Friday 21 November 2014

Cerita Sahabat "CR?" -- Part Two --

Langkahku gontai menuruni tangga pesawat, rintik hujan mulai turun membasahi ujung tangga. Selama dua hari di Bali, pikiranku sedikit terganggu mengingat pembicaraanku dengan Lisa. Sampai hari ini, Lisa masih menghubungiku dengan permasalahan yang sama, tapi untunglah kelihatannya sudah mulai bisa berpikiran jernih. Justru aku yang belum bisa berpikiran jernih untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Rara …!” satu suara membuyarkan pikiranku. Aku mencari sumber suara yang sangat aku kenal, halus dan sedikit sexy, upss….

“Hai, lama nunggunya ya, maaf ga sempat bilang kalau delay hampir setengah jam.” jawabku. Sosok tegap itu sudah di depanku, dan tangannya menarikku dalam pelukan hangatnya. Sampai detik ini, aku masih merasakan kenyamanan pelukannya.
“Basah begini, ga minta petugas untuk siapin payung.” gerutunya. Aku tertawa, “yang lain juga kehujanan, masa aku aja yang minta.”
Kami melangkah di antara hujan yang mulai reda, tangannya terulur menarikku untuk lebih cepat berjalan. “Hujan begini bisa lebih cepat buat sakit… “ katanya. Dengan sedikit meringis, kuikuti langkahnya menuju mobil yang tak jauh dari terminal. Badanku memang terasa dingin, tanganku mencari tissue di kursi belakang, AC mobil mulai dihangatkan, kami melaju ke luar bandara Soekarno Hatta.
“Kita makan dulu ya.” ajaknya. Aku mengangguk.
Anganku mulai kemana-mana. Berpikir apakah harus kuceritakan tentang Lisa kepada Dave ? Apakah ini waktu yang tepat untuk bicara ? Jujur, sebenarnya aku masih sangat penat, tapi aku tidak bisa menunda  untuk berbicara dengan Dave. Tapi apakah aku bisa menerima semua penjelasan dan akibatnya ? Bingung, bener-bener bingung.
“Sayang, kok diam begitu ?  Gimana acara kemarin ? Sempet jalan-jalan di sana ?
“Enggak apa-apa… dingin. Acara oke, meskipun sedikit boring, dan seperti biasa, materinya membosankan karena itu itu saja. Kemarin sempat dinner, after that aku jalan ama Mona dan Frans, cari angin berbau pantai.” kataku. Kupalingkan mukaku ke arah kaca kiri yang tertutup embun, suaraku sedikit datar.
Anything oke ? tanyanya lagi.
 Aku tersenyum kecil. “Kok nanyanya gitu sih…” balasku.
“Agak aneh hari ini. Oya kemarin aku sudah bicara dengan Mama untuk rencana kita, Mama mau mengajakmu makan siang Sabtu depan.” Nafasku tertahan.
“Sedikit cape … iya, Mama sempat BBM kemarin, aku atur untuk acara itu, siapa saja yang ikut ?”
“Belum tahu, ga usah rame-rame, kita ambil yang inti saja.”
Sepertinya, memang saat ini adalah waktu yang terbaik untuk bicara dengan Dave, sebelum hari Sabtu. Masih ada sisa waktu tiga hari agar Dave bisa berpikir.
“Yuks … jangan melamun saja.”
Kugandeng lengan Dave untuk menetralkan suasana, tapi masih tetap saja aku merasa “dingin”. Meja di sudut taman sepertinya cocok untuk bicara, tamu restoran belum begitu banyak, suara musik lembut  bisa sedikit menahan emosiku yang mungkin sedikit naik nanti. Pusing sendiri memikirkan itu.
“Pesan apa Dave, sepertinya yang berkuah oke ya ..” tanyaku.
“Aku sop iga dan wedang jahe.”
“Kalau gitu aku pesan soto betawi dan teh hangat.” sambil menuliskan pesanan di secarik kertas warna kuning. Kupanggil pelayan dan kuserahan pesanannya.
“Ra ..”
“Yups …”
“Ada yang ingin aku ceritakan padamu.”
Mata kami bertemu. Ada sedikit keresahan yang terpancar dari matanya. Batinku bertanya-tanya, apakah sama dengan apa yang ingin aku bicarakan ?
“Ada apa ?” tanyaku. Pelan, menenangkan batinku.
“Mungkin akan membuatmu kaget dan marah.”
Keningku berkerut. “kok bisa ?”
“Semua salahku, aku tidak jujur.”
“Coba ceritakan.” Berdebar hebat jantungku, dudukku tak tenang, jemariku saling bermain.
“Lisa sudah bicara semuanya kemarin. Dia menghubungimu beberapa hari yang lalu, dan bercerita tentang kami.”
Ternyata cukup gentle  juga ….
“Seharusnya aku bicara padamu jauh-jauh hari.”
“Itu tak mungkin kamu lakukan, Dave. Dan kalau Lisa tak bicara tentang pertemuanku dengannya, aku ragu kamu pun akan bicara padaku.” Jawabku tajam.
“Tidak begitu Ra, aku memang harus bicara kepadamu.”
“Kapan ? Setelah semuanya terbuka ? Tak ada sedikit pun dalam pikiranku kalau kamu ada hubungan dengan Lisa, dan posisinya, aku hadir setelah Lisa. Kamu tahu sedekat apa aku dengan dia, teganya.”
“Rara, tidak begitu kejadiannya.”
“Apakah yang disampaikan Lisa kepadaku bohong ? Dua tahun bukan waktu yang pendek untuk menjalani hubungan tanpa status seperti itu, kamu benar-benar telah mempermainkan dia.”
“Rara, dalam satu hubungan, masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk mentreat, begitu juga aku dengan Lisa. Lisa terlalu berpikiran jauh, banyak waktu bersama dengannya, tak pernah kami  bicara tentang komitmen apapun. Dia wanita modern, berkarir, sukses, dan supel, paham sekali dengan ciri-ciri hubungan kami.”
“Tidak semua wanita modern paham dan mau melakukan hubungan macam itu. Lihat-lihat dulu lah, jangan mengeneralisasi. Kamu cukup pintar juga untuk memilih siapa yang ingin kamu kencani.” suaraku mulai meninggi. Hatiku mulai terasa sakit.
Pelayan datang dengan pesanan kami. Pembicaraan kami terhenti, mulutku terkunci, tak ada selera makan lagi. Dave merapikan piring-piring di meja, menatapkau … “makan dulu.” Kuraih sendok garpu tanpa kata, soto betawi yang biasanya bisa menambah nafsu makan, sekarang seperti satu mangkuk air putih dengan daging di dalamnya, tanpa rasa. Hening. Dave pun sepertinya merasakan hal yang sama, suapannya lambat, sesekali matanya menatapku, sesekali tangannya menyentuh jariku. Aku tak bergeming.
Inilah jawaban yang aku tunggu sejak dua hari yang lalu. Kami memang tidak pernah membicarakan hal-hal yang penting melalui telepon, semua diselesaikan dengan bertemu dan berdiskusi. Sengaja tak kuusik tentang pertemuanku dengan Lisa, aku butuh konsentrasi di Bali. Selama dua hari itu pun, aku tidak mempersiapkan pertanyaan dan jawaban, ataupun kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi jika kami berbicara tentang Lisa.
Makanan pun tersisa, kuteguk teh yang mulai hangat. Kami masih terdiam, sampai kapan ?
“Apa yang harus kuceritakan tentang kita kepada Lisa ? Kenapa harus Lisa ? Kenapa bukan teman-teman wanitamu yang lain ? Aku tak bisa membayangkan bagaimana hubunganku dengan Lisa selanjutnya.”
“Lisa sudah mengetahui hubunganku denganmu sejak kita berhubungan dan Lisa sudah mengetahui bahwa kita akan menikah.”   
“WHAAAT!!” kataku setengah berteriak. Nafasku rasanya terhenti. Aku benar-benar tidak mengerti. Aku mengenal Dave pada saat dia masih menikah dengan Mbak Anggi, dan kami mulai berhubungan dengan Dave tiga tahun sejak perceraiannya. Hubunganku dengan Mbak Anggie baik, dan Mbak Anggie tahu tentang hubungan kami. Lisa dan Dave  pernah bekerja di satu kantor yang sama, sampai akhirnya Dave pindah ke perusahaan lain dan aku pun tahu mereka masih berhubungan. Tak pernah sedikitpun aku berpkir di antara mereka ada hubungan khusus.
Selintas dalam benakku, apakah aku atau lisa yang dikhianati.
Memang benar, di antara aku, Lisa, dan Dave tidak pernah bertemu dalam waktu yang sama, dan sampai kejadian kemarin, aku tidak pernah bercerita tentang Dave kepada Lisa. Tapi Lisa mengetahui hubungan kami ? Apakah aku harus marah, malu atau senang ? Benar-benar tidak masuk akal. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan dan jawabanku sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
“Iya Ra, Lisa tahu semuanya.”
“Bagaimana kamu bisa melakukan ini, Dave ?”
“Lisa mulai berubah sejak mengetahui hubungan kita. Dia lebih posesif  dan meminta lebih. Awalnya aku ikuti, dengan pegangan tidak melebihi batas.”
“Batas apa?” tanyaku sinis.
“Kita sama-sama dewasa Ra, tidak perlu aku jelaskan dengan detail.  Semua terjadi antara aku dan Lisa sebelum kamu ada, dan aku sudah menghentikan semuanya sejak aku melamarmu.”
“Bisa ?” Rasanya krisis kepercayaan mulai melandaku, ini sangat mengganguku.
“Apa perlu kita bertemu bertiga ?’ tanya Dave, suaranya mulai meninggi. Tak kujawab pertanyaannya.
“Dengar Rara, Lisa bicara tentang Causal. Dia paham sekali tentang hubungan seperti itu. Justru aku agak aneh ketika dia menanyakannya padamu. Aku punya masa lalu, biarkan berlalu.”
Dave termasuk populer di kalangan owner bidang property di Jakarta. Dia terkenal dengan kepiawainnya bernegoisasi, bersosialisasi untuk mencapai target market perusahaan. Perusahaan-perusahaan berani membayar mahal menculik Dave dari kantor-kantornya yang lama, sehingga pihak perusahaan harus mempunyai komitmen yang kuat untuk menahan Dave agar tidak lari ke perusahaan lain.
Beberapa catatan yang kuketahui tentang masa lalu Dave. Di usia 6 tahun pernikahannya, Mbak Anggie meminta cerai karena tidak bisa memberikan keturunan, permintaan itu ditolak Dave, sampai akhirnya di usia 8 tahun pernikahannya, Dave menuruti keinginan Mbak Anggie, dan mereka bercerai baik-baik. Sejak itu terdengar cerita-cerita kehidupan pribadi Dave dengan beberapa wanita. Tahun ini, genap 4 tahun Dave bercerai.  
Terbayang dalam pikiranku, bagaimana hubungan Dave dengan wanita-wanita  itu terjalin. Boleh dibilang, Dave punya segalanya, dia bisa memilih wanita mana yang ingin dia ajak hang out, traveling, apalagi hanya untuk lunch dan dinner,  and next ? Entahlah … Tak kudengar ada gossip tentang hubungan Dave dengan wanita secara serius, sampai akhirnya kami menjalin hubungan dan Dave mulai memperkenalkanku kepada rekan-rekan kerja, teman-teman, dan keluarganya sebagai calon istri.
“Rara ..” tangannya menarik jemariku. “Bicaralah ..”
“Kesalahanku adalah meneruskan hubungan dengan Lisa, meskipun telah ada kamu, tapi aku tidak pernah mengkhianatimu. “Aku mengakui hubunganku dengan Lisa, tidak ada komitmen apa-apa, sampai akhirnya Lisa menanyakan kelanjutan hubungan kami, aku jawab apa adanya, aku tidak bisa, karena aku telah memilihmu, aku akan menikahimu” lanjutnya.
Aku masih terdiam. Ingin rasanya aku tanyakan sejauh mana hubungan  Dave dengan Lisa ketika aku ingat bagaimana Lisa menyebut “hubungan kami sudah terlalu jauh”, etiskah aku tanyakan ?
“Pada awal hubungan kami, kamu juga tahu Ra, sebagai partner di perusahaan yang sama, kami mempunyai ritme kerja yang sama, dia tipe pejuang, aku mengerti. Ada beberapa persamaan antara aku dan dia waktu itu, kami sama-sama single, mempunyai tujuan yang sama untuk perusahaan, dan kami punya banyak waktu untuk bersama. Hal-hal itu yang membuat kami tambah dekat, tapi sebagai laki-laki aku punya tipe wanita yang aku harapkan untuk menjadi istriku, dan itu bukan dia.”
“Mungkin kamu berpikiran aku mempermainkan Lisa, untukku maybe yes maybe not. Kenapa aku bilang tidak, dari awal kami tidak bicara tentang seperti apa hubungan kami, tidak ada tuntutan antara satu dengan yang lain, masing-masing punyak hak untuk jalan dengan yang lain tanpa persetujuan satu dengan yang lain, masing-masing tidak punya kewajiban untuk melaporkan atau menginformasikan apa yang dilakukan masing-masing, kami jalan pada saat ada kesempatan, tidak ada yang direncanakan, selama itu nyaman kami tidak pernah menutut lebih dan kami tidak masuk terlalu dalam ke urusan pribadi, misalnya anak atau keluarga. That’s all.
Ow seperti itu ya hubungannya, benar secara teori yang aku berikan kepada Lisa … seperti angina lalu.
“Kusebut Maybe yes, karena di antara kami ada yang bermain perasaan. Itu yang membuat Lisa bertanya kelanjutan hubungan kami. Aku tidak membela diri, tapi di satu sisi, aku kembali kepada pembicaraan awal, aku tidak berjanji apapun, dan tidak bicara tentang sayang atau cinta padanya, selayaknya seperti sepasang kekasih. Apa yang aku sampaikan kepada Lisa bahwa aku telah mempunyai seorang kekasih, yaitu kamu, ditanggapi Lisa biasa saja, tidak terlihat kaget atau ada penyesalan, namun sejak itu sifatnya menjadi posesif, seringkali dia menanyakan keberadaanku dimana. Jujur itu mulai mengangguku. Batas yang aku berikan kepadanya sudah cukup jelas sejak aku berhubungan denganmu.”
Jam menunjukkan 21.30, cukup lama kami disini, dan aku dengan pasrah mendengar semua pembicaraan Dave. Sampai kalimat terakhir Dave, aku masih bingung apa yang harus aku sampaikan. Pikiranku masih bergulat, bercabang, belum pada satu titik kesimpulan. Dengan kejadian ini, ada yang harus aku benahi dalam diri, tentang persahanbatanku dengan Lisa, mungkin akan terjadi perubahan … Tak mungkin aku konfirmasi tentang pembicaraan Dave kepada Lisa, sangat kekanak-kanakan kupikir. Tapi disisi lain, aku harus bisa menghalau pikiran-pikiran jelekku sendiri.
“Rara, aku perlu komentarmu.”
“Tak ada yang perlu dikomentari, yang ada adalah bagaimana aku bisa menerima ini dengan bijak. Membayangkan hubunganmu dengan Lisa sebelum dan sesudah aku ada. Dan memikirkan bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Lisa setelah ini.”
“Tak perlu kamu bayangakan hubungan kami, aku lebih focus memikirkan hubunganku denganmu, melanjutkan rencana kita, tak lebih. Aku perlu kepercayaanmu sekarang, tak ada Lisa dalam hatiku, pikiranku, jadikan semua sebagai bagian masa lalu. Kita hadapi bersama persoalan tentang Lisa, jangan bergerak sendiri-sendiri. Tolong Ra, percaya aku.”
Sebenarnya aku punya pegangan dalam hubunganku dengan Dave, yaitu keluarganya. Dua keluarga sudah merestui hubungan kami dan sedang merencanakan pernikahan, tapi aku perlu pegangan lain dari Dave, untuk membantuk dalam menghadapi hal ini. Sabtu depan adalah penentuan tanggal pernikahan kami, mungkin itu.
“Dave, jujur aku sampaikan, sebenarnya berat sekali aku mendengar cerita ini, tak pernah terlintas dalam pikiranku tentang hubungan kalian. Tapi aku sedang mencoba memahami apa yang telah terjadi. Bantu aku untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang tak baik tentang hubungan kalian dan kelanjutannya. Itu yang bisa membuat aku lebih percaya kepadamu.” Bicaraku lebih tenang, dan aku tak menyangka aku bisa tenang.
“Ra, biarkan aku disampingmu, agar semua prasangka itu hilang dari pikiranmu. Aku minta maaf, aku baru bisa bicara sekarang, pada saat yang tidak tepat.” Tangannya menyentuh pipiku, mengusapnya. Aku mengangguk pasti, dadaku sedikit lapang. Semoga semuanya berjalan dengan lancar.  
“Sudah malam, pulang yuks…” ajakku.
Dave berjalan ke kasir, dan membayar tagihan. Aku melangkah mendahuluinya ke pintu keluar, udara sangat dingin.
Aku ingin cepat pulang, ada yng ingin aku tulis …
***
Dear Lisa,
Aku baru pulang dari Bali tadi sore, acara disana bikin bête, materinya masih itu-itu juga. Tapi aku sempat jalan juga sh ama Mona dan Frans nyuri-nyuri waktu hehe … dan sekarang, aku baru sampai rumah, aku langsung tulis email ini.
Lisa sayang, aku sudah bicara dengan Dave beberapa jam yang lalu, sesampainya aku di Jakarta. Ada yang ingin aku sampaikan mohon maaf aku tidak memberitahumu tentang hubunganku dengan Dave selama ini. Tadinya aku pikir akan jadi surprise buatmu jelang pernikahanku nanti, tapi justru aku yang dapat surprise :-D Aku baru bisa mengirim email ini, agar kita tidak miskomunikasi.
Aku menghargai hubungan kalian sebagai bagian masa lalu dari masing-masing, aku mengerti atas apa yang terjadi. Tidak ada yang bisa merubah persahabatan dan persaudaraan antara kita.
Sun sayang.
Rara
Jariku hampir menyentuh tombol sent di laptopku ketika suara dering pesan terdengar. Dering itu tidak aku kenal. Aku penasaran. Dua menit kemudian terdengar lagi, dua kali. Sumber bunyi datang dari dekat tas kerjaku. Kulihat iphone 5 tergeletak di dalamnya, lho ini kan  handphone Dave, kok  bisa ada di sini ? Keningku berkerut, kok bisa ? Duh, pasti terbawa sewaktu aku turun dari mobil, kupikir handphoneku. Suara pesan terdengar tiga kali berturut-turut. Jam 11.45, pesan dari siapa ?  Penting mungkin.
Kulihat layar handphone, kutekan passwordnya, kusentuh menu BBM, message terbuka, ada beberapa pesan di sana, kubuka pesan yang paling akhir, LISA :
“Darling,  sudah bobo?”
“Aq ga bisa tidur”
“Think of You a lot.”
“I love Casual, never ending between us, I love how you treat our relation”
“Miss you, nite-nite ..:-*
Badanku tersentak, tanganku bergetar. Kutarik nafas dalam-dalam, kuucap satu kata “CASUAL” … Kubuka laptop, kubaca ulang email untuk Lisa, kusorot mouse ke arah TRASH. Done …. Mampukah menghadapinya ????

Bersambung

#Catatan sahabat ini masih aku simpan, untuk aku urai menjadi sebuah cerita.


0 comments:

Post a Comment