Kejadian itu tujuh tahun berlalu sudah, sampai saat ini tak ada yang
mengetahui hubunganku dengan Angga, semua tersimpan rapi dan berjalan dengan
alami, tak ada yang menghambat perjalanan kami. Dalam hitungan denting jam bisa
aku bisa menghitung berapa kali pertemuan kami yang kadang tidak bisa
dipastikan. Tak ada rutinitas yang mewajibkan kami untuk bertemu, semuanya
berjalan apa adanya, dengan satu komitmen yang tidak pernah kami mengerti,
untuk berjalan apa adanya.
Kadang aku tidak mengerti kami bisa melalui satu perjalanan seperti
ini, satu pernikahan yang sudah aku tolak secara halus tujuh tahun lalu, tak
aku ingatkan kembali. Tak ingin aku ganggu kehidupan mereka, karena aku selalu
berada di sana meskipun jauh di antara mereka. Di antara kalian ….
Suara telepon terdengar nyaring di belakang meja kerjaku. Kubiarkan,
sampai dering ke delapan kali. Sedikit merengut aku tergopoh-gopoh menggapai
telepon. Kenapa tidak telepon ke handphone, pikirku.
“Mbak, Bapak masuk rumah
sakit.” suara lemah terdengar di sebrang sana. Keningku berkerut.
“Bayu ?” tanyaku pelan.
“Iya, sorry ganggu telepon ke rumah, aku coba hubungi handphone ga
aktif.”
“Dimana ? Kapan ? Sakit apa ?” tanyaku bertubi-tubi. Kudengar
penjelasan Bayu dengan mata berkaca, “Ok, nanti Mbak kesana, tolong kabari
perkembangannya.” Suara telepon ditutup. Aku termenung.
Sejak kepindahanku ke Semarang dua tahun yang lalu, aku sudah mulai
melepaskan tanggung jawabku terhadap perusahaan-perusahaan Pak Bambang sedikit
demi sedikit, agar aku bisa leluasa
meniti karir baruku di sini, meskipun ada beberapa hal yang tidak bisa aku
serahkan kepada orang lain. Komunikasiku dengan Pak Bambang hanya sebatas
perkembangan terakhir dan aku kadang diminta datang untuk membereskan hal-hal
yang sangat urgent. Pak Bambang begitu mengerti dan mendukung dengan kegiatanku
sekarang, meskipun kadang masih memintaku untuk kembali ke Jakarta.
Kuraih handphone di tas kerjaku. Hmmm, ternyata benar, memang
off. Kutunggu sinyal menyala dengan
baik, sambil berpikir keras, siapa yang telah menghubungiku. Suara notifikasi
pesan terdengar beberapa kali, aku yakin, isinya hampir sama, mengabarkan
tentang sakitnya Pak Bambang. Satu yang ada dalam pikiranku adalah dengan
menelpon Angga.
Baru setengah aku menekan nomor teleponnya, dilayar tertulis “Angga”
Upss….
“Mbak, aku telepon beberapa kali, off. Dimana ?” suara halus terdengar
di sana.
“Maaf, aku ga tahu kalau teleponku off. Aku di rumah, baru sampai satu
jam yang lalu.”
“Besok ke Jakarta jam berapa ?” tanya Angga langsung.
“Aku belum pesan tiket, baru dapat kabar dari Bayu barusan. Mas dimana
sekarang?
“Aku di RS, Bapak nanyain Mbak. Kapan terakhir komunikasi dengan
Bapak?”
“Dua hari yang lalu.”
“Ok, kabari berangkat besok jam berapa, jangan mepet, Aku jemput ya,
aku book hotel di dekat RS nanti.”
“Iya, salam buat Ibu.” Kututup telepon, terduduk lemas. Masih banyak
yang harus aku kerjakan besok di kantor, ada beberapa pertemuan yang sudah aku
jadwal dari seminggu yang lalu. Tapi aku harus berangkat.
Aku membuka buku agenda harianku dengan cepat dan mencoba mengingat
point-point meeting untuk besok. Jam menunjukkan pukul 19.35. Coba aku telepon
Caca, asistenku.
“Caca, bisa tolong atur pesawat ke Jakarta besok pagi sekitar jam 10 ?
Dan tolong pending meeting besok, saya belum tahu kapan dijadwal kembali, akan
saya kabari sesampai saya di Jakarta.”
“Baik Bu, coba saya cari flightnya. Ibu kembali kapan ?’
“Belum tahu Ca, saya lihat perkembangan dulu di Jakarta, one way aja
dulu. Tolong sampaikan maaf saya tidak bisa memenuhi janji untuk besok.”
“Baik Bu.”
Sesaat aku terdiam dengan telepon yang masih dalam genggaman. Berapa
lama aku tak bertemu dengan Angga, pikirku. Empat atau lima bulan … lupa. Kami
mulai sibuk dengan urusan masing-masing, dan komunikasi akan lebih intens bila
ada satu point yang membuka peluang untuk bertemu atau berkomunikasi.
Sebenarnya, bagi kami, tidak ada satu hal yang menjadi sesuatu yang istimewa,
hanya satu komitmen, yang hanya kami yang tahu. Kejujuran. Apakah aku yakin tentang itu ?
Jujur, kadang tidak. Tak mungkin aku mencari-cari dan bertanya-tanya tentang
Angga kepada orang lain, sama saja dengan aku membuka pintu orang bertanya-tanya
mengapa aku bertanya tentang Angga. Dan aku, tidak berusaha untuk mencari, aku
hanya cukup untuk menjaga diriku sendiri.
Kutepis pikiranku tentang Angga, berita tadi sudah cukup memenuhi
pikiranku tentang kondisi Pak Bambang. Tapi, mengapa tentang kejujuran baru
terpikir olehku ??? Kenapa ???
Aku terduduk dengan tangan kanan bertopang dagu, mataku menatap lurus
ke arah jendela kamar, pikiranku kembali melayang ke masa-masa lalu, mencoba
untuk mencari celah kebenaran atas pikiranku. Kadang aku berpikir, sampai kapan
aku akan berjalan seperti ini. Kehadiran Angga, memang membuatku terikat,
meskipun aku tahu, “kami tidak tahu akan
kemana”. Keterbatasan waktu dan tempat, memang membuat kami aman menjalani
hubungan seperti ini, tapi disatu sisi, kadang aku merindukan hal-hal yang bisa
membuat kami selalu bersama. Di sisi lain, akal sehatku berkata, adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Tapi, mengapa aku masih mempertahankan hubungan kami ? Padahal
di saat yang sama ada orang lain yang mungkin lebih serius untuk menjalin
hubungan denganku.
Aku menghela nafas berat, aku tiba-tiba bingung, mengapa pikiranku
melayang ke arah sana ….
****
Pesawat landing dengan mulus di Bandara Soekarno Hatta tepat pukul
11.15. Alhamdulillah. Udara panas hangat
menyambutku ketika menuruni tangga pesawat. Suasana bandara tidak begitu ramai,
mungkin karena bukan masa-masa liburan. Langkah kecilku menyusuri koridor
sepanjang bandara. Kuhidupkan teleponku, beberapa pesan masuk. Satu pesan
membuatku menghentikan langkah kecilku.
“Mbak, maaf aku ga bisa jemput, ada meeting mendadak. Aku kirim supir
jemput ya, ketemu di RS jam 12.00.” tertulis kalimat singkat dengan jelasnya, kuhela
nafas pendek, kenapa tiba-tiba aku tak nyaman ?
Mas Widi. “Dear, just check you
out, you are in Jakarta ?.
Bayu. “Bapak di ICU, see you so
on.”
Suara nyaring handphoneku membuatku tersentak, ah Ipung, supir Mas
Angga.
“Mbak, udah ambil bagasi ?”
“Udah Pung, kamu tunggu di mana ?”
“Mbak tunggu di AW saja, saya langsung meluncur kesana.”
“Oke.”
Kulangkahkan kakiku dengan cepat dengan koper kecil di tangan kananku.
Jakarta benar-benar panas, seharusnya aku bisa cepat beradaptasi sejak turun dari
pesawat tadi, tapi tak bisa, keringat kecil mulai muncul di dahiku,
sebentar-sebentar kuhapus dengan tissue kecil di sela jemariku.
“Ayo Mbak.” Teriakan kecil terdengar di ujung koridor. Aku tersenyum
cerah.
“Makasih Pung, jadi merepotkan.” Ipung mengangkat koper kecilku dan
memasukannya ke bagasi.
“Nggak apa-apa Mbak, Mas Angga ga bisa jemput, kebetulan saya di RS
lagi ga ada kerjaan, jadi bisa jemput Mbak.”
“Gimana perkembangan Bapak ?”
“Belum ada perkembangan Mbak, tadi masuk ICU, semuanya sudah kumpul,
hanya Mas Angga yang belum gabung karena ada makan siang.”
“Makan siang ?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Iya Mbak.”
“Gimana kabar keluarga lain di PI ? Sehat-sehat?”
“Lagi ada isyu Mbak” jawab Ipung dengan senyum kecil.
“Isyu apa?” tanyaku cepat.
Hubunganku dengan Ipung cukup baik, gossip-gosip kecil sering datang
darinya. Aku terkekeh melihatnya cengar cengir ga karuan.
“Gosip paling up to date dan Mbak ga bakalan nyangka deh.”
“Apa sih Pung, jangan bikin penasaran.” Kuraih aqua gelas di jok belakang, tanganku
menyobek ujung plastik dan meminumnya dengan cepat.
“Isyu Mas Angga.”
Tenggorokanku tersedak, batuk-batuk kecil mengiringi. Dadaku berdebar,
mataku dengan sontak memandang tajam ke arah Ipung.
“Kenapa?” selidiku.
“Isyunya, Mas Angga punya teman dekat, dalam tanda kutip.” Aku tersentak, aqua gelas di tanganku
terjatuh tepat di atas rok. Mulutku terkatup rapat. “Aduh Mbak, maaf .. bener kan Mbak juga
kaget”
“Iya Pung, kaget banget.” Kataku tergagap, aku tak tahu harus bicara
apa.
“Udah sebulan ini Mbak,
menghangat di sana.”
“Memangnya udah ketahuan siapa temannya itu?” dadaku berguncang.
“Sudah Mbak.” Ipung memperhatikanku sesaat.
“Kamu tahu orangnya?” Aku bertanya dengan was-was.
“Nggak Mbak. Mbak Desi yang bicara ke Ibu, kemudian di sana ada
pertemuan keluarga, belum kelar semua, Bapak masuk RS.”
“Katanya Mas Angga sempat dipanggil Bapak juga sebelum sakit.” lanjut
Ipung panjang lebar. Badanku bergetar
tiba-tiba, dadaku bergemuruh. Aku memalingkah muka ke arah jendela, mataku
menghangat.
“Kok bisa ya Pung.”
“Ketahuan gara-gara BBM katanya Mbak.”
Wallah, kataku dalam hati.
“Yo wis Pung, biar mereka bereskan cepet-cepet, dan Angga bisa mencari
jalan keluarnya.”
“Iya Mbak, tapi kasihan Mbak Desi, sempat pulang bawa anak-anak ke rumah Ibunya.”
Aku benar-benar diam. Ipung memperhatikanku dengan lebih cermat.
“Kenapa Mbak?” tanyanya.
“Shock Pung.” Jawabku sambil mencoba tertawa dan mencarikan suasana.
Ipung terbahak sesaaat, seraya berkata : “Untung bukan Mbak Tiara ceweknya.”
Aku kaget dan tergagap, “bisa aja kau”
“Serius Mbak.” Ipung berkata pelan.
“Maksudmu?”
“Saya tahu hubungan Mas Angga dengan Mbak.” Ipung menoleh ke arahku
dengan cepat.
Aku merasakan mukaku memanas, aku masih mencoba untuk bertanya.
“Hubungan gimana Pung?”
“Hubungan Mbak dengan Mas Angga selama ini, lebih dari sebagai teman
atau saudara. Tanpa Mbak sadari, saya sudah memperhatikan sejak dulu, bagaimana
ketika Mas Angga bicara ke Mbak baik, ditelepon atau pun langsung, bagaimana
sikap Mas Angga ke Mbak atau sebaliknya.”
Aku terdiam.
“Keputusan Mbak untuk pindah, benar-benar disesali oleh Mas Angga.
Tapi menurut Saya, keputusan Mbak tepat waktu.”
“Angga cerita ?”
“Awalnya Mas Angga sering telepon ke Mbak jika dalam perjalanan di
mobil, lambat laun Mas Angga mengerti kalau saya mengetahui, sedikit-sedikit
Mas Angga cerita, saya simpan baik-baik.”
Aku terisak pelan.
“Pada saat ada yang berbeda, sebenarnya Saya ingin sampaikan ke Mbak,
maaf saya tidak mau lancang, tapi sekarang saya sampaikan, melihat kondisi dua
wanita yang saya kenal baik disakiti pelan-pelan.” Ipung berkata pelan.
“Maafkan saya Mbak, seharusnya saya sudah sampaikan satu tahun
setengah yang lalu. Mbak sudah seperti kakak saya sendiri, saya tidak mau Mbak
disakiti lebih dalam.”
“Artinya Angga sudah berhubungan dengan temannya sejak satu setengah
tahun yang lalu ?” tanyaku. Ipung mengangguk pasti.
Aku menghela nafas panjang. Satu pekerjaan rumah yang harus aku hadapi
dan selesaikan dengan baik dan bijak. Aku menoleh ke arah Ipung dan tersenyum.
“Makasih Pung, kamu sudah memberikan satu jalan dalam hubungan saya
dengan Angga.”
“Iya Mbak, mohon bisa disampaikan ke Mas Angga secara dewasa.”
“Saya ngerti, saya tidak akan melibatkanmu.”
Pikiranku menerawang jauh, seolah mendapat jawaban dari apa
pertanyaanku sebelum aku pergi kemarin.
Mungkin itu satu petunjuk yang tanpa aku sadari dan datang tiba-tiba
untuk aku pikirkan. Jalan yang harus aku lalui. Ternyata ada yang lain yang
mengetahui hubunganku, tanpa aku bayangkan sebelumnya. Harusnya aku sedikit
tanggap. Dengan nama lain yang muncul di hadapan keluarga, bukan berarti aku
menjadi seorang pemenang, tapi pecundang.
0 comments:
Post a Comment