam, sampai tadi pagi baru ingat.” Langkahnya mengikutiku
masuk ke dalam lift. Kuserahkan handphonenya, sambil berkata : “aku ga sempat charge, bangun kesiangan.”
“Nanti aku ikut ngecharge bentar deh di ruangan ya ..!
Aku mengangguk. Lantai 17, lift terbuka, aku bergegas ke luar lift. Ada perasaan
ga nyaman, Dave pasti tahu pesannya sudah dibuka, karena pesan itu tidak aku hapus.
“Rara, ada surat di
meja, tolong dipelajari dan langsung buat memo ke Pak Idris.” Satu suara dari intercom terdengar.
“Oke, jadi jam
berapa aku ketemu Pak Idris, sekalian aku antar report Bali kemarin.”
“Jam 13.30, di
ruang meeting kecil.
“Ok”.
Kulihat Dave
memperhatikan handphonenya, jarinya bermain di atas keypad. Aku menunggu. Dan mata Dave mengarah ke mataku tajam. Aku
diam.
“Kamu membacanya,
Ra?” suaranya sedikit keras.
“Ya, kamu
keberatan ?” jawabku balik tanya.
“Ya.” jawabnya
pendek.
‘Kenapa ? Diantara
kita tidak pernah ada yang dirahasiakan tentang isi pesan. Apalagi pesan itu
dikirim tengah malam, seperti keadaan darurat, berulang kali pesan itu
berbunyi, wajar aku baca, kupikir ada
musibah”
Dave tidak
menjawab. Mukanya sedikit memerah.
“Dave, maaf, aku
masih banyak pekerjaan, kita bicara setelah jam kantor di tempat biasa.” Lanjutku.
Tubuhnya beringsut
dari sofa di depanku, dan melangkah ke pintu tanpa berkata-kata. Aku tertegun
dan bertanya dalam diri, seperti itu ? Kuhempaskan badanku di kursi kerjaku,
tanganku menutup wajah … Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi ? Kemana
lagi aku harus bertanya dan mencari kebenaran selain kepada Mu ? Tunjukan padaku apa yang benar dan apa yang
salah. Jika Dia memang baik untukku, mudahkan dan lancarkan rencana kami, jika
dia memang tidak baik untukku, berikanlah jalan untuk menjalani silaturahmi
dengan cara lain. Aku mulai terisak. Tak
pernah sejauh ini aku membawa persoalan pribadi di antara setumpuk pekerjaan di
meja kerja kantorku. Ingin rasanya aku berlari pulang, berteriak dan
membenamkan wajahku di atas bantal basah karena air mata.
Kutarik nafas
dalam-dalam, tiga lembar tissue menyeka air mataku. Aku harus menyelesaikan
pekerjaanku secepat mungkin, aku tidak ingin sekelilingku melihat keadaanku
seperti ini. Berat memang, tapi apapun harus aku hadapi.
Kertas di
hadapanku masih terlihat kabur, kubaca, kuperhatikan dan kucoba untuk
memahaminya dengan baik. Tak terlalu sulit sebenarnya, tapi aku perlu konsentrasi
untuk mengurai kata membuat memo pendek untuk Pak Idris. Konsentrasiku kembali buyar, ketika dering
handphone berbunyi nyaring. Kuraih handphone di depanku, Mama Santi.
“Assalamu’alaikum
Ma, apa kabar ?”
“Waalaikumsalam
Rara, baik. Rara sudah di kantor ?”
“Sudah Ma, semalam
baru tiba di Jakarta.”
“Syukurlah. Mama
baru saja terima telepon dari Dave.” Jantungku berdegup.
“Iya Ma, gimana ?”
tanyaku.
“Dave bilang
katanya pertemuan Sabtu diundur.” Nafasku seolah terhenti, nyaris tak kujawab
perkataan Mama Santi.
“Ada apa Ra?”
tanya di sebrang sana.
“Iya Ma, ada
beberapa hal yang harus kami bicarakan lebih matang. Rara baru mau telepon Mama
setelah makan siang rencananya.”
“Kalian baik-baik saja
kan, Ra?” suaranya sedikit khawatir.
“Ga ada apa-apa
kok Ma, kami baik-baik saja” Suaraku melemah, air mata kembali kembali
berkumpul di pelupuk mataku. Ya Allah, teriakku dalam hati.
“Tolong kabari
Mama kalau ada apa-apa.”
“Baik Ma, terima
kasih, assalamu’alaikum.” tak terdengar jawaban, kututup telepon perlahan. Untuk
sementara aku perlu off kan telepon,
sampai pekerjaanku selesai. Tinggal satu jam aku mempunyai waktu untuk
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dihadapanku, dan aku rasa, aku lebih baik
keluar kantor lebih cepat setelah urusan dengan Pak Idris selesai.
Makan siang tak
sempat kusentuh, memo sudah kutandatangani. Aku periksa laporan perjalanan
terakhirku, masih tersisa 20 menit sebelum meeting
dengan Pak Idris, cukup untuk Sholat Dzhuhur dan merapikan diri.
“Des, tolong print dua kali laporan perjalanan yang tadi untuk tambahan,
sekalian dokumentasinya siapkan juga. Saya sholat dulu.” Kataku pada Desi,
ketika langkahku melintas di mejanya.
“Baik Bu. Ibu
belum makan siang, saya sudah siapkan snack untuk rapat nanti.”
Aku mengangguk, “Terima
kasih, nanti tolong dampingi saya juga.”
Desi tersenyum
seraya mengangguk. Kulanjutkan langkuku ke Mushola tak jauh dari tempat Wudhu.
Semoga aku diberikan kemudahan dalam segala urusanku. Bismillah …
Tak perlu
lama-lama meeting dengan Pak Idris. Sejak dua tahun yang lalu, urusan Public Relation memang sangat
dipercayakan padaku. Jarang sekali aku dengar Pak Idris mengeluh atas apa yang
aku kerjakan, Beliau sangat percaya padaku. Memoku cukup ditambah tanda tangan
Pak Idris di sebelah kanan tanda tanganku, dan laporan perjalanan cukup di
paraf dan siap ditindaklanjuti. Untung aku sempat mengirimkan loporan global
sehingga aku tidak perlu terlalu rinci menerangkannya.
Lega rasanya.
Kuhidupkan
handphoneku yang sempat beberapa jam off. Mejaku mulai bersih, laptopku masih
terbuka dengan beberapa tab. Handphoneku mulai ramai dengan bunyi-bunyi pesan
yang berbenturan. Kebayang, ada BBM, Whatsapp, LINE, email, dan lain-lain, hmmm
nambah kerjaan saja.
Kubuka LINE, ada
beberapa pesan di sana.
“HP mu off, kenapa
? Aku ingin bicara sebentar.”
“Tolong sebelum
rapat dengan Pak Idris telepon aku.”
“Ok, aku coba
hubungi kamu ke kantor, masih meeting. Aku tidak bisa ketemu nanti sore, kita
atur besok siang sesudah jum’atan.”
Aku menghela nafas
panjang. Baguslah, agar aku bisa mempersiapkan pembicaraan dan langkah-langkah
selanjutnya. Aku perlu waktu sendiri. Pertemuan
hari Sabtu yang sekiranya akan membicarakan tanggal pernikahan menurutku memang
menentukan 99% pernikahan itu terjadi. Aku tidak ingin membuat satu keputusan
yang akan meninggalkan persoalan di masa-masa yang akan datang.
“Bu, telepon di
line 3, dari Pak Dave” suara Desi lewat intercom
mengagetkanku.
“Oke.. thanks.”
jawabku. Kutarik gagang telepon di samping mejaku.
“Halo.” Suaraku
kubuat se’biasa” mungkin.
“Sudah kelar
rapatnya ?” datar.
“Baru kelar. Sorry
hp sengaja aku off kan, kerjaanku ga kepegang.”
“Aku sudah bicara
dengan Mama, kita tunda pertemuan hari Sabtu. Aku tidak sempat membicarakannya
denganmu dulu, tapi aku rasa kamu pun memikirkan hal yang sama.”
“Ya, Mama sempat
telepon sebelum rapat tadi dan memang aku berpikiran seperti itu juga. Ada
hal-hal yang harus kita bicarakan, Dave. Terserah waktunya kapan, aku ngikut
saja.”
“Aku atur besok,
kalau kamu tidak keberatan, hari ini aku harus meeting dengan client dari Surabaya.”
“Oke, kita atur
besok.”
Tiba-tiba
perasaanku sedikit ringan.
***
Mendung
sore ini ketika kususuri jalan sepanjang Sudirman menuju Senayan City, lalu
lalang orang di sekitar tidak membuatku mengalihkan perhatian dari tatapanku ke
trotoar jalan, seolah aku takut memandang orang-orang. Aku perlu menikmati waktku.
Portico,
café ini menjadi tempat favoritku untuk menikmati segelas kopi panas dan
menemaniku menyelesaikan tugas-tugasku atau sekedar kongkow dengan teman-teman. Belum terlalu ramai sore ini, masih jam
16.30. Kubuka laptop, kuketik password, satu kata berisi satu nama dan empat
angka sebagai symbol, done … Tanganku menopang dagu, mataku memandang ke arah
jalan yang mulai dibasahi oleh rintik hujan. Adem … Mataku terpaku pada dua bayangan yang semakin
jelas terlihat, seorang laki-laki dengan dengan payung di tangan kanannya dan
di sebelahnya seorang perempuan menggelayut di lengan laki-laki itu. Terbelak
aku memandangnya, kugigit bibir menahan sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Kubalikkan
badan dan berdoa semoga kedua orang itu tidak masuk ke tempat ini.
“Cari
meja duluan di luar, aku titip payung dulu.” satu suara terdengar begitu jelas
di belakangku.
“Smoking
ya …!’ balasannya terdengar.
Aku
mengenal dengan baik suara itu. Ada dua pilihan yang datang, pergi dari tempat
itu atau tetap bertahan dan akan mendengar apa yang mereka bicarakan.
Ruangan
di bagian luar Portico memang disediakan untuk “smoking area”, terasa dingin dengan hujan yang mulai deras. Mejaku
tepat di sudut kanan ruangan, lebih dekat ke jendela, lebih dingin, kuambil jaket
di sebrang meja, kaku. Sudah tak ada pilihan lain, selain bertahan di sini, aku
rasa mereka telah memilih tiga meja di belakangku.
“Aku
belum sempat bicara banyak dengan Rara, hanya garis besarnya sudah aku sampaikan
tadi.”
Suara
di belakangku itu sangat jelas terdengar.
“Ada
comment?” pertanyaan dari wanita itu.
“Tidak,
aku atur pertemuan dengannya besok siang.”
“Apa
tidak terlalu cepat kita mengambil langkah, aku merasa tidak enak, sejak aku
bicarakan tentang kita beberapa yang lalu, almost
two days kami tidak ada komunikasi
lagi.”
“Menurutku
tidak, lebih cepat lebih baik, aku tidak ingin memperlebar urusan.”
“Mau
minum apa, Lis ?”
“Yang
hangat-hangat deh, tadi siang aku ga sempat makan, kita pesan yang agak berat
aja, biar aku pulang ga makan lagi.”
Aku
tersenyum getir, ini client dari
Surabaya ?
“Dave,
apa Rara akan mengerti dengan kondisi kita ?”
“Maksudnya
?”
“Dengan
kondisi kamu menikah dan kita tetap menjalani hubungan kita ?”
“Apa
mungkin aku harus jujur padanya, kalau kita tetap lanjut walaupun kami menikah
? Ga mungkin !! Aku hanya tak habis
pikir dengan tindakanmu membicarakan
hubungan kita padanya.” sedikit ketus suara itu kudengar.
“Sorry,
seharusnya aku tidak menyebut nama waktu itu, sempat aku melihat raut kaget di
wajahnya, tapi hanya sesaat, dan kupikir sebenarnya dia sudah tahu.”
“Dari
awal aku sudah bilang, dia tidak tahu, sampai kamu mengatakan semuanya, sekarang
mau gimana lagi ?”
“Seharusnya
aku menerima lamaranmu dulu …” suara Lisa terdengar seperti bisikan, tapi aku
mendengarnya dengan jelas. Jantungku berdegup kencang, hampir saja aku
membalikkan tubuhku ke arah mereka.
“Seharusnya
aku tidak membiarkanmu untuk mendekati Rara … yang aku rasakan, setelah kamu
bersamanya, perasaanku untuk bisa terus bersamamu semakin besar.”
“Lis,
aku tidak mau berkilas balik tentang itu, semua yang terjadi adalah kesepakatan
kita. Aku sudah cukup jujur selama ini, kecuali kamu yang tidak jujur. Sampai
pada satu titik, aku harus memilih antara kamu dan Rara, kamulah yang pertama
aku minta sebagai istriku, kita telah
saling mengenal, ternyata kamu telah menganggap hubungan kita sebagai teman
biasa dan kamu lebih merelakan aku pergi untuk bersama Rara, itu aku terima.”
“Coba
kita renungkan, apakah hubungan kita selama ini membodohi Rara atau tidak. Kita
yang tahu, Lis. Mungkin akan lain jadinya jika kamu tidak bicara kepadanya.”
Tak
ada jawaban terdengar dari Lisa, tak ada suara apapun darinya. Aku tak tahu apa
yang dia lakukan. Kalau Dave tidak bicara, artinya mereka akan tetap
melanjutkan hubungan ? Perih rasanya, sangat beruntung aku mengetahui semua
sebelum pernikahan terjadi.
“Dan
dua minggu yang lalu, kamu minta aku menikahimu, itu semua tidak ada dalam rencanaku.
Kamu yang telah membiarkan aku memilih Rara, mencintainya, dan memberiku
kekuatan untuk menikahinya. Dan aku
kembali pada komitmen kita, kita casual,
kamu tidak bisa menerimanya sehingga kamu menceritakan semuanya kepada Rara. Sekarang
semuanya berantakan. Aku ga yakin, Rara akan menerima, dan aku ga tahu apa yang
akan dia lakukan.”
“Seharusnya
handphonemu tidak terbawa sama dia.” teriakan kecil terdengar.
“Mana
aku tahu kalau handphoneku kebawa, aku pikir handphoneku mati.”
“Jadi
sekarang bagaimana ?”
“Aku
bingung. Aku harus ketemu dan bicara dengan Rara besok. Pembicaraan kami sepertinya
akan menentukan langkah selanjutnya. Hanya dua kemungkinan kan, terus berjalan dengan
memperbaiki atau break up.” suara
Dave terdengar pelan.
Sekarang,
aku lebih paham bagaimana perjalanan mereka. Suara dentingan terdengar,
menghentikan pembicaraan mereka sementara. Sebenarnya aku sudah tidak kuat
mendengarnya, aku hanya ingin tahu bagaimana mereka mengakhiri pembicaraan ini.
Ku ambil handphone di tas kerjaku, dan ku silent untuk menghindarkan telepon masuk yang
akan memaksaku untuk berbicara.
“Aku
memikirkan tentang kita.” suara Dave memecahkan keheningan di antara mereka,
Aku memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kita jika aku menikahi Rara.” Jantungku
berdebar kencang.
“Aku sayang kamu, Lisa, dan aku bisa pastikan
semua akan berlangsung meskipun aku bersama yang lain.”
Emosiku
mulai naik, mataku panas. Munafik, gombal!! Aku sudah sampai pada keputusanku. Aku
tidak ingin mendengar kaliamat selanjutnya. Kalimat terakhir Dave telah
memberikan sinyal kemana arah pembicaraannya. Tanganku bergetar meraih
barang-barang di meja, merapikannya, dan memasukkan ke dalam tas kerjaku. Kutarik
nafas panjang, menenangkan debaran jantungku yang semakin keras. Tidak ada air
mata yang terurai meskipun mataku terasa panas. Aku berdiri, tanganku masih menggenggam sudut
meja, perlahan kubalikkan badanku, melangkah ke arah dua manusia yang duduk
membelakangiku.
“Hai.”
suaraku halus menyapa mereka.
“Rara
!!” hampir bersamaan mereka menjawab sapaanku. Dave bangkit dari kursi, dan
mengajakku duduk. Kutolak halus, aku berdiri di sisi meja. Lisa tertegun
menatapku.
“Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian,
dari sejak kalian datang. Aku bersyukur, aku tidak mendengar dari mulut orang
lain.”
“Ra,
biar aku jelaskan dulu.” sela Lisa. Aku
tersenyum, cukup getir rasanya.
“Aku
pun sudah memahami bagaimana hubungan kalian, dulu, sekarang dan akan datang. Tidak
ada yang perlu dijelaskan lagi, semua sudah cukup.”
“Dave,
hubungan kalian begitu indah, bisa saling membagi, menyerahkan diri pada orang
lain, sedangkan hati masih tertinggal pada yang lain. Menjalin dua rasa dalam
satu masa pada orang yang berbeda, belum pernah aku jalani, dan semoga tidak
pernah aku jalani.”
“Rara,
tidak begitu, biar kami jelaskan.” Dave terlihat resah, dan Lisa mulai terisak.
“Lisa,
sebelum kamu mengirim pesan di handphone Dave, hampir saja aku mengirim email hanya
untuk membesarkan hatiku, bahwa hubungan kalian adalah masa lalu dan
persahabatan kita adalah segalanya. Tapi sejak aku baca pesanmu dan mendengar semua
pembicaraan kalian, baru aku sadar bahwa hubungan kalian bukan masa lalu, tidak
akan pernah berakhir dan aku menghargai apapun hubungan kalian.” suaraku
sedikit tegar, tanpa getaran, tanpa isakan, dan datar.
“Dave, maaf aku
tidak bisa melanjutkan rencana-rencana kita. Aku tidak sanggup membangun satu
kehidupan di antara duri, lebih baik aku
menjauhi duri yang akan mengoyakku.”
Lisa
bangkit dan mencoba meraihku. Aku bergerak mundur.
“Maafkan aku, Ra, tidak ada niat
sedikitpun untuk menyakitimu, semua diluar kehendak kami.”
“Aku
tidak sakit hati Lis, kalian telah menolongku membuka mata hatiku tentang apa
yang terjadi. Jalani hidup kita masing-masing, tak ada yang perlu dijelaskan
dan disesali, semua diluar kehendak kita. Dave, kita cukup dewasa untuk
menerangkan kepada keluarga apa yang terjadi dalam hubungan kita, bicaralah
baik-baik atas ketidakcocokan kita.”
Kubalikkan
badan dan melangkah ke pintu keluar. Masih terdengar panggilan Lisa dan suara
langkah Dave yang menyusulku, kuminta Dave untuk tidak mengikutiku. Aku tak
perduli. Aku ingin meneriakan kekecewaaan yang menggumpal didadaku.
Aku hanya ingin
pergi dari sini, aku tidak ingin mencerna apa yang telah terjadi dalam
detik-detik terakhir tadi. Bagaimana aku harus melupakan seseorang yang hampir
menjadi suamiku, melupakan sahabat kecilku yang selama ini selalu hadir
disaat-saat aku berkeluh kesah ? Tuhan, inikah
ujian yang harus aku lalui, di saat aku telah menentukan apa yang aku inginkan,
mencoba menggapai angan dan harapan yang
nyaris aku gapai ? Bagaimana aku menata hati dan menjalani sesudah ini
terjadi? Hikmah apa di balik semua ini ?
***
Dear
Diary,
Ternyata
aku tidak cukup mengenal lelaki yang hampir dua tahun ini mendampingiku,
memberikan harapan tentang hari esok yang akan dilalui bersama dengannya.
Ternyata tak cukup indah kata dan kalimat yang terurai dibanding dengan
perbuatannya. Semua hanya bagian dari episode hidup yang aku jalani di antara skenario
yang tak pernah aku ketahui.
Hidup
adalah pilihan,
Dan
aku memilih tidak menyakiti diri sendiri karena aku tak sanggup menerima luka demi
luka.
Aku
lebih sanggup hidup sendiri menuai asa, tanpa yang lain melukaiku.
Dan
itulah kesendirian.
Episode
Agustus 2013.
#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk
aku urai menjadi sebuah cerita.