Saturday 27 December 2014

Bagian Kelima : "Diantara Kalian"



Hari-hari kulalui lebih bersemangat dan penuh harap. Tugas-tugas rutin dilakukan dengan lebih baik, satu prestasi yang patut dibanggakan dalam jenjang karir diusiaku. Beberapa penawaran kerja dengan jenjang yang lebih bagus datang silih berganti, hingga satu titik aku harus memilih di antara mereka. Mungkin ini saatnya aku harus lebih tegas untuk memutuskan apa yang terbaik untukku. Menjauh dari satu bayang-bayang, yang kadang bukan satu keberuntungan. Dan aku harus lebih kuat untuk mempertahankn  keputusanku  agar bisa lebih mandiri.
Angga tidak berhasil mempertahankanku untuk tetap tinggal di perusahaan keluarganya, meskipun demikian aku telah berjanji, sepanjang aku bisa, aku akan membantu perusahaannya. Kekecewaan terpancar dalam setiap kalimat Angga dan pertanyaan-pertanyaan yang hampir tak bisa kujawab terlontar dari Angga. Mungin Angga benar, bahwa keputusanku adalah salah satu cara agar aku tidak selalu berada di antara mereka, namun tak mungkin aku ungkapkan kepada Angga, bagaimana aku sanggup menatap mata Pak Bambang jika sedang membicarakan keluarganya. Aku ingin menjaga semua, meskipun aku sendiri merasakan sakit yang hanya aku yang mengerti.
Hubunganku dengan Angga semakin dekat, komunikasi berlangsung dengan sangat baik, pertemuan demi pertemuan terjadwal dengan rapinya. Hari  ini Angga ulang tahun. Biasanya, keluarga besar mempesiapkan satu makan malam yang diadaakan di rumah atau di tempat lain, dan biasanya aku mendapatkan undangan untuk hadir beberapa hari sebelumnya. Tapi kali ini, aku tidak mendapat undangan itu. Mereka tidak pernah melewati masa-masa seperti ini, kebersamaan mereka begitu kental, dan menjadi keanehan dan pertanyaan dalam diriku. Apakah mungkin aku tidak diundang ? Apakah mereka mulai mencium hubunganku dengan Angga ? Apakah aku harus menanyakan pada Mas Widi ?  Ah, konyol rasanya kalau bertanyaa ke Mas Widi.
Aku mulai merapikan barang-barang pribadi dari meja dan ruangan kerjaku. Kemarin, ada pesta kecil yang diadakan oleh Pak Bambang untuk melepasku pergi meninggalkan kantornya. Rasa haruku begitu menyesakkan dada. Tujuh tahun aku kami bersama membangun perusahaan, rasanya belum cukup apa yang telah aku berikan.
“Hi Dear ..”
Suara itu sangat hangat dan sangat kukenal. Aku mengangkat muka dan melihat pintu. Mas Widi.
“Hai hai Mas… Apa kabar ?. sapaku riang. Kutinggalkan meja kerjaku dan segera melangkah ke arah pintu. Mas Widi mengangkat kedua tangannya dengan lebar, dan aku jatuh dalam pelukan hangatnya.
“Anak emas mau kemana ? Kok tega ninggalin kami.” Kukecup pipi kiri kanan Mas Widi, kunjinjitkan kakiku dan berbisik  : “aku ga kemana-mana”
“Kabar beritanya sudah menyebar kemana-mana …” 
Kulepaskan pelukanku, dan kutuntun Mas Widi untuk duduk di sofa besar.
“Cari pengalaman aja Mas, lagian aku masih di Jakarta. Gampang kan kalau nyari aku.”
“Iya, tapi tak ga gampang lagi kalau teriak dadakan.” Gerutunya. Aku tertawa.
“Kapan mulai kerja ? Di 3G ada sahabatku lho, jadi aku masih bisa mantau nanti, aku akan minta dia jaga Tiara baik-baik” lanjutnya.
“Minggu depan. Oya siapa Mas, jangan-jangan  yang kemarin wawancara. So tahu banget dia tentang aku.”
“Ada deh … nanti ga rame ceritanya.” Mas Widi berjalan ke mejaku. Matanya lekat menatap selembar kertas post it di antara tumpukan berkas. Aku terkejut, di kertas itu kutulis tanggal Angga ultah dengan gambar khusus, untung bukan love. Pucat mukaku.
“Angga ultah hari ini, tapi aneh dia ga mau dirayain.”
            “Aku pikir, kali ini aku ga diundang Mas, marah kali orang-orang di rumah karena aku pergi.” candaku.
            “Enggak, dia cuma bilang ada acara diluar. Tiara hari ini langsung cabut?” tanyanya. Aku mengangguk berat.
“Ya Mas, siang ini. Aku harus beres-beres juga, karena mau pulang ke Semarang. Minta doa restu ama bapak ibu”
            “Good, semoga menjadi berkah, mudah-mudahan di sana ga betah, dan balik lagi ke sini, kami menerima dengan tangan terbuka.” Aku tersenyum.
“Ada titipan dari Bapak, kemarin tak sempat Bapak berikan, surat cinta kayaknya hahaha…” Mas Widi tertawa keras. Aku cemberut.
“Kalau Bapak kirim surat cinta, ga perlu lewat Mas Widi.”
Kuterima selembar amplop putih tipis dengan berkerut.
“Surat cintanya tipis begini Mas, pasti ga puitis.” gurauku. Mas Widi senyum, “Salam dari keluarga besar, dan terima kasih. Jaga silaturahmi kita Tiara ..” Mataku berkaca-kaca. Mas Widi memelukku hangat. Pertemuan ini seolah-olah perpisahan panjang yang tidak akan ada pertemuan lagi. Aku tidak mau itu terjadi. Seandainya …. batinku mengeluh.
“Mas Widi, apa yang aku alami sekarang adalah berkat kesempatan yang telah Bapak berikan, begitu berharga. Tak mungkin aku melupakan dan meninggalkan semuanya.”
“Aku percaya Tiara, kamu anak baik. Jaga diri.”
Mas Widi melepaskan pelukannya dan pamit dalam beberapa saat. Aku masih terpaku melihatnya pergi dan hilang dari pandanganku. Aku begitu terenyuh, apakah salah keputusanku ?  Kembali aku berandai-andai dan kembali aku pada kenyataan yang telah terjadi.
Aku terduduk di kursi kerjaku untuk terakhir kali. Kubuka amplop putih itu perlahan, satu surat pendek didalamnya.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Tiara,
Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas kebersamaan selama ini.  Banyak kalimat yang ingin kami sampaikan untuk menghalangimu pergi, namun kami tidak boleh egois hingga menghambat masa depan yang cerah didepanmu.
Kami do’akan, semoga sukses dalam mengemban tugas baru.
Ingat Nak, itu adalah amanah.
Tanda kasih sayang, kami sampaikan, sebagai bekal.
Kami masih berharap, suatu hari nanti, kamu kembali dan bersama kami.
Wassalam
Bambang S. dan Keluarga
Satu lembar cek terlampir disana. Mataku tidak lagi berkaca-kaca. Isakku sesak. Aku benar-benar merasa bersalah. Namun apa mau dikata, aku telah mengambil satu keputusan, yang detik ini aku tidak tahu apakah yang terbaik atau bukan.  Dengan cepat aku bereskan semua. Aku ingin cepat pergi dari sini, aku tidak ingin menemukan satu moment yang membuatku merasa lebih bersalah.
***
            Langkahku goyang menuju lift apartement dengan box sedang ditanganku. Ga berat sebenarnya, tapi box ini hampir menutupi mukaku …. Langkah di belakangku menjejeri langkahku dengan cepat. Aku membiarkannya melewatiku.  Dan laki-laki  itu tepat berhenti di depanku. Aku menghentikan langkah dengan cepat, kuangkat mukaku.
            “Abis tu badan bawa box kayak gini.” tangan laki-laki itu mengambil box dari tanganku.
            “Mas  ..!” pekikku kecil. Angga tertawa-tawa sambil melangkah ke lift yang terbuka. Aku mengikutinya dengan terburu-buru.  Dongkol juga.
            “Kok ga kerja ?” tanyaku heran. Hari masih siang, alasan apa kali ini yang membuatnya bisa kabur dari kantor.
            “Izin mau bawain box.” guraunya. Aduuh.. bener-bener ledekannya,  gerutuku dalam hati. “Jangan cemberut, bikin gemes.”
            Aku berjalan lebih dulu keluar lift, dan membuka pintu dengan tergesa.
“Udah lama sampai ?” tanyaku. Angga menyimpan box di meja kecil di sudut ruang makan.
“Belum lama, tadi aku telepon ke kantor, terus Saly bilang Mbak udah jalan pulang.”
            Oooo pantas, pikirku. Tiba-tiba aku teringat hari ulang tahunnya hari ini. Aku keluar dari kamar, dan serta merta memeluknya.
            “Met ultah Mas, semoga panjang umur dan sukses selalu.”  Satu kecupan kecil kudaratkan dibibirnya. Angga membalas kecupanku dengan hangat. 
“Makasih sayang.” pelukannya erat dan hangat.
“Aku lupa beli kado.’ bisikku.
“Ga perlu, Mbak kado terbaik buatku.” balasnya. Wah kalau begini, rayuannya bisa selangit. Kurenggangkan badanku, dan tertawa … “mulai deh.” Angga tersenyum menanggapi. Kusiapkan minuman dingin dan kue kecil simpananku sebagai jamuan ulang tahunnya kali ini. Ini memang tak kuduga sama sekali, tak ada persiapan apapun. Untunglah datanganya lepas makan siang, aku yakin dia sudah makan.
Kursi kekuasaanku sekarang jadi kekuasaan Angga juga. Dia terlihat nyaman duduk disana dan mencari–cari acara TV.
“Kapan ke Semarang ?”
“Besok pagi.”
“Balik kapan?”
“Hari Sabtu.”
Angga menghela nafas pendek.
“Kenapa?” tanyaku.
“Andai aku bisa ikut.” pelan, tapi jelas jawabannya. Kali ini aku yang menghela nafas. Satu jawaban yang tidak aku kira. Is it possible ? pikirku dalam hati.
“Tumben ga ada acara kumpul di rumah hari ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Aku ingin menghabiskan waktu hari ini dengan Mbak. Di rumah acara hari Minggu.” jawabnya.
“Paling enggak, jam 7 udah sampai rumah Mas, mereka pasti nunggu.” timpalku. Angga terdiam.
“Ga suka aku disini?’ Aku menggeleng cepat.
“Bukan begitu, aku hapal kebiasaan di sana, nanti ada pertanyaan.” jelasku.
“Aku sudah bilang  pulang agak terlambat malam ini.’”  Angga menatapku sesaat.  Satu kebohongan lagi, pikirku.  Angga meraih bahuku perlahan. Aku tak bereaksi. “Lihat aku Mbak, coba lihat apakah ada satu kebohongan tentang perasaanku kepada Mbak selama ini?” 
Kuangkat kepalaku dan menatapnya, “Aku tidak bilang kalau Mas bohong kan? Aku menghargai perasaan Mas sebagaimana aku menghargai perasaanku.” 
            Kusentuh pipinya perlahan, jujur ada rasa perih di dalam sana. Aku mulai merasakan rasa takut kehilangan yang mulai mendera. Satu rasa yang alami sebenarnya, namun tidak pada dia seharusnya. Tangan Angga menahan tanganku dipipinya, dan mengecupnya. “Aku tidak mau kehilangan Mbak.”  Kalimatnya membuatku kaku. Tangan kekarnya meraihku lebih dekat, badannya berdiri tegak dan mengajakku berdiri. Aku terheran-heran. Belum lenyap rasa heranku, Angga mengangkat tubuhku dan membopongku ke kamar tidur.
            “Mas ..”  bisikku lirih.
            Angga mencium keningku dengan lembut dan merebahkan tubuhku di tempat tidur.  Wajah kami begitu dekat, tangan kiri Angga mempermainkan anak rambut di keningku. Matanya sayu menatapku, nafas lembut menyapu permukaan wajahku. Darahku berdesir halus. Wajahnya lebih dekat, aku tak kuasa, menjauh dan membiarkannya lebih dekat.  Aku bisa merasakan kecupan hangat di kedua kelopak mataku, pipiku, dan bibirku. Kecupan-kecupan itu menjadi lebih hangat ketika tanganku menyentuh rambutnya, bahunya ….
Nafasnya mulai tidak beraturan, aku mengerti apa yang tengah kami alami. Sentuhan demi sentuhan dia berikan dan membiarkan aku menikmatinya. Ciuman kami membuat kami lupa dengan segala kendala yang akan kami hadapi nanti. Dan kami telah membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Jemari kami yang bersatu sebagai tanda kami melewati batas yang seharusnya tidak kami lalui.
Hari ini, aku telah menyerahkan semuanya kepada Angga. Tangis   lirihku  dalam dekapannya. Angga mendekapku dengan erat, mengecup keningku berulang kali.
“Mbak, aku tidak akan pernah meninggalkan Mbak. Aku tidak mau selamanya menjadi dosa,  Aku akan menikahi Mbak.” Bisikan Angga membuatku aku mengangkat muka.
“Keadaan seperti ini yang sebenarnya aku hindari Mas, tak kubayangkan bagaimana kita akan menghadapi semuanya. Tapi aku tidak akan pernah menyesal, kita cari jalan keluarnya.” 
“Jalan keluarnya adalah menikah.”
Aku terdiam. Aku pun tidak ingin menambah dosa lebih banyak. Tapi di sisi lain, bagaimana aku harus menghadapi orang-orang yang telah mengenal kami  dengan baik, bagaimana aku harus bicara dengan kedua orang tuaku ?
“Biar aku yang urus Mbak, tidak ada niat sekecil apapun untuk mempermainkan Mbak, niat menikahi Mbak tidak muncul hanya karena kejadian ini, niat itu sudah ada sejak lama. Kita hadapi sama-sama.”
“Disatu sisi, Mbak harus lebih mengerti dengan pekerjaanku, sebagai karyawan aku harus lebih giat, untuk membangun rumah tangga, aku harus membaginya dengan adil.”
Aku tak menyangka Angga sudah berpikiran jauh seperti itu. Aku tak tahu, apakah aku senang, bahagia, sedih atau kecewa ? Sampai saat ini aku tidak tahu. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya.
“Ini kado terindah yang pernah aku terima, sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupa. Setiap detik waktu menuju ulang tahunku akan menjadi satu tahapan untuk mengingatnya dengan lebih sempurna.”
Aku tersenyum. Ya, Angga tidak akan pernah melupakan hari ini, tanggal dan bulan ini, dengan ada atau tidak adanya aku disampingnya nanti.
Bersambung ...

0 comments:

Post a Comment