Thursday 5 May 2016

Bagian Kesebelas "Diantara Kalian"


“Danish, sini, ikut Mama yuk.” teriakanku mengagetkan bocah laki-laki berumur 2 tahunan. Bocah kecil itu tertawa sambil mengulurkan tangannya. Aku menggendongnya dengan hati-hati.
“Be a good Boy, kita jalan-jalan sore ini.” Kecupanku mendarat di keningnya yang lebar.  
“Mama, nanti boleh aku bawa bola.” Bocah kecil itu merajuk, aku mengangguk.
“Mbak, tolong siapkan bawaannya, kita ke pantai setengah jam lagi. Udara lagi bagus.”
“Baik Bu.” Diah adalah pengasuh Danish sejak bayi, tepatnya bersamaku sejak aku pindah ke Bali tiga tahun yang lalu. Usianya masih muda, tapi begitu cekatan dalam pekerjaannya, bahkan dia terkadang membantu pekerjan kantorku.
Udara Bali terasa panas sekali sore ini.  Musim liburan telah tiba dan wisatawan begitu ramai baik local maupun asing. Aku suka Pantai Kuta di sore hari, menikmati angin pantai dengan ombak yang berirama.
Kubiarkan Danish bersama Diah, aku membaca novel terbaru di kursi panjang dengan payung lebar. Suara ombak dan hembusan angin membuatku mengantuk, mataku mencari-cari Danish. Kemana anak itu, pikirku.
Aku berdiri dengan cepat dan mengambil tas kecilku. Satu lemparan bola jatuh tepat di kakiku, aku membungkukkan badan dan mengambilnya. Hmm dasar bocah. Kuperhatikan bola itu, bukan bola Danish. Aku mengarahkan pandanganku di antara sekeliling mencari pemilik bola, tak ada seorangpun yang mencari. Aku kembali duduk dan mempermainkan bola dengan motif warna warni itu.
“Sore Mbak, maaf itu bola anak saya, tadi terlempar ke sini.”  Suara laki-laki menggagetkanku.
“Oya, saya memang sedang menunggu, siapa tahu ada yang cari.” kataku seraya menyerahkan bola itu tanpa melihatnya. Tanganku terjulur kearahnya, tapi bola itu tidak diambilnya. Tanganku menggantung.
“Tiara.” suara laki-laki itu lagi.
Aku mengangkat wajahku segera. Kacamata hitamku kubuka perlahan memperjelas siapa yang memanggilku. Pandangan kami bertemu, tak ada satupun yang berusaha melepaskanya. Terpaut dalam beberapa detik.
“Angga ?” suaraku tertahan.
“Ya.” Suaranya seperti tersedak.
Aku segera berdiri dan mengulurkan tangan. “Apa kabar?”
Angga menjabat tanganku dengan erat.
“Baik, gimana kabarnya Mbak ?.”
“Baik.” Jawabku
“Liburan di sini ?” Matanya mencari-cari seseorang di sekitarku.
“Aku tinggal di sini. Mas liburan?”
“Ya, baru kemarin sampai, Bapak dan Ibu ikut juga.” Darahku mengalir cepat.
“Mama !!” teriakan kecil memanggilku dari kios es krim di sebelahku.
“Hai, No ice cream today.” Teriakku sambil melambaikan tangan. Bocah laki-laki itu berlari kearahku dan memelukku,
 “Aku mau ice cream Mom.!! Danish berteriak dan merajuk. Angga memperhatikan kami dengan seksama.
“Anak Mbak ?” tanya Angga dengan ragu. Aku tersentak, mukaku terasa pucat tiba-tiba. Danish berlari kecil mendekatiku.
“Danish this is uncle Angga.  Angga, ini Danish, anakku.” ujung  kata terakhir kuucap dengan pelan. Danish mengulurkan tangannya dengan cepat dengan senyum lebar.  
“Hi Boy.. nice to meet you.”
“Uncle, where do you live ?” mata polos itu memandang lekat Angga.
“Jakarta.” Angga menarik Danish dan menggendongnya.  Lidahku terasa kelu.
“Hmmm, I love Jakarta,  Mama bilang Jakarta panas, dan macet.”
Angga tertawa. “Nanti Uncle bawa ke Jakarta ya, bilang sama Mama.”
“Mom, did you hear that?” Danish memandangku dengan memohon.
“Yups, next time.” Danish tertawa dengan riangnya.
“Mas, ini bolanya.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya. Umur berapa ?” tanya Angga sambil menurunkan Danish dari gendongannya.
“Dua tahun.” Jawabku pelan.
“Berapa ?” tanya Angga meyakinkan.
“Dua tahun.” tegasku.
Angga terdiam. Raut wajahnya berubah pucat.
“Bapak dan Ibu nginap dimana ?”
“Tuh.” Tangannya mengarahkan ke hotel tepat di belakangku.
“Ow.. salam untuk Bapak dan Ibu.”
“Kita ke sana saja sekarang yuks, mumpung lagi ngumpul. Aku jemput Seva dulu.” tak sempat aku menjawab, Angga sudah meninggalkan kami.
Aku termenung seraya menatap tubuh tegap yang kemudian hilang di antara kerumunan orang. Kenapa harus ketemu lagi ? pikirku.
“Bu, saya bawa Danish ke toilet dulu untuk bersih-bersih.” Suara Diah mengagetkanku.
Aku mengangguk.
Tiga tahun terasa cepat berlalu. Tiga tahun pula sudah aku tinggal di Bali, meniti kehidupan dan karir dari nol, tanpa rencana. Apa yang aku sampaikan pada pertemuan terakhir dengan keluarga Pak Bambang, ternyata menjadi kenyataan. Aku meninggalkan Semarang, satu bulan sejak pertemuan itu. Itulah kehidupan, semua kehendak yang kuasa, terjadilah.
Angga berlari-lari kecil kearahku bersama Seva, putri sulungnya yang sudah tumbuh besar.
“Hai Tante, apa kabar?” Seva berteriak dan memelukku.
“Duh Seva, udah gede, dan tambah cantik. Alhamdlillah Tante baik. Gimana sekolahmu ?”
“Dah mau SMP Tan, bentar lagi ujian ni.”
“Hmmm, mesti tambah rajin belajar ya.. jaga kesehatan juga.”
“Iya Tan, dulu Mama suka bilang, biar pinter kayak Tante Tiara.”  
Aku tersentak mendengarnya, “Ah, Mama bisa aja, Mama Papa kan pinter, kok lari ke Tante.” Suaraku terdengar parau.
“Kata Mama, Tante itu pinter segalanya.” Aku tertawa. Aku memandang Angga, Angga tersenyum.
“Mama, ayo katanya mau pergi.” Danish berteriak dan melambaikan tangan.  Seva memandangku.
“Bentar ya Seva. Tante jemput dulu Danish.” Seva mengangguk dan memandang Angga. “Anaknya Tante Tiara.” Kata Angga seolah mengerti apa arti pandangan Seva. “
“Seva, Ini Danish. Danish, ini Kakak Seva.”
“Hai Danish.”
Danish mengulurkan tangan mungilnya dan tersenyum.
“Hai Kak Seva.” Suara terdengan lucu ketika menyebut nama Seva.
“Mas, aku pulang dulu, nanti kita ketemu makan malam.”
“Kenapa ?” tanyanya dengan pandangan sedikit kecewa.
“Biar rapi aja Mas, ga enak berantakan begini.” Alasanku meluncur begitu saja.
“Tapi, Mbak ga akan meninggalkan kami lagi ?” kalimat itu membuatku tersentak mundur, seakan teringat apa yang terjadi di masa lalu.
“Mengapa Mas bicara begitu ?”
“Kami sudah cukup kehilangan Mbak.”
Angga atau keluarga besarnya yang kehilangan aku ? pikirku dalam hati.  Aku mengeluarkan kartu nama dari dompetku.
“Aku ada di sini Mas, info aku Bapak dan Ibu mau makan dimana, aku akan ke sana.”
Angga menerima kartu nama itu dan membacanya.
“Sebelas nomor ini yang aku tunggu sejak mbak meninggalkanku….” bisiknya.
“Sampai ketemu Mas.”
“Seva, Tante pulang dulu, nanti kita ketemu lagi ya …”
“Oke Tante, tapi boleh Danish duluan ama Seva ke hotel? Aku tersenyum, “Baju Danish penuh pasir pantai, Tante ga bawa baju lagi. Biar Danish ganti baju dulu ya.”  Seva menggangguk dengan enggan.
Aku pamit dan melangkah ke parkiran mobil di ujung jalan. Aku masih membalikkan badan dan melihat mereka. Angga dan Seva masih berdiri di sana, dan memperhatikan kami. Aku melambaikan tangan dan terus berjalan…..

***
Mataku memandang wajah di cermin dengan seksama. Tiga tahun ini, tidak banyak perubahan di wajahku, juga kelahiran Danish, tidak banyak berpengaruh pada tubuhku. Hmmm, mengapa tiba-tiba aku memperhatikan dua hal itu ? Bukankah aku selalu enjoy dengan apa yang ada didiriku ? Apa karena pertemuanku dengan Angga tadi sore ? Upsss… aku mengenyahkan pikiranku tentang itu.
Dandanku sederhana, dengan baju casual yang menjadi ciri khas. Malam ini adalah istimewa, sekian tahun aku tak bertemu dengan Pak Bambang dan keluarganya, dan malam ini seakan menjadi awal dari perjalananku kembali, dalam arti komunikasi dan silaturahmi kami akan dimulai. Aku masih tertegun menatap diri di cermin, apa yang harus aku sampaikan jika mereka bertanya, mengapa aku meninggalkan mereka ?
Aku menghela nafas panjang. Masih teringat dengan jelas, kepulanganku dari Jakarta ke Semarang hari itu, membawa beban yang aku yakin bahwa aku harus menanggung beban dan menyelesaikan sendiri. Bapak dan Ibu tidak bisa menghalangi kepergianku ke Bali satu bulan kemudian. Kekecewaan, kemarahan dan kekhawatirannya menjadikan bebanku semakin berat, dimana jelang keberangkatan itu aku sampaikan bahwa aku mengandung. Masih aku ingat, ketika bapak memintaku untuk menyebutkan siapa ayah anak itu dengan kemarahan yang meluap, Ibu menangis tak mampu menghalangi Bapak. Aku mohon maaf dan ampun, namun aku tetap bertahan, tanpa menyebut satu nama yang Bapak harapkan, aku tak akan bicara, sampai suatu hari aku yakin aku akan bicara kepada Bapak dan Ibu. Hanya satu pesanku kepada Bapak dan Ibu, tak ada yang bisa mencariku selain Bapak dan Ibu.
Kutinggalkan Semarang dengan bekal yang ada. Kesempatanku untuk memulai usaha hanya memiliki waktu 6 bulan jelang kelahiran Danish, dan aku bekerja keras untuk mewujudkannya. Memasukin bulan ke 7, Danish lahir dengan didampingi Ibu. Ada perasaan sakit ketika menghadapinya sendiri, menangis dan menangis, tanpa mampu aku harus utarakan siapa yang sebenarnya harus mendampingiku. Masih teringat ketika aku merasakan puncak akhir rasa sakit yang luar biasa, dan ketika itu tersebut nama Angga tanpa sengaja, dan aku berharap, Ibu tidak mendengarnya.
Danish adalah buah cintaku dengan Angga, tanpa Angga mengetahui keberadaannya. Danish adalah pengganti Angga yang mampu memberiku cinta dan semangat setiap waktu.
“Mama, aku sudah siap.” Suara kecil di balik pintu mengagetkanku. Aku bergegas merapikan dandanku, ada linangan air mata yang terlihat jelas. Kutarik satu lembar tissue, dan menekannya perlahan di kedua pelupuk mataku.
“Ya sayang, wait…. “
Suara pintu diketuk dengan keras. Aku membukanya dengan cepat. Mataku tertumpu pada baju yang di Danish kenakan malam itu.
“Nice t’shirt. ” Badanku membungkuk dan mengangkat badannya ..
“Ready to go Mom?” tanyanya polos
Aku mengangguk, menurunkannya dan menuntunnya berjalan. Diah mengikuti kami dari belakang. Handphone ditanganku berbunyi, satu pesan masuk aku baca dengan cepat “Louge Private Hotel.” Nomor itu masih tetap, dan aku tidak perlu mengingatnya meskipun tidak aku save dengan namanya. Tanganku menekan tombol reply “Ok”. Cukup.
  
***
Langkahku tersendat ketika memasuki lobby hotel megah itu. Angga telah menungguku di sofa dan beranjak menghampiri kami. Danish digendongnya dengan lembut, dan mereka berdua tertawa lepas seakan telah lama saling mengenal. Aku bingung bagaimana aku harus bersikap, salah tingkah, dan grogi, campur menjadi satu.
Aku memasuki private lounge perlahan, terdengar suara-suara yang tak begitu jelas, jantungku berdegub kencang.. Aku berhenti, ragu melangkah kaki berikutnya. Angga menggelengkan kepala, dan tersenyum, “Ayo”. 
“Tiara.” Suara berat laki-laki yang sangat aku kenal memanggilku tegas.
“Bapak!!”  Aku tergopoh menghampiri, menyalami dan memeluknya.   Pak Bambang memeluku erat, aku menangis dan meminta maaf.  Bu Bambang dengan sabar menungguku dengan Danish dalam gendongannya. Semua seperti terhipnotis, tanpa kata memandangku.
Pak Bambang terlebih lebih kurus, perasaan berdosa menyelimuti benakku. Berapa lama aku tidak melihat wajah tua yang masih penuh wibawa itu ? Lidahku kelu, begitu banyak yang aku sampaikan dalam pelukannya, tak ada satu kata pun  yang terucap. Pak Bambang melepaskan pelukannya, “Ke Ibu dulu.” Bisik Pak Bambang. Kuhampiri Bu Bambang dengan air mata yang masih terus berlinang. Bu Bambang mendekapku dengan erat, satu kalimat yang bisa aku ucapkan dalam pelukannya .. “maafkan aku Bu.” Aku mendengar isak pelan dalam pelukanku, semua seolah terhanyut dalam suasana. Kukecup pipi Bu Bambang halus… Bu Bambang mengusap menatapku, mengusap sisa air mata di sudut mataku.
“Danish, peluk Eyang.” Mataku memandang Danish yang masih dalam gendongan Bu Bambang. Badannya yang kecil meronta meminta turun dan menghampiri Pak Bambang. Tangannya terulur memberi salam,  dan mengecupnya. Pak Bambang membungkuk dan menggendongnya. “Anak pintar.” Danish memeluk Pak Bambang erat, semua memperhatikannya.
“Kamu adalah bagian dari kami, Danish tahu bahwa kami adalah bagian dari kehidupan dia.” Ujar Pak Bambang. Aku terpukau mendengarnya.
Aku membalikkan badan dan memandang sekeliling, wajah-wajah itu tak banyak yang berubah, senyumnya hangat dan menampakkan kerinduan. Widi mendekatiku, dan memelukku. “Tiara, 3 tahun aku tidak bisa menghubungimu, apalagi melihatmu, kamu lebih dewasa.” Bisiknya. “Aku tersenyum, waktu yang bisa merubahnya Mas.” Balasku pelan.
Satu per satu aku hampiri anggota keluarga itu aku, peluk hangat mereka tak ada yang berubah, tetap nyaman. Tapi … Ada satu yang tak hadir di sini… Desi. Baru aku akan bertanya, Pak Bambang mendekatiku “banyak yang terjadi setelah kamu pergi, tapi kami tidak pernah mencoba menghilangkan sosokmu dalam keluarga kami.
“Kita makan dulu, baru kita ngobrol ya.”
Susunan kursi makan seperti yang sudah diatur, aku tetap mendapatkan kursi sebelah kanan Pak Bambang. Tepat di sebelaku sekarang adalah Angga, Danish, Seva dan yang lain. Aku agak bingung dengan posisi ini, tapi mereka seolah sudah menerima dengan pengaturan ini.
“Mas, biar Danish di sebelahku, nanti merepotkan.” Ujarku pada Angga.
“Ga apa-apa Mbak, aku bisa kok.” Jawabnya. Aku membiarkan dengan keinginannya. Danish tidak terlalu repot dalam hal makan bersama, dia sudah terbiasa makan dengan rapi di setiap jamuan.
Suasan makan malam itu berjalan dengan santai, canda Bayu masih terus menghangatkan suasana. Citra yang ramah dan semakin dewasa. Aku rindu dengan suasana ini. Sesekali aku melihat Widi mencuri pandang kearahku, aku tersenyum dan melepaskan pandanganganya. Ada satu pertanyaanku tentang Desi, sejauh ini tidak ada di sekitar kami, mungkin Desi tak bisa berangkat karena kesibukan pekerjaannya, pikirku.
Makan malam berlangsung tidak lebih dari satu jam. Satu per satu meninggalkan ruangan. Seva pamit mengajaknya bermain dengan Dian. Pak Bambang mengajakku ke sofa di tengah lounge, Bu Bambang mengikutinya dari belakang. Aku mencari-cari anggota keluarga lain yang mengikuti kami, hanya Angga yang masih setia di antara kami.
 “Mom, I want a cup hot tea.” Terdengar suara di belakangku.
Aku menggendongnya, with sugar ? Danish menggeleng dengan cepat. I’m so cold here, bisknya. Semua tersenyum. Angga mengajak Danish meninggalkan ruangan itu. Aku terdiam tanpa menghalanginya. Dan, semua mata memandang ke arah mereka. Rasa dingin tiba-tiba merasuki seluruh tubuhku. Aku melihat kemiripan di antara mereka berdua.
“Jadi, selama ini kamu tinggal di sini?” Suara Pak Bambang mengagetkanku.
“Iya, satu bulan sejak pertemuan terakhir, saya pindah ke sini sesuai dengan rencana.”
“Masih dengan profesi yang sama?” pertanyaan Pak Bambang mengagetkanku.
“Masih, hanya itu yang bisa saya tekuni.” Sedikit tergagap aku menjawabnya.
“Tiara sering ke Semarang? Tanya Bu Bambang.
“Kecuali tahun pertama, setiap lebaran saya pulang”  jawabku
Tatapanku ke arah pintu, mencari sosok kecil Danish, tak kutemukan.
“Kami yakin kamu bisa melakukan apa yang kamu mau, kecerdasan dan ketekunanmu selama ini sudah menunjukkan kemampuan di luar bidangmu.”
Aku tersipu. “Dulu iya, sekarang sudah beda, usia bertambah agak sedikit lambat jadinya.” Candaku.
“Kamu masih tetap sama Tiara, selalu semangat dan percaya diri.” Bu Bambang menimpali.
“Suamimu di Bali juga?” pertanyaan Pak Bambang mengaggetkanku. Itu yang sebenarnya aku hindari, namun aku yakin bahwa petanyaan itu akan muncul tanpa aku siap menjawabnya.
Aku terdiam.
“Tidak Pak.”
“Di Jakarta?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Tiba-tiba semua terdiam.
“Kamu belum siap bercerita tentang dia, suatu hari kamu harus membawanya kepada kami.”
Angga memasuki ruangan.
“Danish dengan Seva dan Mbak Diah di taman.”
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
“Bapaknya Danish di mana Mbak ?” Angga bertanya dengan sekonyong-konyong. Pak Bambang seketika memandang Angga tanpa kata. Angga tergagap.
“Ada mas.” Aku menjawab cepat.
“Angga, pertemuan demi pertemuan tanpa kita rencanakan, seolah menjadi satu hubungan yang tidak bisa dipungkiri, ini adalah takdir.  Dari pertemuan terakhir kita, hingga pertemuan kali ini, sudah di atur oleh Yang Kuasa, apapun yang terjadi sebelum pertemuan ini, sebenarnya kita telah saling mengetahui.”
Aku memandang Pak Bambang tak mengerti.
Angga terdiam.
“Maksud Bapak ?” spontan aku melontarkan pertanyaan itu.
“Tiara, banyak yang terjadi setelah kamu pergi, tentang keluarga besar,  perusahaan dan lain-lain. Dan kami mencoba mencarimu hingga kami harus mengirim orang untuk menemui orang tuamu di Semarang, tak ada informasi sedikitpun tentangmu yang kami dapat dari mereka. Semua seolah terkunci.”
Aku tahu mereka mencariku ke Semarang, bisikku dalam hati.
“Desi meninggal dunia tiga bulan setelah kepergianmu.”
Aku tersentak kaget, dan hanya mampu berucap “Innalillahi Wainailaihi rojiun.”
“Menjelang kepergiannya, hanya satu yang dia minta kepada kami, temukan Tiara.” Aku mulai menangis, perasaan berdosa benar-benar telah menyelimutiku. Aku tidak ingin memotong pembicaraan Pak Bambang. Angga tertunduk.
“Kami tidak menyangka akan kepergianmu itu Tiara, tindakanmu diluar perkiraan kami. Rencana saya waktu itu, setelah kepulanganmu dari Jakarta, kami akan ke Semarang untuk menceritakan semuanya, dan cerita itu tak pernah kamu tahu.”
Aku semakin tidak mengerti.
Angga berpindah duduk di sebelahku, tangannya menyentuh jemariku  dihadapan orang tuanya. Aku menariknya perlahan, tanpa memandang Angga. Kikuk.
“Tiara, apakah Danish anak Angga ?.” Suara Pak Bambang terdengar pelan dan hati-hati, tapi seperti petir di siang bolong di telingaku. Mukaku terangkat, mataku memandang Pak Bambang. Semua menunggu jawabanku. Tangisku meledak tak tertahan lagi. Angga memelukku. Tangisanku berlabuh di dada Angga, saat seperti inilah yang aku rindukan, dimana aku bisa melepaskan tangisan, melepas beban dalam dekapan orang yang aku cintai.
Pak Bambang menghela nafas panjang, Ibu Bambang menghampiriku, dan mengusap-usap rambutku. Tahukah apa yang aku rasakan sekarang ? Aku malu kepada Pak Bambang dan Ibu, aku tidak bisa menjaga amanah yang mereka berikan kepada ku selama aku bersama mereka. Tangisanku beralih dalam pelukan Bu Bambang, diantara isakanku, aku mohon maaf … Bu Bambang mengangkat badanku, memandang mataku.
“Mengapa Tiara pergi ? Mengapa membiarkan hidupmu sendiri dengan beban yang harusnya ditanggung juga oleh Angga ?”
Angga memberikan beberapa helai tissue, Bu Bambang kembali ke samping Pak Bambang. Semua menunggu jawabanku. Kutarik nafas panjang, mencoba merangkai kata dalam hati. Aku memandang Angga, matanya mengandung sejuta pertanyaan yang harus aku jawab.
“Bapak dan Ibu pasti paham dengan kondisi pertemuan kita tiga tahun yang lalu. Kepergian saya pada dasarnya tidak ingin merusak lebih jauh tatanan pernikahan antara Mas Angga dan Mbak Desi, meskipun pada akhirnya Mbak Desi mengikhlaskan Mas Angga untuk menikahi saya.”
“Menurut saya, tidak adil rasanya membagi perasaan Mas Angga dengan saya, meskpun itu adalah keterlambatan yang tidak dapat ditolerir. Saya mengharapkan bahwa dengan kepergian saya, dapat memperbaiki hubungan Mas Angga dan Mbak Desi.” Lanjutku. Semua diam, belum berkomentar.
“Tiga minggu setelah pertemuan itu, saya dinyatakan mengandung, saya tahu siapa bapaknya. Janji hati saya untuk tidak kembali merusak pernikahan Mas Angga, saya tidak memberitahukan kehamilan saya ke Mas Angga, dan rencana yang saya sampaikan pada pertemuan akhir itu, menjadi scenario hidup yang harus saya jalani di masa yang akan datang. Saya berangkat ke Bali ketika kehamilan saya memasuki bulan ketiga. Orang tua saya, tidak pernah tahu, siapa bapak Danish, dan saya tidak menikah untuk menutupi status saya.” Air mataku kembali berlinang.
“Danish adalah anugerah untuk saya, menggantikan sosok Mas Angga, janji saya, suatu hari saya akan sampaikan kepada Mas Angga, meskipun saya tak tahu kapan.”
Angga tidak bergeming dengan diamnya. Tangannya menggengaam jemariku erat. Aku tahu sifatnya. Dia hanya akan bicara tentang perasaannya ketika kami berdua.
“Tiara, saya tahu Angga tidak jujur tentang kondisi yang terjadi di akhir-akhir masa waktu itu. Angga tidak cukup berani, karena jika diungkapkan akan menambah rasa bersalahmu. Desi sudah divonis dokter tidak berumur panjang ketika saya sampaikan tentang keikhlaskan Desi untuk menerimamu sebagai madu. Tentang bagaimana bentuk keikhlasannya itu, kami memang tidak pernah tahu, tapi Desi cukup bijak untuk mengatur anak-anaknya berada di tangan siapa ketika dia sudah tidak ada.”  Pak Bambang berkata dengan tenang.
“Tentang kehamilanmu, mungkin firasat Desi untuk segera mencarimu, dia berkata “Tolong cari Tiara, dia butuh Angga disampingnya, ada anak yang dikandungnya, anak Angga, Sampaikan aku ikhlas dia menjaga anak-anakku” itu pesan terakhir sebelum Desi meninggal.”
“Satu minggu sejak meninggalnya Desi, kami kembali ke Semarang, dan kami tidak pernah mendapatkan informasi dimana kamu berada, sampai akhirnya kami disini, dan menemukanmu. Jika kami harus kehilangan Desi, apakah kami harus kehilangan darah daging kami juga?” Bu Bambang menambahkan disela isaknya.
Angga menarikku dalam pelukannya, badanku terguncang. Perasaan bersalah satu per satu berganti  dari kesalahan yang satu dengan yang lain. Dulu kuanggap semua keputusanku adalah satu kebijaksanaan yang bisa menyelesaikan permasalahan di keluarga besar ini, dan aku tak menghiraukan beban apa yang akan aku jalani nanti.
“Tiara, jangan pernah pergi lagi. Kembali ke Jakarta, hidupmu disana, bersama kami.” 
Pak Bambang menghampiriku, dan mengusap rambutku.
“Bicarakan segala sesuatunya dengan Angga.” Kata-kata itu tanpa beban, namun menunggu satu tindakan. Pak Bambang mengecup keningku dan berjalan menuju pintu bersama Bu Bambang, meninggalkan kami berdua.

***

Suasana hening, aku masih diam dengan isak kecil didada Angga. Belaian halus terasa begitu menyejukkan, membiarkan kata hati saling bicara. Jujur, aku bingung untuk memulainya. Kehadiran buat hati yang tak diketahui, membuat kami seakan lebih menyatu. Jalan Allah tidak pernah diketahui, kita  hanya berencana tentang segala sesuatu yang kita harapkan.
Angga merenggangkan peluakannya dan mengangkat wajahku perlahan. “Kenapa tidak pernah bilang ada Danish di antara kita ?” Jarinya menyentuh sudut bibirku, dan menggantinya dengan kecup kecil dan sesaat.
“Surat cinta terakhirmu, membuat hidupku menjadi gelap, dan begitu meyakinkanku bahwa aku tidak bisa menemukanmu kembali.”
“Maafkan aku Mas, apa yang aku sampaikan tadi, itu adalah satu jawaban tentang semua keputusanku, aku tidak mau menambah beban dalam keluarga Mas lagi.”
“Jujur, pesan terakhir Desi, memberiku semangat bahwa suatu hari aku pasti menemukanmu lagi. Hidupku seolah menunggu keajaiban untuk bertemu denganmu dan anakku. Entah kapan, tapi aku yakin aku pasti bisa menemukanmu.”
“Tak terbayangkan bagaimana keluarga besar Mas menilaiku seperti apa sekarang. Ketakutan itu sudah ada sejak pertama kali kita bersama, di satu sisi ketakutan itu ada, namun di sisi lain perasaanku tidak bisa aku hindari, itulah egoisku.”
“Tiara …”.
“Kenapa tidak panggil aku Mbak lagi ?” tanyaku terdengar aneh
“Karena sekarang adalah ibu anakku.”  Bisiknya.
“Aku tidak akan berkata banyak tentang hari-hari yang telah kau lalui sendiri, tanpaku. Tapi aku akan menebus waktu dan beban yang telah kau lalui dalam kesendirian. Biarkan aku membahagiakanmu. Janji yang kuucap sejak pertama kali, aku penuhi tanpa ada yang aku ingkari, perlahan tapi pasti, semua jalan telah kita lalui, dan telah pada satu titik yang aku tunggu, Menikahlah denganku…, jadilah ibu dari anak-anakku.”  
Untaian kata itu melantun penuh arti, berapa kali Angga mengajakku menikah, tapi kali ini, yang bisa membuatku untuk berkilah karena satu alasan….Inikah waktu yang aku tunggu ?
“Mama ..” suara kecil memecahkan keheningan kami. Angga berdiri dan mendekap erat Danish, menciumnya berulang kali. Matanya berkaca-kaca. Diah meninggalkan kami bertiga.
“Mama, Eyang bilang kita mau pindah Jakarta.” Suaranya terdengar riang, Angga mengangguk dan mengiyakan tanpa persetujuanku.
“Benar Papa?” matanya memandang ke arah Angga. Aku terkejut dengan sebutan yang diberikan Danish kepada Angga. Angga memandangku.
“Yups… minggu depan kita pindah ya. Papa siapkan semuanya di Jakarta.” 
“Aku yang memperkenalkan diri sebagai papanya ketika dia sampai di hotel tadi.” Bisik Angga lembut. Aku terpana, artinya dia sudah yakin bahwa Danish adalah anaknya sejak sore tadi. Danish melepaskan diri dari gendongan Angga dan menghampiriku.
“Love you Mom.” Tangannya terangkat ke atas meminta pelukan, aku memeluknya dengan linangan air mata, kebahagiaan mengalir dan rasa syukur aku panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Pandanganku beralih pada Angga, dan tersenyum…
“Ya, aku mau menikah denganmu…”
Angga memeluk kami berdua, bukan satu yang mudah untuk mengungkapkannya, rasa sayang, kehangatan, dan kebersamaan hadir semakin mendalam, satu perjalanan hidup terjalin dengan segala cerita yang silih berganti, dan sampai pada satu titik yang merupakan satu komitmen awal.
Dan semunya, dimulai dengan Bismillah…



0 comments:

Post a Comment