Friday 31 October 2014

Satu Pesan Di Suatu Hari, Tentang Ben



Nama wanita itu pernah aku tahu dari beberapa email dan media sosial dari seseorang yang pernah dekat denganku, Ben, tanggal 17 Mei yang lalu. Ada rasa aneh yang terbersit dalam diri, tentang keberadaannya dari isi email-emailnya. Entahlah, sesudah aku dapatkan beberapa email lainnya yang mirip sekali satu sama lain.
Dulu, aku pernah bertanya pada Ben, siapa Elena ? Jawabannya simple, bahwa dia adalah teman sekolahnya dulu di kota kelahirannya dan sering berkomunikasi dengannya melalui media sosial. Dengan isinya seperti itu ? Dia pikir cukup jawaban itu untukku. Tidak bagiku, namun aku cukup paham untuk menganalisanya lebih lanjut.
Waktu pun berlalu, hingga akhirnya aku menemukan “Elena”, melalui media social yang lebih private. Sebenarnya sudah tak penting bagiku, namun rasa penasaranku masih ada sampai waktu itu.
Sebenarnya, aku trial and error ketika aku buka androidku ada invite BBM sore itu. Dan tanpa sengaja, aku lihat ada daftar nama yang bisa aku invite di sana, salah satunya ada Elena. Sebelumnya aku tidak memperhatikannya, coba aku invite, dan aku tidak pernah berpikir kalau dia akan menerima undanganku. Hingga kemarin malam, aku melihat feeds baru di BBM ku, kulihat namanya masuk dalam list kontakku. Hmmm …
Kubuka profilnya, dan kulihat kulihat personal messagenya, sama dengan personal message Ben, saat itu, dengan kalimat: “BAHAGIA, itu sederhana, tersenyum dan selalu bersyukur.” Swear pengen ketawa rasanya. Merinding juga sih:-D Ideku muncul begitu saja, kubuat personal messageku di BBM “Mama, statusnya sama, bentar lagi foto keluarga :-D. Kenapa aku tulis disitu “Mama”? Karena Ben memanggilnya dengan sebutan “Mama”. Tinggal tunggu reaksi berikutnya. Iseng memang.
Seperti yang kuduga, pesannya muncul menyapaku, basa-basi, dan kujawab basa-basi juga, thanks. Kulanjutkan pekerjaanku yang sudah ¾ selesai, sedikit ngantuk tapi aku harus menyelesaikannya untuk besok pagi. Bismillah, semoga tidak begadang.
Pagi hari, jelang sarapan, kubuka handphone untuk mengecek email dan pesan-pesan yang masuk. Ini adalah kebiasaanku setiap pagi, agenda sarapan, handphone, laptop menjadi satu di atas meja makan, biasanya sampai jam 8, dan setelah siap-siap untuk pergi ke kantor. Ada beberapa pesan yang masuk, ada beberapa yang mengingatkanku untuk agenda hari itu, Kulihat pesan paling bawah, wah ada lanjutan BBM darinya, pesan ini aku buka, pesan dikirim jam 03.35, dan aku tersenyum, dan tidak perlu berpikir lagi apa maksud pesan selanjutnya, karena aku sudah menduganya. Membacanya, ada dua kata yang rasanya ingin aku teriakan, “I CAUGHT YOU”!!!!
“Assalamualaikum Mbak, dalam tahujud saya malam ini, perkenankan saya bertanya dengan rendah hati, Benarkah, Mbak istri dari Ben?, Saya ingin bicara dengan Mbak dengan jujur untuk kebaikan kita bersama dan Mbak tidak perlu khawatir, saya bukan orang jahat, bukan wanita yang egois dan bukan wanita yang ingin merebut suami orang. Kalau memang benar, maka Mbak lebih berhak dari wanita manapun termasuk saya. Saya lebih suka melihat rumah tangga orang  utuh dan bahagia. Untuk itulah saya ngin tahu kebenarannya, agar tidak ada kebohongan-kebohongan lagi yang akan sy terima dari salah satu pihak saja. Kalau benar Mbak adalah istri Ben, pasti sudah sedikit tahu tentang siapa saya.
     Panjang banget. Sama dengan Ben yang kalau BBM panjang banget, pasti lama mikirnya :-D
Yakin sekali Elena, kalau Ben telah bicara dengan istrinya tentang dia, seberani apa dia ?
Kujawab pesan itu dengan salam, dan aku jawab apa adanya, “Saya BUKAN istri Ben dan insya Allah TIDAK AKAN PERNAH jadi istri Ben, Saya adalah KORBAN.”
“Astaghfirullah Mbak, jangan begitu, secara agama dan di hadapan Allah Mbak adalah istrinya Ben, tidak bisa dipungkiri Mbak, meski Mbak merasa jadi korban dan tersakiti” jawabnya.
Dia masih tidak percaya. Jujur aku hanya bisa bersyukur tidak jadi istrinya, yang jelas pernah jadi “calon istri gelapnya”, dan aku tidak mau itu, seseorang yang disembunyikan, diberikan janji-janji surga yang akhirnya bawa dia ke neraka.
Andai waktu itu Ben bilang : “Aku beristri, dan aku ingin menikahimu”. Ada dua alternative jawaban yang ada dibenak : Setuju atau mundur. Namun Ben bilang : “Hubunganku tidak bagus beberapa tahun ini dengan istriku, dan kami hendak memproses perceraian. Aku mencintaimu, aku mengharapkan bisa bertemu setiap pagi di meja makan untuk sarapan, berdiskusi, Aku akan menikahimu, bantu aku untuk memproses perceraian.” Ben, itu yang aku kejar. Sayang sekali aku keburu muak dengan semua kebohonganmu. Aku tidak suka membuang waktu atas sesuatu yang tidak pasti. Aku terlalu mencintai diriku dan anak-anak, lebih baik terlepas dari kebohonganmu. Kasihan kan, kalau kau harus susah payah membuat kebohongan dari hari ke hari.
Icon senyum pun aku kirim kepadanya dengan dilanjutkan penegasan pernyataan ulang, “SAYA TIDAK PERNAH MENIKAH DENGAN BEN”
“Saya tahu Mbak dan Ben, sudah 3 tahun pisah rumah, karena ada ketidak cocokkan dan Mbak adalah mantu kesayangan orang tuanya Ben. Sehingga beliau sangat percaya sama Mbak.” Urainya
Hmmm kebohongan mulai terbuka dengan sendirnya, berbeda sedikit apa yang dikatakan Ben padaku. Ben masih serumah dengan istrinya di rumah kontrakannya di sekitar Seltan. Hidup dengan rutinitas seperti biasanya, meskipun dia bicara “kami punya kehidupan masing-masing” ya kasarnya Lu Lu Gua Gua, tapi absent dan jam malam saja masih berlaku bagi dia, yang terbirit-birit pulang, seperti Cinderella jelang tengah malam.
Mantu kesayangan sih katanya begitu, maklum pernikahan dengan perjodohan (katanya), jadi cocok tidak cocok jadi dipaksain, itukan amal masing-masing, mungkin juga masih saling mencintai.
Pertanyaanku meluncur begitu saja dengan text : “Hubungan Mbak dengan Ben gimana ?”
“Hubungan saya dengan Ben memang lagi deket, karena status saya juga sudah bukan istri orang lagi. Tapi saya tetap mempertanyakan status Ben dulu, sebelum semua makin dalam. Kami jarang ketemuan kok Mbak, mungkin dari dulu sampai sekarang bisa dihitung 4-5 kali ketemu, dan itu ketemunya di mall karena Ben terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Saya ke mall selalu di dampingi anak saya.” Urainya.
Aku tersenyum, membaca kata “sibuk” dalam textnya. Sibuk mengatur skenario kebohongan yang dirancangnya dengan calon-calon istrinya.
Kembali aku tegaskan, bahwa aku BUKAN ISTRINYA Ben, “Saya yakin Mbak tambah dekat dengan Ben beberapa bulan ini, nama istri Ben adalah Dewi.” tambahku.
Jawabannya melambat, hanya terlihat “is writing message”, kuletakkan handphoneku, dan kubuka beberapa tulisan yang ada dilaptopku. Kupikir akan berhenti, karena komunikasi ini menganggu pekerjaan pagiku jelang berangkat kerja.
“Iya, Ben pernah bilang kalau istrinya namanya Mbak Dewi, saya pikir namanya di media social bisa diganti-ganti.”
Aku berguman membaca text itu, aku tidak sepecundang seperti yang Elena pikirkan, aku cukup bangga dengan diriku tanpa mengganti identitasku, rugi rasanya.
“Kalau Mbak bukan Mbak Dewi, kenapa sampai tahu email Ben dan tahu semuanya?” tulisnya lagi.
“Karena saya sama seperti Mbak, dekat dgn Ben. Dulu ....” tulisku cepat.
Sayang tidak aku tulis, bahwa waktu bersama Ben lebih banyak denganku di enam bulan tahun ini, dia lebih nurut padaku, dan dia “sibuk” mengatur waktu denganku scenario hidupnya dengan memberikan kebohongan-kebohongan kepadaku (atau dengan yang lainnya).
     Kuingat, di pagi hari, 13 Mei yang lalu, Ben memakai laptopku sewaktu di rumah untuk membuka email, dan dia lupa log out. Sewaktu di mobil dia memintaku untuk membuka laptop, tapi waktu itu masih dalam perjalanan dan tidak ada jaringan wifi (sebenarnya aku punya personal hot spot unlimited, entah kenapa waktu itu aku ga ngeh). Aku tidak ada pikiran apa-apa sama sekali waktu itu. Lurus-lurus aja. Namun waktu aku pulang sore harinya, aku buka email masih online gmail Ben. Ada penasaran tentang satu nama wanita yang pernah jadi bahan perdebatan antara aku dengan Ben. Bukan Elena, (namun selanjutnya aku temukan email dia dengan “foto keluarga”).
     Aku buka page emailnya dan aku search satu nama, dan aku temukan berpuluh-puluh email-email Ben dengan wanita itu, aku cari yang paling lama. Awalnya pekerjaan, lama-lama lain, dan “ingin ketemu” hmmm… Modusnya …. sama. Aku buka halaman-halaman email lainnya, dan pada saat itulah aku temukan pula nama-nama “calon istrinya” yang lain (dengan panggilan-panggilan yang berbeda), sedikit sekali email antara Ben dan istrinya (ngapain juga email, setiap hari juga ketemu).
     Dari beberapa nama itu aku pelajari, skenarionya sama, tentang keluarganya yang tidak kondusif (yang akhirnya aku lebih paham bahwa dia memanfaatkan apa yang terjadi dalam keluarganya, “tidak kondisif” itu pun menurut versi dia), rencana menikah, tentang kakaknya, tentang pekerjaannya tentang “keluarga barunya”, tentang notabene disini aku tidak menemukan seseorang yang “single” tanpa anak, mungkin Ben lebih “menyukai” seorang single parent :-D (tapi kayaknya ada satu yang masih “menikah”).
Dari nama-nama itu, ada satu yang sekarang sudah menikah (mungkin Ben tidak tahu kalau salah satu “calon istrinya” sudah menikah, bersyukurlah wanita itu). Dan email terakhir wanita itu ke Ben adalah menyampaikan CV untuk pekerjaannya (awalnya perkenalan mereka pun dari pekerjaan), dan yang lucunya, wanita itu membuat alamat email baru yang merupakan gabungan namanya nama belakang Ben khusus untuk Ben, So Sweet…! Ben, kalau kau baca tulisan ini, kau tahu siapa dia, dan alamat itu email itu sekarang dijadikan alamat email salah satu media social anak wanita itu. Search deh…….
Dua email Ben tentang “patah hati” pada seorang wanita, dan tidak pernah aku lihat reply wanita itu, kecuali dari sahabat wanita itu. Semua itu membuka mataku di Bulan Mei, jelang rencana pernikahan kami. Allah telah membuka mata hatiku untuk mengetahui siapa dia.
Sampai akhirnya aku temukan email dari Elena di beda hari, dengan “foto keluarganya”, apa yang aku pikirkan tentang ini, ternyata berbeda dengan kenyataan. Aku pikir bahwa dia adalah wanita masa lalunya, ternyata masih berlangsung.
Kenapa aku masih bisa membuka emailnya ? Karena pada saat aku aku bertanya dan Ben jawab itu “masa lalu” dan dia memberikan password barunya. Dan dia memintaku mengecek email-email lain (yang pasti di beda waktu, dan sudah dihapus) dan sudah “bersih” dari para calon istrinya.
Membaca email-email itu membuat kami berdebat dan Ben memintaku semuanya adalah sebagai masa lalu (dan apa yang terjadi sekarang? :-D), inget banget waktu dia pasang status di BBM “Maju, Mundur, atau Jalan di Tempat?” Hmmm… omonganmu itu Bro…. Belajarlah dari pengalaman, kalau mau bohong tolong tulis …
Kukirim pesanku dengan cepat, tanpa memberikan kesempatan untuk membalasnya (aku tidak menyukai text yang panjang, aku lebih suka memenggal kalimat-kalimat dalam beberapa kali pengiriman).
“Apa yang dikatakan Ben kepada Mbak ?”
“Ingin foto keluarganya terpampang di ruang tengah dan di meja kantornya?”

“Minta nikah agama dulu sebelum proses ke nikah Negara sambil menunggu proses cerainya ?”
“Apakah semuanya menunggu persetujuan Mas Tito?”

“Apakah pekerjaannya tergantung Mas Tito ?”
“Dia bilang "Saya adalah tulang punggung keluarga?”
     “Apakah dia bilang bahwa dengan istrinya sedang urus perceraian dan istrinya yang maju ke pengadilan ?”
    “Apakah point-point itu ada yang masuk Mbak ?”
BBM terhenti. Aku beranjak dari meja makan, kusambar handuk di belakang pintu kamar tidurku, langkahku terhenti ketika mendengar handphoneku berbunyi, kubalikkan badan dan menuju meja makan kembali. Dia Lagi…
Kubaca pesannya, “Iyaa Mbak, point nya sebagian masuk seperti yang Ben bilang ke saya.”
Sebenarnya point-point lain ada yang mau aku sampaikan, tapi point di atas sudah cukup pada pokok perkaranya.
Aku kembali duduk dengan malasnya. Otakku berpikir keras, “kurang smart” dia membuat skenario, tapi dengan skenario yang sama berarti dia benar-benar memanfaatkan unsur “tidak kondusif” dalam keluarganya. Atau memang sengaja agar tidak lupa :-D.
“Mbak,saya meninggalkan Ben dua minggu yang lalu. Saya tidak mau ada korban lain. Saya bertemu dengan Ben, bulan September tahun lalu, dan saya berhubungan dengan bulan Januari tahun ini. Saya tidak mau ada korban lain:”
“Kalau Mbak merasa jadi korban, apakah Mbak juga akan membiarkan saya atau wanita lain jadi korban juga?
” tanyanya.
Aku bingung, apa dia tidak merasa sama sekali kalau dia sudah jadi korban yang berlangsung sampai aku mengakhiri hubunganku dengan Ben. Hebat ya, sabar banget:-D. Wew.
“Saya, tidak akan membiarkan Mbak jadi korban, kalau Mbak yakin dan mendapat ridho Allah, lanjutkan, tapi kalau Mbak melihat ada keganjilan, pikirkan” jawabku santai. Aku memang tidak ingin wanita lain menjadi korban, hal seperti itu juga yang aku sampaikan kepada keluarganya (sempat send to many BBM terakhirku dengan Ben kepada keluarganya).
“Makasih Mbak, mudah-mudahan Allah memberi kita hati yang lapang, tanpa membenci siapapun.” tulisnya. Aku menjawab Aamin Yra dalam hati.
Ingin kuteriakan bahwa lapang itu perlu waktu, aku tidak sesabar dia, se”nrimo” dia, tapi aku sangat bersyukur karena telah melepaskan diri dari permainannya.
“Saya sudah kembalikan semua barang-barangnya yang ada di rumah saya, dua minggu yang lalu, satu hari setelah Idul Adha, dan itu bagi saya, sebagai akhir dari semuanya.”
”Barang apa Mbak ?” tanyanya.
“Baju-baju dan buku-buku.” jawabku. Beberapa hari yang lalu aku baru ingat ada sarungnya sampai sekarang ga ketemu, entah dimana ? Dijadikan kain pel, tidak juga :-D Sandal juga ada di rumah, tidak terdeteksi, Sandal itu dipake sewaktu Ben aku jemput di “rumahnya”, yang katanya waktu itu dia sakit. Lupa. Baru aku lihat ketika ke ruang belakang dekat ruang cuci, barang itu tergeletak disudut, terpisah dari barang lain.
“Oh ya sudah Mbak, mudah-mudahan kita bisa saling memperbaiki diri sendiri, tanpa menyalahkan siapapun.” tulisnya. Jujur, yang ada adalah menyalahkan diri sendiri, membiarkan diri dalam satu permainan laki-laki macam dia. Tampang sih boleh alim, sebelumnya aku tidak pernah mempercayai apa yang dia lakukan. Sebenarnya mungkin dia letih dengan satu kebohongan ditutupi dengan kebohongan lain….
“Allah sayang sama saya” jawabku pendek.
“Hanya itu yang bisa kita lakukan, karena kalau kita menyimpan sakit hati dan demdam itu hanya akan jadi duri dalam diri kita sndiri. Makasih ya Mbak, sudah kasih info ke saya. Mbak, kalau boleh minta foto keluarga Ben yang ada Mbak Dewi nya..hehe.”
Aku tertawa, emangnya aku simpan foto-foto mereka ? Lagian bukannya Ben mau bikin FOTO KELUARGA dengan “calon-calon istrinya”?, kenapa tidak minta sama Ben? Berhubungan selama tiga tahun sudah cukup untuk saling terbuka atau aku terlalu “pintar” mencari sesuatu sehingga mendapatkan sendiri apa yang aku inginkan. Dewi memang tidak populer di media sosial, tapi tidak begitu susah bagiku untuk mendapatkannya.
“Wah mesti dicari tu Mbak foto Dewi dan Dean” swear, geli, yang pasti akan aku kirim biar dia tahu (padahal minta saja sama Ben, masih ada foto Dewi satu lagi di handphonenya, mungkin sekarang udah beberapa :-D).
“Sejak bulan April, salah satu doa saya adalah "tunjukan kalau dia tidak Baik untuk saya, dan Allah telah memberikan jawabannya bertubi-tubi, dan ini komunikasi kami terakhir.” Kubuka folder “note” di handphoneku, dan aku copy BBM terakhirku dengan Ben, kukirimkan ke dia sebagai pegangan dia bahwa aku sudah tidak berhubungan dengan dia lagi. Whatever apapun pikiran Elena tentangku, buatku cukup menunjukan bahwa permainan Ben sudah selesai denganku. Dan aku cukup bijak untuk diriku dan keluargaku dengan meninggalkan dia.
“Semua pembicaraan dengan Ben masih saya simpan, juga bukti-bukti yang lain.” lanjutku. Waktu menunjukan hamper jam 9 pagi, beberapa pekerjaan agak tersendat dengan pesan-pesan yang saling berbalas.
“Duuuh Mbak...saya sangat prihatin, tidak nyangka sabar ya Mbak, Bener-bener tidak nyangka Ben seperti itu.”
Tulisannya ini membuat aku berpikir, apa dia tidak merasa kalau dialah yang lebih disakiti? So cool, bijak atau ….?
Kukirim icon senyum, dan aku pamit untuk segera mempersiapkan semua aktifitasku hari ini.
Hmmm… so tired.
Mungkin dia berpikir, apa saja yang aku tahu dan aku punya tentang Ben. SEMUA ucapannya aku punya. Dan aku cukup rajin untuk menyimpan beberapa key event dalam hubungan kami, aneh juga, tidak seperti biasanya. Mungkin sudah feeling bahwa suatu hari diperlukan, hanya untukku, dan akan aku keluarkan jika diperlukan.
Aku bukan termasuk perempuan “solehah” yang menurut pada “Calon Imam” seperti dia. Mungkin, jika dia benar-benar menjadi Iman, dia bisa merubahku menjadi wanita muslimah yang solehah, bukan berarti aku tidak mau atau tidak bisa, tapi aku masih memerlukan bimbingan seseorang yang bisa aku jadikan Imam. Aku apa adanya, paling tidak, aku bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar, dan aku lebih bisa menggunakan logika daripada perasaan, aku tidak mau jadi orang yang munafik. Dan ternyata Ben, bukan Imamku.
Ben yang membuat aku menjadi seorang yang egois, menyebalkan, otoriter (itu pendapatnya), dan hanya kepada Dia. Perubahan ini terjadi sekitar pertengah April, ketika aku menanyakan progres perceraiannya yang menurut Ben diurus istrinya, namun jawabannya tidak memuaskan, apalagi dengan urusan pengacara dan pengadilan sedikitnya aku lebih tahu. Kebohongan itu berpuncak pada kebohongan “jadwal sidang” di bulan Mei. Sejak itu, kenapa aku tidak dengan manis menjawab telepon atau pesan-pesannya ? Mengapa dia tidak bertanya kenapa aku begitu berubah padahal dia tahu kapan aku berubah? Padahal aku sudah mempersiapkan: KARENA AKU TAHU BAHWA DIA TAK JUJUR PADAKU.
Orang pasti tidak akan percaya apa yang aku sampaikan tentang dia. Muka alim, sholat berjamaah (sejak aku pindah ke kota asalku, tidak pernah kami sholat berjamaah, dan lebih sering menunda waktu sholat), tutur kata kata yang halus, bijak… BUSYET DAH.
Aku sempet ditegur adikku ketika aku ceritakan tentang Ben. Aku hanya bilang kepada adikku, “kalau aku punya aib, aku lebih baik tidak bilang sama kamu, aku lebih nyaman bicara pada orang lain. Kenapa ? Karena aku masih perlu rasa hormatmu kepadaku.!! Adikku terdiam. Aku Tanya, apa yang ingin kamu tahu tentang Dia ? Bukti. Kubuka laptopku, kubuka folder pribadiku, kutunjukan salah satu email dan beberapa foto “masa lalunya”, aku tunjukan padanya, Ini, baca dan pahami, bandingkan dengan apa yang terjadi denganku sekarang. Adikku terdiam, dan menatapku, satu kata yang terucap dari bibirnya “iya”, dan dia pergi.
Malam ini, jelang tengah malam, notifikasi BBM ku menyala, jarang sekali aku terima BBM di jam-jam segini setelah aku tidak berhubungan dengan Ben, kecuali broadcast-broadcast yang kadang membuatku meradang.
“Mbak, setelah kejadian semua ini, semoga kita makin bijak, dalam menghadap hidup. Terus terang, awalnya aya juga shock mendengar cerita Mbak.”
“Saya sudah berhubungan dengan Ben selama 3 tahun, cuma jarang ketemu, karena saya percaya sama dia, tapi setelah ketemu sama Mbak, saya benar-benar tidak percaya, tapi itulah kenyataannya, sedih, kecewa, dan lain-lain bercampur aduk.”
Elena lagi. Jujur, aku pikir pembicaraan tentang Ben cukup buat Elena, toh dia sudah dengan sangat berbesar hati menghargai apa yang telah Ben lakukan terhadapku, juga dia.
“That’s life.” jawabku singkat.
3 tahun ? Coba kuhitung, berarti sekitar 2011, lumayan, banyak yang sudah lalu lalang dalam kehidupan Ben.
“Dia panggil saya mama, karena pada Desember 2012 kami sudah rencana nikah siri di Semarang. Ben janji mau ketemu keluarga saya, tapi ditunggu-tunggu tidak datang juga, padahal sekeluarga sudah menyiapkan jamuan makan malam untuk kedatangannya. Saya malu banget Mbak. Tapi saya orangnya pemaaf, dengan sejuta alasan, saya memaafkan dia.” Elena menjelaskan lebih dalam apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Hebat. Beruntunglah aku tidak sampai pada event seperti itu. Mungkin apa yang terjadi dalam kehidupanku, lebih baik dari dia. Rencana pernikahan kami di Bulan Mei, hanya sekadar wacana untuk menyempurnakan kebohongannya. Ada beberapa catatan tentang tahap menjelang Mei itu, masih aku ingat dan aku catat dan ku simpan dengan baik.
Masih ingat juga bagaimana Ben cemburu pada Doni, partner kerjaku, gara-gara cipika-cipiki. Ternyata kecemburuan itu adalah modus untuk menggagalkan kedatangan kakaknya menemui keluargaku untuk berbicara tentang pernikahan (yang notabene rencana itu tidak pernah ada dan keluarganya tidak pernah tahu tentang rencana perkawinan itu). Ben, emailku tentang ini aku kirim ke keluargamu juga.
“Mbak kapan terakhir ketemu Ben?” tanyaku.
“Sebelum Lebaran, bulannya saya lupa.” jawabnya.
Bulan-bulan itu Ben tengah kelabakan menentramkan amarahku, mencari alasan untuk mengelak dari pernikahan dan kejaranku. Ben, makanya jangan janji, kau janji aku kejar, dan aku muak, aku lebih rela meninggalkan kehidupanku dari kebodohanmu. ooo, dan ternyata Ben lari kesana, disana lebih bikin “tentram” dikit, yang ini kan lebih sabar. Mungkin benar ya, hidup ini perlu variasi. Ehm. Ben, mungkin ini ya untungnya kalau punya calon istri banyak :-D
“Dia bilang, sekarang hubungannya dengan Dewi sudah baikan, malah rencana mau nikah lagi.” Tambahnya.
“Syukurlah Mbak, jadi Dewi pun tahu posisinya masih punya suami, padahal Ben bilang, Dewi sudah pacaran dengan orang orang lain, yang rencananya mau menikah lagi setlah urusannya selesai.”
Kupikir, --dulu-- kalau Dewi sendiri punya pacar dan akan menikah dengannya, kenapa dia sendiri menghambat proses perceraian mereka. Ini namanya teori tingkat tinggi. Kalau Ben bohong, namanya Fitnah, dan mengamankan dirinya sendiri.
“Menikah lagi ? Kenapa harus menikah lagi ?, tulisku, sambil mengerutkan kening menatap handphone dihadapanku.
“Iya katanya dulu mereka pernah mengucapkan cerai dan sekarang baru bisa menikah lagi setelah Ben menikah dengan orang lain.” Jelasnya.
Busyet dah, ini perempuan dah kemakan omongan Ben. Pantas status BBM nya “Semoga rukun selalu” :-D
“Mbak, secara agama yang harus menikah lagi dengan melalui nikah dulu dengan wanita lain adalah yang sudah kena talak 3, dan yang saya tahu mereka cerai gitu aja, tinggal akad lagi, tanpa harus dilalui perempuan lain.”
Yang aku tahu, yang harus menikah lagi adalah bagi pihak perempuan yang telah mendapatkan talak tiga, dan apabila dia akan balik ke mantan suaminya maka dia harus menikah lagi dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Ini teori kok jadi kebalik ya ;-D
“oo gitu ya Mbak.”
Pertemuan terakhirku dengan Ben, Ben memintaku untuk menunggu sampai Bulan Desember tahun ini, sambil menunggu proses cerainya. Aku Tanya Ben, “kalau ga jadi giman ?” Permainan apa lagi yang akan diberikan kepada Elena. Hmmm,
“Mbak apabila menikah dengan perempuan lain dengan tujuan untuk menikahi mantan istrinya, itu sudah melanggar hakiki tujuan pernikahan. Apa ada perempuan yang mau bila dengan jujur laki-laki itu mengutarakan maksudnya menikahi perempuan itu dengan tujuan tadi ? Mungkin bila perempuan itu dijadikan “istri pertama” dan mantan istrinya jadi “istri kedua.” tulisanku agak panjang.
Jujur aku tidak mengerti, kalau pun ada yang mau itu sama gilanya dan ada unsur apa. Mungkin sedikit pengetahuanku tentang agama Islam, tapi hal-hal yang prinsip minimal aku tahu.
Agak lama aku menunggu jawabannya,jujur aku penasaran.
“Ada Mbak, mungkin Mbak, mungkin saya, dan mungkin wanita lain.”
“Haaah????” benar-benar teriak aku di rumah.
“Allah bisa membolak-balikan hati manusia, Mbak.” tambahnya.
“Betul Mbak, itu kekuasaan Allah, doa saya adalah semoga Allah tidak membalikkan hati saya.” timpalku.
“Saya hanya bisa mendoa’akan agar mereka bisa rukun kembali dan hidup bahagia.” Aku pun berdoa seperti itu, minimal tandanya dia sudah kapok dan memulai lebih baik.
“Sebenarnya Mbak, saya sudah ada calon lain, dengan kondisi ini saya lebih bisa mempertimbangkan atas pilihan saya;” tulisnya.
Dan tulisan itu membuat aku bingung. SUMPAH, tapi aku secara eksplisit aku bisa mengambil kesimpulan, bahwa dia melanjutkan hubungannya dengan Ben, walau pun dengan konteks “tentang pernikahan tadi.” Hebat sekali Elena. Jebakan atau pernyataan ? Aku tak sehebat dia yang begitu ikhlas dimanipulasi. Aku bukan tipe pemaaf sesaat setelah mendengar, mengetahui dan merasakan apa yang telah terjadi. Aku bukan tipe penyabar yang kuat dibohongi secara terus menerus. Dan aku tidak akan pernah berharap untuk bisa melanjutkan hubungan.
Mungkin benar, bahwa ada sisi baiknya bila suatu saat dia berubah lebih baik, bahwa masa lalu adalah masa lalu, dan kedepan akan diraih bersama semoga-semoga, biar hidupnya jadi berkah.
Mungkin benar, ada perempuan yang bisa menerima semua masa lalunya dimana di masa itu dia sendiri disakiti secara berulang baik diketahui maupun tidak, TAPI BUKAN AKU.
“Mbak, tadi saya sempat tanya ke Ben, tentang perlakuan dia terhadap kita.
 Apakah dia sengaja berniat mepermainkan kita atau tidak ?” Pesan itu membuyarkan konsenku pada kerjaan “berhitung” malam itu. Icon senyum pun aku kirim, tanpa kata.
“Saya rasa, dia tidak sepenuhnya bersalah mbak, seperti yang kita tahu, bahwa dari dulu, dan sampai sekarang dia tdk bisa memutuskan sendiri tentang hidup rumah tangganya, semua tergantung persetujuan dari kakak-kakaknya, karena Ben menganggap mereka adalah pengganti orang tuanya.” Urainya lagi.
Kembali aku kirimkan icon senyum “manisku” kali ini aku tambahkan kata yang menurutku sedikit kasar : “Karena dia tidak punya pendirian.”
“Kasihan juga sih, Dia sebenarnya serius dengan Mbak juga tidak ada niat mempermainkan kok.” #tepok jidat.
Coba lihat jeda kalimat di atas, ada kata JUGA … pertanyaanku sebenarnya adalah SERIUS DENGAN SIAPA LAGI? Hadeeeeh Non WAKE UP!!! Perlu dilestarikan juga yang seperti ini. Coba kalau dari dulu ketemu, dan ternyata dia istrinya, sudah aku minta dari dulu … Wew!!
“Yang lebih dipermainkan adalah Mbak.” Jawabku singkat, karena aku sudah ga ada ide lagi nulis apa, saking bingungnya.
“Dia memang tidak punya pendirian, itu karena hidup dengan pekerjaannya tergantung dari Mas Tito.” Jawabnya.
“Dan dia tidak bisa menjadi Imam.” balasku.
Oya kenapa aku jelaskan tentang kata “Imam” dalam pembicaraanku kepada Elena, karena Ben yang selalu menyebut “Mas harusnya jadi Imam” … :-D. Ingat itu Ben??
Coba sedikit aku uraikan tentang apa kenyataan yang dialami beberapa waktu yang lalu.
Ben serius denganku ? dari mana melihatnya ? Sedangkan di belakang dan di depan masih banyak urusan yang harus dia selesaikan karena kebohongan dia dan jadi kebodohan dia. NO.
Aku tidak memandang dia serius, apa yang dia perjuangakan dia untukku dulu ? Menikah ? Bullshit. Itu hanya mengikuti skenario lama. Tanggung jawab ? NO. Perhatian ? Oke lah, masih rajin dulu sebelum aku delcont nyapa pagi (ternyata send to many xixixi), meskipun aku jawab dengan pendek-pendek dan sering membuat dia kesal.
Dulu aku tanya, sering juga Ben me “like” foto wanita ini, jawabnya cukup pendek, karena dia suka posting kalimat-kalimat yang bagus. hihiihi.. iya memang benar di BBM juga gitu. Tapi yang ga nyambung adalah Like nya dia itu foto bukan posting kata …. walah salah lagi, ngaruh umur kali ya.
Hidup dan pekerjaannya tergantung pada kakaknya. Betul, karena Ben tidak punya pekerjaan tetap, dan harus berusaha dengan uang keluarganya. Mencoba mandiri dengan kebohongannya tidak akan menjadikan mandiri dan membawa berkah.
Kutulis “Dan dia tidak bs menjadi Imam”, Elena agak lama membalas BBM.
“Awalnya, saya berpikir demikian, tapi sekian tahun dia mempertahankan saya karena belum ada persetujuan dari Mas Tito untuk menikah lagi sampai akhirnya ketemu Mbak, itu juga belum ada persetujuan utk menikah, sebelum dengan Mbak Dewi diselesaikan dulu.” Urainya.
“Artinya, dia itu mempermainkan
kita, coba-coba, memangnya barang ? Trial and error.” Balasku.
Non, WAKE UP MORE, Ben tidak mempertahankanmu sebagai calon istri satu-satunya. Dia lebih asyik mengumbar kebohongan dan menambah dosa. Aku saja yang diperkenalkan kepada keluarga intinya dan teman-temannya sebagai “calon istri” masih tetap badeg dengan kebohongannya, apalagi kau seperti “bayang-bayang” tapi masih untung sih, aku sendiri merasa tidak punya muka dihadapan mereka. Dan mau diselesaikan gimana dengan Dewi, kalau tidak pernah diurus juga. Apa pasal ? Karena gono gini ? Gono gini yang mana ? Intinya hanya karena tidak ada niat dan soal perceraian itu tidak pernah ada (Ga tahu ya kalau hari ini).
“By the way, that's over Mbak, Apapun yang dia lakukan dulu terhadap saya, Sudah saya catat baik-baik, jadi satu cerita suatu hari, bahwa saya menemukan laki-laki seperti ini.” tulisku.
“Intinya, Ben belum disetujui untuk menikah dulu, sebelum urusan dengan Mbak Dewi dibicarakan lebih lanjut. Tapi mungkin sebagai laki-laki, Ben butuh juga wanita di sampingnya (pacar atau calon istri) karena istri pun tidak ada disampingnya juga ..hehe. Cuma kita yang terlalu cepat menerima keadaan dia dan percaya dia.=D.” Jelasnya.
Panjang juga tulisannya, ide nya cukup banyak ;_D
“Iya, tapi ga jadikan perempuan sebagai halte, dari wanita satu ke wanita yang wanita lain, dari perempuan yang tidak jelas siapa dia karena ketemu di dunia malam sampai perempuan yang dikenalnya.” ungkapku, mungkin sedikit pedas.
“Semua tergantung wanitanya bisa terima atau tidak keadaan dia seperti itu. Bagi saya, kalau dia jujur maka tidak berhak mencap dia mempermainkan, hanya keadaan yg membuat dia tidak kuasa apa-apa. Itu lemah nya dia.”
Wew … tipe ini yang Ben cari dan dia salah menemukanku. Pantes bisa bertahan dengan sejuta maaf. Betul tergantung wanitanya, tapi bagaimana mereka mengawalinya ? Dengan mengatakan bahwa dia sudah tidak kondusif sekian tahun hanya karena perjanjian pisah harta yang dibuat setelah pernikahan (Baaaaah, mana ada perjanjian seperti itu, namanya juga perjanjian PRA NIKAH”, ini diperjanjikan setelah pernikahan, salah nama, Ben, kau berhubungan dengan siapa?????).
Maksudnya dengan tanpa istri disampingnya dia bebas ngelaba kebohongannya ? Inget Non, tidak hanya satu, dan janjinya sama semua xixixi. Once More, Wake Up. Kalau buatku, hanya diri sendiri yang bisa membuat mempercayai dia, dengan mencari siapa dirinya sesungguhnya, agar tidak dibohongi terus menerus. Dan pada saat semua diketahui, dia akan kelabakan dan membalikkan semuanya, itu namanya MUNAFIK.
Buat Elena, tidak merasa dipermainkan, karena semua itu “diluar kuasanya”, untukku semua sudah cukup. Suatu hari apabila semuanya terjadi pada diri Elena dan dia bisa menerimanya, berarti beban berat bagi Elena untuk mengobati laki-laki itu. Insya Allah berkah, dan calon surga, semoga bisa terlaksana demi hidupnya, dan keturunannya, Good Luck.
“Kalau dia Jujur mungkin bisa nerima” lanjutnya.
Lah, awalnya sudah tidak jujur, masih bisa bicara tentang jujur ? Hadeh.
“Tapi kalau tingkahnya sudah menjadi pola dan skenarionya, itu namanya kebiasaan dan menjadi habit, termasuk pola ketidakjujurannya.” balasku.
“He he heiya mbak, awalnya mungkin niat baik, memilih calon yg sreg, tapi keenakan saat semua menjaga dan memberi dia cinta, jadi wee kebablasan. Yang tidak jujur bagian mana mbak?” tanyanya lagi.
“Banyak’jawabku singkat
“Bukankah mencintai seseorang karena kelebihannya, hanya akan membuat kita kecewa saat terlihat punya kekurangan?”

“He he udahlah, semua jadi cerita saja.” cukup bagiku.
“Tapi mencintai orang karena kekurangannya, itu baru luar biasa hahaha sok bijak nih.,!!!*party*
tulis dia, geli aku.
“Tapi tidak dengan kemunafikannya=-).”
“Yupz...jadikan cerita hidup dan pengalaman hidup kita, ambil positifnya, buang kejelekanya..({}), Saya hanya sedih, kalau ada orang yang saling membenci, ya sudah, semua keputusan masing-masing yang bersangkut, saya sekedar membantu sebisanya. Ok, Mbak, met malam, salam untuk keluarga.”
“Betul, salam juga buat ananda.” balasku.
“Makasih Mbak, by the way, titip pesan buat Ben, jangan ganggu kami lagi.” pesanku.
“Siap Mbak …J balasnya.
Ada yang seperti ini ya, pikirku.
Kenapa aku bilang jangan ganggu kami lagi?
Karena sejak aku kirimkan BBM terakhir di Idul Adha kemarin, dan kukirimkan barang-barangnya, buatku semua sudah selesai. Namun tak aku sangka, ternyata dia menghubungi ibu dan menyampaikan bahwa kami sedang “ribut” dan sempat aku dinasehati oleh Ibu tentang hal ini. Kaget ? Ya. Ben, kau telah berjanji untuk menemui orang tuaku setelah aku mengembalikan barang-barangmu, dan kau tahu Ben, orang tuaku lebih rela meninggalkan acara keluarga demi menunggumu pada hari Minggu itu, tanpa sepengetahuanku. Surprise ?? Ya!! Skenario apalagi yang akan kau sampaikan kepada mereka ? Sayang sekali, waktunya sudah habis, cukup sudah waktumu untuk menyakiti kami. BBM dengan Elena sudah menghentikan langkahmu untuk memberikan kebohonganmu berikutnya kepada kami.
Ben, aku telah jelaskan semuanya pada orang tuaku, tentang hubungan kita, tentang cerita kita, dan juga tentang cerita hidupmu.
Elena, semoga kau akhir dari perjalanan Ben, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, membawa berkah dalam kehidupan kalian. Aku salut dengan “kesabaran” dan “ketabahan” mu menjalani semuanya, karena aku tak akan mampu menghadapi semuanya. Untukku, semua adalah pengalaman untuk menuju kehidupanku ke depan, satu cerita kehidupan yang membuatku lebih “matang”.
Ben, kita lanjutkan “silaturahmi” dalam bentuk lain. Aku punya jalan hidup sendiri, TANPAMU.

#Satu Cerita Seorang Teman

0 comments:

Post a Comment